82. Pamit
"Renata, apa masakanmu sudah siap?" tanya Fiona, sembari menoleh ke arah Renata yang tengah mengaduk daging rebus dalam panci
Renata mengangguk sembari terus memandangi isi pancinya. Peluh bercucuran di wajah cantiknya. Sebelumnya, ia tak pernah memasak, apalagi melangkahkan kaki ke dapur.
"Sepertinya sudah. Akan kusajikan sebentar lagi," jawab Renata.
Ini adalah hari ketiga sekaligus yang terakhir bagi Fiona untuk mengajari Renata seluk beluk kluwek dan juga pembuatan rawon. Hari pertama dan kedua diisi dengan kegiatan fermentasi dan pengaturan karyawan, sementara hari ini waktunya Renata mencoba keahliannya dalam memasak.
Renata diperkenankan menggunakan dapur ketika restoran menjelang waktu tutup. Jadi saat ini, hanya tinggal Renata dan Fiona saja di restoran, sementara para pelayan lain sudah pulang semua.
Sebenarnya, belajar memasak seperti ini bisa dilakukan langsung di kediaman Basset. Namun, Renata menolak. "Supaya terasa suasana restorannya. Lagi pula, di rumah sepi. Ibu dan Kak Alex sudah pulang ke Hamich pagi-pagi sekali hari ini."
"Oh, kau benar. Aku lupa, kalau Tuan Alex dan Tuan Lucas ingin meninjau lahan yang bisa dijadikan kebun pangium di sana," timpal Fiona.
Sepanjang pembelajaran, Renata tak lagi mengeluh bila disuruh-suruh. Selain karena takut tersengat lagi, Renata merasa semuanya akan jadi lebih cepat selesai kalau dia menurut saja. Gadis itu juga tak punya pilihan untuk meminta bantuan, karena selama belajar, pelayan dan prajuritnya dilarang untuk ikut. Mereka hanya diperkenankan hadir untuk menjemput sang nona muda saat pelajaran usai.
Renata memastikan lagi daging yang tengah direbusnya sudah empuk. Wangi kluweknya pun sudah mulai tercium. Di atas meja sebelah Renata, terdapat kertas dan pena untuknya mencatat resep yang diberikan oleh Fiona. Gadis itu melihat sekali lagi, untuk meyakinkan diri bahwa semuanya sudah sesuai resep. Kemudian, ia mengambil sebuah mangkuk dan menyajikan seporsi rawon di atasnya.
"Yang di dalam panci sudah kau sajikan semua?" tanya Fiona, begitu Renata meletakkan mangkuk rawon di hadapannya.
"Sudah. Seperti katamu tadi, aku hanya perlu memasak seporsi saja. Di dalam panci sekarang hanya sisa kuahnya sedikit," kata Renata.
Waktunya bagi Fiona mencicipi masakan Renata. Fiona menggerakkan tangannya, melambaikan udara di atas mangkuk ke wajah untuk membaui aromanya. "Wanginya pas!"
Kemudian, Fiona menyuap sesendok potongan daging. Gadis itu mengunyah perlahan, mencoba menilai. Seketika itu juga, dahinya mengernyit. "Ini sudah oke. Dagingnya empuk dan kluweknya tidak pahit. Hanya kuahnya agak asin. Lain kali, coba dikurangi sedikit garamnya, ya!"
"Baiklah!" sahut Renata, sembari mencatat perkataan Fiona.
"Oke, kamu sepertinya punya bakat masak, ya? Padahal katamu belum pernah ke dapur!" celetuk Fiona.
Renata tersenyum dan membusungkan dada, sembari mengibas rambut hitamnya yang jatuh di pundak. "Tentu saja! Aku memang cerdas dan berbakat! Gelar Putri Terpilih yang disematkan untukku itu bukan main-main!"
"Heh, sombong sekali!" sahut Fiona. Keduanya pun tertawa.
Tak lama, terlihat sebuah kereta kuda berhenti di depan restoran. Ada lambang keluarga Basset terpatri di pintu kabinnya. Jemputan pulang untuk Renata sudah tiba, tepat di jam yang telah dijadwalkan.
