Bukan Orang Baik
Picture: Pinterest
Kwon Nara as Zea
"Mengapa harus mengantar sampai tiga kali?" Zea mengerutkan kening, matanya fokus pada layar laptop, sementara telapak tangannya bergerak-gerak di atas mouse. "Mengapa harus tiga kali? Mengapa tidak sekaligus? Itu susu dengan merek yang sama, rasa yang sama, kenapa harus sampai tiga kali?"
Zea menggigiti bibir tanpa sadar, berkali-kali me-rewind, mem-pause, mempercepat rekaman video CCTV yang terpampang di layar laptop. Pandangannya lekat pada sosok yang terlihat berdiri membelakangi, sedikit menyamping sebenarnya, karena ketika tangannya terulur untuk memberikan kotak susu pada seseorang yang berada di ambang pintu yang terbuka, Zea bisa melihat merek dan varian rasa yang tertera.
Orang yang muncul di ambang pintu yang terbuka, sudah jelas Kaisar, yang sepertinya hanya mengenakan jubah tidur.
"Mana perempuan size 40-nya? Mana tersangkanya? Sial!" Zea mengentak tangannya di meja, kemudian bangkit dengan kesal. Bagaimana mungkin tidak ada satu petunjuk pun?
"Kamu baik-baik aja, Ze?"
Suara dari meja sebelah membuat perempuan itu menoleh. Zico, yang juga seorang detektif, terlihat menatapnya dengan khawatir.
"Bagaimana kasusmu?" Bukannya menjawab pertanyaan Zico, Zea malah balik bertanya.
"Baik. Aku rasa, aku sudah mendapatkan beberapa bukti tentang pencurian di mini market itu." Zico tersenyum bangga.
"Mau bertukar kasus denganku?" Zea membungkuk, mencondongkan tubuh ke arah lelaki kurus berkepala plontos itu.
Zico mendengkus, kemudian bangkit seraya menarik plastik berisi beberapa benda yang sepertinya merupakan barang bukti dari mejanya. Zea bisa melihat cutter, dompet, dan patahan gigi di dalamnya.
"Nikmati saja, Detektif Zea. Kamu yang terbaik, karena itu kamu yang terpilih." Zico menarik senyum miring, lalu melengos pergi dengan terbahak-bahak, membuat kepala Zea semakin mengepul.
Ditatapnya lagi laptop yang sedang menampilkan gambar yang terhenti pada layar. Apa Anita benar-benar tidak menemukan sesuatu? Entah itu sidik jari di kotak susu atau apakah? Bisa jadi pengirim susu meninggalkan jejak pada kotak, karena sepertinya dia tidak mengenakan sarung tangan.
***
Anita mendongak ketika merasa pintu ruang kerjanya dibuka tanpa diketuk. Ketika melihat Zea berdiri di abang pintu, senyumnya segera mengembang. Digerakkannya kepala, meminta agar detektif muda itu mau duduk di kursi seberang mejanya.
"Ada yang bisa kubantu, Zea?" Anita bertanya sambil mendorong berkas yang sedang disimaknya ke samping.
"Aku sejak semalam menatap layar laptop tanpa henti. Sekarang kepalaku pening. Ditambah kasus pencurian Zico bisa dengan mudah dipecahkan, sementara aku harus setengah mati mengerjakan kasus tanpa petunjuk sekali pun. Tidak mungkin, 'kan, seorang perugas pengantar susu laki-laki mengenakan bra size 40?"
Anita mengerjap, bingung menanggapi ucapan Zea yang panjang lebar tanpa memberinya kesempatan bicara.
"Apa di kotak susu tidak ada sidik jari sama sekali? Pengantar susu itu tidak mengenakan sarung tangan sepertinya." Zea mencondongkan tubuhnya sampai menyentuh meja. Lalu, ketika ahli forensik itu menggeleng, diletakkannya kening di meja. Lalu mengantuk-antukkannya dengan frustrasi.
"Ze ...." Anita sungguh khawatir dengan detektif itu.
"Aku rasa, pelakunya hantu. Bisa jadi, 'kan?" Zea mengangkat kepala, dan ganti meletakkan dagu di meja. "Seperti di cerita-cerita hantu itu. Di youtube juga banyak."
Anita berusaha menahan tawa, diletakkannya telapak tangan untuk membungkam mulut sendiri. Dia merasa kasihan tapi juga merasa lucu.
"Bisa kamu cek ulang semuanya, Anita? Tolong, jangan ada yang terlewat. Aku akan kembali ke TKP. Ini mulai membuatku merasa muak." Zea bangkit berdiri, lalu berbalik menuju pintu keluar. Ditariknya kenop pintu, kemudian menoleh lagi ke arah Anita. "Tolong cek sekali lagi. Semuanya ...." Kemudian, dia berlalu. Menarik pintu hingga menutup.
