Katarsis: Sebuah Peringatan dan Penyesalan

Katarsis

Karya Nellaneva

Dua puluh dua warsa mengeja nama

Kutanya, mengapa benakmu masih berarus

oleh apa-apa yang patutnya tak terurus?

bilamana kau sesedikitnya mengerti!

Kelak, di penghujung ayat

Para pendosa berselibat

Kelak, kau takkan bisa mengelak pada sayap-sayap berarak

Karena dunia telah menyerdak, tercerai oleh parak

Kelak, kukila akan merenjana

dan manusia berselesa pada penciptanya

Januari 2017

=========

Apa yang terbayang di benak kalian begitu membaca puisi di atas? Sebuah ramalan, apokalips, kekacauan, harapan, peringatan, penyesalan, atau ketidakerdayaan? Jika kata-kata tersebut kalian rangkai menjadi sebuah kalimat utuh, maka kalian sudah berhasil membuahkan satu kesan pertama atau first impression. Atau, dalam terminologi sastra, disebut sebagai sense.

Sense menurut Richards dalam Aminuddin (2002) merupakan gambaran dunia dalam puisi yang ditangkap oleh pembaca secara umum setelah membacanya untuk pertama kali, atau bisa dibilang sebagai impresi pertama para pembaca puisi.

Dalam puisi ini, Nellaneva hendak mengemukakan sebuah peringatan kepada dirinya sendiri dan orang lain yang seringkali terlalu mengejar hal-hal duniawi yang temporer, dan melupakan hal-hal esensial tentang kehidupan setelah mati dan pertanggungjawaban segala amal kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Apakah hanya itu saja yang bisa kita gali dari sebuah puisi? Tentu saja tidak. Kita akan menjelajah lebih jauh maknanya, lapis demi lapis. Setelah sense, masih ada subject matter, feeling, tone, totalitas, dan terakhir, tema.

Subject matter berdasarkan pandangan Richards dalam Aminuddin (2002) adalah pokok-pokok pikiran yang ingin diutarakan oleh penulis puisi lewat bait-bait dan larik puisinya. Jika sense membahas gambaran secara umum, maka subject matter lebih berfokus pada kandungan makna yang lebih mendetail dan koherensi baik antara satu baris dengan baris yang lain maupun satu kata dengan kata yang lain.

Di bait pertama, larik pertama, Nellaneva memberikan pernyataan tentang usianya yang sudah beranjak menuju dewasa muda, yakni dua puluh dua tahun. Bagi sebagian orang, usia ini identik dengan proses pengukuhan jati diri, kemapanan, kenyamanan, dan titik di mana mereka mulai serius membangun hubungan dengan orang yang dicintainya. Proses pencarian jati diri pada umur ini, dinamakan sebagai quarterlife crisis.

Menurut Black dalam Sujudi (2020), quarterlife crisis ini bisa dijelaskan sebagai respon terhadap munculnya perubahan terus-menerus, hasrat untuk bisa stabil, dan melimpahnya pilihan-pilihan serta perasaan tidak berdaya dan panik pada individu berusia delapan belas hingga tiga puluh tahunan.

Frasa "mengeja nama" di sini menyimbolkan adanya quarterlife crisis tersebut, di mana Nellaneva masih berusaha mengenali siapa dirinya dan mengapa dirinya dilahirkan ke dunia. Frasa tersebut juga dapat diartikan sebagai suatu cara yang tak kunjung henti untuk mengenali siapa sebenarnya Tuhan yang ia sembah.

Larik selanjutnya berisi tentang pertanyaan sekaligus refleksi Nellaneva kepada dirinya sendiri, perihal mengapa setelah sekian lama ia tinggal di muka bumi, masih saja isi pikirannya bergejolak atau berarus, berusaha mengejar dan mengalir bersama hal-hal yang mestinya tidak perlu diurus atau dipikirkan. Penulis berspekulasi, larik ketiga yang ada di bait pertama bermaksud menekankan eksistensi hal-hal yang ada di luar kendali setiap orang dan semestinya tidak perlu menjadi beban pikiran.

Epictetus dalam Higginson (1891) menyiratkan bahwa ada hal yang bisa kita kendalikan, ada pula yang tidak. Jika kita lebih berfokus pada apa-apa yang dimiliki oleh orang lain alih-alih memandangnya sebagaimana mestinya, maka kita akan selalu merasa terganggu, sedih, dan tidak pernah merasa puas baik pada manusia dan Tuhan sendiri.

