Selebgram
Sebelumnya:
"Kamu pikir, kamu waras?" Chen menyindir si detektif yang baru saja diminta pulang sendirian oleh kekasihnya. Padahal, sudah lewat tengah malam.
Ayolah, kamu tidak akan membiarkan gadismu pulang sendiri selarut ini, kalau kamu mencintainya.
"Chen ...," panggil Zea.
"Uhm?"
"Sudah pernah jatuh cinta? Ketika kamu mencintai, batas antara waras dan gila terlihat begitu samar ...." Zea menghela napas, kemudian tersenyum dengan mata masih terpejam. Teringat bagaimana tadi Dipa memberikan pelukan terhangat, sebelum memintanya cepat pulang untuk bisa beristirahat.
Gambar: pinterest
Chen melangkah keluar dari kamar mandi dengan bagian bawah tubuh yang terbalut handuk putih. Rambut setengah basahnya, meneteskan percik-percik air ke wajah. Tujuannya bukan almari pakaian besar berwarna putih tiga pintu, yang terletak di seberang ujung kaki ranjang. Namun, meja kerjanya di salah satu sudut kamar.
Dia duduk di kursi belakang meja, menarik laci di bawahnya dan mengeluarkan sebuah berkas dari dalam sana. Kemudian, mulai membuka halaman pertama.
Sejak ditugaskan untuk turut campur pada kasus Kaisar Hengkara, berkas inilah yang pertama kali dicarinya. Berkas mengenai kesakitan jiwa dari pengusaha kaya, yang terlihat normal dan berwibawa di mata seluruh dunia.
Ada satu poin yang diingatnya pada saat Kaisar datang ke tempatnya praktek dulu. Tujuannya; mengantar kekasihnya--Puri--yang katanya sering berhalusinasi. Tidak perlu sesi yang panjang untuk mengetahui kalau perempuan itu ternyata mengidap skizofrenia. Terlalu nyata untuk ditutupi.
Namun, ada yang mengagetkannya setelah itu. Bahwa ternyata Kaisar juga memiliki kesakitan yang sama.
Gerakan tangan Chen berhenti di salah satu halaman. Matanya terpaku di sebuah kata. "Bipolar," gumamnya.
Lelaki bermata sipit itu menghela napas panjang, kemudian membuka-buka halaman selanjutnya, dan kembali berhenti di salah satu laman. Otomatis salah satu tangannya mengepal demi melihat satu kata yang membuat kesalnya menjadi.
"Selingkuh." Chen mengusap ujung hidungnya dengan salah satu telunjuk. "Apa aku mencurigai kekasih gelapmu, Kaisar? Ck!"
❤❤❤
Chen menekan tombol kecil di sisi pintu unit apartemen yang menutup, setelahnya berdiri dengan gelisah. Ini sudah hampir pagi, tapi dia tidak bisa tertidur karena teorinya sendiri sepanjang malam. Teori tentang Kaisar yang bisa jadi dibunuh oleh selingkuhannya.
Hampir saja ditekannya tombol sekali lagi, saat tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Seorang perempuan berambut cokelat yang digelung asal, terlihat berdiri mematung dengan kantung mata setebal hitam di mata panda.
"Kamu tidak meminum obatmu lagi? Kamu tidak tidur!"
"Aku rindu Kaisar ...." Lalu perempuan itu berubah ekspresinya seakan hendak menangis.
Chen mendengkus, kemudian masuk bahkan tanpa dipersilakan. Mengambil duduk di sofa panjang, sementara si perempuan masih berdiri di hadapan pintu yang sudah menutup.
"Kemari, Puri ...," ajaknya lembut.
Puri menoleh terlihat ragu.
"Kemari, Puri ...."
Perempuan itu menelisik bisikan yang terdengar di telinga. Terdengar familiar dan membuat nyaman. Maka dia melangkah mendekat.
"Duduk."
Puri pun duduk dengan patuh, bersebelahan dengan Chen di sofa panjang.
"Chen, aku rindu Kaisar ...." Tangis gadis itu pun pecah.
Chen memandang gadis di sebelahnya dengan napas yang terhela berkali-kali. Membiarkan perempuan itu menangis sejadi-jadinya, sebelum berkata, "Kamu meminum obatmu?"
Puri mengangguk.
"Tapi kamu tidak juga bisa mengendalikan diri."
"Rindu banget, Chen!" Suara Puri meninggi di sela tangis, matanya yang merah membelalak menatap Chen sementara napasnya terengah.