"Jemputanku sudah datang. Apa ada hal lain lagi yang harus kulakukan?" tanya Renata.
"Tidak ada. Semua sudah selesai. Kau pulang dan beristirahatlah. Tiga hari lagi, kita akan berangkat ke kotamu. Nanti kita akan bertemu Tuan Alex dan Tuan Lucas di sana---"
"Kau masih memanggil Lucas dengan sebutan 'Tuan'?" tanya Renata heran.
"Itu karena secara profesional, dia masih atasanku di jam kerja," sahut Fiona. Renata malah mengernyit. "Kaku sekali! Dia kan, sudah jadi kekasihmu!"
Mendengar celetukan tersebut, wajah Fiona langsung merah padam. "Belum!!"
"Berarti akan jadi, bukan?" Renata memicingkan mata. "Jangan plinplan! Nanti akan ada gadis sepertiku dulu yang tertarik juga padanya, kau akan menangis!"
"Jangan menyumpahi seperti itu!' sembur Fiona.
Renata tertawa. "Aku serius! Entah Lucas atau dirimu yang akan dilirik oleh orang lain lebih dulu, tidak ada yang tahu!"
Seorang pelayan turun dari kereta kuda, dan membantu Renata membawakan tasnya yang berisi kertas-kertas catatan. Fiona mengantar sampai ke depan kabin. Angin malam yang dingin mulai berembus. Fiona memeluk tubuhnya sendiri dan mengusap-usap kedua lengannya.
"Kau masih ingin tinggal lebih lama?" tanya Renata lagi.
Fiona mengangguk. "Setelah menghabiskan rawonmu, aku akan beres-beres sebentar lalu pulang."
"Mau kutunggu? Biar kusirku mengantarmu sekalian!"
"Tidak usah! Kau pulang dan beristirahatlah. Besok jangan lupa berkemas-kemas!"
Renata menghela napas sejenak. Lalu, seorang prajurit membantunya menaiki kabin. Setelah duduk, Renata membuka jendela agar bisa melihat wajah Fiona. "Baiklah. Hati-hati. Kalau memang rawonku begitu asin, tidak usah dihabiskan!"
"Bisa kutambahkan air. Tenang saja! Sampai jumpa!"
Fiona pun melambaikan tangan pada kereta kuda Renata yang kian menjauh. Sepeninggal Renata, angin dingin berembus sekali lagi. Fiona sedikit menggigil. "Sebaiknya aku segera membereskan semuanya, agar bisa cepat-cepat pulang."
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara memanggil, "Fiona!"
Spontan, gadis itu menoleh. Tampak Collin tengah melambaikan tangan padanya dari sudut jalan. Kemudian, pemuda itu berlari mendekat.
"Hei! Sedang apa kau di sini?" tanya Fiona.
"Ingin bertemu denganmu!" jawab Collin singkat.
"Ada apa?" Tiba-tiba, angin kembali berembus. Fiona berteriak, "Uhh! Dingin!"
Fiona menarik tangan Collin dan mengajaknya masuk. "Ayo, mengobrol di dalam saja! Dingin sekali di sini!"
"Baiklah!"
Sesampainya di dalam restoran, Collin melepas mantel yang ia kenakan. tatapan matanya tertuju pada semangkuk rawon hangat di atas meja, saat ia mengedarkan pandangan. "Wah, aku jadi lapar melihat rawon utuh begitu!"
Fiona melihat Collin yang langsung duduk di hadapan rawon tersebut. "Punya siapa?" tanya pemuda itu.
Satu ide terlintas dalam benak Fiona. Gadis itu tersenyum simpul. "Bukan punya siapa-siapa. Makan saja!"
"Yakin? Aku bisa menghabiskannya langsung, lho!" tanya Collin memastikan, meski tangannya sudah mengangkat sendok di dalam mangkuk.
"Benar! Sepertinya rawon itu memang berjodoh denganmu. Buktinya, kau datang di saat yang tepat sebelum aku memakannya!" sahut Fiona. Dalam hati, gadis itu cekikikan.