Dua puluh dua warsa mengeja nama

Kutanya, mengapa benakmu masih berarus

oleh apa-apa yang patutnya tak terurus

(Katarsis: 1)

Beranjak ke bait kedua, Nellaneva memberikan sebuah janji konkret bahwa sejatinya, Tuhan tidak akan "menjauh" dari kita jika kita setidaknya mau dan ikhlas memahami sedikit saja dari perintah dan larangan-Nya, bahwa tujuan kita hidup sebenarnya hanya untuk beribadah kepada-Nya.

Penulis berasumsi, Nellaneva berupaya memberi tekanan dalam bait ini kepada orang-orang yang menyalahkan dan berpaling dari Tuhan atas kondisi mereka sendiri, padahal mereka sendiri kurang atau tidak pernah mau memahami.

Tuhan takkan berpura-pura tuli,

bilamana kau sesedikitnya mengerti!

(Katarsis: 2)

Bait ketiga, Nellaneva mendeklarasikan bahwa nanti, di penghujung ayat, para pendosa pasti berselibat. Selibat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai sebuah pranata atau aturan yang menentukan bahwa orang-orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh kawin. Hal ini berkaitan erat dengan tradisi dalam gereja Katolik Roma, di mana para rohaniwan yang telah ditahbiskan harus hidup membujang, tidak boleh kawin.

Kata "ayat" mengindikasikan metafora atau rujukan kepada umur atau usia seseorang yang begitu pendek dan terbatas dalam skala kosmis. Kebanyakan orang baru sadar akan pentingnya bertaubat dan mengintrospeksi diri pada usia senja, atau di atas umur lima puluh tahunan, sesuai dengan kata "penghujung" di bait ketiga baris pertama.

Kelak, di penghujung ayat

Para pendosa berselibat

(Katarsis: 3)

Lanjut ke bait keempat, larik pertama, Nellaneva memberikan sebuah keniscayaan melalui pilihan kata "kelak" pada pembacanya, di mana pasti akan datang sebuah masa penuh kekacauan yang diindikasikan dengan diksi "sayap-sayap berarak" yang bisa diinterpretasikan sebagai pertanda datangnya sebuah bencana atau malapetaka.

Jika kita tinjau lagi, berarak artinya berjalan bersama-sama dengan beriring-iring. Diksi ini cocok untuk melukiskan burung-burung yang terbang mengangkasa ketika merasakan adanya bencana seperti gempa, tsunami, gunung meletus, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan pengamatan oleh John Hopewell dan Angela Fritz (2016) pada Gempa Oklahoma 2016, radar cuaca mendeteksi adanya migrasi burung besar-besaran secara mendadak 15 menit sebelum gempa terjadi.

Larik kedua dari bait keempat memperkukuh pernyataan dari larik sebelumnya. Bedanya, larik kedua ini memvisualisasikan keadaan dunia usai bencana dahsyat tersebut, ditandai dengan adanya kata konkret "telah" dan "menyerdak". Menyerdak sendiri sebenarnya bisa ditarik ke akar katanya, yakni serdak, artinya debu halus yang biasa terdapat pada pakaian, alat-alat rumah tangga, dan lain sebagainya.

Secara hiperbolis, Nellaneva memproyeksikan sebuah dunia yang sudah hancur lebur dan tak bersisa. Sedangkan frasa "tercerai oleh parak" semakin meneguhkan frasa sebelumnya, bahwa pada saat itu, semua makhluk hidup tercerai-berai karena perpisahan yang tidak diduga-duga.

Kelak, kau takkan bisa mengelak pada sayap-sayap berarak

Karena dunia telah menyerdak, tercerai oleh parak

(Katarsis: 4)

Bait terakhir larik pertama masih menggambarkan keniscayaan tentang merenjananya kukila. Kukila artinya burung, sedangkan renjana maksudnya adalah rasa hati yang kuat, baik rindu, cinta kasih, berahi, dan lain sebagainya.

Menurut interpretasi penulis, kukila merupakan simbol dari jiwa atau nurani seorang manusia yang merindukan penciptanya. Hal ini diperkuat dengan larik kedua yang berisi dengan pernyataan bahwa manusia pasti berselesa dengan penciptanya.

Selesa di sini berarti keleluasaan, hilangnya kesesakan dan kesempitan, serta melimpahnya kesempatan. Nellaneva melukiskan jiwa-jiwa manusia yang kelak ibarat burung, menemukan kembali keleluasaan di haribaan penciptanya.

Kelak, kukila akan merenjana

dan manusia berselesa pada penciptanya

(Katarsis: 5)

Nah, setelah subject matter selesai, kita lanjut ke poin ketiga, yakni feeling. Feeling merupakan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang diutarakannya. Sejalan dengan gagasan di tiap baitnya, pastinya seorang penyair memiliki motif atau latar belakang tertentu kenapa ia menyampaikan gagasan-gagasan tersebut lewat puisinya.

