Carl Jung dan Hantu Musim Panas
Suatu ketika, salah satu kakak tingkat saya pernah menyampaikan dalam suatu forum, bahwa ada dua hal dalam hidup yang mesti kita perhatikan: hal yang ada dalam ranah kendali kita, dan hal yang ada di luar kontrol kita. Lantas, muncul beberapa pertanyaan dalam benak. Bagaimana dengan sisi gelap kita sendiri? Seberapa besar ranah yang bisa kita kendalikan di alam bawah sadar?
Lantas dipertemukanlah saya dengan Summer Ghost, salah satu film animasi garapan Loundraw, seorang ilustrator sekaligus sutradara dari Jepang. Tanpa basa-basi, dalam lima menit pertama, saya diperkenalkan dengan tiga orang tokoh: Tomoya, Ryo, dan Aoi. Ketiganya dipertemukan oleh keinginan kuat untuk membuktikan keberadaan Hantu Musim Panas, seorang hantu gadis yang dikabarkan mati karena bunuh diri. Rumornya, hantu itu akan datang kepada para pembakar kembang api di sebuah lintasan pesawat terbang yang tak digunakan.
Ketiganya akhirnya sepakat untuk datang ke tempat yang dirumorkan dan membakar beberapa batang kembang api sampai malam tiba. Tak disangka-sangka, mereka benar-benar bertemu dengan sang hantu, Ayane. Namun ada sebuah twist di sini: Ayane hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki suicidal thoughts—atau lebih gampangnya, berhasrat untuk segera mati.
Tiap tokoh, seperti yang disiratkan dari perkataan Ayane, sudah berkali-kali berkontemplasi tentang kematian. Aoi, seorang gadis SMA yang pemalu, tempo hari sempat ingin loncat dari loteng sekolahnya karena tak tahan menghadapi bullying dari siswa lain. Di sisi lain, Ryo sedang berusaha menerima kondisi tubuhnya yang tak kunjung sembuh dari penyakit terminal. Terakhir, protagonis kita, Tomoya, tak lagi punya semangat untuk hidup semenjak sang Ibu terus-menerus menekannya belajar, padahal ia ingin sekali menjadi seorang pelukis.
Di antara ketiganya, Tomoya-lah yang paling sering mengunjungi Ayane untuk mencari tahu bagaimanakah rasanya berada dalam dunia setelah kematian. Lambat laun, Ayane membocorkan fakta bahwa dia bukan meninggal karena bunuh diri. Beberapa tahun lalu, Ayane kabur dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ibunya, dan kehilangan nyawa setelah tak sengaja tertabrak mobil. Sang pengemudi yang panik kemudian menaruh mayat Ayane dalam sebuah koper dan menguburnya entah di mana. Selama ini, Ayane selalu berusaha mencari mayatnya. Dari sini, kita akan memasuki ranah spoiler yang lebih besar,
Against all odds, mereka bertiga akhirnya berhasil menemukan mayat Ayane di sebuah tempat pembuangan akhir. Di sinilah bagian menariknya dimulai. Begitu menyentuh koper, Tomoya menemukan dirinya berada dalam alam lain bersama Ayane. Ayane menyodorkan kepadanya sebuah kembang api untuk dibakar. Dengan dibakarnya kembang api, berakhirlah pula hidup Tomoya—sebuah keinginan yang selama ini ia impikan.
Kita dipertemukan dengan salah satu twist di sini: bahwa gadis yang ada di hadapannya bukanlah Ayane, melainkan dirinya sendiri yang mencari alasan untuk mati. Dengan cross-cutting sequence, Loundraw menyajikan bagaimana dua Tomoya—di alam bawah sadarnya dan dunia nyata—merobek habis tabir atau hijab penghalang antara persona dan shadow. Yang satu mengobrak-abrik isi lemari kamar untuk menemukan sebuah kanvas kosong, sedangkan yang lain menggali tanah untuk menemukan tubuh Ayane. Dua-duanya sama-sama menemukan kembali diri sendiri. Inilah puncak katarsis yang dinanti-nanti—sebuah lompatan besar dalam proses yang berjuluk individuation.
"Semua orang membawa sebuah bayangan, dan semakin sedikit bayangan tersebut terwujud dalam kehidupan sadar seorang individu, maka semakin hitam dan pekat bayangan itu." Demikianlah kata-kata Carl Jung, seorang psikolog dari Swiss yang mencetuskan istilah persona dan shadow. Tentu, ketika kita berbicara soal shadow atau bayangan, seringkali muncul asumsi bahwa bayangan ini memiliki atribut-atribut negatif yang terepresi secara sadar maupun tidak. Misalkan, seven deadly sins.
