Di Ujung Perdebatan Eksistensi Ilahi

Empat ribu tahun sebelum masehi, di Arnham Land, Australia, seorang pria dari suku Aborigin melukiskan gambaran seekor ular naga di dinding gua sebagai bentuk pemujaan karena dianggap telah menciptakan langit, pegunungan, hukum perkawinan, hukum adat, distribusi makanan, dan lain sebagainya. Naga yang dijuluki Yingarna ini sangat ditakuti sebab suku Aborigin yakin, jika ada salah satu anggota suku yang melanggar hukum adat, sang naga akan menurunkan badai dan petir sebagai hukuman pada orang itu.

Sejak awal munculnya manusia di muka bumi, kita selalu disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai ada atau tidaknya kehidupan setelah kematian. Kita begitu takut akan ketidakpastian yang akan datang usai maut menjemput. Ditambah lagi, jika kita memposisikan diri kita yang sekarang di posisi para leluhur manusia saat itu, akan banyak peristiwa alam dahsyat yang tidak mampu dijelaskan dengan nalar. Menyadur kata-kata Thomas Hobbes dalam karyanya, Leviathan, bahwa manusia pada saat itu berada dalam keadaan alamiah (state of nature) di mana manusia primitif hidup dalam ketakutan dan kekerasan akibat ketiadaan suatu "kekuatan" yang mengendalikan mereka semua, sehingga terjadilah perang antara semua melawan semua.

Maka, untuk menenangkan diri, banyak dari manusia primitif itu kemudian yang merakit kisah perihal entitas-entitas mahakuasa yang mampu menenangkan diri mereka dari rasa ketakutan akan kematian dan kekerasan. Lama-kelamaan, karena sifatnya sebagai makhluk sosial, semakin banyak manusia primitif yang turut bergabung dalam kepercayaan tersebut—mengharapkan eksistensi entitas (baik tunggal maupun jamak) yang mampu membawa kedamaian dan kepastian pada mereka.

Setidaknya, itulah yang menjadi dasar pemikiran Rusli, salah satu tokoh sentral dalam novel Atheis karangan Achdiat Karta Mihardja. Dasar pemikiran ini pula yang sukses mengubah pendirian dan kepribadian tokoh utamanya, Hasan, dari seorang muslim yang saleh menjadi seorang ateis yang kehilangan nilai-nilai moral. Untuk mendapatkan gambaran yang jauh lebih konkret, pertama-pertama kita harus memahami apa akar permasalahan dalam novel ini dan relevansinya dengan topik yang akan dikupas.

Novel berjudul Atheis ini merupakan karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1949 untuk pertama kalinya. Terinspirasi dari zaman post-kolonial yang membawa angin perubahan bagi Indonesia, novel ini meminjam suara seorang tokoh utama bernama Hasan, santri saleh yang tengah berhadapan dengan hegemoni Jepang dan rasionalisasi yang mengglobal pada masanya.

Dikisahkan, Hasan, seorang muslim yang berasal dari keluarga religius, berjumpa kembali dengan Rusli, seorang penganut ideologi marxis-lennis yang juga merupakan sahabat kecilnya. Rusli kemudian memperkenalkan Kartini, seorang wanita intelektual dan jelita yang lama-kelamaan dicintai oleh Hasan. Tidak lama setelah itu, Hasan juga diperkenalkan pada Anwar, seorang anarkis dan nihilis yang suka main wanita.

Pada awalnya, Hasan merasa perilaku dan keyakinan kawan-kawannya melenceng dari jalan agama dan berniat untuk mengembalikan mereka pada iman dan takwa. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pergaulan mereka, Hasan malah semakin meragukan keabsahan agamanya sendiri sampai kepada titik di mana ia hanya beribadah jika merasa tertekan saja. Hal ini menjadi katalis kerusakan hubungan antara Hasan dan ayahnya, terutama saat Hasan memutuskan untuk menikahi Kartini tanpa restu sang ayah.

Kendati demikian, hubungan Hasan dan Kartini tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, muncullah Anwar yang merayu Kartini untuk menginap bersamanya usai pertengkaran antara Kartini dan Hasan. Di saat yang sama, ayah Hasan meninggal dunia. Hasan pun tersadar, jika jalan yang ia tempuh salah, dan bermaksud untuk menebus dosa-dosanya melalui perhitungannya dengan Anwar. Sayangnya, sebelum dendam Hasan terbalaskan, ia tertembak oleh patroli pasukan Jepang karena telah melanggar jam malam. Hari berikutnya, Rusli dan Kartini menjemput mayatnya.

