Part 13

"Nad, gue lupa ngerjain pe-er Matematika, nih. Nyontek dong!" pinta Surya, padahal dia baru saja tiba di kelas. Alih-alih menunjukkan kepanikan karena lalai mengerjakan tugas, cowok itu malah melenggang santai seolah-olah menyontek adalah sesuatu yang sangat halal dilakukan.

Dan seperti yang bisa diduga, Lara juga satu haluan dengan Surya. Malahan cewek itu lebih parah karena tidak tahu-menahu perihal pe-er Matematika.

"Bu Naura ada kasih pe-er, ya? Kok gue nggak tau?" tanya Lara dengan tatapan polos pada Surya lalu ke arah Nadya. "Nad, kok lo nggak ngasih tau gue?"

"Ya ampun, Lara. Gue kira lo nggak lupa sama pe-er lo. Lain kali gue ingetin, ya."

"Oh, never mind. Walau lo ingetin juga, belum tentu gue bisa inget ngerjain. Lagian semalam gue pulang telat karena sempet asik-asikan sama Nando."

"WOI, APA MAKSUDNYA ASIK-ASIKAN?" teriak Surya, berhasil mengalihkan semua teman-teman sekelasnya bahkan Arya yang baru saja tiba. Cowok itu balas menatap datar seperti biasa seakan insiden kecil tadi tidak mempengaruhinya. "Ra, lo demen banget sih bikin gue cemburu?"

Lara hanya terkekeh karena perhatiannya kini diarahkan ke Arya yang mendekati bangku di sebelah Lara. Cowok itu masih sekalem air laut tak beriak, jelas betah dalam dunianya sendiri.

"Ra, lo nggak nyalin juga?" tanya Surya, menoleh ke Lara sebentar sebelum kembali sibuk mencatat. "Kita bisa nyatet bareng kalo mau. Ke sini, deh."

"Kayaknya nggak sempat deh, Sur. Udah mau bel juga." Lara menyahut santai, sama sekali tidak berniat untuk memenuhi kewajibannya sebagai murid di saat sebagian besar pelajar auto gemetaran kalau tahu pe-er mereka belum kelar.

"Ini tuh pe-er-nya Bu Naura, Ra. Lo nggak takut dihukum?" tanya Hans, sempat takjub dalam kesibukannya mencatat jawaban di depan bangku Lara. "Gue tau lo paling santuy soal ginian, tapi lo nggak bisa remehin guru killer yang satu ini. Bayangin duduk berhadapan sama beliau aja, gue udah kayak terkena gejala stroke."

"Menyontek juga nggak bikin lo tambah pinter," jawab Lara lugas, secara tidak terduga berhasil menarik perhatian Arya yang semula sedang sibuk mengerjakan bank soal.

"Tapi tanpa usaha, kamu juga nggak mungkin bisa pinter." Arya tiba-tiba menimpali, membuat sebelah alis Lara terangkat dan balas menatapnya dengan penuh minat.

"Ohhh, jadi lo dukung gue nyontek? Wah, nggak nyangka ya seorang siswa paling teladan bisa ngasih saran ginian."

"Bukan. Maksud saya, usaha belajar supaya pinter."

"Tapi... gimana dong? Progress kita nggak maju-maju. Ibarat pacaran, kita tuh masi lirak-lirik manja tapi belum ada yang berani nembak duluan," kata Lara dengan nada menyebalkan, sengaja menyentil ketidakmampuan Arya mengajarinya. "Dan kayaknya mustahil mau sampai level itu."

"Kamu remehin saya?" tanya Arya dengan nada berbahaya.

"Emang situ udah punya cara lain supaya saya mau belajar? Nggak, kan? Udah gue bilang, ini nggak segampang yang lo kira. Tapi lain ceritanya kalo lo nge-privat-in Nadya, soalnya dipastiin bakal lancar jaya kayak air keran."

"Seharusnya ada," jawab Arya yakin meski ekspresinya tidak sinkron karena rahangnya mengeras. "Saya sudah nyari info tentang tips mengajar buat guru pemula."

Lara mengerjapkan matanya berkali-kali sebagai usahanya mencerna kata-kata Arya dan dia lantas tertawa keras setelah memahami maknanya. "Jangan bilang... lo nyari info di internet kayak nyari tips-tips berpacaran buat pemula, gitu?"

