Kamu Pikir, Kamu Waras?

Sebelumnya:

"Kaisar Hengkara bersama kekasihnya, merupakan salah satu pemegang saham perusahaan Susu terbesar di Indonesia. Keduanya diketahui menggemari susu dengan rasa stroberi ...." Chen membaca artikel yang terbuka di ponselnya. Tadi, ketika Zea mencoba mencari tahu, dia juga melakukan hal yang sama. "Wow! Google!"

"Yups, kamu bisa menemukan informasi sereceh apa pun di sana." Anita bangkit dari duduknya, merenggangkan kaku di pinggangnya. "Urusan denganku, sudah selesai ...," ujarnya lega.

Gambar: Pinterest

"Aku tidak merasa kalau Puri mampu melakukannya, Ze ...." Chen terdengar muram. "Ini terlalu rapi untuk dilakukan oleh dia yang sedikit ceroboh. Terlalu rapi sampai-sampai tidak meninggalkan jejak sama sekali."

Zea menarik napas panjang dan lelah, kemudian kembali duduk di sisi Chen yang terlihat sedang memainkan dagu dengan jemari. Sepertinya lelaki itu sedang berpikir keras.

Anita sendiri mengangkat bahunya sebelum diturunkannya dalam-dalam.

"Tidak ada jejak apa pun, tidak ada sidik jari juga di pakaian dalam, dan tidak ada jejak apa pun di cangkir bekas pakai. Apa-apaan ini?" Zea mendengkus.

Otak detektif itu menari-nari, mencoba mengingat apa ada sudut di apartemen itu yang terlewat olehnya? Kamar mandi, kamar tidur, dapur, ruang tamu ... CCTV ....

CCTV!

Semua CCTV di unit apartemen itu mati, tapi bukankah CCTV gedung apartemen seharusnya aman?

"Aku harus kembali ke sana!" Dengan semangat bergelora Zea bangkit dari duduk. Disampirkannya lagi tas di bahu.

"Kemana?" Chen menatap dengan kening berkerut.

"Apartemen Kaisar Hengkara. Mau ikut?"

💕💕💕

Zea kembali menyusuri apartemen Kaisar, kali ini dia menajamkan mata dan indera penciuman. Dia harus meyakinkan diri bahwa tidak ada yang terlewat satu pun dari mata, hidung, dan sentuhan tangan yang terbalut sarung tangan.

Sebentar Zea menoleh, dilihatnya Chen yang sedang menatap foto besar Kaisar yang menggantung pada dinding di atas ranjang. Psikolog itu sama sekali tidak membantu. Dia hanya melipat kedua tangan di depan dada, memandang foto untuk sekian lama.

"Apa kamu sama sekali enggak mau membantu?!" Zea kesal, dientaknya tirai yang baru saja menjadi sasaran penyidikannya.

"Aku sedang membantumu, Zea." Chen menjawab santai. "Kamu harus tahu, kalau menjadi tenang dan tidak gaduh, akan sangat membantu untuk berkonsentrasi. Karena itu aku mencoba tenang, agar kamu berkonsentrasi." Chen menoleh ke arah Zea, melihat kalau wajah perempuan itu memerah karena kesal. Senyum Chen sontak mengembang. "Tidak ada yang bisa diharapkan dari tempat ini, ayo kita pulang."

Chen membalik tubuh, melenggang santai ke arah pintu. Kemudian berhenti selangkah sebelum mencapai tujuan, menanti kalau-kalau Zea bakal mendekat. Pasalnya dia tidak mengenakan sarung tangan, tidak mungkin menyentuh kenop pintu.

Namun, tidak juga didengarnya langkah mendekat. Sehingga dengan suara lantang Chen berseru, "Kami sudah selesai, Pak Polisi. Tolong buka pintunya!"

Tak lama pintu terbuka, disertai dengan dengkusan Zea di balik punggung.

"Silakan." Polisi tanpa seragam yang membukakan pintu sedikit mengangguk.

Chen hendak melangkah, tapi tiba-tiba saja Zea menyerobot. Tubuh tingginya terdorong ke samping saat Zea dengan sengaja menghantam bahunya dengan lengan.

Geligi lelaki jangkung itu menggeretak menahan kesal.

"Ikut aku!" Zea memerintah layaknya atasan ke anak buahnya, membuat Chen lagi-lagi menghela napas. Namun, kakinya melangkah juga mengikuti detektif yang tidak kompeten menurutnya itu.