Dari uraian singkat di atas, kita pastinya mampu membayangkan betapa besarnya dampak pertanyaan-pertanyaan mengenai Ilahi dan agama pada diri seseorang. Terlebih lagi, saat dasar pemikiran kita terhadap sesuatu yang gaib dibolak-balikkan oleh argumen logis seperti silogisme yang diajukan Rusli. Bahwa jika a sama dengan b, b sama dengan c, maka a sama dengan c. Realitanya, pertanyaan dan asumsi mengenai Ilahi tidak bisa diselesaikan semudah itu. Kita bisa mengambil contoh sebagai berikut:

"Adanya kejahatan bertentangan dengan adanya Tuhan yang mahakuasa, mahatahu, dan mempunyai moral yang sempurna." (Hospers, 1990:310)

Begitulah kira-kira bunyi dari paradoks Epicurus, seorang filsuf Yunani Kuno yang mendirikan sebuah mazhab filsafat yang disebut epikureanisme. Maksud dari paradoks tersebut dapat dijabarkan dalam delapan poin sebagai berikut:

1. Tuhan itu ada.

2. Tuhan itu mahakuasa, mahatahu, dan mahabaik.

3. Suatu Dzat mahabaik pasti ingin memberantas semua kejahatan.

4. Suatu Dzat mahatahu pasti tahu bagaimana kejahatan bisa muncul,

5. Suatu Dzat mahakuasa pasti mempunyai kekuatan untuk mencegah kejahatan yang akan muncul.

6. Suatu Dzat yang tahu bagaimana kejahatan muncul, dan mempunyai kekuatan untuk mencegah kejahatan untuk ada, dan ingin melakukannya, akan mencegah kejahatan untuk ada.

7. Jika ada Tuhan yang mahakuasa, mahatahu, dan mahabaik, maka tidak akan ada kejahatan.

8. Namun, nyatanya, kejahatan itu ada.

Pernyataan-pernyataan di atas kelihatan masuk akal jika dilihat sekilas. Berarti, dengan hadirnya pernyataan 8, semua pernyataan dari pernyataan 1 hingga pernyataan 7 akan terbantah. Padahal, resolusi dari pernyataan-pernyataan yang bertentangan ini masih memunculkan banyak tanda tanya dan probabilitas. Secara saintifik, bagaimana mungkin kita bisa membuat kesimpulan dari sifat alamiah Ilahi saat kita saja tidak memiliki data konkret perihal sifat-sifat yang melekat pada Tuhan.

Kejahatan dan kebaikan sejatinya merupakan efek dari pola pemikiran manusia yang cenderung memandang segala sesuatu dari kacamata dualitas. Siang dan malam, gelap dan terang, besar dan kecil, hitam dan putih, awal dan akhir, masa lalu dan masa depan, termasuk konsep abstrak seperti kejahatan dan kebaikan. Dalam konteks kuasa bahasa, istilah kejahatan dan kebaikan hadir sebagai kata-kata untuk menyampaikan makna tertentu pada suatu pihak.

Baik kejahatan maupun kebaikan sejatinya tidak memiliki standar atau batas yang jelas. Bisa saja suatu pihak melakukan tindakan yang mereka anggap baik atau bermoral, kemudian melabeli mereka yang tidak setuju akan hal itu sebagai pihak yang jahat dan amoral, begitu pula sebaliknya. Maka, pertanyaan seperti ini tidak valid sebab Tuhan beserta seluruh sifat-Nya berada di luar kata-kata buatan manusia yang pemaknaanya subjektif dan terbatas.

Masalah ini hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan mengenai eksistensi Ilahi yang tidak mampu diselesaikan dengan silogisme belaka. Dalam novel Atheis, Hasan kelihatan begitu terguncang dan dipenuhi dilema saat menjelajah kuburan Garawangsa bersama Anwar. Anwar tampak begitu berani menantang eksistensi makhluk yang sifatnya metafisikal atau tak kasat mata.

Kemungkinan besar pemikiran Anwar bersandar pada filsafat positivisme, yakni suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisika. Aliran filsafat ini tidak mengenal adanya spekulasi, sebab semua didasarkan pada data empiris di lapangan.

Menggunakan filosofi positivisme, Anwar menganggap bahwa setiap pernyataan harus mampu dibuktikan secara rasional. saintifik, dan kalau perlu, secara logika matematis juga. Selama ia tidak bisa mengobservasi foton yang diproduksi oleh makhluk tersebut, mengukur tinggi dan massanya, atau menciptakan silogisme yang sah, maka ia akan selalu menganggap semua pernyataan metafisika sebagai omong kosong belaka.

Masih berkaitan dengan sifat tak kasat mata, jika kita tinjau lebih lanjut lagi, pola pikir Anwar cenderung menganggap bahwa jawaban yang paling tepat dari sebuah pertanyaan adalah jawaban yang paling sederhana, paling sedikit prasangkanya, dan paling sedikit asumsinya. Alih-alih mengkambinghitamkan si Embah Jambrong karena rasa takut yang muncul pada Hasan, Anwar berpendapat bahwa sebenarnya kegelapanlah yang membuat Hasan ketakutan, sebab dalam kegelapan, muncul ketidaktahuan dan ketidakpastian. Cara berpikir seperti ini dinamakan Pisau Ockham (Occam's Razor).

Kesalahan fatal yang dibuat oleh Anwar dan Rusli tak lain adalah berasumsi bahwa segala sesuatunya harus bisa dibuktikan secara rasional dan diterjemahkan dalam bentuk kata-kata yang komprehensif. Lantas bagaimana kita bisa meyakini eksistensi Ilahi?

