Part 2
Entah bagaimana caranya ketenaran SMA Berdikari hampir mengalahkan SMA Bernard, padahal keduanya memiliki rentang perbedaan yang jauh terutama pada sistem pendidikan. Jika SMA Berdikari menganut sistem pendidikan Nasional, SMA Bernard menggunakan kurikulum Internasional. Bahkan dari segi infrastruktur, luas SMA Berdikari hanya seperempat dari SMA Bernard meski kemewahan gedungnya mengalahkan sejumlah sekolah swasta lokal.
Entah sejak kapan, tetapi yang jelas nama SMA Berdikari menjadi buah bibir masyarakat setelah tersebarnya rumor kalau pewaris Grup Samuel dan Grup Nugroho bersekolah di sana. Mereka ibarat pionir yang menjadikan sekolah tersebut sebagai icon yang populer di kalangan atas.
Meskipun demikian, hal yang paling terpuji adalah walau kepopuleran SMA Berdikari melejit pesat, biaya SPP-nya tidak ikutan naik. Nama Rio Harvey selaku Kepala Sekolah juga disebut-sebut di dalamnya, memberikan kesan positif hingga menyempurnakan alasan bagi para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka.
"Gue sebenarnya lebih suka SMA Bernard," celetuk Lara ketika dia berjalan bersama Nadya Wardana, diikuti Nando Wardana. Ketiganya menyusuri koridor menuju papan pengumuman. Suasana ramai didominasi oleh para junior yang terlihat jelas dari seragam putih-biru dongker mereka.
Sepertinya tahun ini jumlah siswa baru bertambah dua kali lipat.
"Kenapa?" tanya Nadya kepo. Jika ada hal yang mau dia syukuri, cewek itu tidak akan sungkan menjawab kalau dia bersyukur memiliki Lara sebagai saudari tirinya. Alasannya karena cewek itu termasuk dari beberapa murid yang populer di sekolah, bahkan mengalahkan dirinya yang menyandang predikat murid teladan.
Nadya jenius, tetapi dia mempunyai sifat introver. Dia tipikal yang sulit mengajak bicara duluan atau menanggapi obrolan di antara teman-teman sekelasnya, sehingga yang biasanya mengajaknya berbicara adalah mereka yang meminta pertolongannya untuk mengajar dan mengerjakan soal-soal pelajaran.
Namun, Lara berbeda. Sejak awal sebenarnya Nadya termasuk dari sejumlah teman yang berharap bisa berteman dekat dengannya, apalagi setelah tahu kalau cewek itu pernah berpacaran dengan Nando. Lara ceria dan mempunyai rasa humor, layak menjadi moodbooster. Dia juga easy going, supel, ramah dengan siapa saja, dan yang paling menonjol adalah karakter cueknya.
Bukan cuek yang memberi kesan jutek. Lara tipikal cewek yang santai menghadapi hidupnya, seakan tidak pernah mengalami cobaan hidup yang berat padahal Nadya tahu kalau orang tuanya bercerai.
Saat itu mereka masih kelas 2 SMP. Lara yang populer sejak tahun pertama di sekolah membuat semua orang senang menjalin interaksi dengannya. Oleh karena itu, banyak yang menghiburnya ketika mengetahui orang tua Lara berpisah bahkan setelah mengetahui kalau penyebabnya gegara eksistensi orang ketiga.
Nadya ingat alih-alih menangis layaknya remaja labil pada umumnya, Lara tidak terpengaruh seakan fakta perceraian tersebut bukanlah hal besar.
"Yang cerai itu mereka, bukan gue. Yang terpenting, gue harus mikir ikut siapa. Papa nyuruh gue ikut Mama soalnya lebih rajin dan punya prospek masa depan. Meski gue lebih sayang sama bokap, tapi kayaknya untuk kali ini gue harus setuju. Uang bukan segalanya, tapi uang bisa beli segala kebutuhan gue."
Nadya benar-benar tertampar setelah mendengar jawaban Lara kepada siapa saja yang menghiburnya. Jangankan berada di posisinya, fakta dia belum lama kehilangan bundanya saja sudah memberikan efek hancur yang tidak mungkin akan sembuh dalam waktu yang singkat.
Oleh karenanya, Nadya segera menyimpulkan kalau Lara adalah cewek yang kuat.
