91. Malam Purnama
"Lalu, kau mencurigaiku, Lucas?" tanya Fiona ingin memastikan. Setelah mendengar ungkapan Lucas tadi, ia pun tak akan heran kalau pemuda di sebelahnya ini ikut curiga padanya.
"Sejujurnya, awalnya aku tidak curiga. Namun, Linden menduga, bahwa kau bukanlah Fiona Nayesa yang dulu kubawa ke kastel pertama kali. Menurutnya, kau adalah orang lain yang menyamar. Tentu saja aku menentangnya! Tapi, dia memintaku untuk yang memutuskan."
Fiona mulai bisa membaca ke arah mana pembicaraan Lucas. Ia memahami semuanya sekarang. "Itu sebabnya, kau mengajakku untuk berdonasi di sebuah desa, yang ternyata adalah desaku sendiri?"
Lucas terkejut. "Kau sudah mengetahuinya?!"
"Tidak pada saat itu. Aku baru mengetahui kalau Glossop adalah desaku justru setelah sidang usai," jawab Fiona lugas, membuat Lucas makin terkejut. "Baru mengetahui? Jadi, benar kau adalah---"
"Lanjutkan dulu ceritamu!" potong Fiona. "Lalu, kenapa kau tidak bertindak apa pun, padahal sudah curiga kalau aku bukan Fiona Nayesa yang sebenarnya?"
"Karena aku tidak ingin berpisah denganmu! Linden akan langsung menyingkirkanmu, karena kau akan dianggap sebagai ancaman untuk keluarga Foxton! Aku tidak ingin hal itu terjadi!
Tapi, kemudian si penyihir itu hadir ... kalian sangat akrab, seperti sudah saling mengenal sejak lama. Saat kau mengatakan bahwa ia membantu saat sidang karena memiliki nasib yang sama denganmu, aku tidak mengerti. Satu-satunya yang sama dari kalian adalah berasal dari desa.
Tapi, kau begitu cerdas, sementara dia adalah penyihir terkuat. Aku terpaksa curiga kalau kau dan dia adalah pasangan, dan kalian berniat menghancurkan nama Foxton saat aku sudah terlanjur sangat mencintaimu.
Maafkan aku, Fiona. Aku sangat mencintai kamu, tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa ... ."
Rintihan memelas terdengar dari mulut Lucas saat memohon ampun dari Fiona. Lucas menelungkupkan kembali wajahnya, tak berani menatap gadis itu.
Fiona memejamkan mata, berusaha meredakan emosi setelah mendengar semua yang dirasakan Lucas selama ini.
Lucas tidak salah. Kalau aku ada di posisinya, aku juga pasti akan curiga. Apakah berarti, ini sudah saatnya? Lalu, bagaimana kalau nanti sikapnya berubah terhadapku?
"Baiklah. Akan lebih cepat kau akan mengerti, bila kutunjukkan yang sebenarnya," ucap Fiona. Ia sudah memutuskan, tak akan menyembunyikan apa pun lagi dari laki-laki yang ia cintai.
"Yang sebenarnya?" tanya Lucas, ia menoleh pada Fiona. Gadis itu mengangguk, lalu beranjak dari tepi ranjang, sambil masih mengenakan selimut Lucas. Fiona menatap keluar jendela. Bulan purnama naik ke peraduan. Ia pun teringat akan perkataan Collin, mengenai syarat waktu untuk bisa berkomunikasi dengan Dewa.
"Aku akan berganti pakaian. Kau mintalah prajurit untuk menyiapkan kereta kuda. Kita akan pergi malam ini juga ke suatu tempat."
***
Sementara itu, di Desa Alswein.
"Kau sudah pulang!" sambut Renata ketika Collin tiba-tiba muncul di ruang makan menggunakan teleportasi. Gadis itu berdiri memeluk nampan di dada, terlihat baru saja menyiapkan makan malam di meja bersama Layla.
Ibunda Collin muncul dari dapur sembari membawakan beberapa gelas air putih, lalu meletakkannya di meja yang sama. "Nona Renata tadi memasak sesuatu untukmu. Enak sekali. Ayo, kita makan sama-sama."
Renata tersipu malu mendengar pujian Layla. "Itu karena aku belajar dari ahlinya, kan? Aku belajar dengan sangat cepat berkat Anda juga!"
