5. Sifat Nayesa
Fiona refleks mendorong tubuh Lucas secara kasar, hingga menjauh dari dirinya. Gadis itu bergidik. Rasanya tidak nyaman mendapat perlakuan seperti itu dari seseorang yang asing baginya. Fiona memandang Lucas dengan tatapan ngeri.
Lucas sendiri terbelalak melihat sikap Fiona. Dahinya berkerut, emosinya sudah di ujung tanduk.
"Apa-apaan kau! Beraninya menolakku!!" teriak Lucas tepat di depan wajah Fiona. Gadis itu tersentak. Dengan cepat, ia menunjuk ke arah luar jendela.
"Sudah hampir pagi, Tuan! Su-sudah waktunya bagi saya untuk kembali ke asrama pelayan ... ."
Lucas menoleh ke arah jendela yang Fiona tunjuk. Memang benar, semburat sinar mentari mulai muncul di langit. Sebelum semuanya terbangun dari tidur lelap semalam, Fiona harus segera pergi dari kamar Lucas untuk menghindari kecurigaan.
"Kau benar ...," sahut Lucas. Ia mundur, lalu duduk di tepi ranjang, tampak sedang memikirkan sesuatu, sembari memandangi Fiona. "Ya sudah, pergilah."
Fiona cepat-cepat memunguti seluruh pakaiannya yang berserakan di lantai. Kemudian, ia membuka pintu, menoleh ke kanan kiri sejenak, dan segera pergi ke asrama pelayan. Menurut ingatannya dari webtoon, asrama pelayan terletak di sisi kiri Kastel Abbott yang menjadi kediaman keluarga Foxton. Fiona berharap, semoga ia tidak salah.
Tanpa Fiona sadari, seseorang sedang mengintip dari balik lorong koridor, melihat kemunculan pelayan tersebut dari kamar Lucas. Ia curiga pada apa yang dilakukan oleh Fiona sepanjang malam di kamar sang putra sulung Duke Foxton.
***
Sementara itu, Lucas menatap kepergian Fiona, menghilang di balik pintu. Lelaki tambun itu memijat pelipisnya, lalu menyentuh bibir dengan ujung jari. Ia masih bisa merasakan lembutnya bibir Fiona di sana. Lucas merasa ada yang berbeda dari tindakan Fiona yang barusan.
Sebelumnya, Fiona bahkan tak berani menatap Lucas tepat di mata. Bicaranya terbata-bata dan selalu penuh ketakutan. Pelayannya itu begitu cengeng, hingga tiap hardikan Lucas langsung disambut oleh air mata. Lalu, biasanya, meski pagi telah tiba, kalau Lucas meminta untuk melayaninya lagi, Fiona hanya bisa tunduk diam dan menurut.
Yang barusan jelas tidak seperti itu. Fiona lebih berani untuk mencari alasan, seperti ketika ia mengatakan turun dari ranjang untuk mencari minum. Padahal, gelas minum ada di meja kecil di sebelah tempat tidur, masih terisi penuh. Lucas sengaja tidak mendesaknya lebih jauh. Ia cukup terkejut atas sikap Fiona. Terlebih lagi saat gadis itu menolak dirinya hanya karena sudah pagi.
"Kenapa dia jadi lebih melawan sekarang? Apa jangan-jangan ... tadi dia sungguh berencana untuk kabur?" Pikiran negatif mulai muncul dalam benak Lucas. Tiba-tiba, ia mengusap-usap wajahnya secara kasar.
"Dia tetap milikku! Dia tidak akan bisa pergi ke mana pun!"
***
"Fiona! Sedang apa kau di sini?" sapa seorang pelayan wanita. Fiona tengah berdiri di lobi lantai satu asrama pelayan. Asrama ini terletak di menara sebelah timur kastel, dan menjadi tempat tinggal seluruh pekerja. Ia kebingungan, menoleh ke sana kemari, mendapati dirinya berada di menara penuh ruang tidur, tanpa tahu yang mana kamar miliknya.
Fiona menoleh pada si pelayan wanita. Usianya tampak sebaya. Gaun hitam dan celemek putihnya masih bersih dan rapi. Tak seperti yang Fiona kenakan saat ini, sudah lecek. Gadis itu tak mengenalnya. Pasti salah satu figuran lain, pikirnya. Fiona bersyukur, tiap pelayan memiliki label nama yang tersemat di dada.
"Oh, hai ... Seri," ucap Fiona, sembari diam-diam membaca label nama lawan bicaranya. "Aku baru saja ingin pergi ke kamar."
"Kamar?" Seri mengelilingi tubuh Fiona, seraya memainkan rambut pirangnya yang diikat kepang dua. Seri menatap Fiona lekat-lekat, dari ujung kepala hingga kaki. Sampai Fiona merasa risi. "Memangnya kau dari mana, pagi-pagi baru ingin ke kamar?
