Otopsi

Sebelumnya :

"Seharusnya kamu akan menemukan benzodiazepin dan lorazepam, di tasnya atau di suatu tempat di apartemen itu, Zea. Aku selalu memintanya menyimpan kedua obat itu."

"Apa maksudmu?" Zea bingung, karena setahunya benzodiazepin dan lorazepam adalah semacam obat penenang.

"Puri adalah pasienku. Dia mengidap skizofrenia." Chen menghela napas di ujung telepon.

Zea terdiam.

"Berikan obat itu, dan aku akan segera menemuimu di sana."

"Sialan ...." Zea memaki pelan. Sepertinya benar kata Anita, kasus ini tidak akan semudah seperti yang dibayangkannya.

"Sepertinya, kita akan sangat sering bertemu, Detektif."

Gambar : Pinterest

Zea melihat perempuan itu melemah dalam pelukan Chen. Semakin tenang, dan akhirnya benar-benar jatuh tertidur. Dengan mudahnya Chen mengangkat Puri dalam dekapan, melangkah menuju salah satu kamar dan meletakkan perempuan itu di ranjang.

Tidak Lama kemudian, lelaki itu muncul kembali ke ruang depan. Sementara Zea sedang mondar-mandir dengan otak yang terasa penuh.

"Sekarang kamu tahu, 'kan, kenapa aku yang bertugas mendampingimu?" Chen meletakkan bokongnya di sofa yang panjang.

Zea menghentikan langkah dan menatap kesal ke arah si psikolog menyebalkan itu, matanya memicing penuh dengan tuduhan. 

"Seharusnya sejak awal, kamu memberitahuku kalau dia adalah pasienmu, Tuan Psikilog yang terhormat." Dia terdengar benar-benar kesal, wajahnya memerah. "Kamu tidak bisa diajak bekerjasama dengan baik. Dan itu bikin aku kesal."

Chen tertawa, bahunya naik turun membuat wajah Zea semakin memerah.

"Supaya kamu ada gunanya, Detektif."

Zea benar-benar kesal. Dia mendekat ke arah Chen dengan tergesa, menarik kerah baju lelaki itu hingga Chen mau tidak mau sedikit terangkat bokongnya dari bantalan sofa. Tawanya juga mendadak berhenti, berganti dengan sedak-sedak meski wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau khawatir.

"Bekerjasamalah denganku, Sialan! Apalagi yang kau tahu mengenai pasangan ini? Aku mau kasus ini cepat selasai dan pelesir setelahnya. Paham?!"

Zea benar-benar lelah. Dia juga merindukan Dipa-nya. Merindukan kecupan juga kehangatan. Dia rindu menjadi manusia.

"Lepas." Tiba-tiba saja suara Chen terdengar berdenging, dalam, dan dingin.

Zea masih menatap mata yang saat ini dengan berani menatapnya dengan tajam. Iris cokelat lelaki itu seakan menusuknya. Sejujurnya dia sedikit menyimpan gentar, karena wajah tanpa ekspresi itu justru menyiratkan banyak hal. Bisa jadi orang ini benar-benar gila karena selalu berhubungan dengan manusia-manusia gila.

"Katakan saja!" Zea menyentak tangan, membiarkan kerah itu lepas dari cengkeraman. Mendengkus, dipalingkannya wajah dan mendudukkan diri di sofa seberang Chen.

Chen menyimak perempuan yang duduk di seberang itu dengan saksama, tangannya bergerak untuk memperbaiki kerah bajunya yang menjadi tidak rapi akibat cengekeraman barusan. Kemudiang, diangkatnya kaki kanan, untuk ditopang oleh kaki kirinya.

"Mereka berdua ... pasienku."

Otomatis Zea memalingkan wajah kembali ke arah Chen. Ini bisa saja merupakan clue yang dinati-nantikannya.

"Keduanya depresi dengan cara yang berbeda. Saling melengkapi. Lucu ...."

Kening Zea mengerut. Keduanya merupakan jiwa yang sakit. Apa keduanya juga berhalusinasi? Bisa jadi bukan hanya Puri yang berimajinasi, bukan?

