Part 3

Andai saja sekarang adalah situasi dalam sinetron, keempat siswa tersebut pastilah akan di-zoom in dan zoom out berkali-kali diselingi backsound yang menggelegar, apalagi detik-detik menuju momen bersambung akan tiba sebentar lagi.

Namun karena situasinya tidak demikian, Lara menatap Arya dengan tatapan seolah dia tidak penting dan memberinya akses lewat begitu saja, yang lantas ditanggapi dengan gestur seakan Lara adalah bagian dari pintu. Nadya memperhatikan semuanya dalam diam, begitu pula dengan cowok yang dipanggil 'Yon' tadi.

"Hmm... kita ngomong apa ya, tadi?" tanya Lara, seakan tidak ada interupsi.

"Ahhh... tentang prestasi lo sebagai playgirl."

"Oh iya. Muehehehe... tapi walau dikasih kesempatan, gue tetap nolak aja deh, Yon. Walau gue tau hati gue selapang samudra sampai-sampai sanggup mengemban tugas sebagai Ketua OSIS, gue sadar nilai akademik gue masih perlu di-upgrade. Lagian udah cukup deh hari-hari gue disibukkan sama cowok kece yang pada ngedaftar jadi gebetan gue."

"Iya juga, ya. Jawabannya relate banget jadi gue nggak bisa maksa. Oke deh, kalo gitu gue balik ke kelas ya, Ra? Kalo ada apa-apa, jangan sungkan ke gue. Mau lanjut personal chat juga boleh banget."

"Wah wah, Yon. Culun-culun gini, lumayan juga ya lo."

"Demi menarik perhatian lo, Ra. Walau mantan lo banyak, tapi lo beda sama yang lain. Bukannya nambah musuh, yang ada malah pergaulan lo makin luas."

Satu lagi bukti nyata yang Nadya saksikan sendiri; pergaulan Lara bisa meluas berkat mantannya.

Baginya, Lara itu seperti too good to be true—–terlepas dari nilai akademiknya yang kurang, berbanding terbalik dengannya.

Oleh karenanya, Nadya lagi-lagi merasa bersyukur memiliki Lara sebagai saudari tirinya. Mungkin saja... dia bisa merubah dirinya dan melakukan beberapa hal yang selalu ingin dilakukannya sejak dulu. Tepatnya, sejak dia duduk di bangku SMP.

"Hmm... Ra, kita belum milih tempat duduk nih," tutur Nadya sembari mengedarkan pandangannya ke dalam kelas. "Lo mau duduk di mana? Kalo misalnya duduk sama gue, lo keberatan nggak?"

Lara tidak menjawab. Sebenarnya bukan sengaja, karena atensi cewek itu teralihkan oleh fakta kalau tidak ada bangku tersisa di barisan bangku bagian belakang dan segera menyesalinya.

Ck. Gue lupa milih bangku favorit gue gara-gara Rion.

Tidak mempunyai pilihan, Lara pasrah pada keputusan Nadya memilih bangku. Namun sebelum dia menyusul, ekor matanya beralih ke bangku yang ditempati Arya di barisan paling depan, tepatnya berhadapan dengan meja guru.

"Di sini lebih mendingan," celetuk Lara yang meletakkan tas selempangnya di barisan tengah, tepatnya bangku ketiga dari belakang bangku Arya. "Gue nggak bisa bayangin gimana nasib gue kalo duduk di sebelah dia."

Lara mengendikkan dagunya ke arah Arya ketika Nadya bertanya melalui tatapan matanya, yang langsung mengerti. "Oh. Gue baru tau kalo dia ternyata suka duduk di barisan paling depan, apalagi berhadapan sama meja guru."

"Sayang banget dia selalu dipindahkan Wali Kelas pada akhirnya," jelas Lara, ekspresi tengilnya kambuh lagi. "Gue doain semoga tahun ini dia tetap di sana biar gue bisa berlindung kalo lagi pengen rebahan."

"Dipindahkan? Apa karena terlalu tinggi, ya?"

Lara mengangguk. "Dia sesenang itu. Terbalik sama Nando, punya badan pendek tapi senengnya duduk di barisan belakang."

"Kak Nando sependek itu, ya? Padahal tinggi gue sebatas telinganya."

"Itu karena lo lebih pendek dari gue," kilah Lara sambil menyeringai. "Tinggi badan gue saingan sama model-model kece, soalnya."

Nadya tidak mengatakan apa pun setelahnya, sementara Lara menengadahkan kepalanya untuk mengecek jam dinding di kelas. Mereka masih mempunyai waktu dua puluh menit lagi sebelum bel berdering.

Maka, Lara berniat menyapa teman-teman yang lain tetapi ternyata sudah ada siswa lain yang mendekati bangkunya.

"Lara, kita sekelas lagi," kata cowok itu, kemudian mengalihkan atensinya ke Nadya. "Dan tahun ini kita sekelas untuk pertama kalinya.

