Part 14

Selama eksistensi hidupnya, Nadya tidak merasa hidupnya seberuntung yang terlihat. Semua mengira dia tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan nilai bagus. Semua mengira kalau Nadya tidak bisa marah karena dia tidak pernah terlibat perselisihan dengan teman sebayanya. Semua juga mengira kalau Nadya adalah tipikal cewek baik-baik karena sejauh pengamatan orang yang pernah berinteraksi dengannya, dia sama enjoy-nya dengan Arya yang lebih senang menikmati dunianya sendiri.

Sekalem-kalemnya Nadya, dia mempunyai pesona tersendiri terutama bagi para cowok alim yang satu server dengannya. Hanya saja terkhusus cewek itu, semua cowok sudah menciut duluan karena dia mempunyai abang seperti Nando yang aura protektifnya mendominasi. Cowok itu bisa saja terlihat seperti budak cinta yang mengemis cintanya Lara, tetapi dia bisa menjadi penghalang di barisan paling depan kalau tahu ada cowok yang mempunyai intensi terselubung pada adik perempuannya.

Seprotektif itu, memang. Namun terlepas dari semua itu, karakter Nadya yang introver juga otomatis menjadi hambatan untuk mengekspresikan dirinya sendiri.

Itulah sebabnya mengapa, Nadya merasa dia tidak seberuntung kelihatannya.

Layaknya manusia yang bisa iri dengan kelebihan orang lain, Nadya juga tidak munafik jika harus jujur.

Nadya Wardana juga bisa iri pada Lara Scarletta, teman yang paling dekat sekaligus menjadi saudari tirinya.

Lara tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan perhatian orang lain. Meski nilai akademiknya yang paling rendah, dia se-enjoy itu menikmati hidupnya sendiri. Banyak yang mengaguminya. Dia bisa berteman dengan siapa saja, dia bisa bebas berpacaran dengan siapa pun, dan dia bisa melakukan apa yang dia mau meski harus berselisih dengan mamanya sendiri.

Pokoknya, Nadya merasa kalau Lara sebahagia itu. Berbanding terbalik dengan dirinya, Lara jauh lebih beruntung.

Tidak hanya pada Lara, Nadya juga merasa iri pada abangnya sendiri. Tidak munafik, dia juga ingin merasakan bagaimana rasanya mengungkapkan cinta pada lawan jenis. Walau menjadi budak cinta seperti yang dihina oleh Lara, Nadya tidak mempermasalahkannya. Dia ingin sekali menjadi budak cinta seseorang.

Setidaknya, dia ingin eksistensinya diketahui oleh cowok yang sudah lama disukainya sejak menginjak tahun pertamanya di SMP.

Pada Arya Sergio Utama.

Ya, Nadya menyukainya. Arya berbeda dari cowok kebanyakan. Jika cowok ganteng biasanya narsis dengan penampilannya, cowok itu memamerkan keunggulan dari nilainya yang sempurna dan melihat seberapa besar dedikasinya, daya tarik tersebut bertambah dua kali lipat.

Itulah sebabnya mengapa Nadya berpikir jika saja dia mendapat prestasi yang membanggakan, mungkin saja Arya akan meliriknya. Jadi, dia berusaha fokus pada semua mata pelajaran hingga seobsesi itu untuk mendapatkan nilai sempurna. Untungnya, cewek itu tipikal yang ulet sehingga tekad tersebut tidak banyak memberikan hambatan yang berarti.

Namun, ternyata pikirannya salah. Arya tidak memberikan perhatian lebih meski keduanya berdampingan saat menerima penghargaan. Kehadirannya sama saja dengan siswi lain, tidak ada yang spesial.

Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga empat tahun terlewati pun, Nadya masih berpijak pada tempatnya berdiri, yaitu di belakang Arya. Ibarat bayangan, cewek itu hanya bisa memandang punggungnya atau melirik semampu ekor matanya bisa menangkap.

Begitulah, Arya tidak pernah tahu kalau selama empat tahun belakangan, ada cewek yang setia menyukainya.

Lantas ketika pertama kalinya Nadya mengetahui dia sekelas dengan Arya di tahun kedua SMA, cewek itu begitu senang sampai rasanya ingin berteriak. Bahkan dia hampir tidak bisa menahan diri saat melihat sosok Arya yang masuk ke kelas XI MIPA-3, melewati Lara dan Rion dengan ekspresi datarnya seperti biasa.

Cewek itu tergerak untuk menyapa Arya, tetapi sayang pita suaranya tidak kunjung mengeluarkan suara. Jantungnya berpacu cepat sementara dia yakin rona di wajahnya semerah saga saat itu. Situasi yang klise, membuat Nadya benci pada dirinya sendiri.

