Part 29

Sama seperti hari-hari biasanya, Nadya selalu tiba lebih awal ke sekolah tanpa mau menunggu Nando. Entahlah, dia juga tidak kunjung mengerti mengapa setelah dia berbaikan dengan abangnya, dia masih saja menjaga jarak.

Nadya seringkali dirundung perasaan bersalah, namun seringkali pula dia menghibur dirinya sendiri kalau dia melakukan hal yang wajar. Lagi pula sejak perseteruan itu, Nando juga tidak banyak berbicara seolah-olah dia mempunyai pemikiran yang selaras dengan adiknya.

Mungkin, keduanya memang perlu merenung dan saling introspeksi diri.

Itulah sebabnya, mengapa Nadya tiba-tiba kepikiran untuk memperbaiki hubungan mama tirinya dengan Lara, karena setidaknya dia berharap eksistensi Lara bisa lebih meluruskan kerenggangan di antara mereka.

Nadya sadar, sikapnya sudah lancang dan dia jelas tidak mempunyai hak untuk menceritakan kebenaran pada Martha. Namun, dia juga merasa harus bertindak karena dia tahu kalau Lara tidak bisa selamanya tinggal bersama Jimmy, mengingat riwayat depresi yang pernah dialami pria itu.

Dia berharap ketika saatnya pertukaran pelajar tiba, Martha tidak sendirian.

Ya. Nadya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengikuti program itu. Rencananya, dia mau mencoba mengajak Arya.

Sepertinya, semesta sedang mendukungnya untuk mengutarakan intensi tersebut, karena ekor matanya menangkap sosok Arya yang berjalan memasuki kelas. Ini kali pertama dia datang sendirian sejak pacaran sama Lara dan tinggal berdekatan dengannya.

Arya melihat Nadya, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Seperti ciri khas kalemnya yang biasa, cowok itu lantas mendekati bangkunya sendiri.

Hmm... apa sekarang aja ngomongnya?

Sekarang atau tidak sama sekali, Nadya.

Nadya beranjak dari bangkunya, kemudian mengarahkan pandangannya ke Arya. "Hmm... Arya."

Arya menoleh, sebagai wujud reaksinya atas panggilan Nadya. Tatapan tajamnya yang khas segera membuat jantung Nadya berdesir. "G-gue boleh bahas sesuatu sama lo, nggak?

"Kemarin Bu Naura bilang, program pertukaran pelajar bisa dilaksanakan minimal siswanya dua orang." Nadya memulai, berusaha mengendalikan diri supaya terlihat santai berbicara dengan Arya. "Hmm... dan gue denger lo sebenarnya berminat."

"Nggak juga, sih." Arya menjawab. "Lagian kata Bu Naura, kita nggak diwajibkan ikut berhubung programnya masih baru."

Nadya menganggukkan kepalanya dua kali. "Hmm... gue sebenernya kepikiran ikut kalo lo mau ikut. Mak-maksud g-gue... ini kesempatan buat kita juga, kan? Hmm... pada kenyataannya, kita punya karakter yang agak tertutup, jadi gue pikir ini kesempatan yang bagus untuk...."

"Lo benar-benar tertarik ya sama program itu?" tanya Arya. "Gimana sama murid lain, apa ada yang mau ikut?"

Nadya menggeleng. "Nggak ada. Semuanya nolak, makanya gue ngajak lo karena gue denger lo sebenarnya berminat cuman persyaratannya harus dua pelajar."

Arya diam lagi, lebih tepatnya tidak tahu harus merespons apa. Lantas, Nadya bersuara lagi setelah jeda agak lama di antara mereka, "Hmm... kalo boleh tau, apa lo sekarang ragu karena Lara?"

"Hah?" Arya kaget. Mungkin saja dia tidak menyangka nama pacarnya akan dibawa-bawa.

"Maaf ya kalo dugaan gue salah. Gue pikir... apa mungkin lo jadi ragu ikut program ini karena ada hubungannya sama Lara?"

"Bukan gitu, sih. Gue memang—–"

"Kalo Lara ngizinin lo ikut, apa lo mau?" potong Nadya, kentara sekali kalau dia berusaha untuk mengutarakan semua yang ada dalam pikirannya. "Ini... ini benar-benar kesempatan yang bagus, Arya. Jujur, gue pengen ikut sekalian mau mengubah karakter gue. Plis, Arya. Lo mau pertimbangkan, kan?"