Ternyata Zea membawa mereka ke kantor building management. Dengan berbekal tanda pengenal kepolisiannya, akhirnya salah satu petinggi di bagian keamanan mau memutar kembali video di CCTV. 

Zea dan Chen masih menatap layar ketika petugas itu berkata, "Anda tidak akan bisa menemukan apa pun. Pada jam kejadian, semua CCTV yang mengarah ke kamar itu, gelap."

Zea mengerutkan kening, tepat pada saat layar tetiba menjadi gelap. Kemudian menunduk melihat sudut bawah layar, dan menemukan kalau saat itu waktu menunjukkan pukul 4 pagi.

"Gila!" Tangan Zea bergerak menyentuh mouse, mengarahkan kursor pada bar di bawah video demi mempercepat laju tayang. Namun, meski dia beberapa kali mengulang atau mempercepat rekaman, semua yang terpampang pada jam yang diduga kejadian adalah ... gelap.

"Sinting!" Zea mengumpat lagi sambil mendorong mouse menjauh dari telapak tangannya. Sementara Chen menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Sudah saya bilang ...." Si kepala keamanan tersenyum miris. "Jika ada yang bisa menjadi bukti, saya pasti sudah menyampaikan sejak awal. Saya merasa bertanggung jawab atas kematian Pak Kaisar, meski pada waktu kejadian saya tidak berada di gedung ini." Suaranya terdengar menyesal sekarang.

Zea memijat pelipisnya, serasa berdenyut di sana. Kali ini dia berpikir keras. Kemudian ide baru muncul di kepalanya.

Dia menoleh ke arah kepala keamanan. "Apa aku bisa melihat siapa-siapa saja yang sering kali datang mengunjungi Kaisar? Mungkin di tiga bulan terakhir?"

Kepala keamanan tersenyum. "Tidak masalah."

"Bisa berikan aku copy-nya?" tanya Zea.

"Tidak masalah, asal kalian mau menunggu."

💕💕💕

"Mau kuantar pulang?" Chen bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depannya. Kedua tangannya menggenggam kemudi dengan erat, berkonsentrasi pada jalan yang terlihat lenggang.

Zea melirik jam pada tangannya, sudah lewat dari jam sebelas malam. Dia merasa sungguh lelah.

"Kalau kamu enggak keberatan, Pak Psikolog." Setelah mengatakan itu, dia menguap lebar.

Tadi, mereka harus menunggu sangat lama demi copy-an CCTV gedung tiga bulan terakhir. Setelah seharian berjibaku dengan TKP dan hasil otopsi.

Sebenarnya Zea sudah berusaha menahan matanya agar tidak terlelap, tapi kedua kelopaknya tidak berkompromi, terpejam tanpa sadar.

Chen melirik sejenak ke arah bangku penumpang di sebelahnya, semyumnya menyungging ketika melihat milut Zea yang sedikit terbuka, sementara kepalanya mendongak mengahap langit-langit mobil.

Tiba-tiba suara ponsel terdengar memekak, membuat Chen segera mengalihkan pandang ke arah jalan. Suara dering masih terdengar, Zea sama sekali tidak terbangun.

Otomatis tangan kiri Chen bergerak untuk mengguncang tubuh Zea.

"Hei! Telepon! Ada telepon!" Guncangannya semakin keras ketika sadar bahwa perempuan ini begitu sulit dibangunkan. "Zea!" Dia memekik, membuat perempuan itu membuka matanya lebar karena terkejut.

"Apa kamu gila?!" Zea meradang.

"Telepon!" Chen masih bersuara lantang, hingga Zea tersadar bahwa ponsel dalam tas di pangkuannya berdering-dering.

Dengan sigap dia merogoh tas, menarik ponsel ke luar. Bibirnya menyungging senyum ketika melihat nama Dipa tertera pada layar.

Astaga, dia rindu!

"Sayang!" Zea nyaris menjerit ketika menyahut panggilan, membuat Chen yang sedang menyetir menghela napas.

"Lapar?" Zea terdengar bertanya. "Baiklah. Kamu tenang aja di rumah, jangan khawarir." Lalu, telepon ditutup.

Chen melirik Zea yang terlihat bersemu pipinya. Perempuan itu terlihat mengulum senyum dengan mata berbinar.

"Sebentar lagi kita tiba di kandangmu."