"Dia berselingkuh!" Chen mengingatkan. "Siapa pasangan selingkuhnya? Kamu pasti tahu."
Suara tangis Puri berhenti seketika, sengguknya bahkan sudah hilang sama sekali. Mata bulat yang memerah itu menatap Chen dengan garang.
"Aku ingin sekali membunuh perempuan itu tiap kali mengingatnya," ujarnya dengan gentar. "Apa aku memang sudah membunuhnya ya? Semoga sudah, karena aku enggak mau dia bertemu dengan Kaisar lagi."
Chen menghela napas lelah, lalu bangkit dari duduk. Otaknya berputar keras. Akan sia-sia menanyakan tentang Kaisar pada perempuan di hadapannya ini jika otak yang melekat tidak pernah lepas dari; rindu Kaisar, ingat Kaisar. Bahkan ketika mengingat perselingkuhan kekasihnya yang sudah mati, yang ada di benak Puri hanya Kaisar dan Kaisar.
Sinting! Oh, maaf. Kenyataannya dia memang sinting.
"Apa kamu ingat tampangnya? Namanya?"
"Siapa? Perempuan sok kaya itu?!" Puri mendekatkan wajah ke wajah Chen, membuat pria itu semakin miris menatapnya.
Chen ingat pertama kali saat gadis imut itu datang ke tempatnya. Saat itu, sendirian. Dia gemetar, beberapa kali terlihat nyaris meledak meski sudah berhadapan dengannya di ruang konsultasi.
"Ada yang berbisik," ucapnya kala itu setaya meletakkan telunjuk di bibir. Bola matanya bergerak-gerak liar sebelum akhirny menatap Chen dengan gelisah. "Dia mengikutiku. Dia bilang, Kaisar harus mati. Tolonglah! Yang membisikiku ini gila!"
"Tidak ada siapa pun yang bersama Anda."
"Pak ...." Puri merapatkan cardigan merah muda yang dikenakannya. "Aku ke sini agar Anda bisa membantuku mencari asal suara. Aku nyaris gila!"
Lalu suatu ketika perempuan berambut ikal itu datang lagi, kali ini dengan seorang pria berperawakan tegak yang langsung dikenali Chen dengan sekali melihat.
Siapa yang tak kenal dengan Kaisar Hengkara? Seorang pengusaha IT yang sering muncul di televisi karena sukses di usia muda. Garis-garis tegas pada rahang lelaki itu, membuat Chen berspekulasi dalam sekali lihat. Lelaki itu, adalah lelaki dengan ketegasan luar biasa dengan aura yang terlalu benderang hingga mampu menenggelamkan sekitarnya.
Chen tidak bisa membaca masa depan, dia hanya mengira-ngira. Mungkin karena terlalu sering bertemu orang dengan kesakitan berbeda. Menurutnya, lelaki itu--Kaisar--juga sakit.
Benar saja, beberapa hari setelahnya pria itu datang seorang diri padanya. Dia membawa kesedihan luar biasa, sampai-sampai terlihat putus asa dan mengaku hendak bunuh diri. Alasannya perasaan bersalah karena telah mengecewakan pasangannya. Namun, beberapa hari kemudian, dia kembali datang dengan kebahagiaan berlebihan. Alasannya, karena telah mendapatkan kebahagiaan yang baru.
Ck! Dia berselingkuh! Bipolar!
"Ini dia! Ini dia!"
Teriakan Puri membuat Chen menarik kembali pikiran dari masa lalu. Terlihat Puri sedang menunjuk-nunjuk ke arah ponsel.
"Siapa?" Chen mendekat, menatap ponsel yang sedang ditatap marah oleh Puri.
"Perempuan berengsek itu, Chen! Dia belum mati! Belum mati!" Tubuh Puri mulai bergetar, matanya berkilat marah. Tangan yang memegang ponsel bergerak-gerak seakan hendak melempar benda itu dari tangan. Sebelum benda itu benar-benar melayang, Chen menariknya dari tangan Puri.
Perempuan itu langsung lungsur ke lantai, sementara Chen menatap foto yang terpampang pada layar ponsel.
Seorang perempuan berambut pendek berwarna cokelat dengan kulit langsat terlihat sedang tersenyum lebar. Gaya berbusananya benar-benar modis. Sesuai dengan selera Chen. Auranya bersinar dan terlihat sebagai seorang selebritis meski Chen tidak pernah melihat wajahnya di mana pun.
Chen menyentuh layar, menarik turun dan menyadari kalau foto itu berada dalam aplikasi instagram. Diliriknya ujung atas kiri layar, nama Aeera Maheswari terbaca di sana.