Seri mendelik curiga pada rekan seprofesinya itu. Fiona menelan ludah. Ia memutar bola mata, berpikir cepat untuk mencari alasan. "Err, setengah jam yang lalu aku merasa kepanasan di kamar, lalu aku pergi keluar, umm, ke taman! Ya, ke taman!"
"Hooo ...." Seri membulatkan mulut, lalu mengangguk-angguk. Fiona memejamkan mata, berharap kecurigaan Seri cepat berlalu. Ia tak ingin diadili massa karena profesi keduanya sebagai budak.
"Kalau begitu, cepat bersiap-siap. Bu kepala pasti akan mengomel kalau kita terlambat mengikuti arahan pagi." Seri menepuk pundak Fiona, lalu melambaikan tangan pamit untuk pergi dari menara. Seketika itu juga beban ketakutan Fiona lenyap.
Tapi, tetap saja, yang mana kamarku? tanya Fiona dalam hati, kembali panik. Ia tidak mungkin bertanya pada orang lain. Bisa-bisa dia dicurigai seperti tadi. Fiona mengedarkan pandangan ke sekitar, berharap mendapat petunjuk.
Tak lama, dua orang pelayan laki-laki menuruni tangga menara, menuju lobi tempat Fiona berdiri saat ini. Mereka saling mengobrol dan tertawa. Salah satu di antara mereka memutar-mutar cincin gantungan kunci di ujung jari.
"Hei, jangan diputar-putar begitu! Nanti terlempar lalu hilang, kau tidak bisa masuk kamar!" peringat si teman.
Yang memutar kunci hanya mengiyakan dengan cuek. "Baiklah, baiklah ... Hai, Fiona!"
Mereka berdua menyapa. Fiona memicingkan mata, berharap bisa membaca label nama kedua pelayan lelaki tersebut. Ron dan Visar.
"Hai, halo!" Fiona balas menyapa. Anehnya, saat disapa balik, Ron dan Visar malah terbelalak kaget.
"Ada apa?" Fiona jadi bingung sendiri.
"Ah tidak. Biasanya kamu tidak membalas sapaan kami, hanya tersenyum," jawab Ron. Refleks, Fiona menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
"A-ah, iya! Aku sedang ingin menyapa kalian saja! Sudah, ya!"
Fiona segera pergi ke lantai atas terburu-buru, takut kedua lelaki tadi makin curiga. Aku tidak tahu bagaimana sifat Nayesa di luar kamar Lucas! Mana aku tahu kalau seharusnya tadi itu tersenyum saja, bukan menyapa balik!
Setelah ia menghilang dari pandangan kedua pelayan tadi, Fiona merogoh-rogoh saku gaun. Ia berharap dapat menemukan kunci kamar di sana. Karena tadi Fiona sempat melihat, ada papan kayu mini tergantung pada kunci Ron. Pasti ada petunjuk.
Tak lama, ada tangkai besi kecil terasa di tangan Fiona, dari dalam saku. Fiona bersyukur, itu benar kunci kamar, lengkap dengan nomor unitnya. Cukup mengejutkan, nomornya sama seperti apartemen Fiona di dunia sebelumnya, 303.
Kamar dengan nomor tersebut ada di lantai tiga. Berbeda dengan kehidupan sebelumnya, Fiona tidak bisa naik lift di sini. Gadis itu megap-megap, karena harus naik tangga sampai tiga lantai. Sejak sibuk bekerja, sudah lama ia tak berolahraga. Terlebih lagi, sepertinya stamina Nayesa yang ia rasuki cukup lemah, seperti yang ada dalam cerita.
Kalau Nayesa tiada karena stamina lemah saat melayani Lucas, itu berarti, aku harus meningkatkannya selama merasuki tubuhnya ini, supaya tidak mati cepat!
Tapi sebelum itu, aku mau mandi dulu!
Satu hal yang Fiona lupakan, dunia dalam webtoon yang ia masuki ini ber-setting kerajaan di abad pertengahan. Tidak ada listrik yang bisa membantu keseharian. Yang berbeda hanyalah, ini kerajaan fiktif. Kerajaan Navarre tidak pernah ada dalam sejarah mana pun di dunia Fiona sebelumnya. Iklimnya tropis, hanya ada dua musim seperti di Indonesia.
Gerahnya iklim tropis membuat Fiona ingin diguyur air segera. Akan tetapi, di dunia tanpa listrik ini, air hanya bisa didapat dari sungai atau sumur. Apalagi pelayan seperti dirinya, jangan harap ada yang bisa membantu ambilkan air.
Sekarang, mau mandi saja aku harus menimba air sendiri? Aghhh!!
Fiona bersungut-sungut, mengumpat dalam hati, sembari menarik satu ember penuh dari dalam sumur. Gadis itu belum tahu, apa yang selanjutnya menanti di hadapannya.
***
Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top