92. Kuil Agung

"Collin, kamu ... ." Renata kehabisan kata-kata. Pemuda itu ternyata membalas perasaannya.

Namun setelahnya, Collin membuang pandangan dan berkata, "Tapi, aku tahu batasan. Kita tidak bisa bersama."

"Apa maksudmu?" tanya Renata tak mengerti. Collin kembali terdiam, tak menjawab apa pun.

Sesaat kemudian, Renata teringat akan kakaknya dan syarat yang diajukan untuk menjadi pasangannya. "Oh, kalau masalah Kak Alex, dia pasti bisa menerimamu, karena kau adalah penyihir terkuat---"

"Bukan itu!" Collin menoleh kembali pada Renata dan memegang kedua pundaknya. "Kau tidak akan mengerti! Masalahnya tidak sesederhana itu!"

"Apa yang harus kumengerti ...?" Renata jadi bingung sendiri.

Akan tetapi, Collin tampak gusar dengan dirinya sendiri dan mulai mengacak-acak rambutnya. "Aku bingung harus menjelaskannya dari mana! Ini terlalu rumit! Aku---"

Kalimat Collin terhenti. Ia melihat sesuatu berpendar dari dalam lemari pakaiannya yang pintunya sedikit terbuka di sisi seberang ruangan. Collin memicingkan mata. Cahaya itu berwarna merah. Pemuda itu menghampiri lemari dan membukanya. Rupanya, bola kristalnya telah menyala terang sejak tadi.

"Ini ... sejak kapan menyala?" tanya Collin, lalu mengeluarkan bola kaca tersebut dan meletakkannya di atas meja tulis. Renata menjawab, "Saat aku masuk tadi, sepertinya memang sudah menyala."

Collin mengeluarkan sihirnya dari telapak tangan yang menyentuh permukaan bola kaca. Dari dalamnya, tergambar peta Kerajaan Navarre dan titik yang berpendar di salah satu wilayah. Collin membesarkan fokusnya, dan terlihat titik itu sedang berjalan menuju ke Kota Zwicc, tepatnya lokasi Kuil Agung berada.

"Memangnya kenapa kalau bola kaca ini menyala?" tanya Renata yang telah berdiri di sebelah Collin, ikut memperhatikan benda tersebut.

"Kalung sihir yang kuberikan pada Fiona telah aktif, pertanda ia sedang dalam bahaya," sahut Collin singkat. Renata mengernyit. "Kalung sihir?"

Collin menjelaskan secara singkat, mengapa ia memberikan kalung penguat energi sihir pada Fiona. Renata terbelalak mendengarnya. "Jadi, sebelumnya Lucas pernah menyiksa Fiona?"

Collin mengiyakan. "Kalung itu untuk melindungi dirinya."

"Tunggu, tunggu! Kalau benar Fiona pernah disiksa, lalu kenapa ingatannya tidak menggambarkan hal tersebut saat sidang kemarin?" tanya Renata lagi.

"Ah, itu ... ." Collin tak dapat berkutik. Renata memang gadis yang cerdas. Pemuda penyihir itu terpaksa mengakui, kalau itu bukanlah alat pembaca memori biasa.

"Kau memanipulasi gambaran ingatan Lucas dan Fiona?!" teriak Renata, membuat Collin langsung membekap mulut gadis itu. "Jangan berisik, nanti ibuku bangun!"

"Tapi, gara-gara kau, aku jadi dipenjara, padahal tuduhanku benar kalau Fiona memang diperbudak!" protes Renata.

Collin berdecak. "Sudahlah! Lagi pula, mereka sudah saling cinta. Jangan dipermasalahkan lagi!"

"Iya, sih ... ." Renata mengangguk-angguk. "Lalu, sekarang bagaimana? Fiona dilecehkan lagi? Kurang ajar Lucas!"

"Itu yang mau kucari tahu. Tapi ... ." Collin memperhatikan bola kaca sekali lagi. Titik itu kini bergerak ke tempat yang Collin katakan pada Fiona tadi siang. Apakah mungkin, Fiona sudah memutuskan akan mengungkap semuanya?