Kemudian, ketika Nadya melihat bagaimana interaksi Lara dengan teman-temannya, dia bertekad untuk mengubah diri. Jika saja dia bisa seberani Lara, apakah cerita hidupnya akan berbeda? Apakah Arya akan meliriknya? Apakah dia yang akan berada di posisi Lara seperti saat ini?

Nadya merasakan denyutan seperti dicubit pada ulu hatinya ketika menyaksikan saudari tirinya berjalan beriringan bersama Arya. Meski ekspresi cowok itu datar, pada kenyataannya dia terlihat seperti mengizinkan Lara berjalan di sampingnya, tidak seperti kebiasaannya yang lebih senang berjalan duluan atau tidak membiarkan siapa pun mengajaknya berbicara.

Ditinjau dari beberapa buku yang dibawa Lara dan Arya, bisa dipastikan keduanya baru kembali dari perpustakaan. Lagi pula, Nadya ingat kalau Lara diwajibkan belajar bareng Arya setiap jam istirahat kedua.

Nadya Wardana, lo benar-benar payah. Lo pengecut. Lo hanya akan selalu jadi bayangannya Arya. Sampai kapan pun.

Tapi... hati gue sakit banget. Ternyata begini rasanya sakit hati, ketika orang yang lo suka memberi perhatian pada cewek lain. Ketika orang yang lo suka nggak pernah menatap lo balik. Ketika orang yang lo suka nggak membalas perasaan lo....

Nadya mengerjapkan matanya dan netra tersebut segera dilapisi oleh cairan bening yang menggenang. Lantas, dia segera memutar tubuh dan menengadahkan kepalanya ke atas, meski sayangnya semua itu telah disaksikan secara live dan eksklusif oleh seorang siswa.

Name tag pada seragamnya terbordir nama Surya Giordano.

Surya tadinya berniat untuk menarik Lara supaya tidak dekat-dekat Arya, tetapi semuanya jadi terabaikan karena atensinya teralih ke Nadya secara tidak sengaja. Kemudian saat cowok itu melihat keadaan teman sebangkunya yang hampir menangis, Surya tidak mempunyai pilihan lain.

Surya berputar haluan untuk menghampiri Nadya. Cewek itu refleks melebarkan matanya dengan syok tatkala sadar karena ketangkap basah. Namun alih-alih menjelaskan, Surya menarik pergelangan tangannya begitu saja, tanpa permisi terlebih dahulu.

"M-mau ke mana, Surya?" tanya Nadya gugup sekaligus malu karena matanya masih memerah dan ada jejak air mata.

"Ikut aja." Surya menjawab singkat sebelum menarik tangan Nadya untuk mengajaknya berjalan bersama. Keduanya tidak sadar kalau ternyata Lara sempat memperhatikan dari jauh.

"Wuiiihhhh, Surya mau pindah haluan kayaknya," bisik Lara yang bermonolog pada dirinya sendiri. "Kalo Nando tau bakal gimana ya nasibnya Surya? Ahhh... gue jadi terinspirasi ngasih judul yang keren."

Melihat ekspresi Arya yang bingung, Lara menjelaskan dengan lugas, "Gini loh, Surya sama Nando tuh musuh bebuyutan soalnya sama-sama bersaing buat menangin hati gue. Nah sekarang gue liat kayaknya Surya mau move on, jadi dia mau mepetin Nadya. Kalo pada akhirnya ketahuan sama Nando, mungkin judul sinetronnya lebih cocok kayak gini; Cintaku Terhalang Musuh Bebuyutanku. Gimana, keren kan?"

Arya tidak tahu mau merespons apa, jadi dia memilih untuk meneruskan langkahnya lebih cepat menuju kelas.

"HEH, bukannya respons malah main pergi-pergi! Dasar nggak beretika!"

*****

"Di sini udah aman, jadi lo boleh nangis sepuasnya." Surya berujar setelah memastikan situasi aman terkendali. Keduanya sekarang berada di taman kecil dekat auditorium, tepatnya di balik semak belukar yang agak tinggi sehingga berhasil menutup mereka dengan sangat baik.

"Ng-nggak, kok. G-gue nggak... gue nggak na—–"

"Nggak usah coba boong deh, Nad. Lo nggak cocok jadi orang jahat, soalnya. Beneran payah," potong Surya, entah sedang mengejek atau memuji Nadya. "Kalo nggak mau nangis, ya udah, tapi lo perlu dihibur. Mumpung gue teman sebangku lo, lo boleh nyandar ke gue tapi jangan bilang-bilang Nando, ya? Bukannya takut, gue males aja berhadapan sama dia. Udah cukup hari-hari gue disibukkan sama mukanya dia. Bosen gue."