Lara tertawa lagi ketika melihat Arya yang tidak membantah kecuali ekspresinya yang terlihat menyesal.

Untung saja, bel masuk berdering tepat saat itu sehingga perhatian Lara teralihkan sementara sebagian besar murid yang masih mencatat, harus melipatgandakan kecepatannya dalam menyalin. Bahkan Surya sampai menegang di bangkunya saking terburu-buru.

Naura masuk ke kelas dengan aura wibawa seperti biasa, disambut oleh Arya yang memimpin kelas sebelum ucapan selamat pagi dikumandangkan oleh semua murid.

"Oke, sebelumnya kumpulkan dulu pe-er yang saya tugaskan untuk kalian. Trus setelah itu, saya rencana mau ngasih kalian kuis. Jawaban yang paling banyak benar nanti akan menjadi poin tambahan buat penilaian PTS."

Semuanya mengumpulkan buku tugas yang diwakili oleh perwakilan masing-masing barisan bangku. Naura memang perfeksionis seperti yang pernah diakuinya, terbukti dari ketelitian beliau yang secara otomatis menghitung jumlah buku yang dikumpulkan.

"Ada satu yang belum mengumpulkan," kata Naura, berhasil membuat jantung Lara serasa melorot dari asalnya, meski dia tahu hukumannya tetap akan tiba pada waktunya. "Siapa?"

Lara menghela napas, mengabaikan tatapan sejumlah teman yang menatapnya simpatik, karena mereka tahu hanya Lara satu-satunya yang menolak menyalin pe-er. Cewek itu lantas mengangkat sebelah tangannya.

"Lara?" panggil Naura dengan sebelah alis terangkat. "Jelaskan alasanmu."

"Saya lupa, Bu." Lara menjawab jujur, sementara desisan teman-temannya yang mirip ringisan gemas terdengar sebagai backsound-nya.

"Bagus karena kamu jujur. Tapi tetap aja, lupa adalah sebuah kelalaian. Kamu belum lupa alasan saya panggil kamu ke kantor kemarin, kan?"

"Maaf, Bu." Lara menundukkan kepalanya sementara suasana kelas menjadi dua kali lebih suram dari biasanya.

"Permintaan maaf bukan diucapkan untuk diulang kembali, jadi saya harap setelah ini jangan ada kata lupa lagi. Apa kamu bisa memenuhinya?"

"Bisa, Bu."

"Oke. Untuk hukuman hari ini, kamu tetap harus ngerjain pe-er-nya dan serahin ke saya pulang sekolah nanti. Kalo nggak ngerti, minta Arya yang ngajarin kamu. Arya, kamu tolong bimbing Lara, ya?"

"Iya, Bu." Arya dan Lara menjawab bersamaan meski dalam nada yang berbeda; nada bicara Arya kalem sedangkan Lara menjawab dengan nada yang ditarik-tarik.

Oke, fix. Kayaknya Bu Naura demen banget mepetin gue sama Arya.

*****

Awalnya Lara berpikir akan mencoba fokus demi memenuhi hutang pe-er Matematika, tetapi dia tidak menyangka rumusnya jauh lebih sulit daripada mengajak cowok pedekate. Sepasang alisnya berkerut hingga menciptakan gelombang di antara keningnya, sementara sebelah tangannya yang bebas dari pulpen mulai bergerak aktif seperti kaum primata yang liar.

"Ya ampun, rumusnya kenapa ribet banget, sih?" Lara bermonolog sembari menggaruk kulit kepalanya yang entah sudah ke berapa kalinya, begitu juga napas Arya yang entah sudah berapa kali diembuskan.

"Kalo gitu saya kasih contoh langsung aja, ya?"

"Nah iya, bener. Dari tadi, kek!" sungut Lara.

Arya memilih untuk tidak berkomentar. Cowok itu lantas menggunakan salah satu soal dari Bu Naura dan mengerjakannya dengan perlahan sembari menunjukkan pada Lara bagaimana tahapan penyelesaiannya.

"Sampai di sini, paham nggak?" tanya Arya setelah satu soal terpecahkan. "Kalo kamu paham konsepnya, seharusnya kamu bisa ngerjain soal yang lain."