"Baiklah! Aku makan, ya!" seru Collin, membuyarkan lamunan Fiona. "Silakan!"
Baru suapan pertama, kedua mata Collin membelalak. Ia terus memakannya tanpa mengeluh keasinan.
"Oh ya, hampir lupa." Collin membuka pembicaraan sembari setengah mengunyah. "Aku kemari untuk pamit."
"Pamit? Kau mau pulang ke Kota Zwicc?"
Collin mengangguk. "Urusanku di sini sudah selesai semua. Memori yang dijadikan barang bukti sudah diberikan seluruhnya. Kasus pun sudah ditutup. Malam ini aku akan pulang. Tapi, bukan ke Zwicc. Jumat sampai Minggu adalah waktunya aku kembali ke desa."
"Oh, begitu. Baiklah. Ngomong-ngomong, apa nama desamu?"
"Alswein. Kalau kau pergi ke County Baxshire, mampirlah ke tempatku. Dua jam kalau naik kereta kuda dari Kota Hamich."
"Oke. Kebetulan sekali aku memang akan pergi ke sana dalam waktu dekat," ucap Fiona. Collin terkejut. "Benarkah?"
Fiona mengangguk. "Restoran ini akan membuka cabang di sana. Kau punya usaha ternak, bukan? Mungkin nanti kita bisa bekerja sama."
"Oh, ide bagus!" seru Collin ceria. Ia pun kembali menyuap daging rawon di hadapannya.
"Oh iya, ada yang mau kutanyakan," ucap Fiona. Gadis itu teringat tentang apa yang terjadi pada Renata kemarin. Collin mengangkat alisnya seraya menatap Fiona. "Apa?"
"Kalau kita melanggar perjanjian dalam kontrak sihir, akan merasakan sengatan. Benar?"
"Benar." Collin menanggapi sambil terus makan. "Kenapa memangnya?"
"Aku pernah melanggar sedikit perjanjian perbudakan pada Lucas dahulu. Kenapa aku tetap baik-baik saja saat itu?"
"Oh, mungkin karena kau berasal dari dunia lain. Jadi, kau juga memiliki energi sihir sepertiku."
Collin menjawab pertanyaan Fiona sekenanya, sementara Fiona dibuat terbelalak. "Apa?!"
Collin mengacungkan sendok pada Fiona. "Hanya itu satu-satunya penjelasan. Energi sihir dalam dirimu melindungi dari bahaya."
"Tapi, kenapa aku tidak bisa menjadi penyihir sepertimu! Andai aku bisa sedikit saja, aku tidak akan kesusahan menjalani hidup tanpa listrik di sini!" keluh Fiona.
Collin tergelak mendengarnya. "Mungkin karena kau merasuki tubuh figuran, jadi energi sihirmu sangat lemah, sampai tak terdeteksi oleh serikat. Sedangkan aku adalah tokoh utama. Hanya itu kan, satu-satunya perbedaan kita?"
"Oh, iya juga ... ." Fiona menyayangkan nasibnya. "Coba saja kalau aku bisa sihir sedikit ... ."
"Jangan sedih begitu!" Collin berdecak. "Tanpa sihir saja, kau sudah bisa mengubah dunia, bagaimana kalau punya? Bisa cepat kiamat!"
"Sembarangan kalau ngomong! Habiskan saja makanmu itu!"
Collin tertawa terbahak-bahak. "Ngomong-ngomong, pelanggaran apa yang kau lakukan?"
"Hmm, kau tak perlu tahu!" seru Fiona. Ia merasa malu juga kalau harus menceritakan apa yang pernah dilakukan Lucas padanya dulu.
Namun, Collin sebenarnya sudah bisa menebak. Ia jelas membaca isi perjanjian kontrak sihir antara Fiona dan Lucas saat sidang kemarin. "Aku tahu."
"Apa?" tanya Fiona balik. Collin tak menjawab. Ia tampak melepaskan sebuah kalung bermata kristal cokelat dari lehernya yang tersembunyi di balik kerah baju, lalu memberikannya pada Fiona.
"Pakailah. Untuk berjaga-jaga."
***
Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top