"Itu karena Nona sangat pintar! Benar-benar pantas menyandang gelar Putri Terpilih!" sahut Layla.
Sudah hampir sebulan lamanya, Renata tinggal di Desa Alswein. Ia benar-benar telah membaur dengan kehidupan desa, meski untuk beberapa hal ia masih dibantu oleh Anne si pelayan pribadinya. Namun, ia sudah tak lagi gampang merengek dan manja seperti dulu.
Awalnya, ia merasa jijik harus bersentuhan langsung dengan sapi dan hewan-hewan ternak lainnya. Akan tetapi, Renata tidak menyerah, itulah salah satu poin terkuat yang gadis itu miliki. Ia memaksakan dirinya untuk bisa melakukannya. Selain karena memang tugas dari Fiona, ia juga ingin bisa dekat dengan Collin.
Lelaki itu telah membuat perasaan Renata naik turun sejak hari pertama di Alswein. Tak seperti pria-pria lain yang pernah ia temui dalam hidupnya, Collin berani untuk menolak permintaan Renata, tidak menuruti sifat manjanya. Collin bahkan tak segan membentak ketika gadis itu berbuat kesalahan. Namun, bila Renata melakukan sesuatu yang benar, Collin tak pernah memuji tindakannya.
Collin adalah orang yang keras. Ia tak mudah membuka hati, meski sudah jelas Renata mengirimkan tanda-tanda perasaan suka padanya. Collin tak pernah benar-benar menatap Renata. Ia bersikap cuek saja, seolah tak terjadi apa pun. Renata jadi kesal dibuatnya, sekaligus makin penasaran. Ia ingin terus berjuang membuat Collin setidaknya melihat ke arahnya.
Namun, esok adalah hari terakhir Renata bisa berada di Alswein. Alat sihir yang dipesan Fiona sudah selesai dan bisa digunakan. Renata tak memiliki kewajiban lagi untuk membantu meringankan kesibukan Collin dan ibunya di peternakan. Sudah waktunya gadis itu untuk pulang.
"Collin, coba cicipi masakan Nona Renata!" Layla menyiapkan makanan putranya, mengambilkan nasi serta lauk yang dibuat Renata ke dalam piring di tangannya. "Kau pasti menyukainya!"
Renata menatap Collin sambil berharap-harap cemas, terutama ketika pemuda tersebut menyendok sesuap ke dalam mulut. Gadis itu berharap Collin menyukai masakannya. Ia sungguh belajar mati-matian dalam memasak, bidang yang selama ini belum pernah ia sentuh seumur hidup.
Collin mengunyah perlahan. Sesaat kemudian, kedua matanya tampak membulat, tetapi rupanya begitu saja. Bahkan setelah suapan tersebut telah masuk kerongkongan, Collin tak berkomentar apa pun. Matanya masih terus saja fokus ke piring dan menghabiskan makanan tanpa peduli pada tatapan Renata.
"Bagaimana, Nak? Enak, kan?" tanya Layla. Beliau membantu Renata menghapus rasa penasarannya akan pendapat Collin.
Namun, Collin tak begitu peka. Ia melahap cepat makanannya, lalu setelah piringnya kosong. Ia hanya mengucapkan satu kata.
"Lumayan." Collin membalikkan sendok dan garpu di atas piringnya, lalu beranjak dari kursi makan. "Aku ke kamar dulu. Capek sekali hari ini."
Seperti itu saja, dan Renata tertegun dibuatnya. Sikap Collin benar-benar dingin. Padahal, gadis itu akan pulang esok hari. Padahal, ini adalah malam terakhirnya, dan mungkin setelahnya mereka berdua tak akan bisa bertemu lagi. Akan tetapi, Collin bersikap tak peduli sama sekali.
"Collin! Jangan langsung ke kamar begitu saja! Itu tidak sopan!" Layla mengomel, tetapi Collin hanya mengibas tangannya, tak peduli. Kemudian, pemuda itu masuk kamar dan menutup pintu.
"Nona Renata, tadi Collin mengatakan kalau masakanmu enak dan dia menghabiskannya. Jadi, dia benar menyukainya." Layla berusaha menghibur Renata. Gadis itu membalasnya tersenyum. "Anda benar. Kurasa, Collin memang kelelahan."
Meski begitu, ini adalah malam terakhir Renata bisa bersama pemuda tersebut. Gadis itu menginginkan lebih dari sekadar 'lumayan'.