"Oke, gue coba kerjain ya." Lara mengambil pulpennya dan dia segera tenggelam dalam fokusnya. Suasana di perpustakaan sepi seperti biasanya. Tidak munafik, area tersebut bukanlah tempat untuk tongkrongan atau bersenang-senang meski Lara sempat beberapa kali memergoki pasangan muda-mudi yang mengambil kesempatan untuk berpacaran diam-diam di salah satu sudut perpustakaan.

Perpustakaan SMA Berdikari memang sangat luas, bersaing dengan luas parkir kendaraan roda empat. Buku-buku disusun pada masing-masing rak yang menjulang hingga mencapai tiga meter, sementara ada banyak ruang khusus di tepi ruangan bagi yang ingin belajar secara berkelompok. Bagian pintunya sengaja didesain transparan. Bisa jadi, tujuannya untuk mempermudah pengecekan jika ingin menggunakan ruangan tersebut.

Arya dan Lara menggunakan salah satu ruang pribadi untuk belajar bersama. Dari posisi duduk mereka, keduanya membelakangi pintu masuk dan bersama-sama menghadap dinding kaca yang menyajikan pemandangan bagian selatan sekolah. Desain ini sengaja diatur untuk mencuci mata di kala jenuh setelah membaca banyak teori dan rumus.

Arya sedang melakukannya sekarang. Cowok itu menopang dagunya dan menikmati hamparan pemandangan di hadapannya, tidak sadar kalau Lara diam-diam melirik saat ekor matanya tidak sengaja menangkap sisi wajah cowok itu.

"Kirain lagi syuting MV." Lara mencibir pelan, tetapi ternyata Arya bisa mendengarnya.

"Udah selesai, belum?"

"Coba lo periksa dulu. Bener nggak? Kalo bener, gue baru lanjut soal nomor tiga."

"Bener. Ternyata otak kamu nggak kosong-kosong amat, ya." Arya berujar, rupanya tersirat nada takjub dalam suaranya.

Lara menyeringai. "Gue anggap itu pujian. Tapi kayaknya buat besok-besok, jangan jelasin teori atau rumus deh soalnya gue rasa, gue lebih cepet ngerti kalo lo langsung jelasin pake contoh kayak tadi."

"Oke."

Lara lantas kembali ke fokusnya, tetapi mendadak dia teringat pada pengakuan Arya di kelas.

"Oh iya, gue jadi penasaran sama tips jadi guru pemula yang lo temuin dari internet."

"Udah saya hapus," jawab Arya namun sayangnya, dia terlalu cepat menjawab sehingga kentara sekali kalau dia sedang berbohong.

Lara menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Ketahuan bohongnya. Cepetan kasih tau gue, gue udah kepo banget nih. Kali aja setelah baca, gue jadi semangat belajar."

"Yang mengajar itu saya, bukan kamu."

"Nggak mau tau, kalo lo nggak mau ngasih tau, gue nggak mau lanjut."

"Kamu ngancam saya?"

"Bukan, lagi godain situ. Ya iyalah, ngancam! Masih nanya lagi. Gue kalo udah penasaran nggak bakal bisa tidur nyenyak. Kalo gue nggak cukup tidur trus stamina gue jadi lemah, yang salah siapa? Ya jelas elo-lah!"

Siapa sangka, efek tudingan Lara bisa membuat Arya percaya begitu saja. Cowok itu lantas mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya pada Lara setelah mengusap layarnya selama beberapa saat.

"Saya dapet dari blognya Ruang Guru."

"Hmm, panjang banget. Auto pusing bacanya kalo panjang-panjang gini—–nah, untung aja ada poin-poinnya. Yang pertama, siapkan materi. Ya jelaslah, anak SD juga tau kalo mau ngajar ya harus ada bahannya. Ya kali kalo ngajar nggak—–oke, oke. Lanjut nomor dua..."

Lara memotong omongannya sendiri karena ekor matanya menangkap ekspresi datar Arya.

"... nomor dua; latihan. Hmm... oke, kalo yang ini make sense. Katanya 'Practice makes perfect'. Gue percaya soalnya udah pernah buktiin."