"Surya Giordano," lanjutnya memperkenalkan diri, sekaligus mengulurkan tangannya ke Nadya untuk bersalaman. "Pencitraan itu diperlukan, apalagi setelah gue tau lo sama Nando resmi jadi saudaranya Lara—–ck, padahal gue nggak pernah cocok sama Nando. Ah... tapi nggak apa-apa. Demi masa depan gue sama Lara, gue harus nerima sepaket sama keluarganya, kan?"

"Apaan, sih?" tanya Lara meski ekspresinya sama sekali tidak terganggu, sementara Surya berbagi duduk dengan siswa di bangku depan dan tubuhnya lantas dikondisikan untuk menghadap mereka. "Infonya cepet banget nyebar, padahal belum lama resminya."

"Ya dong, lo itu kayak selebritis SMA Berdikari, jadi penyebarannya ngalah-ngalahin virus zombie. Apalagi kalo lo balikan sama gue, dipastikan bakal viral dan jadi headline news."

"Banyak banget sih yang ngantri jadi pacar gue sampai-sampai yang statusnya udah mantan masih demen aja sama gue," kata Lara, memasang raut wajah sok.

"Emang siapa lagi yang mau balikan sama lo?" tanya Surya, tetapi ekspresinya berubah menjadi horor ketika kesadaran menamparnya. "Jangan bilang... Nando? Wah wah wah... itu kan hubungan terlarang? Plis deh!"

"Not in blood," sahut Lara enteng. "Eh tapi, tetep aja sih bukan prinsip gue balikan sama mantan."

"Loh, kenapa?" tanya Surya dengan nada diulur-ulur sementara Nadya menyaksikan semuanya dalam diam. Seperti biasa dia tidak pernah bisa nimbrung dalam percakapan kecuali ada yang mengajukan pertanyaan padanya. "Visual gue nggak kalah; berpenampilan menarik, macho, berhati lembut, bibir seksi soalnya saingan sama Angelina Jolie, tatapan mempesona, wangi, trus yang perlu DIGARISBAWAHI itu gue lebih tinggi dari Nando—–177 sentimeter!"

"Heh, gue bukan lagi nyari pasangan di Take Me Out Indonesia loh, ya!" hardik Lara, mengundang tawa sebagian besar murid yang mendengarnya. "Lagian cuman beda dua senti aja udah bangga, ck!"

"Then tell me, who's your next target? Gue denger lo ngomongin Arya tadi. Jangan bilang—–"

"Nggak ada target-target, gue nggak ikutan bisnis MLM," potong Lara. "Gue selalu let it flow, kayak air mengalir—–walau bukan Arya sih pastinya."

"Kenapa? Pacarable banget gue liat," tanya Surya, mau tidak mau mengakui kalau cowok itu memang layak masuk daftar most wanted sekolah. "Walau gue seneng lo nggak targetin siapa pun untuk sementara ini, tapi gue mendadak kepo setelah denger jawaban lo. Sejak kapan lo punya prinsip?"

Lara mendengus, tetapi hanya berlangsung setengah jalan karena ekor matanya menangkap banyak tatapan kepo dari teman-teman sekelasnya, termasuk Nadya. Mereka bahkan telah merapatkan diri satu sama lain untuk mengitarinya.

"Kalian kenapa?" tanya Lara heran. "Ini kok kayak mau interogasi gue?"

"Kita-kita selalu penasaran karena lo nggak pernah targetin Arya," jawab salah satu siswa yang duduk di belakang Lara. "Kenapa, sih?"

Siswi di sebelahnya menimpali, "Iya nih, padahal kalian cocok. Kalo beneran jadian, kalian bakal jadi pasangan yang sempurna soalnya tinggi badan kalian tuh kayak model—–"

"Ck. Tinggi badan lagi," potong Lara, padahal dia sempat membanggakan tinggi badannya. "Lagian ngebet banget sih pengen gue pacaran sama Arya? Orang dia pacaran sama buku. Megang tangan cewek mungkin nggak pernah kali, ya."

"Kalo menurut gue, lo nggak wajib pacaran sama dia sih, Ra." Salah satu siswa berkacamata yang menumpu tangannya di dekat bangku Nadya, memberi saran. "Maksudnya, setidaknya lo bisa ngajak dia sosialisasi supaya terbiasa sama teman-teman sekelasnya, terutama sama cewek. Lo kan sering satu kelompok sama dia, jadi lo pasti tau."

Ya, Lara tidak mungkin lupa dengan insiden yang kerapkali terjadi setiap kerja kelompok. Arya hampir tidak pernah berinteraksi dengan anggota lain. Bisa dibilang, dia hanya mengerjakan bagiannya sendiri tanpa ada inisiatif untuk melakukan feedback.

"Soalnya gimana yaaaa," kata Lara, tampak berpikir. Ekor matanya melirik punggung Arya yang sibuk dalam dunianya sendiri, tangan kanannya yang memegang pulpen bergerak lincah di atas buku catatannya. Dia jelas sedang menyelesaikan soal-soal random. "Dia itu tipe anak teladan banget. Kayak icon generasi penerus bangsa gitu, loh. Nggak tega aja kalo sampe ngerusak dia. Ibarat—–apa tuh, peribahasa apaan tentang bambu sama angin?"