Anita terbengong sesaat, mengamati pintu yang tertutup sebelum tertawa lantang. Ditariknya salah satu berkas di atas meja, berkas di tumpukan terbawah. Nama Kaisar Hengkara tertera di label berkas. Diusapnya berkas itu perlahan.
"Hantu? Astaga!" Tawanya semakin menjadi-jadi.
Tidak lama tawa itu terhenti, menyisakan napas tersengal-sengal. "Apa harus kukatakan sekarang?" Matanya menatap berkas di genggaman dengan senyum miring. "Atau sebaiknya tetap menjadi rahasia?"
Anita menghela napas, dilemparnya lagi berkas ke meja. Lalu tubuhnya bersandar pada kursi, mendongak dan memejamkan mata. "Lagi pula, Kaisar juga bukan orang yang benar-benar baik," bisiknya sendirian.
***
Sekali lagi Zea memasuki unit apartemen mewah itu. Menysir dari ruang depan, kamar tidur, sampai dapur. Mencoba mereka-reka kembali segala kemungkinan malam itu. Kaisar, dan siapa pun dia dengan size 40.
Zea tidak berani menyentuh apa pun, jangan sampai sidik jarinya terekam di saat tidak ada satu sidik jari pun yang ditemukan oleh Anita.
Memasuki kamar mandi, ruangan itu tetap terlihat memikat meski pernah ada seseorang yang mati di dalam bathtub. Apa ketampanan seseorang mempengaruhi keseraman kediamannya setelah dia mati? Ck!
Mati dan tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Zea melongok ke dalam bathtub. Air di dalamnya masih terisi sebagaimana awalnya.
"Kaisar dengan tubuh sebesar itu." Dia bergumam, "Tergelincir. Karena butuh kekuatan lebih dari kekuatan Puri atau Aeera untuk mampu mendorongnya. Si size 40, sudah pasti lebih besar, seharusnya begitu, bukan?" Dipejamkannya mata, membayangkan tubuh si pengantar susu.
Jika membayangkan si pengantar susu, tubuhnya sama tinggi, bahkan lebih tinggi dari Kaisar yang tingginya di angka 181cm. Itu jelas terlihat di rekaman cctv. Kekuatannya sudah pasti lebih dari cukup untuk mendorong Kaisar jatuh.
Sial! Andai saja si pengantar susu seorang perempuan, mungkin saat ini Zea sudah menunjuknya sebagai seorang tersangka. Namun, bagaimana penjelasan mengenai pakaian dalam ukuran 40?
Zea membuka mata, kembali menatap ke arah bathtub, kemudian beranjak keluar dengan perasaan yang sia-sia.
Tiba di depan unit apartemen, seorang petugas berseragam polisi menyambutnya.
"Sudah selesai, Reserse?" tanyanya dengan sikap hormat.
Zea menghela napas lelah, dirapatkannya jaket berwarna cokelat yang dikenakan, seraya memandang sekali lagi ke arah pintu yang masih terbuka.
"Apakah ada orang yang pernah ke sini selain saya?" tanyanya.
"Uhm, sepertinya hanya si ahli forensik. Beberapa kali dia masih datang, katanya untuk memastikan sekali lagi."
Kening Zea sontak mengerut. Bahkan Anita tidak mengatakan apa pun mengenai ini pada saat mereka bertemu tadi.
Setelah mengangguk, Zea berpamitan. Segera dia turun dari apartemen. Setibanya di lobi, dirinya tidak sanggup untuk tidak menghubungi Anita. Diambilnya ponsel dari tas selempang yang sejak tadi tak lepas dari bahu, lalu menelepon Anita.
Sialnya, berkali-kali Zea mencoba menghubungi, perempuan berkulit kecokelatan itu tidak juga mengangkat teleponnya.
"Berengsek!" umpatnya seraya meletakkan kembali ponsel ke dalam tas.
Dengan langkah dientak karena kesal, dilangkahkannya lagi kaki menuju pintu keluar gedung apartemen. Berjalan dengan menundukkan kepala sambil terus berpikir, langkahnya terhenti karena seseorang yang menabrak pundaknya.
"Hei!" Zea berseru seraya mengangkat kepala dan menoleh ke belakang. Ketika melihat siapa yang baru saja menabrak pundaknya, langkahnya segera berbalik.
Perempuan berambut ikal panjang, terlihat berlarian ke arah lift. Zea mengenali sosok itu meski baru sekali bertemu. Jadi, Zea turut berlari, mengejar sosok yang dia yakin tidak tahu kalau sedang dikejar.