Dalam puisi yang ditulis Nellaneva, sikap penyair pada bait pertama lebih mengarah pada pengungkapan aksi introspeksi atau koreksi diri dengan dilatarbelakangi adanya rasa penyesalan karena selama ini belum benar-benar mampu untuk menemukan Tuhan dan dirinya sendiri, sebab dirinya masih terlena pada hal-hal duniawi yang semestinya tidak perlu diurus. Penyesalan ini kembali dimunculkan pada bait kedua, kali ini dengan nada murka.

Tuhan takkan berpura-pura tuli,

bilamana kau sesedikitnya mengerti!

(Katarsis: 2)

Dalam tiga bait berikutnya, Nellaneva juga menyampaikan dengan gamblang dan tanpa keraguan perihal ketidakberdayaan manusia melawan takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, terbukti dengan repetisi kata "kelak" pada tiap awalan tiga bait terakhir.

Poin yang keempat, yakni tone, merupakan sikap penyair kepaada pembaca yang sejalan dengan pokok-pokok pikiran yang dikemukakannya. Apakah sikap penyair terlihat sugestif, meremehkan, sinis, dan lain sebagainya akan terlihat setelah subject matter dan feeling telah ditentukan.

Dalam Katarsis, Nellaneva mengingatkan pembacanya bahwa umur akan terus bertambah seiring berjalannya masa, dan semestinya lebih banyak meluangkan waktu untuk mawas diri dan mendekat kepada Tuhan. Nellaneva juga menyesalkan sikap orang-orang yang melulu menyalahkan Tuhan atas nasib mereka, tetapi mereka sendiri enggan untuk merenungkan apa sejatinya tujuan hidup mereka. Akhirnya, sebagai bentuk finalitas, Nellaneva memberi peringatan keras pada orang-orang tersebut dengan sebuah gambaran kelam akan bencana mahadahsyat.

Poin kelima tak lain adalah totalitas, yang merupakan gambaran utuh dari makna puisi yang didapat setelah pokok-pokok pikiran yang disajikan, sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran, serta sikap penyair terhadap pembaca telah melalui proses analisis. Bagian ini menghasilkan sebuah pemahaman baru yang berbeda dari gambaran umum pada awal proses analisis puisi.

Secara keseluruhan, makna dalam puisi Katarsis karya Nellaneva dapat diambil benang merahnya sebagai berikut: bait pertama berisi mengenai penyesalan akan jati diri yang masih terombang-ambing, bait kedua berisi janji akan datangnya pertolongan Tuhan jika kita mau mawas diri, bait ketiga mengangkat tentang orang-orang yang baru bertaubat di masa senja, bait keempat mengandung gambaran bencana mahadahsyat atau hari kiamat, sedangkan bait kelima menuturkan sebuah keniscayaan akan kembalinya manusia kepada Sang Pencipta.

Jelaslah bahwa dengan puisi ini, Nellaneva berupaya mengungkapkan kekesalan dan penyesalan mendalam terhadap kondisi manusia saat ini yang lupa akan tujuan hidupnya dan lalai dalam mempersiapkan diri sebelum kiamat kecil (kematian) dan kiamat besar (hancurnya bumi beserta segala isinya).

Akhirnya kita sampai di akhir analisis, yakni poin keenam, tema. Tema merupakan ide dasar dari sebuah puisi, atau inti dari keseluruhan makna dalam satu puisi. Tema berbeda dengan pandangan moral meski tema mampu mengandung sesuatu yang memiliki nilai rohaniah. Katarsis karya Nellaneva memiliki tema yakni hanya dengan mengingat Tuhan dan hari akhirlah, manusia sebagai makhluk fana mampu menemukan dirinya sendiri dan selamat di dunia maupun akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n.d). Kukila (Def. 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses 5 Desember 2021, melalui .

Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n.d). Renjana (Def. 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses 5 Desember 2021, melalui .

Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n.d). Selibat (Def. 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses 5 Desember 2021, melalui .

Epictetus. 1891. The Works of Epictetus: Consisting of His Discourses, In Four Books, The Enchiridion, and Fragments, Vol. II (terj. Thomas Wentworth Higginson). Boston: Little, Brown, And Company.

Hopewell, John dan Fritz, Angela. Caught on radar: Thousands of birds took flight minutes before Oklahoma earthquake. Diakses 7 Desember 2021 melalui

Nellaneva. Nella Fantasia: Katarsis. Diakses 1 Desember 2021 melalui .

Sujudi, Muhammad Abdullah. 2020. Eksistensi Fenomena Quarter-Life Crisis Pada Mahasiswa Semester Akhir Universitas Sumatera Utara. Medan: USU Press.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top