"Oh ya, bagaimana kau bisa menciptakan alat tersebut untuk keperluan sidang?" Renata memicingkan mata, memandang curiga pada Collin. "Seolah-olah, kau sudah tahu kalau Fiona dan Lucas akan disidang untuk kasus perbudakan. Rasanya aneh, kalau hanya disebut kebetulan ... ."

Pemuda itu tak dapat berkutik, ia seperti tertangkap basah sudah melakukan hal yang sangat janggal. Tanpa menjawab apa pun lagi, Collin menyambar jubah yang tadi disampirkan Renata pada sandaran kursi, lalu memakainya cepat. Renata pun jadi bingung. "Kau mau ke mana? Jawab dulu pertanyaanku!"

Collin menatap Renata sejenak, lalu berkata seraya menggandeng tangannya, "Sebaiknya kau juga ikut. Kau akan segera mengetahui semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu tadi di tempat yang akan kita tuju sekarang."

"Ke mana?"

"Kuil Agung di Kota Zwicc."

***

Suasana damai selalu menyelimuti lingkungan Kuil Agung, yang memang semua penghuninya tinggal di tempat ini untuk mendekatkan diri pada Dewa. Terutama pada malam purnama seperti sekarang ini. Kesunyiannya terasa begitu sakral, karena di waktu bulan penuh muncul inilah, gerbang langit yang menjadi penghubung antara manusia dan Dewa terbuka. Saat gerbang langit terbuka, maka persembahan pada Dewa bisa dikirimkan, termasuk pemberian berkat untuk penobatan Duke.

Penobatan Duke dan Raja di Kerajaan Navarre memang tidak sama seperti gelar bangsawan di bawahnya. Sebelum calon penerus disumpah, mereka akan mengenakan aksesoris berlambang keluarga yang telah diberkati di kuil. Caranya adalah dengan dilumuri darah si penerus, lalu dihanyutkan di kolam suci di ruang gerbang langit, saat purnama tiba. Ketika bulan penuh telah naik, maka cahaya akan bersinar dari aksesori tersebut, menandakan telah selesai diberkati dan siap digunakan dalam upacara penobatan.

Saat ini, Linden baru saja keluar dari ruang gerbang langit, begitu pula para pendeta yang membantu jalannya pemberkatan. Pemberkatan aksesori suci penobatan dipimpin oleh Pendeta Besar - tingkatan tertinggi di Kuil Agung- ditemani oleh beberapa pendeta umum, dua tingkat di bawahnya.

Begitu melihat Pendeta Besar Bernis yang memimpin doa keluar dari ruangan, Linden langsung menghampiri beliau. "Terima kasih, Pak Pendeta, karena telah membantu kami," ucap Linden seraya menjabat tangan pendeta tua yang mengenakan jubah putih itu.

Pendeta Bernis pun menundukkan kepala dan berkata, "Sama-sama Tuan, sudah menjadi tugas kami untuk membantu warga."

"Mohon maaf, karena kesibukannya, kakakku tidak bisa menghadiri pemberkatan ini sendiri." Linden memang diminta ayahnya untuk mewakilkan Lucas yang tak bisa hadir dalam pemberkatan. Selama darah Lucas masih berlumur di kalung milik keluarga yang Linden bawa, maka pemberkatan bisa diwakilkan.

"Tidak apa, Tuan. Kami mengerti, karena nama Tuan Lucas Foxton sebagai pengusaha kuliner yang sukses sudah mulai menyebar pula di kota ini. Saya pun berharap dapat mencicipi masakan khas restoran beliau. Apa namanya, ya? Saya lupa."

"Rawon, Pak Pendeta. Dan itu memang enak sekali," sahut Linden, yang langsung diiyakan oleh sang Pendeta. "Oh, benar! Semoga gigiku masih kuat untuk mengunyah dagingnya nanti."

