47. LaRose

Dini hari menjelang. Fiona terbangun masih dalam keadaan setengah mengantuk, sementara Lucas telah berdiri sembari memakai mantelnya kembali di sebelah tempat tidur. Fiona menegakkan badannya untuk duduk dan menguap sejenak. Tingkah lakunya mendapat tawa kecil dari Lucas.

"Kau sudah bangun?" tanya Lucas, seraya mengancing kemeja di pergelangan tangan. Kemeja itu kusut, setelah dipakai tidur semalaman.

Fiona mengangguk, lalu meraba lehernya. Terasa agak perih, di satu titik bekas cupangan Lucas.

"Harus aku apakan ini?" Fiona melangkah menuju cermin yang berdiri di sebelah lemari. "Bekasnya terlihat!"

Gadis itu mendelik kesal pada Lucas yang hanya tersenyum-senyum senang. "Hanya satu. Kalau ada yang bertanya, bilang saja digigit serangga."

"Iya memang, serangganya besar sekali dan malah menginap semalaman di sini!"

Sesuai janji, Lucas benar tidak melakukan apa pun di luar batas terhadap Fiona, tak seperti saat gadis itu masih menjadi budaknya. Lucas menghormati keinginan Fiona sebagai seorang wanita. Namun, bukan berarti ia dapat menahan nafsunya.

Lucas merengkuh tubuh Fiona yang sedang bercermin dari belakang. Ia mengistirahatkan kepalanya di pundak gadis itu.

"Maafkan aku. Jangan marah," ucap Lucas memelas.

Fiona hanya bisa menghela napas dan mengusap kepala majikannya itu. "Aku tidak marah. Tapi ini akan membekas selama seminggu."

"Kalau begitu, aku akan melakukannya lagi setelah satu minggu dari sekarang."

Spontan, Fiona melepaskan pelukan Lucas dengan kasar. "Tidak lucu!"

Lucas terkekeh. Sesaat, ia melirik ke arah jam dinding. "Aku pergi dulu. Nanti, kita jadi mengunjungi calon restoran kita yang baru?"

Fiona mengangguk. "Setelahnya, kita bisa langsung belanja peralatan makan mewah untuk para bangsawan."

"Oh, belanja, ya ... ." Tiba-tiba, Lucas tersenyum ke arah Fiona.

"Apa?"

"Tidak apa-apa. Baiklah, nanti kita belanja."

Dikecupnya kening dan bibir Fiona sekali lagi, lalu Lucas beranjak ke arah beranda kamar dan turun dari sana. Tak lupa, lelaki itu memasang tudung mantel di kepala dan menghilang di antara belokan rumah-rumah penduduk lainnya.

Wajah Fiona masih merona sepeninggal Lucas. Bekas cupangan itu masih terasa. Ia kembali memikirkan keputusannya untuk tidak terlibat dengan Lucas lebih jauh.

"Aku ... jadi sayang padanya ... ," gumam Fiona, seraya meraba jejak ciuman Lucas pada bibirnya.

"Semoga tidak ada hal buruk yang menimpa, karena aku melakukan hal ini."

***

Pagi hari tiba. Saat ini, Lucas dan Fiona berada di dalam kabin kereta kuda Foxton yang pergi ke distrik perbelanjaan elite. Jendela kabin yang terbuka membuat angin berembus menerpa wajah Fiona.

Gadis itu melihat-lihat pemandangan sekitar. Pertokoan yang berdiri dia area distrik elite ini begitu berbeda. Meski sebelumnya Fiona pernah kemari, tetap saja ada hal-hal yang membuatnya tetap kagum.

Bangunan-bangunan klasik tersebar di berbagai penjuru. Para nyonya dan nona kaya saling mengobrol, memamerkan kecantikan masing-masing. Tak lupa pula para tuan bangsawan pemilik gelar kasta juga terlihat di area ini, saling mengobrol mengenai bisnis.

Seketika itu pula, Fiona merasa dirinya asing. Dibanding dengan mereka yang berpakaian gaun mewah, saat ini Fiona hanya mengenakan gaun terbaik yang dia punya. Berwarna kuning polos dengan korset hitam. Yang terbaik baginya adalah yang terburuk bagi kaum elite. Fiona memandangi dirinya sendiri, lalu menutup jendela kabin rapat-rapat.

"Kenapa?" tanya Lucas heran.

Fiona menggeleng cepat. "Tidak ada apa-apa, Tuan!"

"Kau memanggilku "Tuan" lagi?" Lucas merajuk. Fiona tersenyum. "Karena ini sudah masuk jam kerja. Bersikaplah profesional."

Lucas menghela napas, mengalah. "Kau benar." Pemuda itu ikut melihat-lihat ke luar jendela. Ia tampak mengerti apa yang tadi dilihat oleh Fiona.