Arya mengangguk pada akhirnya. Sebenarnya, itu sebagai wujud kesopanannya agar tidak terlihat kejam jika langsung menolak usul Nadya. Namun sayangnya, tanpa keduanya sadari, ada seseorang yang sudah menguping pembicaraan mereka sedari awal dari balik pintu.

Name tag pada seragamnya terbordir nama Lara Scarletta.

Lara sudah bersiap dari jam enam pagi namun sayangnya, Arya sudah berangkat duluan ke sekolah. Cowok itu tentu sudah tahu kabar kembalinya Lara ke rumah mamanya lewat Jimmy.

Cewek itu mau cerita lebih lengkap, tetapi setelah mendengar bagaimana antusiasnya Nadya tentang pertukaran pelajar demi tujuan mengubah sifat introvernya, juga Arya yang setuju untuk mempertimbangkan ajakan tersebut mau tidak mau membuatnya berpikir.

Lara seketika teringat kata-kata Nando semalam, tepat ketika dia kembali ke rumah Martha.

"Ra, welcome back." Nando ternyata sengaja tidak tidur untuk menunggu Lara pulang. Dia memeluk Lara sekilas meski sebenarnya dia terlihat ingin melakukan lebih. Keinginannya terpaksa harus diurungkan karena aura Martha yang kentara sekali tidak setuju dengan aksinya.

"Lo yang kasih tau semuanya ke Mama, ya?" tuduh Lara setelah Martha tersenyum dan memperingatkan mereka untuk tidak begadang, sebelum kembali ke kamarnya sendiri.

Nando menggeleng, tetapi ekspresinya berubah serius. "Nadya yang bilang ke Mama, Ra."

"Nadya?" Lara melotot persis penonton yang syok saat mendapati drama yang ditonton mempunyai banyak plot twist-nya. "Kena-why?"

"Mungkin lo nggak tau, Ra. Tapi akhir-akhir ini gue rasa Nadya yang gue kenal bukan lagi Nadya yang gue kenal—–tunggu, kok jadi rumit, ya? Pokoknya, Nadya yang sekarang bukan Nadya yang dulu. Kayak kembar tapi beda sifat gitu, deh."

"Lo masih bertengkar sama Nadya?" tanya Lara jengah hingga memutar bola matanya. "Udah dibilangin, jangan bertengkar—–tunggu, jadi Nadya nangis-nangis di kelas selama ini gara-gara lo, ya?"

"APA? Nadya nangis? Nangis kenapa?"

"Ck. Gue mau kepoin, tapi selalu ada Surya yang nemenin dia. Jadi gue nggak mau ganggu, deh."

"APA? Sialan, jadi cecunguk satu itu baperin adek gue?"

"Ya mana gue tau. Gue kira adek lo cuman curhat-curhatan random sama Surya. Gue bisa rasain kenyamanan itu, sih. Makanya, curhat sama cowok lebih asik daripada sama cewek soalnya kalo mau mewek, lo bisa peluk-pelukan atau ndusel-ndusel manja."

"APA? Awas ya, Surya. Besok tamat riwayat dia!"

"Harusnya lo makasih sama Surya. Ck! Oke, kembali ke masalah Nadya. Kenapa dia ngasih tau ke Mama? Apa alasannya? Nadya di mana sekarang?"

"Udah tidur, kayaknya. Udah deh, besok aja nanyanya. Yang pasti, apa pun itu, gue yakin ini ada hubungannya sama program pertukaran pelajar."

"Hah?" Lagi-lagi, Lara tertampar sindrom plot twist.

"Gue nguping kemaren sore. Nadya nanya ke Mama, apa dia boleh ikut pertukaran pelajar. Trus waktu Mama nanya siapa yang nemenin dia, katanya dia lagi usahain. Pokoknya, dia minta izin dulu. Firasat gue, mungkin dia mau lo baikan sama Mama sebelum dia pergi."

Lara terdiam, lebih tepatnya terlihat sedang mencerna kata-kata Nando.

Lara kembali ke dunia masa kininya ketika mendengar suara pintu terbuka dan Nadya yang muncul dari baliknya kontan terkaget-kaget.

Nadya sudah membuka mulutnya, namun Lara sudah menghalanginya dengan menarik tangan cewek itu untuk ikut bersamanya.

Lara berhenti setelah keduanya sampai di balik tanaman tinggi dekat auditorium, tempat di mana Surya pernah membawa Nadya menangis sembunyi-sembunyi.

"Sekarang, jelasin ke gue." Lara memerintah setelah melipat lengan di depan dadanya. Matanya menyipit penuh selidik, jelas mengintimidasi.

"Hmm, gue...."