"Apa keduanya--"

Suara ponsel yang berdering membuat ucapan Zea terhenti. Dilihatnya Chen membuka clutch yang sedari tadi terserak di meja. Clutch berwarna hitam yang resletingnya keemasan. Tidak lama terlihat  lelaki itu sudah beradu cakap dengan seseorang yang entah siapa. Tetapi Zea bisa mendengar beberapa kali namanya disebut.

Tidak lama kemudian, Chen meletakkan kembali ponsel ke dalam clutch dan menatap Zea.

"Anita meminta kita datang ke rumah sakit. Dia akan menjabarkan mengenai hasil otopsi." Chen bangkit berdiri.

Zea melakukan hal yang sama. Bangkit berdiri dan mengekori Chen yang sudah berjalan terlebih dulu menuju pintu keluar. Saat tiba-tiba langkahnya terhenti.

Perempuan dengan iris berwarna hitam itu menoleh ke arah kamar di mana Puri berada. "Apa tidak apa-apa, meninggalkannya di sana?"

"Aman. Jangan khawatir ...."

Lalu, terdengar pintu yang berderit membuka.

💕💕💕

Perempuan dengan kulit berwarna kecokelatan itu, terlihat duduk di kursi kerjanya yang terbuat dari kayu. Daripada bau obat-obatan, ruang kerjanya lebih beraroma lavender, hasil dari aroma lilin yang dibakar di pojok ruangan.

Sesekali perempuan itu memperbaiki jubah putih khas dokter yang dikenakannya, sembari menatap selembar kertas yang diletakkan di meja.

Itu adalah hasil otopsinya atas nama Kaisar Hengkara, pengusaha di bidang IT yang ditemukan mati di dalam bathtub apartemennya. Keningnya sesekali berkerut, sementara salah satu tangannya yang ternyata memegang pena, bergerak-gerak. Sehingga pena itu mengetuk-ngetuk meja, memperdengarkan bunyi yang konstan.

Beberapa waktu lalu, dia baru saja menelpon Chen Adinata. Seorang psikolog kriminal, yang diketahuinya ditunjuk untuk membantu menyesaikan kasus pembunuhan ini.

Memikirkan Chen Adinata, seketika membuat dadanya berdebar. Sekilas mengingat akan pertemuan pertama mereka dulu. Chen yang membantunya memulihkan trauma setelah bedah mayat pertamanya. Lelaki itu terlihat begitu hangat dan dingin sekaligus. Membuat gadis ini yakin, kalau debar di dadanya merupakan rasa suka pada pandangan pertama.

Telapak tangannya tiba-tiba merengkuh, membuat salah satu ujung kertas berkerut.

Sialnya, rasa suka itu tidak pernah terbalas. Chen tidak pernah tahu, dan dia terlalu malu untuk mengatakan.

Pintu yang diketuk membuat cengkeraman pada kertas terlepas. Segera diperbaikinya letak rambut yang lepas ke wajah, agar semuanya rapi di belakang telinga sebelim menyahut ketukan, "Masuk." Lalu dia menghela napas, mencoba menetralisir ketegangan yang mendadak menguar, saat sosok yang sejak tadi dipikirkannya masuk ke dalam ruang.

Chen Adinata menyunggingkan senyum yang terlihat nanggung. Lelaki dengan kaos berkerah dan celana panjang hitam itu, terlihat sempurna di matanya. Sesaat, sampai matanya menangkap sosok lain yang mengekor di belakang lelaki tegap itu.

Zea Paradista, detektif yang sedang naik daun itu, terlihat mengekor di belakang dengan celana jeans ripped, dan jaket denim. Rambutnya yang hanya sebahu lewat sedikit, tergerai. Matanya terlihat menyapu ruang kerjanya.

"Bagaimana hasilnya, Anita?"

Suara berat membuat Anita memalingkan wajah. Dilihatnya Chen sudah duduk di salah satu kursi di hadapan. Zea terlihat menarik kursi di sisi satunya lagi, dan akhirnya duduk di sana.

Anita menghela napas sekali lagi, menata debar di dada, lalu tersenyum lebar.

"Aku sudah menjelaskannya sekilas pada Zea pagi tadi lewat telepon ...." Matanya menatap Zea, meminta persetujuan.