"Aeera Maheswari ...." Chen berbisik, mengucap ulang nama yang tertera.
Dengan cepat tangannya merogoh saku bagian dalam jaketnya, mengambil ponsel untuk melakukan panggilan ke sebuah nomor.
"Detektif?"
Terdengar lenguhan khas bangun tidur di ujung telepon.
"Zea!"
"Sial! mengapa semua orang selalu membangunkanku setiap subuh dengan tidak sopan!"
"Aeera Maheswari. Kamu kenal?"
"Ada apa dengan selebgram sialan itu?!"
"Kaisar berselingkuh dengannya."
Ada jeda panjang sebelum akhirnya Zea berkata, "Kamu seyakin itu?"
"Cari saja informasi di mana dia berada pada saat pembunuhan itu terjadi."
"Chen jangan bercanda ...."
"Aku tidak bercanda, lakukan saja!"
"Chen!"
"Kita bertemu siang nanti. Pastikan kamu membawa surat penggeledahan dan penyidikan."
"Kamu pikir bisa--"
Chen segera memutus sambungan, malas mendengar ocehan panjang dari Zea. Perempuan itu terlalu berisik.
Menghela napas, pria dengan sudut mata tajam itu melirik ke lantai di mana Puri terlihat duduk sambil memeluk kedua lutut. Tubuhnya bergoyang-goyang, sementara bibirnya mengeluarkan dengungan-dengungan yang tidak jelas.
Chen meletakkan ponsel ke meja, kemudian menarik tubuh Puri untuk kembali duduk di sebelahnya.
"Kubunuh dia ... kubunuh dia. Aku mau Kaisar, kubunuh perempuan itu ...." Puri terus meracau.
Perlahan Chen menarik gadis itu dalam dekapan, mengelus punggungnya dengan lembut untuk memberikan ketenangan. Namun, Puri malah menangis.
"Sttt ...," desisnya. "Tenang. Tarik napas dan embuskan. Semua baik-baik saja ...."
"Bagaimana aku bisa hidup tanpanya, Chen?" Puri tersengguk.
Chen tidak langsung menjawab, karena itu membingungkan.
"Bagaimana?" tanya Puri lagi sambil terus menangis dalam dekapan, membiarkan air matanya membasahi atasan Chen.
"Di mana kamu menyimpan obatmu, Puri? Biar kuambilkan ...." Chen berbisik dengan tenang.
❤❤❤
Zea berdiri di depan sebuah rumah yang terlihat seperti istana. Kakinya bergerak-gerak dengan tidak sabar, sementara beberapa kali membetulkan letak topi baseball hitam di kepala.
Mulutnya beberapa kali mengeluarkan makian tertahan karena psikolog sialan yang berjanji untuk bertemu dengannya, belum juga tiba. Sedangkan, cuaca sedang terik-teriknya saat ini.
Dientaknya kaki seraya menatap rumah super besar di hadapannya. Menimbang-nimbang apakah dia sebaiknya memasuki rumah itu sendirian dari pada harus menunggu lama. Di dalam tas selempangnya sudah ada surat penyidikan dan penggeledahan.
Sebenarnya dia masih tidak yakin kalau Aeera dan Kaisar memiliki hubungan, nama perempuan itu tidak pernah muncul pada catatan kehidupan Kaisar yang dibacanya. Bagaimana bisa Chen menduga seperti itu? Apa psikolog itu juga menduga kalau Aeera ada sangkut pautnya dengan pembunuhan Kaisar?
"Sudah menunggu lama?"
Zea menoleh ke belakang ketika mendengar pertanyaan juga sentuhan di bahu.
Chen terlihat menjulang di belakangnya, sebagian wajahnya tertutup dengan topi baseball dengan warna yang sama dengan yang dikenakannya. Sialnya, mereka juga memakai jaket kulit dengan warna senada.
"Kita seperti couple, ini enggak lucu." Chen mendengkus, membuat Zea turut mendengkus. Memangnya siapa yang mau terlihat seperti pasangan dengan psikolog menyebalkan.
Chen melempar pandangan ke rumah di hadapannya. "Dia kaya."
"Banget!" Zea mengamini seraya turut melempar pandangan ke depan.
"Kamu bawa surat yang kuminta?"
"Tentu saja. Itu urusan gampang."
"Bagus."
Zea menghela napas. Mengapa dia merasa kalau Chen sedang mengaturnya saat ini? Ini kasusnya, dan lelaki itu hanya perbantuan.
"Chen ...."
"Kamu sebaiknya putus dengan pacarmu."