"Nadya!"

"G-gue... gue benar-benar pengen ikut pertukaran pelajar, Ra. Plis, maafin gue."

"Kenapa lo minta maaf?" tanya Lara, masih bertahan dengan nada interogasinya. "Maksud lo, karena kesannya lo mau ngerebut Arya? Atau... lo memang punya tujuan itu?"

"Ra—–"

"Sekarang lo jawab sejujur-jujurnya," kata Lara lugas sembari mendekatkan dirinya pada Nadya dan menunduk sedikit untuk menatap saudari kembarnya dengan intens. "Tujuan mana yang jadi prioritas lo awalnya; memperbaiki hubungan gue sama Mama atau pertukaran pelajar?"

"Mak-maksud lo?"

"Karena jawaban lo mungkin akan mengubah takdir lo." Seringai Lara terbit selagi seringainya muncul. "Jadi, lo harus jawab dengan benar."

"Memperbaiki hubungan lo sama Mama," jawab Nadya akhirnya setelah mengembuskan napas panjang. "Karena gue nggak bisa diam aja setelah tau gimana kondisi papa lo. Gue udah pernah kehilangan Bunda, jadi gue nggak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya. Gue nggak mau aja kalo sampai Mama juga ikut sakit hati dan menderita, trus ikut jejak Bunda."

Awalnya Lara terlihat bergeming, seakan sedang memikirkan cara apa yang layak untuk menghukum Nadya. Lantas secara tidak terduga, cewek itu mengulurkan kedua lengannya untuk memeluk Nadya. Tangannya mengusap punggung cewek itu, seakan menunjukkan rasa terima kasihnya yang besar. "Thanks, Nad. Lo memenuhi ekspektasi gue."

"Lo inget nggak awal-awal kita ketemu di pertemuan keluarga?" tanya Lara setelah mengembuskan napas panjangnya lagi. "Hubungan gue sama Mama yang nggak pernah baik bikin gue sentimen dengan lo. Apalagi, lo tipe anak yang idaman banget. Gimana ya, secara nggak langsung gue merasa kalo gue kayak Cinderella yang terintimidasi sama saudari tirinya sendiri. Itulah sebabnya, gue cenderung senang waktu merasa lo terintimidasi sama kata-kata gue. Gue jahat, kan?"

Nadya melepaskan pelukan di antara mereka, lantas memandangi Lara sepanjang lengannya. "Nggak cuma lo, gue juga sering iri sama lo. Gue... sesempurna apa pun gue, gue nggak pernah puas karena sifat introver gue jadi penghalang. Gue selalu pengen berubah jadi kayak lo. Gue mau lebih aktif, gue mau berekspresi, gue juga mau sebebas-bebasnya kayak lo. Gue—–"

"Jadi, lo pengen ikut program pertukaran pelajar?" potong Lara sambil tersenyum manis hingga kedua matanya melengkung. "Oke, gue akan dukung lo sampai akhir."

"Ta-tapi—–"

"Harus sama Arya perginya, kan?"

"I-iya, ta-tapi—–"

"Sebelum gue bener-bener dukung lo, izinkan gue bertanya lagi."

"Hah?" Nadya bertanya bengong. Sebenarnya dia tidak mengerti dengan ekspresi Lara yang benar-benar melampaui ekspektasinya. Jika seharusnya cewek normal merasa cemburu atau tidak terima, Lara malah tersenyum lebar tanpa beban seperti biasa.

"Acara tangis-tangisan lo selama ini... apa gara-gara Arya?"

"Hah?" Nadya bengong lagi, tetapi kali ini ekspresinya telah menjelaskan semuanya.

"Dugaan gue bener. Okay, don't be upset anymore, Babe. I'll support you till the end. Trust me, I'll also make Arya stand by your side from now on."

"Lara! Lo kenapa?" Nadya bertanya horor.

Lara tersenyum, meski sekilas Nadya bersumpah kalau dia melihat ada sorotan bermakna luka dalam kilatan matanya. "Sama seperti lo yang berusaha menyatukan gue sama Mama, gue juga akan berusaha buat lo. Bahasa kasarnya, anggap aja impas. Ya nggak? Lagian, gue gampang move on dari cowok. Tenang aja."

"Lara, Arya itu cinta pertama lo—–"

"Everyone has their first love, even you."

"Lara...."

"Kesempatan lo hanya kali ini aja, Nad. Kalo lo nolak, gue mungkin nggak akan pernah relakan Arya buat lo lagi. Jadi, pikirin baik-baik."


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top