30. Model Lukisan

Lima belas menit yang lalu.

"Mana, sih, orangnya?" Fiona menggumam seraya menoleh ke kanan-kiri lapangan. Saat ini, ia sedang berada di lapangan kastel tempat para prajurit berlatih. Jaraknya tak jauh dari barak yang ada di menara sebelah barat kastel. Mereka diwajibkan untuk berlatih setiap pagi hingga menjelang siang. Menu latihannya bermacam-macam, dan detik ini adalah jadwalnya mereka berjalan jongkok keliling lapangan dua kali putaran.

Fiona memicingkan mata, berharap bisa menemukan sosok yang ia cari dalam antrean jalan jongkok yang ada di seberang tempatnya berdiri. Sosok itu ada di deretan paling depan, memimpin para prajurit lain yang telah tampak kepayahan mengikuti di belakang. 

Fiona segera berlari menyusuri tepi lapangan, menyusul dari arah berlawanan. Masih jauh dari para prajurit, tetapi Fiona sudah melambaikan tangan sembari berteriak, "Tuan Linden!"

Seketika itu juga, para prajurit Foxton berhenti melangkah jongkok dan memandang jauh ke depan, terutama Linden sendiri. Dahinya berkerut. Tak pernah ada yang memanggil namanya seperti itu sambil berlari. Tak pernah ada yang berani.

Akan tetapi, itulah dia, Fiona, yang menurut informan Linden adalah pelayan spesial kakaknya. Dari kejauhan sudah memanggilnya begitu. Linden bangkit dari posisi jongkoknya, ketika Fiona telah sampai di hadapannya dengan napas terengah-engah. Seluruh prajurit pun terbelalak mendengar Fiona memanggil seorang putra Duke Foxton dengan cara seperti itu.

Menyadari pasukannya ikut terdiam, Linden segera memerintah, "Lanjutkan latihan kalian tanpa aku."

"Baik, Tuan!" Kemudian, dipimpin oleh Tibal di barisan terdepan, latihan para prajurit kembali dilanjutkan.

Linden menoleh pada Fiona yang ada di sebelahnya. "Hei, aku ingin bertanya satu hal padamu."

"Apa, Tuan Muda?" tanya Fiona. 

"Penghapusan kasta antara pelayan dan majikan di antara kita sudah berakhir sejak percakapan terakhir, yaitu satu minggu yang lalu, benar?"

"Eh, benar, Tuan." Fiona menyahut tak mengerti.

Linden tersenyum penuh arti. "Lalu kenapa barusan kau memanggilku dengan cara seperti itu? Apa kau tidak mengerti posisimu sebagai pelayan?"

Fiona bergidik. "Err, maafkan aku, Tuan Muda. Tapi, apa aku boleh meminta penghapusan kasta itu diberlakukan lagi hari ini?"

"Hah?" Linden terkejut. Ia tak habis pikir, pelayan di hadapannya itu malah meminta perpanjangan waktu.

"Hehe, aku sedang membutuhkan Anda saat ini, Tuan!" Fiona cengengesan. 

Linden mengangkat alis. "Kau membutuhkanku? Untuk apa?"

"Eh, bukan aku, sih, tapi Tuan Lucas. Keadaannya sangat darurat!"

"Darurat?! Di mana Kakak sekarang!" Kedua mata Linden langsung melotot. Bila terjadi sesuatu yang gawat pada Lucas, maka ia yang akan dipertanyakan oleh Duke Foxton.

"Ikut denganku, Tuan! Cepat!"

Fiona pun berlari, dan Linden mengikuti. Pemuda itu tadinya berpikir kalau Fiona hendak mengantarnya ke kamar Lucas di lantai atas kastel. Namun, rupanya ia salah. Fiona justru menuntunnya ke arah taman mawar milik ibunya yang berlokasi berlawanan dengan lapangan prajurit.

Linden makin terkejut, ketika ia melihat Lucas dalam keadaan baik-baik saja, bersama dengan seorang gadis muda yang sedang memegang kuas di tangan.

"I-ini ...?" 

***

Seharusnya, saat ini Linden masih berkutat dengan segala menu latihannya di pagi hari. Ia masih harus sibuk dengan melatih para prajurit meningkatkan stamina fisik dan ketangkasan mereka dalam bertarung. Setelahnya, Linden juga harus pergi ke luar kota, mengawasi keamanan hutan-hutan di dalam wilayah Warwickshire.

Seharusnya, Linden saat ini sedang sibuk menyiapkan semua itu. Namun, saat ini ia terjebak dalam rencana kakaknya, yang tiba-tiba menginginkan dirinya untuk dirias di gazebo taman.

"Kakak, apa maksud semua ini?" tanya Linden di tengah-tengah polesan bedak yang dilakukan oleh seorang pelayan. 

"Aku ingin pinjam wajahmu sebentar," jawab Lucas. Linden makin bingung. "Maksudnya?"

Lucas menunjuk ke arah Fiona yang sedang sibuk berbicara pada Liana si pelukis. "Karena katanya, wajahmu itu bisa menjual."