Zea mengangguk. Dia mengingat setiap detil percakapannya dengan Anita tadi pagi. Tentang bahwa tidak mungkin pakaian dalam merah menyala tersebut adalah milik Puri. Kenyataan yang membuat harapan agar kasus ini cepat selesai ... sirna.

"Ulangi. Aku harus mengkaji setiap detil kemungkinan juga, bukan?" Chen melipat kedua tangan di perutnya, mengaitkan jemari layaknya orang sedang berdoa.

Tiba-tiba Zea berdecak seraya menoleh ke arah Chen. "Yang perlu kamu lakukan adalah membaca jiwa mereka saja, Tuan Psikolog." Dia mencibir.

Chen diam saja, matanya hanya fokus pada Anita. Enggan menanggapi detektif tidak becus di sebelahnya.

Anita terlihat menahan tawa, tapi garis tawanya lenyap seketika ketika mata Chen semakin tajam menatapnya.

"Size pakaian dalam itu adalah 40. Sementara dari profil Puri yang kudapatkan, lingkar dadanya tidak memungkinkan dia memakai size sebesar itu ...."

"Ukurannya 34." Chen menimpali, membuat kedua perempuan yang bersamanya saat ini terdiam beberapa saat. 

Chen berdecak, menoleh ke arah Zea, "Kau size 36 dengan cup B." Mata Zea sontak membelalak, tapi pandangan Chen segera beralih ke Anita. "Kamu, seukuran dengannya ...." Jari telunjuk lelaki itu bergerak ke arah Zea. 

Otomatis wajah Anita memerah. Entah bagaimana Chen bisa menerka ukurannya dengan benar.

"Player!" Zea menggerutu, kedua tangannya bergerak menutupi dada.

"Kamu hanya perlu terlatih untuk mengetahui ukuran dengan hanya melihat." Lalu, Chen berdeham. Dagunya bergerak naik turun, kode agar Anita melanjutkan lagi ucapannya.

Seakan ada yang tersangkut di kerongkongannya, si ahli otopsi berdeham beberapa kali sebelum akhirnya berkata, "Jelas dia mati karena kehabisan napas. Bibir dan ujung-ujung kukunya membiru dengan alami. Tidak kutemukan tanda perlawanan, kecuali luka kecil di ujung tumitnya. Tadinya kupikir bisa jadi itu karena dia melawan dan terantuk. Namun, setelah aku teliti lagi, luka itu terlihat sudah lama. Tidak ada sidik jari atau apa pun. Bersih."

Chen terlihat menyimak, keningnya sesekali berkerut. "Itu saja?" tanyanya.

Anita menggeleng, lalu pandangannya jatuh pada Zea. "Ada sesuatu yang belum kukatakan padamu, Ze ...."

Zea meluruskan punggungnya, tertarik dengan informasi yang katanya baru.

"Aku menemukan kadar alkohol begitu tinggi di aliran darahnya. Sekitar ... uhm," Anita melihat kertas hasil otopsi di atas meja tadi, "0,1 BAC* ...."

Si detektif terlihat mengurut pelipis dengan jemari sendiri. Mencoba mereka-reka yang ada di kepalanya.

"Itu ... lumayan. Di angka 0,5 BAC, dia harus melakukan cuci darah." Zea tidak begitu saja percaya. "Wow! Kamu yakin dengan temuanmu, Anita? Dia adalah seorang pengusaha yang harus berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Mabuk harusnya berada di urutan kesekian dari hobinya."

Anita menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sebenarnya cukup kesal karena hasil periksanya diragukan. Namun, dia berusaha tenang. Ada Chen di sini, dia harus terlihat elegan dan cerdas.

"Aku sangat yakin," kata Anita, "alkohol dapat dideteksi hingga 6 jam dalam darah, sekitar 12 hingga 24 jam dalam napas, urin, dan air liur, serta pada rambut sampai 90 hari lamanya. Aku bahkan membongkar mayatnya lebih cepat dari pada waktu-waktu di atas. Setidaknya, lebih cepat dari 12 jam."

Zea nyaris membuka mulutnya lagi, ketika Chen tiba-tiba berkata hampir seperti gumaman.

"Dia sedepresi itu memang ...."

"Maksudmu, Chen?" Anita bertanya.

"Mereka berdua pasiennya." Zea yang menjawab. "Kaisar dan Puri adalah pasien Chen."