Nadya berusaha tersenyum, terlihat setengah hati tetapi seketika dia menyadari kalau perasaannya ternyata sudah jauh lebih ringan.

Sesederhana itu ternyata. Apakah ini karena reaksi Surya yang menyarankan untuk meluapkan emosinya alih-alih menertawakannya?

Sebenarnya kalau boleh jujur, ini kali pertama Nadya ketahuan menangis di hadapan orang lain.

"Ck. Gimana? Malu ya? Kalo gitu gue yang maju—–" Surya sudah setengah melangkah dan kedua tangannya mengisyaratkan untuk memberi pelukan, tetapi sudah dicegah oleh Nadya dengan refleks hingga terkesan impulsif.

"Bu-bukan gitu maksud gue."

"Oke kalo gitu. Trus pengen curhat, nggak?"

Nadya menggeleng. "Hmm... soal tadi...."

"Tentang lo suka sama Arya?" tanya Surya terus terang, berhasil membuat mata Nadya membesar ke ukuran maksimal dan secara refleks melirik ke sekeliling berkali-kali untuk memastikan tidak ada yang menguping. "Ck. Kenapa harus malu? Suka seseorang itu nggak dosa, malah bawa pahala karena lo mengasihi makhluk ciptaan Tuhan."

"..."

"Tapi... lain cerita kalo lo ternyata sukanya sama sesama jenis. Itu bukan pahala, tapi nyari sensasi."

"..."

"Diem aja nih? Atau lo lagi pengen sendiri, ya? Gue pernah menghibur cewek, tapi yang modelannya nggak kayak lo."

"I-iya. Makasih ya, Surya." Nadya akhirnya mengucapkan kata-kata itu setelah jeda beberapa saat. "Gue boleh minta tolong, nggak?"

"Gue nggak bakal ngasih tau siapa pun, jadi lo tenang aja."

"K-kok tau?" tanya Nadya kikuk, matanya lagi-lagi melebar selagi berpikir apakah Surya adalah cenayang yang bisa membaca pikiran orang lain.

"Ck, kentara banget dari gerak-gerik lo. Yang ada malah gue yakin lo yang bakal reveal sendiri soal perasaan lo itu. Mau tau kenapa?"

Nadya mendongakkan kepala dan kentara sekali ekspresi polosnya hingga Surya hampir saja tergelak, tetapi untungnya dia masih bisa menahannya.

"Soalnya api kecemburuan itu berbahaya. Nggak usah jauh-jauh, gue buktinya. Awalnya lo mungkin bisa menyembunyikan perasaan lo kayak nyimpen harta karun, tapi lain ceritanya setelah lo tau harta yang udah lo sembunyikan itu mulai direbut oleh orang lain."

Melihat ekspresi Nadya, Surya membuang napas berat secara dramatis seolah-olah Nadya adalah anak perempuannya. Cowok itu menatapnya iba dan tahu-tahu tangannya terulur untuk mengelus kepala Nadya dengan sayang. "Nadya... Nadya... lo kasian banget sih."

"Hah?" Nadya mendadak kikuk dengan skinship Surya yang tidak disangka-sangka.

"Lo polos banget, gue jadi iba. Tapi tenang aja, berhubung lo udah berbaik hati karena udah menyelamatkan nyawa gue dari Bu Naura, gue janji akan jadi Mas Ganteng yang baik buat lo. Tapi sekali lagi, jangan bilang-bilang Nando, ya?"

"O-oke—–"

Bel masuk berdering saat itu juga, bertepatan dengan kehadiran Nando dari toilet yang letaknya di dekat Auditorium. Entah ini kebetulan semata atau takdir mereka ditentukan oleh penulis—–entahlah. Yang jelas, ekor mata Nando melihat tangan Surya yang masih menempel di puncak kepala Nadya, adik semata wayangnya.

"HEH!!! APA-APAAN LO?" teriak Nando ngegas tanpa aba-aba, berhasil mengagetkan duo Surya dan Nadya. Parahnya, ekspresi keduanya seperti ketangkap basah karena ketahuan pacaran sembunyi-sembunyi.

Padahal Nadya ketakutan karena mengira abangnya sudah menguping pembicaraan mereka sejak tadi.

Nadya mau menjelaskan, namun sayangnya Nando sudah beringas seperti psikopat yang sedang memburu target. Sedangkan Surya, cowok itu memilih kabur untuk menyelamatkan diri. Jadilah keduanya kejar-kejaran bak duo karakter Tom and Jerry dalam serial kartun.

Informasi tambahan, Surya kabur bukannya karena takut sama Nando, tetapi dia malas berurusan terus dengannya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top