Yang Tersembunyi
23 Januari 2014
Remember that every dark night is always followed by a beautiful morning.
-Azka Caesar Pratama.
06 Februari 2014
To forgive is good, to forget is better.
-Azka Caesar Pratama.
Rabu, 12 Maret 2014
Life is not a matter of holding excellent cards but now toplay the cards that are in the hands property.
-Azka Caesar Pratama.
Bibir itu tersenyum begitu manis, setelah matanya menatap tulisan yang berjajar rapi di sebuah kertas. Ia tahu, si pengirim surat itu. Ada rasa bangga dalam hatinya, ternyata kepergiannya membuat cowok itu semakin mahir belajar bahasa inggris. Buktinya, ada banyak surat dengan kertas yang sama di dalam laci mejanya, dengan tanggal berbeda. Berarti surat terakhir adalah surat hari ini. Cewek itu tidak habis pikir, kenapa si pengirim harus membuang waktunya untuk sekedar menulis kata-kata mutiara yang indah itu hanya untuk dirinya.
Pagi tadi, saat kepulangannya dari Singapura semua orang menyambutnya dengan senang. Pergi ke Singapura dengan gratis memang menimbulkan rasa iri di setiap temannya. Tetapi ia tidak pergi untuk jalan-jalan, atau sekedar liburan hanya untuk menghabiskan waktu tiga bulan. Ia berada di sana untuk mengikuti olimpiade tingkat Internasional Se-Asia, debat bahasa inggris. Dan ia meraih juara kedua di sana. Memang hasil yang tidak mengecewakan. Dea Aurora, biasanya disapa Dee. Ia suka bagaimana bunyi nama 'Dee' di telinganya, seolah namanya hampir mirip dengan kata 'lebah' dalam bahasa inggris.
Dee memang pengemar berat bahasa inggris. Ketika ia sangat suka dengan sesuatu, ia sanggup menghafal semua konsep kata bahasa inggris mulai dari ia SD hingga sekarang. Tak heran jika ia bisa berbicara layaknya orang inggris di luar negri. Hal itulah yang mendorongnya terpilih menjadi kandidat utama untuk dibawa ke Singapura. Dee punya keahlian kecil yang tak pernah diketahui orang lain, selain orang tuanya di rumah. Bakatnya adalah ia bisa mengubah logat bicara, sehingga jika melihat wajahnya yang sangat mirip orang Indonesia tidak akan percaya, mungkin kalau orang hanya mendengarkan suaranya akan berpikir jika ia berasal dari luar negeri sana, seolah ia orang pribumi di tempat itu. Ia paling suka mengubah logat bahasa inggris menjadi logat Skotlandia yang begitu kental.
Pip .... pip .... pip....
Dee meraih ponsel di saku rok miliknya, dan ia melihat ada pesan masuk di sana.
Kapan kita bisa ketemu lagi?
Senyuman Dee semakin terlihat manis. Ia bahkan tak sadar telah menimbulkan tanda tanya besar pada teman sebangkunya. Tarisa mengerutkan keningnya sangat dalam, mungkin seharusnya ia tak perlu heran lagi dengan Dee yang sepertinya sangat bahagia. Sejauh yang ia tahu selama mereka berteman, Dee itu punya seorang sahabat cowok dari sekolah lain. Iya, hanya sekedar sahabat yang mungkin akan menjadi bullshit jika mereka jatuh cinta. Karena Tarisa percaya tidak akan ada persahabatan murni antara sepasang cowok dan cewek.
Baru saja Dee ingin menelepon Azka, mencoba membalas pesan. Seseorang datang dengan teriakkan yang nyaring menyerukan nama Dee dan Tarisa.
"Dee! Ya ampun, gue kangen banget sama lo. Kenapa sih lo jarang telponan sama gue! Gue bahkan hampir mati kebosanan kalau harus selalu berdua sama Tarisa," cewek itu langsung memeluk Dee, sambil menoel-noel kepala Dee beberapa kali.
"Nerisha, stop! Rambut gue jadi rusak kalau lo terus-terusan noel kepala gue," protes Dee, mendorong Nerisha menjauh. Sementara itu, Nerisha malah ngakak tidak jelas.
Tarisa yang melihat itu hanya memutar matanya. Lengkap sudah perkumpulan persahabatan mereka. Kadang fisik tidak harus jadi penghalang untuk sebuah persahabatan. Sebenarnya Nerisha termasuk anak populer di sekolah karena ia sudah pernah memenangkan olimpiade lomba menari tingkat Nasional dengan mendapatkan juara satu yang membawa kebanggaan bagi sekolah SMA Purnama. Cewek itu punya rambut panjang yang hampir sama seperti tokoh Disneyland, walau rambutnya tak menyentuh lantai seperti Rapunzel. Semua yang ada pada Nerisha terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan apa pun. Semua orang yang tak mengenalnya akan merasa ia bagaikan putri kerajaan yang anggun dan selalu bersikap lemah lembut. Namun nyatanya Nerisha hanya cewek barbar yang sangat cerewet dan ceroboh.