"Jangan!" Tiba-tiba saja Zea berseru, teringat akan pesan Dipa di telepon barusan. "Apa kamu bisa mengantarku ke Restoran Delicio? Drop saja, aku bakal pulang sendiri nanti."

Kening Chen berkerut. "Kamu lapar?" Chen baru ingat kalau mereka belum memakan apa pun seharian.

"Tidak!" Zea menggeleng. Dari spion tengah Chen bisa melihat perempuan itu kembali merona pipinya.

Sinting! Zea sinting!

"Dipa yang lapar," bisiknya.

"Yang barusan menelepon? Pacarmu?" Chen menyelidik.

Zea mengangguk.

"Dia menunggumu di restoran itu?"

Zea menggeleng. "Dia titip makanan, menu khas Delicio."

"Oh, apa dia sedang sakit? Karena ini sudah malam jika kamu harus berpergian sendirian, Nona." Chen melirik jam yang menyala pada audio di dashboard.

"Enggak. Dia enggak sakit. Cuma kalau sampai aku enggak bawain dia makan, dia bakal sakit." Zea mengulum senyum. Senang memikirkan bahwa dia dibutuhkan oleh Dipa. Rasanya menyenangkan mengetahui orang yang dicintainya, membutuhkannya setengah mati.

Chen mengernyit. Sekali lagi menatap ke arah Zea dari spion tengah, dan sekali lagi menemukan wajah kemerahan di sana.

Ada yang salah dengan Zea ....

💕💕💕

Sudah terlalu malam untuk membiarkan seorang perempuan berpergian sendirian meski hanya di dalam kota. Maka, meski lelah, Chen memutuskan untuk menemani si detektif membeli makanan dan mengantarkannya ke rumah sang pacar.

Dan sekarang, dia sedang menanti di dalam mobilnya, di depan sebuah rumah yang terlihat besar dan mewah. Zea memang tidak memintanya menunggu. Namun, bagaimana pun dia harus memastikan bahwa perempuan itu bisa pulang dengan selamat.

Berkali-kali Chen menatap ke arah rumah, dan berkali-kali membandingkan rumah itu dengan tempat di mana Zea tinggal. Seperti bumi dan langit.

Sudah hampir sepuluh menit menunggu, tapi Zea belum juga keluar dari rumah besar itu. Ah ... bisa jadi perempuan itu memutuskan menginap, mengingat bagaimana wajah Zea yang selalu bersemu setiap kali bercerita tentang kekasihnya.

Nyaris saja Chen menekan pedal gas ketika mendengar kaca jendela di bagian penumpang diketuk.

Zea? Perempuan itu tersenyum di balik jendela.

Cepat Chen menekan tombol pintu otomatis, menggerakkan dagu meminta Zea agar cepat masuk.

Perempuan itu menurut, masuk, dan duduk di jok penumpang.

"Aku enggak tahu kamu masih di sini. Tapi baguslah, tidak ada satu pun taksi online yang menerima order-ku ...." Zea mengeluh.

"Kamu mau pulang?" Chen bertanya pelan.

"Iya. Aku ngantuk." Zea menyandarkan punggung ke sandaran jok. Lelah.

"Sendirian?"

"Sama kamulah ...."

"Maksudku, pacarmu yang kaya itu, tidak mengantarmu pulang?"

Zea menoleh ke arah Chen dengan lelah.

"Kamu gila?" Zea mendengkus. "Ini sudah sangat malam dan dia harus bekerja besok pagi. Bagaimana mungkin aku membiarkannya kelelahan demi mengantarku pulang?"

"Gila?" Kening Chen semakin mengernyit.

"Iya. Gila!" Zea membuang pandangan ke langit-langit mobil sebelum memejamkan mata. "Aku enggak mungkin minta Dipa mengantarku semalam ini. Bertemu dengannya sebentar saja, sudah membuatku senang setengah mati."

"Zea ...."

"Uhm?"

"Kamu pikir, kamu waras?"

"Chen ...."

"Uhm?"

"Sudah pernah jatuh cinta? Ketika kamu mencintai, batas antara waras dan gila terlihat begitu samar ...." Zea menghela napas, kemudian tersenyum dengan mata masih terpejam. Teringat bagaimana tadi Dipa memberikan pelukan terhangat, sebelum memintanya cepat pulang untuk bisa beristirahat.

Rasanya menyenangkan, bukan? Ketika mengetahui orang yang kamu cintai, begitu perhatian akan lelahmu.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top