"Oh!" Anita mengangguk-angguk dengan paham.

"Tetapi terakhir kali dia bilang, dia sudah tidak menyentuh alkohol untuk sekian lama. Keduanya sudah mulai ... uhm sedikit membaik."

"Bukankan kamu bilang, Puri menderita szikofrenia?" Tiba-tiba potongan-potongan adegan bermain di benak Zea. Detektif itu bangkit dari duduk, melepas tas selempang yang sejak tadi dikenakannya untuk diletakkannya di atas kursi. Dia merasa yakin, apa yang ada di benaknya saat ini, bisa jadi benar adanya.

Dengan penuh percaya diri sambil mengutip puzzle-puzzle yang berseliweran, dia bergerak ke salah satu sudut yang lega. Menatap kedua manusia  di hadapannya, yang sedang menatap dengan kebingungan.

Sudah saatnya dia mengeluarkan asumsinya sebagai seorang detektif yang sedang naik daun di kelasnya. Sudah saatnya para ahli di hadapannya, mendengar apa yang dipikirkannya. 

"Puri dan Kaisar, mereka bertemu malam itu." Diraihnya vas bunga kosong pada rak di belakang punggungnya, berlagak seakan vas itu adalah sloki kecil berisi minuman keras. "Keduanya minum minuman keras, masuk ke kamar mandi dalam keadaan mabuk, menanggalkan pakaian dan berendam pada bathtub ...." Tubuhnya bergerak-gerak dengan limbung, mencoba melakukan gerakan orang yang sedang mabuk.

Terdengar Chen mendengkus, tapi diabaikan oleh Zea. Dia sedang bersemangat mengaitkan keping-keping yang tercecer.

"Tadi memang Puri bilang dia tidak berada di apartemen Kaisar hari itu. Tapi ... bisa saja dia berhalusinasi, bukan? Merasa tidak berada di apartemen Kaisar, padahal malam itu dia bertemu. Dia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayal." Zea menggeleng-gelengkan kepala seakan sedang menyayangkan sesuatu hal. "Lalu ... tiba-tiba entah apa yang merasuki pikiran perempuan itu. Bisa jadi mereka bertengkar, saling mendorong, sampai akhirnya kadar alkohol yang berlebih dalam tubuh, membuat Kaisar kalah dengan mudah. Dia tenggelam dalam bathtub."

"Receh!" Chen berseru. "Apa penjelasanmu tentang size 34?"

Zea bungkam.

"Aku akan menghubungi bos-mu. Detektif apa yang dia tugaskan pada kasus besar seperti ini?!"

Zea merasa tubuhnya memanas, wajahnya juga sama. Memanas, dan bisa jadi sedang berubah warna menjadi kemerahan sekarang ini.

"Satu lagi, mengenai cangkir bekas susu." Anita bersuara, membuat ketegangan antara Zea dan Chen terpangkas. "Kalian tahu, apa minuman kesukaan Kaisar selain alkohol?"

"Sebentar!" Zea berkata lantang, merasa bodoh karena dia bahkan tidak selesai membaca keterangan tentang Kaisar malam itu. Tangannya bergerak meraih ponsel di saku, membuka situs yang hanya bisa diakses oleh anggota dan mengetik nama Kaisar di sana. 

Matanya membaca dengan serius, lalu menatap ke arah Anita dengan kesal, merasa dibodohi. Karena tidak ada keterangan apa pun mengenai minuman favorit di sana.

"Ask google, please." Anita mendengkus, seakan paham dengan arti pandangan mata Zea.

"Kaisar Hengkara bersama kekasihnya, merupakan salah satu pemegang saham perusahaan Susu terbesar di Indonesia. Keduanya diketahui menggemari susu dengan rasa stroberi ...." Chen membaca artikel yang terbuka di ponselnya. Tadi, ketika Zea mencoba mencari tahu, dia juga melakukan hal yang sama. "Wow! Google!"

"Yups, kamu bisa menemukan informasi sereceh apa pun di sana." Anita bangkit dari duduknya, merenggangkan kaku di pinggangnya. "Urusan denganku, sudah selesai ...," ujarnya lega.

(*) BAC : blood alcohol content



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top