Dee menatap Tarisa sekilas.
Sedangkan Tarisa ia bukan tipe cerewet seperti Nerisha. Bisa dibilang jika ia sisi lain dari Nerisha yang sangat pendiam yang seolah hidupnya tak berharga. Oke, Dee mungkin menyebutnya... seperti kurang menikmati masa mudanya dengan tertawa. Walaupun begitu Tarisa memiliki fisik yang bak model inggris.
"Dee! Kok ngelamun aja sih, yuk ke kantin. Entar keburu tempat kita dipake sama orang,"
Dee menatap Nerisha dan Tarisa yang menunggu jawabannya, "kalian duluan aja deh. Gue mau bilang sesuatu sama--
"Your prince charming?" sahut Nerisha memotong ucapan Dee.
Dee mengernyitkan darinya, "Bukan, kami cuma teman."
"Udah deh, nggak usah ngelak. Karena gue gak akan percaya," Nerisha masih protes tidak jelas.
"We are just friends, no more."
Tarisa menghembuskan napas dengan kesal. Matanya tertuju pada Nerisha, "Nerisha, mending lo diam aja. Kalau lo mau terus-terusan protes di sini, kapan kita bakal ke kantin?"
Tarisa berpaling pada Dee, "Dee, mending lo kabarin dia aja dulu, mungkin dia nungguin jawaban lo dari tadi," Tarisa menyarankan sebuah penyelesaian.
Dee tersenyum, "oke, tunggu bentar."
Secepat mungkin ia mengetik balasan dari pesan Azka.
"Dee?" panggil Nerisha.
"Iya?"
"Tau gak? Sebulan yang lalu sekolah kita bersaing dengan SMA Nusantara Unggul, dan lo harus tau sekolah kita itu bikin malu," Nerisha mengecilkan suaranya diujung kalimat, sampai Tarisa menyenggol bahu cewek itu dengan keras. Namun Nerisha tetap melanjutkan pendapatnya, " untung ya, yang jadi pemenangnya ganteng dan gak sombong. Kalau dia sombong udah gue bully dianya," ucap Nerisha berapi-api.
Mata Dee masih terfokus pada layar ponsel. "Bersaing gimana?"
"Sekolah ngadain lomba debat matematika antar sekolah,"
Dee menyimpan ponsel di sakunya. Matanya menatap Nerisha dengan pandangan yang berbeda. Ada pandangan tidak suka di dalam tatapannya. Dan Tarisa yang paling menyadari jika Dee adalah satu-satunya orang yang paling membenci Matematika. Apa pun bentuk bilangan, besaran, dan bangun.
Dan Nerisha menyadari kejanggalan pada Dee, ia menoleh pada Tarisa seolah meminta bantuan.
Tarisa berdehem, "yuk ke kantin," ucap Tarisa memecahkan keheningan yang aneh, merangkul kedua sahabatnya setengah menyeret mereka ke kantin.
*****
Minggu, Cafe Aroma.
Cowok itu masih menunggu. Duduk dengan gelisah sambil menanti seseorang. Dua Coffee latte hangat yang sudah dipesannya, yang awalnya dihiasi dengan krim cantik. Kini sudah mencairkan dan tak berbentuk lagi.
Dee sudah berjanji padanya jika mereka akan bertemu di tempat biasa, hari minggu. Sebuah cafe yang cukup asri untuk dijadikan tempat belajar dan tempat hang-out anak muda sekarang, yang suka menghabiskan waktu mereka dengan wi-fi gratis.
Jika biasanya mereka datang ke sini hanya untuk belajar, mungkin kali ini berbeda. Cowok itu--Azka, masih menunggu Dee. Dan ia akan mengatakan semua kebenaran yang tersembunyi, yang selalu ia rahasiakan. Karena ia sadar, tiga bulan mereka tidak bertemu membuat Azka merasa bersalah, mungkin sudah saatnya ia mengatakan yang sebenarnya pada Dee.
Lonceng berbunyi saat seseorang masuk melewati pintu. Tetapi Azka tidak peduli, yang ia perdulikan hanyalah Dee. Kenapa perempuan itu harus menyiksanya dengan penantian yang lama? Matanya melirik arloji di pergelangan tangannya. Ini sudah satu jam lebih Dee terlambat dari perjanjian mereka. Apa terjadi sesuatu pada perempuan itu?
"Hai Azka?"
Secepat mungkin Azka mengalihkan pandangannya ke depan dan ia seolah kehilangan suaranya untuk berkata. Seseorang yang ia rindukan berada di hadapannya.
Cewek itu tersenyum, sambil menaikkan kacamata yang merosot ke hidung. Lalu
cewek itu menarik kursi di depan Azka.