"Tidak usah membandingkan dirimu dengan orang lain. Kau yang mengajariku begitu, bukan?"

Fiona mengangguk lemah. "Anda benar. Tapi, berpakaian yang pas sesuai waktu dan tempat termasuk salah satu strategi pemasaran."

Lucas tersenyum seraya berkata, "Aku tahu. Itu sebabnya, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

Tak lama, kereta kuda yang mereka tumpangi berhenti. Lucas turun terlebih dahulu, lalu menawarkan tangannya pada Fiona, untuk membantunya turun. Gadis itu terkejut. Kereta kuda mereka tak berhenti di bangunan restoran yang akan mereka beli, melainkan di sebuah butik bernama LaRose.

"Tuan, ini ... butik nomor satu di negeri?" Fiona memandang takjub pada eksterior butik yang tampak mewah itu. Berbagai gaun lengan panjang maupun pendek terpajang rapi, dipakaikan pada manekin kayu. Semuanya dapat dilihat dari kaca etalase. Ada sekitar manekin pria, wanita, dan anak-anak masing-masing dua buah, berpose sedemikian rupa bak model.

"Kita akan belanja pakaian untukmu," cetus Lucas tiba-tiba.

Kedua mata Fiona membulat, menatap ke arah Lucas heran. "Aku tidak sanggup untuk membayar tagihannya nanti!"

"Hei, aku yang akan---"

"Tidak, tidak!" Fiona segera menyela kalimat Lucas. "Aku tidak ingin dianggap telah memanfaatkanmu!"

"Aku tidak masalah," sahut Lucas singkat, tak peduli. Fiona jadi gemas dibuatnya. "Orang lain yang akan mempermasalahkan! Aku gadis desa, Tuan. Asal usulku akan dipertanyakan kalau aku memakai baju mewah."

"Memangnya, apa urusan mereka, mempertanyakan hal seperti itu?" Lucas balik bertanya.

"Tidak ada urusan. Tapi, begitulah pola pikir masyarakat dunia ini bekerja! Mereka membicarakan satu sama lain tak ada habisnya, apalagi terhadap yang beda kasta!"

Fiona telah mengalami itu semua sewaktu masih di bumi. Anak desa yang mendapat pekerjaan di ibu kota, langsung mendapat sindiran dari sekitar. Itu terjadi sebelum akhirnya Fiona membuktikan kecerdasannya dalam bekerja, hingga tak ada yang berani berkomentar lagi.

Tiba-tiba, Lucas tergelak mendengar pernyataan Fiona barusan. "Dunia ini? Kamu bicara seolah pernah melihat dunia yang lain saja"

Fiona langsung berkeringat dingin. "Ah, ma-maksudku ... ."

"Tidak apa-apa." Lucas kembali memberikan pembelaan atas tindakannya membelanjakan Fiona. "Kau akan menjadi manajer di restoran kita di distrik elite ini. Sudah sepantasnya aku memberikanmu pakaian yang tepat, sesuai dengan tempatnya. Kau yang mengatakan hal itu tadi. Anggap saja investasi."

"Tapi, tidak dengan dibelanjakan, dan tidak di butik semahal ini!" Fiona masih saja berdebat.

Lucas menghela napas panjang. Sulitnya berdebat dengan gadis keras kepala di hadapannya. "Kali ini, kita akan membawa nama Foxton, tak seperti pembukaan kedai sebelumnya. Ayahku bisa kehilangan muka, kalau karyawan yang bekerja di bawahnya berpakaian bukan dari label ternama."

"Hmm ... ." Fiona kehabisan kata-kata. Bila nama Duke Alfred sudah muncul ke permukaan, Fiona bisa apa. "Baiklah, aku setuju. Dengan syarat."

"Apa?"

"Potong gajiku untuk melunasi semua pakaian yang akan dibeli. Dengan begitu, aku tidak akan merasa terbebani."

"Haaahh ... ." Lucas mengangguk pasrah. "Iya, iya. Ya sudah, ayo kita masuk."

Bel penanda kedatangan pembeli berbunyi saat Lucas membuka pintu. Seorang pelayan pria dengan kemeja putih dan vest hitam menyambut mereka. "Selamat datang, Tuan Foxton. Ada yang bisa kami bantu?"

Lucas menggandeng Fiona, dan memperlihatkannya pada si pelayan. "Aku ingin pakaian terbaik yang kalian miliki, untuknya."

Fiona terbelalak, ia mendelik pada Lucas. Namun, ia tak bisa marah karena si pelayan dengan antusias segera mengantar Fiona ke ruang ganti, sembari rekannya memilah gaun-gaun termewah yang pernah ada. Lucas hanya tersenyum geli. Dalam hati, ia berniat hanya memotong satu persen dari gaji Fiona setiap bulannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top