Lara tersenyum, menunjukkan ekspresi tengilnya yang khas. "Seenggaknya gue bisa nyoba pacaran sama keturunan bule. Seru kali, ya?"
Nando yang mendengarnya segera mempercepat langkahnya untuk menjejeri langkah Lara, mengabaikan tatapan penuh celaan para siswa yang bahunya disenggol secara tidak berakhlak. "Nggak segitunya juga kali, Ra. Tapi kalaupun pengen banget, lo bisa pacaran sama gue. Gue juga keturunan bule."
Pernyataan Nando berhasil membuat duo Nadya dan Lara mengalihkan atensi mereka dan lantas menjawab serempak, meski intonasi keduanya berbeda; Nadya bertanya polos sedangkan Lara meledek.
"Bule dari mananya, Kak?"
"Bule dari mananya? Ya kali cowok modelan lo disamain sama bule."
"Ya iyalah. Bule kan terkenal karena kulit putih sama macho-nya. Dua kriteria itu jelas ada pada gue, dan tambahannya..." Nando sengaja berhenti sebentar untuk tersenyum miring pada Lara. "... gue lebih ganteng."
Sayangnya, Lara tidak terpengaruh. "Dari segi tinggi badannya aja udah jauh banget gap-nya."
Senyum Nando segera hilang seakan tersengat arus listrik. "Heh, tinggi badan gue di atas rata-rata, plis deh ya! 175 sentimeter!"
"Dan tinggi badan gue hampir menyamai lo. Lo sebut itu tinggi?" tanya Lara balik, menatap Nando dengan sebelah alis terangkat. "Bukan bule namanya, tapi budek."
"Budek—–budeg, maksudnya? Pelafalannya kok beda, ya?" gantian Nadya menatap Lara kepo, menghalangi Nando mengeluarkan unek-uneknya. Langkah ketiganya telah sampai di ujung koridor, di mana mereka bisa melihat papan mading besar yang telah dikerumuni oleh banyak siswa.
"Bukan itu maksud gue, Nad." Lara menjawab dengan kesabaran yang terpuji sementara terdengar dengusan keras dari Nando. Cowok itu sebenarnya tidak kesal, tetapi bukan berarti dia senang dikatai seperti itu oleh Lara.
Apa pun singkatannya, pastilah bermakna ejekan untuknya.
Benar saja, Nando mendengus keras lagi ketika mendengar Lara melanjutkan, "Budek itu singkatan dari 'budak pendek'."
"Oke, pendek gue terima. Tapi kenapa budak? Dari mananya wajah gue budak begini? Kalo anak Presdir, baru iya!" protes Nando, gantian menghalangi Nadya bersuara.
Lara menghentikan langkahnya, yang secara kebetulan juga mendukung karena terlalu banyak siswa berkerumun, seperti ibu-ibu paruh baya yang menunggu di depan pintu mal untuk berburu pesta diskon menjelang hari raya.
Lara kemudian mengalihkan atensinya pada Nando, menunjukkan seringai jahilnya sebelum menjawab enteng, "Asal katanya dari bucin. Lo kan ngebucinin gue, jadi lo layak disebut budak."
"Ahhhh, I see." Nadya manggut-manggut polos hingga rambut pendek sebahunya mengayun secara dramatis, sementara Nando memelototkan matanya dengan berang. Cowok itu sudah membuka mulutnya untuk membantah, tetapi Lara sudah berseru duluan.
"Tambahannya, lo bukan anak Presdir. Gimana mau jadi anak Presdir kalo gedungnya aja masih sewa?"
Nando sudah setengah mangap untuk membalas ledekan Lara ketika kerumunan kecil di hadapannya pecah. Sebagian yang sudah memeriksa di mana keberadaan kelas segera memisahkan diri. Lara yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, segera mendekati papan mading dan merebut barisan depan.
Seperti biasa, eksistensi Lara Scarletta selalu menjadi pusat perhatian. Tidak sedikit yang melempar tatapan kagum bahkan ada yang sempat memanggilnya, tetapi cewek itu tidak mendengar saking fokusnya dia pada lembaran nama yang ditempel.
"Kelas XI MIPA-3. Fix, tahun ini kelasnya masih campur soalnya lo sekelas sama gue," komentar Lara, melirik Nadya yang akhirnya ikut mencari namanya di antara daftar.