"Udah nunggu lama ya? Sory ya gue telat. Gue harus kasih tau papa gue kalau gue mau ketemuan sama lo,"
Azka terdiam. Ia menatap Dee dengan saksama. 'Masih sama,' batinnya. Dee tidak pernah berubah. Cewek itu punya mata bulat yang indah yang tersembunyi di balik kacamatanya. Azka mungkin tak perlu mempermasalahkan fisik Dee, karena ia berbeda dari beberapa perempuan yang dikenalnya di sekolah. Tubuhnya memang terlihat sedikit gemuk karena ia punya tubuh mungil yang membuatnya terlihat pendek, tetapi ia punya kulit yang bagus seolah Dee selalu bersinar di mata Azka.
Namun rasanya semua itu tidak perlu dipermasalahkan karena Dee punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kebaikan yang tak bisa dielakkan, inner beauty.
Sentuhan tangan lembut itu menyadarkan Azka dari pemikirannya yang semakin sulit diajak kompromi. Ia menoleh pada Dee yang melakukannya. Secepat mungkin Dee kembali menarik tangannya, mencengkram tangannya dengan gugup.
"Duhhh ... sory ... habisnya lo ngelamun terus sih. Memang ada yang salah ya sama gue? Sampek harus lihatin gue segitunya,"
"Padahal cuman dilihat, baperan amat sih."
Gumam Azka sedikit ketus yang dapat didengar Dee.
Dee tergelak, senyum manis itu terukir di bibirnya. "Ngomong-ngomong, gue gak nyangka ternyata lo udah makin jago bahasa inggrisnya. Ya ampun! Gue salut banget sama lo. Gue jadi bangga bisa buat orang lain bisa punya ilmu kayak gue. Lo emang terbaik, Az."
"Gak, B aja tuh."
Dee tersenyum mendengar tutur kata Azka, "setidaknya lo jauh lebih baik daripada Rian, Sena, Melvin, Kiki, Julia, Putra dan anak lainnya." Dee menyebutkan nama orang yang pernah ia ajarkan bahasa inggris. Baik dari sekolah atau pun tetangganya.
Cowok berkacamata bulat di hadapannya terdiam.
"Gue senang aja kalau lihat orang lain bisa lebih dari gue. Rasanya bahagia,"
Mata Dee tampak menerawang, "tapi gak semua orang yang gue ajarin belajar dengan serius. Malahan pada akhirnya, mereka malah nyatain cinta yang bikin gue jadi ilfeel. Gue gak punya apa-apa untuk dijadikan pacar, gak seharusnya mereka nembak gue karena gue pintar bahasa inggris. Gue pikir, masih banyak kok, orang lain yang lebih baik dari gue."
"Jadi ... semua lo tolak?" Azka penasaran sekali dengan alasan tidak masuk akal yang Dee ucapkan. Tumben sekali jika Dee mulai curhat tentang dirinya, biasanya cewek itu hanya memikirkan bagaimana simple past berubah menjadi simple past future.
"Yaps ... bagi gue pacaran itu buang waktu banget. Apalagi ya rata-rata yang nembak gue anak jago matematika semua,"
Azka menunggu, menatap Dee dengan pandangan yang berbeda. "Emang kenapa dengan anak matematika?"
Dee menghembuskan napasnya sedikit jengah,"karena gue gak suka matematika,"
Inilah yang selalu ia lihat dari Dee. Kepribadian yang berterus terang, tak menyembunyikan apa pun dari Azka membuatnya suka menjadikan Dee sebagai teman. Tapi ada sesuatu yang harus ia katakan sebelum seseorang yang ia anggap teman, pergi dan tidak mau menolongnya lagi.
Sementara itu Dee tenggelam dalam pikirannya sendiri. Matematika yang selama ini ia benci berawal dari kasih sayang ibunya yang lebih memilih membawa adiknya ke luar negeri daripada dirinya. Ceritanya panjang. Ketika orang tuanya bercerai, ibunya malah memilih adiknya yang lebih kecil, adiknya memang pandai matematika dan alasan konyol itu memisahkan Dee dengan ibunya. Karena ibunya sangat suka dengan matematika, dan ia tidak melihat potensi Dee dalam bakat matematika. Maka dari itu ibunya pergi dengan adiknya meninggalkannya bersama papanya. Padahal saat itu Dee belajar mati-matian bahasa inggris.
Itu sebabnya ia sangat benci matematika.
Begitu bencinya. Sampai rasanya ia ingin menyalahkan Pythagoras, Leonardo Euler atau Matematikawan Yunani Kuno yang telah menciptakan matematika. Atau siapa saja orang yang telah membuat matematika itu ada di dunia! Dee ingin marah pada orang itu.
"Dee?" Azka bersuara.
"Iya?"
"Keluar yuk? Jalan-jalan, bosan di sini terus."
Dee mengangguk, lalu mereka keluar dari cafe itu.
Tbc......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top