Usai makan malam dan merapikan semuanya, semua lilin dimatikan, dan Layla pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Seharusnya Renata juga pulang ke penginapan, tetapi malam ini ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Collin.
"Collin, apa kau sudah tidur? Aku ingin bicara."
"Masuk. Tidak dikunci."
Renata memutar kenop pintu dan membiarkan dirinya masuk ke dalam kamar lelaki tersebut. Renata memang pernah masuk ke dalam kamar Collin sebelumnya, tetapi saat siang hari, itu pun ketika pemiliknya tidak ada. Jadi saat ini, Renata benar-benar gugup sekali.
Kamar itu kecil, hanya sekitar tiga kali tiga meter. Sangat tidak pantas untuk Collin yang menyandang gelar penyihir terkuat saat ini. Dengan pendapatannya sebagai penyihir, ia bisa saja membeli wastu. Namun, pemuda itu tak melakukannya. Ia cukup nyaman untuk berbaring di atas ranjang tunggalnya seperti saat ini.
Collin tidur menghadap tembok, membelakangi keberadaan Renata di tengah ruangan kecil itu. Lelaki itu sudah berganti pakaian, dan jubah sihirnya digeletakkan begitu saja di lantai. Dengan sabar, Renata mengambil dan menyampirkannya di sandaran kursi sembari mengingatkan, "Jangan taruh jubahmu sembarangan begini."
"Hmm." Collin menanggapi singkat, tanpa berbalik sama sekali.
Renata belum berkecil hati dengan sikap pemuda itu. Gadis itu berjalan mendekat, dan duduk di tepi ranjang Collin, membelakangi pemuda tersebut.
"Hei, besok aku pulang pagi-pagi sekali," ucap Renata, membuka percakapan.
"Aku tahu."
"Hehe, padahal aku sudah terbiasa hidup di desa ini. Tapi malam ini adalah yang terakhir."
Collin hanya diam, tak berkomentar apa pun. Renata pun ikut terdiam. Collin mematahkan obrolannya dengan cepat. Gadis itu mencari-cari topik lain. "Um, apa masakanku tadi benar-benar enak?"
"Seperti yang kubilang tadi, lumayan."
"Lumayan saja? Tidak ada yang lain?" Renata memancing. Namun, Collin tak menyambutnya karena ia lagi-lagi hanya diam.
Kebisuan lelaki itu membuat hati Renata seakan tertusuk. Collin benar-benar tidak ingin berhubungan dengannya lagi setelah urusan mereka selesai, itu yang Renata pikirkan. Hal itu membuat air matanya membendung di pelupuk, menunggu untuk terjun bebas ke pipi.
"Kamu pasti senang, ya, tidak akan kuganggu lagi ... ." Renata memejamkan mata, membiarkan air matanya perlahan mengalir dalam diam. Ia memejamkan mata, karena ini pertama kalinya ia harus menghadapi kenyataan.
Diacuhkan Collin rupanya lebih menyakitkan bagi Renata ketimbang ditolak perjodohannya oleh Lucas. Dengan Lucas, ia tak memiliki perasaan apa pun. Namun terhadap Collin, akhirnya Renata merasakan yang namanya patah hati.
"Aku yakin, kau tidak sebebal itu untuk mengetahui apa yang kurasakan padamu. Tapi, kamu memilih untuk tak acuh. Kamu bahkan tak pernah melihat ke arahku ... ." Isak tangis Renata mulai terdengar, meski ia sudah mencoba untuk menahan.
"Apa kamu memang ... sebegitu bencinya padaku? Aku tak mengerti apa salahku--- hmmph!"
Renata kaget bukan kepalang. Ia tak sempat meneruskan kalimatnya, karena Collin sudah bangun dan duduk di sebelahnya, lalu menempelkan bibirnya pada milik gadis itu, di bawah sinar purnama yang menembus melalui jendela.
Collin memejamkan mata, ketika ia memagut lembut bibir Renata. Semuanya seolah berhenti di tempat. Jantung Renata berdegup sangat cepat, aliran darahnya deras naik ke kepala. Wajah gadis itu sangat merona, begitu mengetahui perasaannya terbalas.
Detik berikutnya, Collin melepaskan ciumannya, dan menyeka air mata di pipi Renata seraya menatapnya lekat-lekat. "Ini yang terjadi, kalau aku melihat ke arahmu."
***
Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top