Seorang ilmuwan kognitif asal Amerika Serikat, Justin L. Barett, pernah mengemukakan bahwa secara ilmiah, kepercayaan pada Tuhan terbentuk dengan dua cara. Cara yang pertama melalui kombinasi intuisi dan pengalaman, sedangkan yang kedua merupakan hasil pemikiran dan logika.

Cara pertama menjelaskan bahwa manusia mengakui adanya Ilah lewat intuisi dan pengalaman. Intuisi yang dimaksud merupakan daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Intuisi dalam hati dapat bersumber dari insting atau naluri manusia yang merasakan adanya kekuatan yang jauh lebih besar dan tinggi daripada mereka.

Seperti halnya dalam kisah penciptaan alam semesta versi Islam—tepatnya di Surat Al-A'raf ayat 172—di mana Yang Maha Azali mengumpulkan seluruh jiwa manusia untuk bersaksi kepada keesaan diri-Nya, agar kelak di hari kebangkitan, tidak akan ada lagi insan yang beralasan bahwa mereka tidak mengetahui akan eksistensi-Nya. Tidak hanya di Islam, tapi dalam agama abrahamik yang lain pun muncul cerita semacam ini. Akibat dari perjanjian suci ini, muncul impuls alamiah yang mendorong manusia untuk mencari suatu kekuatan yang lebih agung. Bahkan beberapa ilmuwan, misalnya penulis buku the God Gene, Dean Hamer, menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Ilah atau kekuatan yang lebih tinggi sudah terprogram dalam susunan genetik kita, walaupun beberapa ilmuwan lain sebenarnya menyangsikan hipotesis ini.

Cara kedua memaparkan bagaimana manusia mampu meyakini keberadan Ilah dengan berpikir dan berlogika. Misalnya, akan masuk akal jika alam semesta yang tersusun atas jejaring kausalitas (sebab dan akibat) memiliki Ilah sebagai prima causa, yakni penyebab atau faktor utama tanpa diawali oleh faktor lain. Selain itu, kepresisian dan keteraturan alam semesta juga merupakan bukti tak terbantahkan atas eksistensi Tuhan. Sebab jika salah perhitungan sedikit saja, alam semesta tidak akan mungkin bisa tercipta dan dihuni oleh manusia. Ini dibuktikan dengan adanya penelitian terbaru seperti kajian milik fisikawan Robert Collins yang menyatakan bahwa jika kekuatan ledakan Big Bang bertambah atau berkurang sedikit saja, alam semesta akan berkembang terlalu cepat bagi bintang untuk terbentuk atau akan runtuh ke dalam dirinya sendiri.

Di penghujung novel ini, kita ditunjukkan bagaimana Hasan mencapai ujung perdebatan dalam dirinya sendiri dengan cara yang sedemikian dramatis. Dalam perjalanan membalaskan dendamnya pada Anwar, ia bersembunyi dari polisi Jepang (Kempetai) yang saat itu sedang melaksanakan patroli malam. Hasan merasa bersalah karena sudah menyakiti perasaan kedua orang tuanya, terutama sang ayah. Sampailah ia pada sebuah konklusi, bahwa jika benar Tuhan merupakan suatu konstruksi manusia, maka semestinya Tuhan akan lenyap ketika tidak ada lagi manusia di dunia ini. Namun, nyatanya, jika manusia tidak ada sekalipun, masih ada keteraturan dalam alam semesta ini. Hasan menyesal sudah termakan kata-kata Rusli dan Anwar.

Pada akhirnya, Hasan yang mengetahui bahwa Kartini telah berselingkuh dengan Anwar di sebuah penginapan memutuskan untuk meluapkan emosinya dengan berlari tanpa arah sekencang mungkin seraya berusaha meredam suara-suara yang mendengung di dalam kepalanya. Sayangnya, karena melanggar jam malam yang telah ditetapkan pihak jepang, Hasan ditembak di bagian paha oleh prajurit Kempetai. Melalui penyiksaan yang bertubi-tubi, Hasan pun menemui ajalnya.

Sampai di sini kita mampu mendeduksi, bahwa dari sudut pandang Anwar dan Rusli, konsep agama dan Ilahi hanya omong kosong belaka sebab tidak mampu dipahami menggunakan logika dan metode ilmiah sederhana. Sejatinya, mereka lupa bahwa eksistensi Ilah adalah sesuatu yang hanya mampu dirasakan dan dialami secara personal. Tiap-tiap manusia punya pengalaman tersendiri dalam pembuktian eksistensi Ilahi. Pengalaman-pengalaman tersebut berawal dari intuisi hati—bahwa memang ada kekuatan kosmis di luar sana yang menciptakan dan mengatur alam semesta. Intuisi yang sudah pernah dirasakan oleh leluhur manusia enam ribu tahun silam di Arnham Land, Australia.

---------

Ilustrasi:

Reruntuhan Candi di Dataran Tinggi Dieng, Josias Cornelis Rappard.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top