"Hah? Menjual apa?" 

Di tengah kebingungan Linden, ada seorang pelayan lagi memasuki gazebo sambil mendorong kereta makanan. Tutup tudung saji dibuka, tampaklah masakan yang baru-baru ini jadi favorit di kediaman Foxton.

"Oh, rawon!" seru Linden. Ia melihat sup daging berkuah hitam itu layaknya anak kecil. Sejak memakannya pertama kali, Linden sering menahan diri untuk tidak menyantapnya siang hari sesuai kebiasaannya. Namun, bila ditahan saat siang, keinginannya untuk memakan masakan tersebut jadi meluap saat malam hari.

"Benar, Tuan Linden. Kami membutuhkan wajah tampan Anda untuk menjual rawon kami!" seru Fiona. Tampaknya dia telah selesai berdiskusi dengan Liana. Gadis pelukis itu sedang berpikir keras, berkali-kali melirik antara kanvas di tripod dengan wajah Linden, mengira-ngira pose yang pas, lalu menerawang lagi.

Sementara itu, Linden sedikit menggerutu. "Kalian ingin melukisku saat sedang makan rawon, begitu?"

"Benar! Nanti, wajah Anda akan kami pasang di depan kedai untuk memancing pembeli!" sahut Fiona senang.

"Tapi, kenapa harus aku? Kak Lucas juga bisa, bukan?"

"Kau lebih populer dariku di kalangan masyarakat." Kali ini Lucas yang angkat bicara. "Kepopuleranmu itu menguntungkan kami."

Tampak seulas senyum miring terbit di wajah Lucas. Adiknya sampai tersentak melihat hal itu. "Kakak, sejak kapan kau berubah jadi cerdik begini? Ke mana Kak Lucas yang dulu terlalu polos itu!"

"Sejak aku memahami isi otaknya," ujar Lucas seraya menunjuk pada Fiona yang ada di sebelahnya. Gadis itu tersenyum sembari curtsy. Lucas tergelak.

"Tapi, saat ini aku masih sibuk dengan---"

"Ingatlah, Tuan Linden, " sela Fiona. "Keputusan yang diambil oleh putra pertama harus diikuti oleh putra kedua. Bukankah urutan perintah kasta kebangsawanan seperti itu?"

Memang, bila berbicara mengenai kasta, putra pertama dan penerus memiliki kewenangan untuk mengatur keluarga, peringkat kedua setelah sang ayah. Perintah dari putra pertama harus diikuti oleh anak-anak yang lahir setelahnya. Begitulah peraturan tak tertulis di Kerajaan Navarre. Selama ini, Lucas tidak pernah mengambil hak istimewanya tersebut. Namun, kini Lucas mengiyakan perkataan Fiona.

"Dia benar. Kumohon, sebentar saja, ya," kata Lucas dengan lembut. 

Mendengar kakaknya yang mulai memohon, Linden jadi tak tega. Ia mendengkus kasar. "Baiklah, lakukan dalam kurang dari setengah jam. Setelah ini, aku benar-benar sibuk!"

"Tenang saja!" sahut Fiona, lalu ia menoleh pada Liana. "Kau bisa melakukannya dalam setengah jam, bukan?"

Liana mengangguk. "Penggambaran basis hanya diperlukan waktu sepuluh menit. Selanjutnya, aku bisa menyempurnakan lukisanku tanpa harus ada model yang bersangkutan."

"Bagus. Tak sia-sia aku memesan jasamu!" puji Lucas. 

Sekarang, Liana mengerti kenapa pelukis amatir sepertinya yang dipanggil, bukan orang lain. Rupanya yang diutamakan adalah kecepatan dan imajinasi. Pelukis profesional lain biasanya masih membutuhkan objek gambar sampai lukisan benar-benar siap, atau setidaknya hampir selesai. 

Liana berbeda. Ia memang memiliki keahlian mengingat objek gambar yang telah hilang dari hadapannya. Akan tetapi, selama ini keahliannya itu tidak terlalu berguna karena dari segi keindahan, lukisannya masih kalah dari para rekan seprofesinya yang lebih andal.

Lucas menyadari kalau jadwal Linden sangat sibuk. Meski begitu, ia mengakui Fiona benar, bahwa ketampanan dan reputasi Linden di mata masyarakat akan sangat berguna untuk pemasaran kedai rawonnya nanti.

Saat ini, di hadapan Linden telah ada semangkuk rawon, lengkap dengan sendok dan garpunya. Pose Linden mulai diatur oleh Liana, yakni duduk tegap dengan sebelah tangan tampak mulai menyuap ke mulut. Liana sendiri berdiri di sudut yang pas, supaya rawon dalam mangkuk tergambar dengan jelas.

"Nah, Tuan Muda, tolong diam sejenak, ya. Aku akan mulai melukis."

Linden menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia hanya bisa pasrah sekarang, sementara Lucas dan Fiona tampak bersandar di tepian tiang gazebo dan tersenyum puas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top