Semuanya tampak clueless, tetapi untungnya hanya Nadya satu-satunya yang mengerti. "Maksud lo, 'seperti bambu yang ditiup angin'?"

"Nah iya—–eh, nggak juga, deng. Bambu kena tiup bakal goyang dong, ya? Nggak cocok dong peribahasanya?"

Untungnya sekali lagi, Nadya bukan tipikal non akhlak seperti abangnya sehingga cewek itu berbaik hati untuk menjelaskan, bukannya meledek. "Bener kok, Ra. Artinya, 'Bagus tingkah lakunya, tidak bisa dipengaruhi oleh orang lain'."

"Nah, itu maksud gue," kata Lara enteng seakan ketidakmampuannya tentang peribahasa tidak sempat eksis. "Saking lurusnya dia, gue yakin dia lebih milih buku tebelnya. Tapi gue juga nggak ngerasa harus tertarik sama dia, sih. Standar gue bukan dinilai dari tampang, soalnya."

"Arya nggak cuma ganteng, Ra. Dia itu perfect," Siswi di belakang Nadya menyeletuk dengan tatapan seakan Arya adalah makanan enak, menatap punggungnya dengan lapar. "Udah pinter, anak teladan, alim, punya body oke, trus tinggi lagi. Kalo gue jadi lo, gue pasti mepetin dia sampai dapet."

"Dan apa gunanya kalo nggak bisa dimiliki?" balas Lara enteng.

"Bener, cowok culun kayak dia jangan dikasih kesempatan," timpal Surya, menepuk-nepuk letak jantungnya dengan tatapan seakan hidup Lara diserahkan padanya. "Lo bisa memiliki gue. Biar gue aja yang berikan kasih sayang gue ke elo. Kalo perlu, dua kali lipat lebih banyak."

"Nggak Nando, nggak elo, samaan bucinnya."

"Tapi gue lebih ganteng. Juga lebih tinggi."

"Ck. Sama aja bagi gue."

"Gue menang dari dia. Lo nggak mungkin bisa balikan sama Nando karena dia udah resmi jadi sodara lo," balas Surya dengan tatapan penuh kemenangan tetapi hanya berlangsung sebentar karena respons Lara.

"Sama aja aturannya buat lo. Gue nggak mau balikan sama mantan. Maunya yang fresh, bukannya yang udah dimasukin ke kulkas trus dihangetin lagi. Walau sama-sama hanget, vibes-nya udah beda—–ck, gue jadi inget ampas makanan yang biasa nyokap sisain buat gue."

Surya melongo mendengar semua itu sementara teman-teman sekelasnya meneriakkan buuuuuu sambil tertawa keras, menambah kehebohan yang memekakkan telinga.

"Bahahahahaha... Surya disamain sama ampas makanan! Rasain lu!"

"Wakakaka! Ngakak gue! Kasian deh si Surya, lo liat mukanya deh. Kayak habis ditonjok Lara berkali-kali tapi nggak ngerti salahnya apa!"

"Hahahahaha... humor gue! Bikin bengek aja pagi-pagi! Udah deh, Sur. Mendingan lo belajar aja yang rajin supaya bisa jadi penerus bangsa kayak Arya."

"Gue masih punya kesempatan jadi cowok Lara dong, ya? Gue kan belum pernah pacaran sama si doi!"

"Heh! Trus cewek lo mau dikemanain? Lo lupa ya udah punya pacar? Nambah dosa aja lo!"

"Oh iya ya. Gue lupa gara-gara Lara."

"Untung gue cewek, ya. Soalnya kalo mau jadian sama Lara itu harus rela ngantri kayak nunggu antrian panjang di Kantor Imigrasi."

"Ck. Nggak ada zaman-zamannya ngantri lagi. Sekarang kan udah bisa via online."

"Eh iya ya...."

"Sabar aja, Sis. Kita cewek-cewek nggak bakal kekurangan cowok kok. Si Lara paling bentaran doang pacarannya, kayak silahturahmi di hari Lebaran."

"Muehehehe...."

Teruntuk hari ini, sepertinya Nadya terlalu sering melempar tatapan takjub pada Lara. Situasi tadi memberinya pemahaman baru tentang perasaan menyenangkan ketika memiliki teman yang rasa solidaritasnya tinggi seperti teman-teman Lara.

Oleh karenanya, Nadya semakin terdorong untuk merubah sifat introvernya. Lagian, bukankah masa SMA adalah masa pencarian jati diri? Siapa tahu, dia bisa menemukan apa yang seharusnya dia capai selama menapaki dunia remajanya, yang pastinya dibantu oleh Lara.

Selalu ada alasan untuk sebuah takdir, Nadya percaya itu.

Tetapi Nadya tidak pernah tahu atau mungkin belum tahu arti senyuman Lara yang berubah menjadi seringai samar ketika dia mengalihkan perhatiannya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top