Namun Nadya tidak merespons. Setelah menelusuri namanya sendiri, kedua matanya lantas berfokus pada bagian atas daftar kelas XI MIPA-3, kemudian tersenyum manis seakan ada yang memberinya suntikan semangat.
Lara tentu saja kepo. Dengan kepala yang dimiringkan ke arah Nadya, dia ikut memperhatikan arah pandangnya. "Kenapa lo liat barisan atas? Nama lo diawali huruf N, seharusnya lo mandang di bagian tengah, kan?"
Wajah Nadya seketika memerah dan dia segera terhenyak seakan Lara menyirami kepalanya dengan air es. "Hmm... ng-nggak, kok. Eh iya ya, kita sekelas. Dipikir-pikir ini baru pertama kali ya, waktu SMP kita juga nggak pernah sekelas."
"Wah, bener... bener," kata Lara menyetujui, seketika dia lupa pada topik yang sempat membuatnya kepo. "Padahal sekolah kita masih menganut sistem keadilan sosial, belum ikutan SMA Bernard yang pake seleksi-seleksian—–makin ke belakang makin merakyat. Gue jadi berubah pikiran. SMA Berdikari will always be my favourite. Nilai gue nggak semulus muka gue, soalnya."
"Nah, gitu dong." Nando mendecakkan lidahnya dengan bangga. "Meski gue berharap andai aja gue ditakdirkan lahir sebagai kembaran Nadya biar bisa sekelas sama lo, trus kita bisa duduk bareng."
"Ck, mulai lagi. Lo itu udah ditakdirkan jadi saudara tiri gue, jadi ending-nya terima aja."
"Kalo bukan gara-gara lo, gue pasti udah berhasil halangin Papa nikah," tuduh Nando, mengabaikan ekspresi tengil Lara yang tidak merasa bersalah. "Gue masih nggak percaya kalo nyokap lo ternyata sobat lama bokap gue. Kenapa sih dunia ini kecil banget?"
Meski Nando tiba-tiba mengajukan pertanyaan sensitif, sama seperti Lara yang tidak menentang mamanya untuk menikah lagi, pertanyaan Nando barusan juga tidak memberikan efek apa pun pada Lara, seakan dia sedang berbasa-basi dengannya.
"Lo pura-pura lupa atau seneng mode putar ulang?" tanya Lara dengan sebelah alis terangkat, membuat Nando menatapnya dengan tatapan judging-you-so-hard. "Yakin mau siaran ulang?"
"Memangnya lo bilang apa, Ra? Gue nggak tau tentang itu," tanya Nadya polos. Cewek itu menatap Lara dan Nando bergantian, menuntut penjelasan.
Wajar saja jika Nadya tidak tahu karena siaran tersebut terjadi setelah Nando mengajaknya keluar dari Restoran Hotel untuk berbicara berdua.
"Emangnya kenapa, sih?" tanya Nadya lagi, terdengar semakin kepo sementara Lara mengajaknya menepi dari keramaian, disusul Nando yang masih berekspresi datar.
"Gue udah bilang sama abang tercinta lo kalo kita ini sedang memenuhi win-win solution. Jadi daripada dia keras kepala, gue rasa nggak ada salahnya memenuhi permintaan bokap lo. Siapa tau kan, pahala lo berguna di akhirat."
"YA NGGAK GINI JUGA KONSEPNYA!!!" raung Nando, menggeram frustasi.
"Trus mau konsepnya gimana? Kita bukan lagi foto prewedding, mau pake konsep-konsep segala—–oke-oke, gue serius sekarang," kata Lara karena Nando sudah menunjukkan tanda-tanda untuk menoyor kepalanya. "Gue pikir, itu solusi terbaik buat semuanya, Nad. Abang lo kan cinta mati sama gue, jadi bukankah ini tawaran terbaik biar bisa tinggal bareng? Bokap-nyokap nikah, kita tinggal bareng, Nando bisa mepet gue tiap hari, kita bertiga dapet pahala, udah gitu orang tua kita kece-kece, trus hidup damai deh. Dunia kita malah lebih berkesan daripada dunia dongeng Cinderella."
Lara menghitung dengan jemarinya, senyum lebarnya menunjukkan betapa hebat win-win solution-nya. Namun, ekspresi duo saudaranya tidak sinkron; Nadya melongo hingga mulutnya terbuka lebar sedangkan Nando masih ngambek.
