90. Kalap
"A-aah ... Lucas ... tu-tunggu ...," pinta Fiona. Namun, Lucas tak mendengarkan apa pun. Ia terus memangsa leher Fiona, sampai turun ke dada.
Tak hanya sampai sana, Lucas menghujani leher jenjang gadis itu dengan ciuman dan gigitan. Fiona mengerang, tatkala gigi Lucas terbenam pada kulitnya dan menghisapnya.
Tiba-tiba pemuda itu berhenti, ketika menyadari adanya kalung yang dikenakan Fiona di sana. Kalung yang memiliki bandul kristal berwarna cokelat seperti rambut Collin.
"Ini ... ." Lucas meraih kalung tersebut, dan mengeluarkan bandul kristal cokelatnya perlahan dari dalam kerah Fiona. "Aku tidak pernah melihatmu memakainya."
"Oh, ini kalung pemberian Collin," jawab Fiona tersenyum, seraya menggenggam bandul kalung tersebut.
Apa yang tidak diketahui Fiona adalah, pandangan Lucas perlahan menggelap mendengar jawaban tersebut.
"... Si penyihir itu ...?"
Fiona mengangguk. "Katanya, aku memiliki energi sihir yang sangat lemah dalam diriku, lalu dia memberiku ini untuk... ."
Fiona tak tahu, meski ia sudah menjelaskan panjang lebar, tetapi telinga Lucas terlanjur tertutup oleh amarah. Fiona terus bercerita mengenai bagaimana kalung itu bisa ada di tangannya, hingga Lucas memotong kalimatnya.
"Sejak kapan?" Intonasi pertanyaan Lucas tersebut begitu berat. Fiona pun menyadari ada yang tidak beres.
"Maksudmu? Kalung ini? Ah, dia memberikannya belum lama ini, sebelum aku ke---"
"SEJAK KAPAN KALIAN BEGITU DEKAT!"
Teriakan Lucas begitu keras hingga memekakkan telinga. Kalau saat ini pintu kamar tidak tertutup, suara Lucas pasti sudah menggelegar sampai koridor.
Fiona sampai mematung sesaat saking kagetnya. Fiona sangat heran, mengapa tiba-tiba Lucas sampai semarah ini. Namun, detik berikutnya, Fiona mulai paham.
"Lucas, ini hanya kalung perlindungan biasa ... tidak ada arti lebih apa pun ... Collin juga hanya menganggapku---"
"JANGAN SEBUT NAMA LAKI-LAKI LAIN DI HADAPANKU!"
Lagi-lagi Fiona tersentak. Meski begitu, ia terus mencoba menjelaskan, "Tapi, aku hanya ingin mengatakan kalau kami---"
"DIAM!!"
Amarah begitu mengilat dari tatapan tajam Lucas di hadapannya. Sia-sia. Penjelasan apa pun yang Fiona coba berikan saat ini tak berarti apa pun bagi Lucas. Pemuda itu sudah buta oleh rasa cemburu dan posesif yang menyiksa dirinya.
Detik berikutnya, Lucas mendorong tubuh Fiona hingga punggung gadis itu terbentur pintu.
"Lucas, sakit!"
===
[Detail adegan pelecehan yang dilakukan Lucas pada Fiona (sekitar 200+ kata) aku sensor ya, karena menurut statistik Wattpad, pembaca cerita ini banyak yang belum 21+. Namun, alur akan tetap berjalan tanpa plothole, meski tanpa membaca adegan tersebut. Untuk versi uncensored silakan mampir ke Karyakarsa.com/ryby, dimohon kebijakannya untuk memilih bacaan sesuai usia masing-masing. Baiklah, selamat lanjut membaca!]
===
Fiona tak tahan lagi. Tanpa terasa, bulir air mata menetes di pipi. Rasanya menyakitkan. Pemuda yang ia cintai ternyata tega memperlakukan dirinya begitu rendah seperti ini.
"Kalau terjadi sesuatu yang sangat membahayakan dan ada keinginan untuk minta tolong, kalung ini akan menguatkan energi sihirmu yang sedikit itu menjadi berkali-kali lipat,"
Ucapan Collin terlintas dalam benak Fiona. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam dan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada.
"Tolong ... tolong ... TOLONG!!"
Seketika itu juga, bandul kristal pada kalung yang ia kenakan menyala terang, begitu menyilaukan.
BRAKK!!!
Fiona tak tahu, apa yang sesungguhnya terjadi setelahnya. Tubuh Lucas tiba-tiba terpental ke belakang, mengenai lemari pakaian yang ada di sisi seberang ruangan. Suara benturan keras terdengar, ketika punggung Lucas mendarat keras di permukaan pintu lemari.
Benturan tersebut menimbulkan nyeri di punggung dan kepala belakang Lucas, hingga pemuda itu akhirnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
Lucas terkesiap, terbangun dari amarah hebat yang merasuki dirinya beberapa saat lalu. Dipandanginya Fiona, yang kerah gaunnya telah robek dan terlucuti sempurna. Fiona merapatkan sisa-sisa kain yang ada untuk bisa menutupi tubuhnya sembari terisak.