"Buktiin? Emang kamu pernah rajin belajar?" tanya Arya, benar-benar kepo tetapi dia segera menyesal setelah mendengar jawaban Lara.

"Latihan buat menerima banyak cinta. Ck, jangan masang ekspresi kayak gitu. Interaksi sama lawan jenis itu asik loh, soalnya sesama cewek suka nge-ghibah-in orang lain. Kalo sama cowok itu asik soalnya disayang-sayang trus sering ditraktir.

"Oke, lanjut. Yang ketiga... sebelum mengajar, pastikan perut terisi. Hmm... bener. Pantesan gue nggak gitu fokus soalnya belum ma—–"

"Lara, ini targetnya buat saya, bukan kamu," potong Arya, jelas sekali dia berusaha menahan diri untuk tidak memukul Lara dengan buku paket Matematika.

"Eh, iya ya. Muehehehe.... Nomor empat; mulai dari perkenalan diri—–alahhhh, ini mah nggak penting! Lagian kita udah saling kenal. Gue aja tau nama lo. Lo Arya Ser—–hng...."

Lara melirik name tag Arya, lalu berujar nyaring dengan gestur seakan-akan tidak ada interupsi. "Arya Sergio Utama. Ya kan?"

"Iya. Salam kenal ya, Lara Scarletta." Arya menjawab tanpa senyum.

"Wow, lo lebih hapal nama gue. Oke, wajar sih. Nama lo panjang banget soalnya. Nomor lima; berikan contoh. Nah-nah-nah! Ini gue bener. Lo harus kasih contoh biar bisa cepet masuk ke otak. Kalo gue ngasih saran, lo ngajarnya jangan kayak si botak Samuel. Walau pelajaran Biologi itu teori semua, tapi kalo disampaikan dengan menarik dan ada poin-poinnya, gue pasti betah belajar sama lo. Sekalian lo bisa ajarin gue tips menghapal teori."

"Oke, saya akan coba."

"Bagus. Next, nomor enam; selipkan humor. Wah, ini udah pasti tantangan besar buat lo. Jangankan ngajak canda, lo aja sulit berinteraksi sama orang. Eh, gue punya ide. Gimana kalo kita saling belajar aja? Gue mau kok ngajarin lo biar bisa cepat interaksi sama orang lain, terutama—–" Lara mendekatkan dirinya ke Arya untuk berbisik, "—–interaksinya sama lawan jenis. Gue ahli dalam bidang ini. Kalo ada Sertifikat Berprestasi-nya, gue pasti menang."

"No need to. Thanks." Arya menolak datar sedatar-datarnya.

"Ck. Nomor tujuh; apresiasi usaha murid. Wah, gue paling puas sama yang ini tapi gue nggak butuh pujian. Gue butuh sesuatu yang lebih wow biar gue ke-trigger."

"Apa?" Arya terlihat kepo meski dia bisa menutupinya dengan berpura-pura berfokus penuh pada pemandangan di hadapannya.

"Traktir cemilan atau makanan kesukaan gue. Bisa juga barang lucu-lucu. Gue suka gratisan, soalnya. Hahahaha... nyesel ya udah nanya? Tapi boleh juga kali kita terapkan. Kalo gue bisa fokus gara-gara ditraktir, who knows, kan? Kita bisa jadi simbiosis mutual-mutual."

"Simbiosis mutualisme." Arya otomatis meralat.

"Nah iya, itu maksud gue. Eh, masih ada yang terakhir; akhiri dengan senyuman. Hmm... gue ragu lo bisa senyum. Nggak apa-apa, sesi yang ini kita bisa skip asalkan jangan sia-siain reward-nya."

"Iya."

"Hah? Beneran?" Lara tersenyum lebar, kelihatan seperti anak kecil yang kegirangan karena mendapat hadiah.

"Iya, tapi saya mau lihat progress kamu dulu. Reward juga ada levelnya."

"Oke, got it. Kalo semua soal dari Bu Naura bener, gue dapet reward, nggak?"

Arya mengangguk, berhasil memacu semangat Lara dan dia segera memusatkan perhatiannya kembali, namun sayangnya lagi-lagi ekspektasi tidak selaras dengan realita.

Saking antusiasnya pada reward, jawaban Lara salah semua.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top