"Udah... udah. Daripada sakit hati terus, ini saatnya kita menerima takdir dan menjalaninya. Hidup itu perlu dinikmatin, Bro."
"Contohnya dengan gonta-ganti pacar? Trus kenapa hubungan kita belum official? Gue lagi nunggu kepastian lo, nih."
"Kita kan udah official, sejak sebulan yang lalu—–malah."
"Oh ya? Jadi kita udah jadian, nih?" tanya Nando, ikut melebarkan senyumnya.
"Official jadi kakak-adik maksudnya. Mana mau gue pacaran sama abang sendiri."
"LARA SCARLETTA!!!"
"Ups. Kita kabur yuk, Nad. Abang lo kumat lagi," bisik Lara sembari menarik tangan Nadya untuk kabur bersama.
"HEH, AWAS YA LO!!! LARA! HEI!!!"
*****
"Piuhhhhh, akhirnya. Gitu-gitu abang lo bisa serem juga ya soal neror orang. Eh tapi untung kakinya pendek jadi nggak bisa ngejar gue," kata Lara setelah mengatur napasnya, sementara Nadya tersenyum lucu.
Keduanya telah sampai di ambang pintu kelas XI MIPA-3. Sebenarnya posisi mereka menghambat akses murid yang mau keluar-masuk, tetapi tidak ada yang protes. Gimana ya, bisa jadi ini disebabkan eksistensi Lara yang lagi-lagi menarik perhatian siapa pun hingga memberi kesan 'termaafkan'.
Nadya tahu kalau Lara populer di sekolah, tetapi situasi yang disaksikan di hadapan matanya seakan memberikan bukti nyata kalau saudari tirinya memang seterkenal itu. Hampir semua murid menyapanya, bahkan beberapa dari kelas sebelah menyempatkan diri untuk mengajaknya berbasa-basi atau saling melempar guyonan receh.
Lara sempurna. Jika saja nilai akademiknya unggul, bisa dipastikan dia mendapat dukungan penuh sebagai Ketua OSIS tahun ini.
Benar saja, salah seorang siswa yang Nadya kenal karena pernah sekelas dengannya, menanyai Lara tentang minatnya sebagai calon Ketua OSIS.
"... gue harap lo mau, Ra. Tahun ini nggak banyak peminatnya, pada pasif semua. Coba aja ada satu yang kayak Alvian Febriandy, dedikasi dia sebagai Ketua OSIS melegenda banget."
"Gue tau gue layak, tapi itu dari segi visual sama pergaulan gue, Yon." Nadya mendengar Lara menjawab. "Kalo dari segi prestasi, itu dinilai dari seberapa banyak cowok yang udah gue pacarin—–eh tapi seru juga ya, kalo nama gue masuk dalam sejarah SMA Berdikari sebagai pemecah rekor kerena punya mantan terbanyak."
Siswa yang dipanggil 'Yon' membuka mulutnya untuk merespons, tetapi kedatangan siswa lain menghalanginya berbicara. Dia dan Lara sejenak membeku untuk memperhatikannya.
Lara tentu mengenalnya, apalagi cowok itu termasuk most wanted di sekolah; tingginya mencapai 180 sentimeter, man-body goals, tatapannya setajam oppa-oppa Korea yang bisa memberikan sensasi gelitik di perut, serta hidung mancungnya akan membuat siapa saja auto membayangkan bermain seluncuran di atasnya. Prestasinya saingan dengan Nadya Wardana, juga Lara sempat mendengar papanya adalah salah satu donatur SMA Berdikari.
Dia tampan, tetapi sayangnya Lara tidak pernah tertarik untuk menggoda atau mengajaknya kencan padahal hampir semua cowok di sekolah pernah berpacaran dengannya atau minimal, pernah dekat dengannya.
Lara melirik name tag yang tersemat pada seragamnya; Arya Sergio Utama. Cewek itu menyeringai sedikit.
Dia bahkan tidak pernah ingat namanya.
Bersambung
Bonus
Alvian Febriandy, si Ketua OSIS legendaris di SMA Berdikari karena ambisi dan semangatnya (cameo). Untuk dunianya sendiri bisa dibaca terpisah di cerita My Zone is You (tamat), dijamin seru dan auto baca marathon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top