Lucas bangkit dari jatuhnya. Ia pun tak menyangka bisa melakukan hal sekeji itu pada gadis yang ia cintai.
"Fiona ... maaf ... aku ... ."
Lucas menjulurkan tangan, hendak membelai pipi gadis itu. Namun, Fiona menepis. Sedetik kemudian, tamparan keras mendapat di pipi Lucas.
"Aku pikir kamu sudah berubah ... ." Fiona mengucap diiringi tangis pilu. "Aku pikir, semua yang kita lalui telah berlandaskan perasaan saling suka, bukan nafsu semata ... tapi ternyata aku salah ... ."
"Fiona ... itu tidak salah! Aku benar mencintai kamu! Maaf, aku---"
"Ini bukan cinta!!" pekik Fiona. "Kamu hanya menganggapku sebagai budak pelampiasan, sama seperti dulu!"
"Aku memang tidak bisa mengendalikan diri, tapi itu karena aku tidak ingin kau dekat dengan pria lain!" Lucas membela diri. "Rasanya sakit, melihatmu disentuh oleh si penyihir itu! Aku---"
"Kau bahkan tidak mau mendengarkan penjelasanku!! Sudah kukatakan, aku tidak ada hubungan apa pun dengannya!"
"Lalu, kenapa kau bisa dekat dengannya! Apa saat di persidangan, kamu berpura-pura baru mengenalnya, padahal kalian saling kenal sejak lama?!"
"Apa maksudmu ...?" tanya Fiona tak mengerti.
"Aku sudah menyelidiki semuanya!" Lucas menaikkan volume bicaranya. "Alat manipulasi memori yang dihadirkan di persidangan kemarin memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa selesai! Untuk apa dia menciptakan alat seperti itu? Dan kenapa bisa selesai, tepat saat kita membutuhkannya?"
"A-aku juga tidak mengerti---"
"Biar kukatakan pemikiranku," sela Lucas. "Si penyihir itu melakukannya karena tahu kasus perbudakan itu akan sampai ke persidangan. Dia sudah mengenalmu sejak lama. Perbudakan yang seharusnya orang lain tak pernah tahu, tapi dia mengetahuinya. Meski begitu, dia tak pernah muncul untuk menyelamatkanmu, sampai kemarin.
Apa jangan-jangan, kamu dan dia ... ." Sampai di sini, Lucas tak melanjutkan kalimatnya. Apa yang ingin dia katakan akan sangat membahayakan kelangsungan hubungannya dengan Fiona.
"Katakan!" seru Fiona. Ia menantang Lucas. "Setelah semua yang terjadi, aku ingin tahu apa yang kau pikirkan tentangku sejujurnya!"
"Jangan memaksaku untuk melakukannya, Fi!"
"Katakan saja! Bukankah kau ingin semuanya menjadi jelas?"
Lucas menarik napas panjang. Ia menatap Fiona lekat-lekat. Kedua mata Fiona begitu mengilat, menampilkan amarah.
Lucas berpaling ke ranjang dan duduk di tepinya. Ia memangku wajahnya pada kedua tangan yang bertumpu di lutut. Pikirannya sangat kacau. Ia tak tahu lagi harus percaya pada siapa. "Kamu akan sangat membenciku, bila aku mengatakannya, Fi ... ."
Suara Lucas terdengar begitu lemah dan memprihatinkan. Namun, Fiona tak ingin mengasihaninya saat ini. Gadis itu ingin Lucas berkata yang sebenar-benarnya. "Biar aku yang memutuskan, apakah aku akan membencimu atau tidak."
Lucas menarik napas sekali lagi sebelum akhirnya berkata, "Linden sudah menyelidikimu sejak lama. Kau tahu sifat adikku itu seperti apa, bukan? Ia begitu tertarik ketika ada sesuatu yang terjadi di luar nalar. Dan ... kamu menarik perhatiannya."
"Aku?" Fiona begitu penasaran. Ia mendekat ke arah Lucas dan duduk di sebelahnya. Lucas menoleh ke arah Fiona seraya menyahut, "Benar. Karena kecerdasanmu."
Lucas mengambil selimutnya dari ranjang, kemudian membalut tubuh Fiona dengan benda tersebut guna menutupi aurat yang tadi sempat ia lecehkan. Gadis itu tak lagi harus menggunakan tangan kosong.
"Kenapa dengan kecerdasanku?" tanya Fiona lagi.
Lucas menerangkan dengan singkat percakapannya dengan Linden saat itu. Sang putra bungsu Duke mengatakan bahwa Fiona Nayesa tak mungkin bisa memiliki gagasan untuk bisnis kuliner yang sedang mereka jalankan saat ini, terlebih lagi memiliki ide untuk usaha jasa konsultasi pemasaran.
"Itu karena ... menurut hasil penyelidikan, kau seharusnya ... tidak bisa baca tulis ...."
Meski Lucas telah mengatakannya dengan amat hati-hati, Fiona tetap terperangah. Nayesa yang sebenarnya tidak bisa baca tulis??
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top