Namun, sejatinya, bayangan ini bukan sebagai musuh atau pihak oposisi, tetapi sebagai bagian dari manusia. Lebih tepatnya, sebagai anasir atau apa-apa yang menjadikan manusia, manusiawi. Kadang kita harus mengalah, menolak, memberikan cinta pada bayangan ini, tergantung situasi dan kondisi. Barulah ketika bayangan ini diabaikan atau disalahpahami, dia menjadi sebuah bom waktu.
Bayangan dari Tomoya selama ini terus-menerus terepresi sehingga ego-nya tak sadar, bahwa di hadapan orang banyak—termasuk Ryo, Aoi, sang Ibu—ia selalu terikat dengan topeng personanya. Ia selalu saja diam dan mengiyakan amarah sang Ibu ketika nilai akademik di sekolahnya terjun payung. Sampai-sampai, Tomoya mesti menyembunyikan kanvas lukis di bagian paling belakang lemari bajunya—saking tak beraninya ia menentang jalan hidup yang telah dibuatkan orang lain untuknya. Potensi, hasrat, dan bakat lukis Tomoya inilah yang menjelma bayangannya, menunggu untuk menyembul setelah sekian lama mengarungi dasar samudra alam bawah sadar. Lalu, seberapa besar kendali yang kita punya pada bayangan yang mencakup alam bawah sadar kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita mesti bertanya lagi: sudahkah kita menatap ke dalam jurang tempat persemayaman bayangan kita sendiri, seperti yang dikatakan Nietzsche? Umpamakan saja kita berada dalam sebuah mimpi buruk yang penuh-sesak akan gerombolan binatang buas. Jika kita memilih melawan atau mengabaikan total gerombolan tersebut, bisa jadi, suatu saat, bom waktu tersebut akan meledak, dan kita bakal menjelma sesuatu yang tidak kita inginkan sedari awal, sedikit demi sedikit.
Tentu saja, bukan berarti hal tersebut mengadvokasikan bahwa manusia mesti mengalah pada binatang metaforis tersebut. Seperti halnya Tomoya yang selalu menekan dan menghindari konfrontasi langsung dengan bayangannya sendiri, kebanyakan orang bahkan tidak sadar mereka memiliki bayangan yang begitu pekat dan kelam. Mereka secara tidak sadar memproyeksikan bayangan mereka pada orang lain dalam bentuk emosi negatif.
Saat Tomoya meminta tolong pada Ryo untuk membantunya menemukan tubuh Ayane, Ryo menolak keras dan berkata bahwa begitu mudah dan enak menjadi dirinya, punya masa depan dan banyak pilihan. Sedangkan Ryo sendiri, sudah tak memilikinya sejak awal ia didiagnosis oleh dokter. Dalam pikiran Ryo, ketika hidupnya tinggal menghitung bulan, tak ada gunanya membangun hubungan dengan orang asing seperti Tomoya dan Aoi.
Ryo melihat bahwa Tomoya memiliki aspek-aspek yang selama ini selalu Ryo sembunyikan dari khalayak. Salah satunya, sikap indifference Tomoya pada kondisi tubuh Ryo sepanjang berjalannya interaksi dalam film. Deep down, Ryo juga memiliki sikap yang sama, tetapi ketika dia melihat Tomoya menampilkan sikap serupa, ia memilih memproyeksikan bayangannya kepada Tomoya daripada harus menatap bayangannya sendiri. Dia memanggil Tomoya sebagai "orang yang sok tahu segalanya" dan "wajahnya seolah-olah paling malang di dunia". Inilah yang disebut Jung sebagai shadow projection.
Mengidentifikasi dan memahami sebab-akibat dari letupan-letupan proyeksi ini adalah langkah awal dalam proses individuation—di mana bayangan seorang individu terintegrasi dengan egonya sendiri, memunculkan fragmen-fragmen alam bawah sadar dalam kehidupan sadar seseorang. Integrasi bukan berarti melakukan semua hal yang dihasratkan oleh bayangan dalam diri, tetapi mengenali potensi karakteristik yang muncul dalam hasrat tersebut. Jika, semisal, dalam bayangan seseorang teridentifikasi ada potensi karakteristik dengan tendensi untuk melakukan self-harm, energi yang muncul bisa dialihkan pada beragam aktivitas positif dan produktif, misalnya menulis atau melukis.
Di penghujung film, Tomoya memasang kuda-kuda, bersiap menciptakan leap of faith. Setelah sekian lama, ia memberanikan diri untuk speak up kepada sang Ibu dan melukis di atas kanvas kosong yang ia sembunyikan dalam lemari. Lukisan pertamanya tak lain adalah potret seorang gadis berambut merah muda, Ayane Satou. Seketika, dunia tak lagi terasa menyesakkan bagi dirinya. Tomoya telah menerima dan berdamai dengan bayangannya sendiri. Kapan kita akan melakukan hal yang sama?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top