Keduanya pun tertawa dan saling mengobrol hal lainnya, hingga tak menyadari adanya kereta kuda yang berhenti di depan gerbang kuil. Sampai akhirnya, seorang murid kuil menghampiri Pendeta Bernis dan mengatakan, "Ada yang sedang mencari Anda, Pendeta."

Linden ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh murid tersebut, dan ia terkejut. Linden memicingkan mata. Tampaklah Fiona dan Lucas turun dari kereta kuda, diikuti beberapa prajurit yang mengawal dengan kuda. Mereka berdua pun memasuki pekarangan kuil, dipandu oleh murid tadi.

"Oh, Tuan Lucas! Rupanya Anda kemari! Salam hormat, Tuan." Pendeta Bernis memberikan salam.

Linden ikut terkejut melihat kedatangan kakaknya. "Kak Lucas, kenapa kemari? Upacara pemberkatannya sudah kuwakilkan!"

"Maaf, aku kemari bukan untuk itu. Tapi, Fiona ingin bertemu dengan Pendeta Bernis," jawab Lucas. Kemudian, ia memperkenalkan Fiona pada sang Pendeta Besar. "Beliau inilah yang dapat menjadi perantara untuk membuka gerbang langit."

"Salam hormat, Pendeta Besar." Fiona melakukan curtsy. Pendeta Bernis, membalas dengan anggukan. "Salam, Nona. Anda ingin mengetahui sesuatu mengenai gerbang langit?"

"Benar, Pendeta. Saya ingin---"

"Fiona!" Satu teriakan seorang gadis muncul dari pekarangan kuil. Tampak Collin dan Renata telah sampai di Kuil Agung dengan teleportasi. Begitu melihat Fiona, Renata segera berlari dan memeluknya. "Kau baik-baik saja?"

Renata mendelik tajam ke arah Lucas. "Apa yang dia sudah lakukan?"

"Aku baik-baik saja ... apa maksudmu?" tanya Fiona tak mengerti. Ia menoleh pada Collin yang mengekori Renata. Sang penyihir mengangguk pelan. "Saat kalungmu menyala, akan terdeteksi olehku."

"Oh, itu ... um, sudah tidak ada apa-apa." Fiona berusaha menenangkan Renata yang menatap Lucas dengan benci. Lucas sendiri jadi terlihat kikuk dan merasa bersalah.

"Tapi, dia kan---"

"Sudah tidak apa-apa. Aku juga bersalah, karena menyembunyikan sesuatu darinya, Linden, dan kamu juga," ucap Fiona seraya menatap Renata.

"Fiona? Kau menyembunyikan apa?" tanya Renata. Ia pun berpaling pada Collin. Namun, bukannya menjawab, pemuda itu hanya tersenyum.

Kemudian, Collin menghampiri Pendeta Bernis. Ia menarik napas dan mengembuskannya perlahan, untuk mempersiapkan diri menghadapi fakta, yang sebentar lagi akan diketahui semua orang yang ada di kuil itu.

"Pendeta, namaku Collin. Aku ingin menanyakan tentang keberadaan dunia yang berbeda, selain di sini."

"Dunia yang berbeda? Apa maksudmu?" Linden membuka suara. Namun, Collin tak menjawab, begitu pula dengan sang pendeta.

Tiba-tiba, Pendeta Bernis memejamkan mata sejenak, dan tersenyum. "Oh, saya mengerti maksud Anda. Tuan Collin dan Nona Fiona ini memang memiliki aura yang berbeda, sejak awal aku melihat kalian berdua."

"Aura apa, Pendeta?" Kali ini, Lucas yang bertanya.

Pendeta Bernis menoleh ke arah Collin dan Fiona. Keduanya mengangguk hampir bersamaan. Mereka berdua sudah pasrah. Karena telah diberi kewenangan untuk mengungkapkan, maka sang Pendeta Besar pun berkata,

"Tuan Collin dan Nona Fiona berasal dari dunia lain."

***

Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!

Yang mau join saluran WA broadcast, ada di lynk.id/author_ryby



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top