Tepat ketika sosok berkemeja pink itu hendak menekan tombol lift, Zea menarik pundaknya, sehingga perempuan itu mau tidak mau tertarik mundur ke belakang.
"Puri?" Zea berkata ketika mata mereka bersirobok.
Gadis dengan wajah imut itu terlihat menatap Zea dengan tersenyum, tapi pandangannya seolah-olah mengatakan kalau mereka baru bertemu sekali ini.
"Apa aku mengenalmu?" Puri bertanya dengan mata berbinar, beda sekali dengan keadaannya pada waktu terakhir kali Zea melihatnya.
"Kamu mau ke mana?" Zea bertanya dengan hati-hati.
"Oh! Kaisar tadi menelepon, dia memintaku datang." Puri menjawab, seraya memajukan tubuhnya, mencoba menekan tombol lift, tapi dihalangin oleh Zea.
"Kaisar meneleponmu?" Zea mengerutkan kening.
"Kamu mengenalnya?" Puri turut mengerutkan kening, tapi tak lama kerutnya memudar, kembali berganti dengan senyum menghias bibir. "Ah! Dia memang seterkenal itu. Sukses dan tampan, siapa yang tidak kenal?"
Zea menghela napas. Sepertinya halusinasi kekasih Kaisar ini sedang kumat. Bagaimana bisa orang yang sudah mati menelepon?
"Kamu tidak akan bertemu dengan Kaisar, Puri ...." Zea merengkuh kedua bahu Puri dengan telapak tangan.
"Kenapa? Apa kamu melihatnya pergi?" Puri melempar pandangannya ke arah pintu keluar, matanya seakan-akan sedang mencari-cari sesuatu.
Sungguh, Zea merasa seharusnya Chen tidak melepaskan perempuan ini berkeliaran. Seharusnya dia meminta seorang psikiater memberinya obat. Karena psikolog sepertinya tidak mungkin meresepkan obat---
Hah! Apa Zea melupakan suatu hal di sini? Puri punya obat, Chen yang menyarankan perempuan kurang waras ini untuk mengkonsumsi obat, bagaimana bisa? Chen psikolog, bukan psikiater. Apa si ahli kejiwaan itu melakukan malpraktek? Menyalahi aturan main yang seharusnya?
"Puri ...." Zea memanggil, sehingga perempuan dengan pipi kemerahan itu memandangnya. "Kamu kenal Chen?"
Puri terdiam sejenak, lalu tubuhnya mendadak menggigil, matanya menjadi nanar. Cepat ditepisnya kedua tangan Zea yang masih merengkuh bahunya. Cepat dia menekan tombol lift, dan secepat itu juga pintu terbuka.
Puri segera masuk. Ketika Zea hendak turut masuk, Puri menggeleng-gelengkan kepala, meminta agar dia tidak masuk.
Zea sontak menghentikan langkah, menatap pintu lift yang perlahan menutup.
Apa yang salah dengan Chen di mata Puri? Kemarin mereka terlihat baik-baik saja.
Cepat ditekannya lagi tombol lift, berharap bisa mengejar Puri naik. Butuh beberapa waktu sampai lift yang akan membawa naiknya terbuka.
Sampai di lantai unit apartemen Kaisar, pintu lift Zea pun membuka. Segera Zea keluar dari lift dan berbelok. Namun, kakinya cepat terhenti. Ketika dilihatnya Puri terduduk di atas lantai, menangis di hadapan petugas kepolisian yang menyambutnya tadi.
Puri menangis dengan suara yang tidak ditahan-tahan. Melolong dengan menyedihkan. Dari sela-sela tangisnya, terdengar nama Kaisar disebut.
Ponsel yang berdering di tas selempang membuat perhatian Zea teralihkan. Diambilnya ponsel dan merasa bahwa orang yang namanya tertera pada layar ponselnya saat ini, meneleponnya bukan karena kebetulan.
"Zea!"
"Chen!" Zea memotong. "Bagaimana bisa kamu memberikan obat untuk Puri, padahal kamu tidak memiliki kompetensi untuk itu?"
Chen terdiam di seberang sana. Tidak ada komentar satu pun kecuali keheningan.
Zea pun melanjutkan ucapannya, "Apa kamu sedang melakukan sebuah kejahatan yang tidak kuketahui?"
BERSAMBUNG.
Catatan kaki:
Salah satu perbedaan psikolog dan psikiater yang umum diketahui adalah bahwa psikiater dapat memberikan resep obat, tetapi psikolog tidak bisa meresepkan obat ke pasien atau kliennya. Psikolog akan lebih fokus dalam pemberian psikoterapi tanpa menggunakan obat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top