Zea terdiam sejenak, menatap Chen yang sedang menatapnya. Topinya sudah terangkat sedikit sehingga Zea bisa melihat mata sipit itu dengan lebih jelas.
"Aku serius."
Zea benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengar. Mengapa tiba-tiba saja harus membahas mengenai Dipa? Di saat seperti ini? Yang benar saja. Zea benar-benar tidak terima, beberapa kali dia menghela napas. Mulutnya hendak mengucapkan sesuatu saat lelaki itu justru menarik pergelangan tangan kanannya, membuatnya terkejut.
"Ayo!" ajak Chen, menarik tangan Zea mendekati rumah tersebut.
❤❤❤
Berkali-kali Zea berdecak diam-diam demi melihat interior dan furnitur di dalam rumah itu. Sofa yang didudukinya sudah jelas terbuat dari kulit terbaik, meja marmer di hadapannya sudah pasti tidak murah. Lukisan-lukisan indah, yang menurutnya tidak mungkin palsu. Ulir-ulir pada plafon dan anak tangga terlihat rumit dan berkelas.
"Luar biasa ...." Tanpa sadar, lagi-lagi bibirnya memuji.
"Jangan norak." Chen memperingati dengan nada rendah, risih melihat kenorakan rekan kerjanya.
Zea memberengut, menyandarkan diri pada punggung sofa dan merasa senang karena rasannya sangat nyaman.
"Ini enak banget."
Chen menghela napas lelah. Entahlah, dia merasa Zea sungguh norak.
"Maaf menunggu lama."
Keduanya sontak menoleh ke arah kanan. Di anak tangga paling dasar, berdiri seorang perempuan dengan aura yang ... berkelas?
Chen segera berdiri, naluri kelelakiannya bermain secara mendadak. Wanita cantik harus disambut dengan baik.
Melihat Chen berdiri, Zea mau tidak mau turut bangkit. Meski dia bingung mengapa mereka harus menyambut langkah-langkah yang mendekat itu dengan berlebihan?
Tidak lama, mereka sudah duduk berhadapan. Perempuan dengan senyum menawan itu mengerutkan kening ketika mendengar apa yang menjadi alasan kedua orang di hadapannya datang. Kematian Kaisar Hengkara.
"Aku tidak bersamanya hari itu." Aeera menghela napas berat. "Kami sedang bertengkar. Dia hendak kembali ke pacarnya yang gila itu."
Chen berdeham, merasa tidak nyaman dengan ucapan kasar yang keluar dari wajah yang kelewat cantik.
"Aku sempat menghubungi pihak apartemen Kaisar. Kamu mengunjungi apartemen itu pada hari sebelum kejadian." Zea angkat bicara. Untungnya, dia sempat mencari tahu dari pihak apartemen tadi. "Tapi kau tidak pernah terlihat keluar dari unit itu."
Aeera tertawa lebar.
"Ada yang lucu?" Zea mengerutkan kening, sementara Chen mencoba menarik kesimpulan dari cara bicara, gerah tubuh, bahkan dari cara selebgram itu menarik napas.
"Aku bersama kekasihku hari itu." Aeera berkata yakin.
Zea menelan ludah. Kekasih? Apa perempuan di hadapannya ini memiliki lebih dari satu kekasih?
"Aku tidak enak harus mengatakan ini. Tapi aku bersama Dipa malam itu setelah bertengkar dengan Kaisar ...."
Dipa? Zea mendengkus. Mengapa kekasih Aeera yang lain harus memiliki nama yang sama dengan kekasihnya? Dipa.
"Kalau kalian tidak percaya, aku bisa menghubungkan kalian dengan Dipa." Tangan Aeera muai bergerak di atas ponselnya. "Kalian pasti kenal,"--dilekatkannya ponsel ke telinga kanan--"Dipa Renjana, pengusaha restoran itu ...."
Zea terdiam. Dia bilang apa? Dipa Renjana? Pengusaha restoran?
"Sayang ...," Aeera menyapa seseorang yang menyahut di ujung ponsel.
Zea menahan napas. Menerka-nerka. Dipa Renjana, pengusaha restoran. Apakah Dipa-nya dan Dipa perempuan itu, adalah Dipa yang sama?
"Tolong bantu aku meyakinkan para petugas di hadapanku ini. Kalau malam itu, aku sedang bersamamu ...." Aeera mengulurkan ponsel ke arah Zea yang terbengong demi mendengar nama yang sama.
Tangan Zea terulur dengan ragu. Apakah ini Dipa yang sama?
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top