Melupakan?
Minggu, 01 April 2018
Seharian ini Dee tidak melakukan apa-apa selain duduk dan melamun. Tak terasa empat tahun sudah berlalu. Dua tahun yang lalu Dee dan ayahnya pindah ke Jakarta. Ayah Dee dipindah tugaskan karena beliau naik jabatan dan dipromosikan ke perusahaan yang lebih bagus dan itu benar-benar langkah yang tepat untuk melupakan masa lalu yang menyakitkan.
"Non Dee?" terdengar suara yang membuat Dee bangkit dari duduknya dan menuju ke arah dapur.
"Non, Bibi mau ke pasar dulu. Non Dee gak ke kampus?"
Dee tersenyum, ia memandang Bi Imah yang sudah bekerja di rumahnya satu setengah tahun yang lalu. Cukup untuk Dee tidak merasa kecewa kesepian, "hari ini Dee libur Bi. Tapi setengah jam lagi Dee ngajar privat bahasa inggris. Ngomong-ngomong Bibi ngapain ke pasar bentar lagi juga sore."
Bibi Imah terkekeh. "Aduh Non, maksud Bibi tuh mau ke supermarket. Terus Non kenapa selalu berangkat sore?"
"Karena si Alexa ada les di sekolah, jadi dia cuma punya waktu sore sampe malam, Bi." Dee menghela napas, "yaudah Dee siap-siap dulu."
Dee tersenyum dan langsung melangkah ke kamarnya untuk bersiap-siap.
*****
Sore hari tiba-tiba jalanan macet. Dee duduk dengan bosan di depan kemudi mobil. Mungkin kali ini ia akan tiba malam di tempat les. Berbicara tentang les, Dee akan menceritakan sedikit tentang muridnya. Namanya Alexa, seorang remaja yang ia temui di sebuah cafe. Gadis itu sendiri yang mendatangi dan memintanya untuk mengajar bahasa inggris padanya. Padahal saat itu yang dilakukannya adalah membaca sebuah pidato dalam bahasa inggris bersama teman-temannya. Memang siapa yang tahu jika keberuntungan saat itu datang padanya, dan ia langsung menerima Alexa sebagai muridnya. Dengan uang les privat itu akan sedikit menambah uang jajannya untuk keperluan perawatan.
Mata Dee menyeduh. Ia merasa sesak saat sekelebat bayangan mata Alexa selalu mengingatkan pada seseorang. Seseorang yang seluruhnya tak bisa ia lupakan. Dan ia menyadari jika ia punya perasaan menyesal karena ia menolak untuk bicara dan memperbaiki semuanya. Dee terlalu bodoh dan naif, seharusnya dia bisa bersikap dewasa dengan mendengarkan penjelasan orang itu.
Empat tahun yang lalu, setelah ia turun dari bus pada malamnya, Azka terus meneleponnya ratusan kali dan Dee yang terlalu bodoh itu malah membiarkan ponselnya berdering begitu saja. Dan Azka selalu mengirimkan pesan setiap waktu. Hal itu terus saja berulang setiap detik, setiap menit, dan setiap jam. Tetap ia biarkan begitu saja, dan kemudian menghapus pesan itu tanpa membacanya. Jauh dalam lubuk hati Dee, sebenarnya ia ingin berbicara dengan Azka, ingin mendengar seperti apa yang akan Azka jelaskan untuk mempertahankan persahabatan mereka. Namun, itu masa lalu. Selama empat tahun berlalu, Dee sadar jika ia merindukan saat-saat kebersamaan mereka. Dan ia sadar jika ia sangat menyesal dan sangat berdosa. Mungkin dosanya jauh lebih besar dari Azka yang hanya membohongi satu orang. Sedangkan Dee, Dee tidak sanggup mengatakan jika ia jauh lebih berdosa dari Azka, karena ia sudah terlalu masuk ke dalam kubangan rasa bersalah yang penuh dosa.
Jika Tuhan menghendaki, Tuhan pasti akan mempertemukan Dee dengan Azka, jika itu terjadi, maka Dee akan sangat bersyukur.
*****
"Jadi was itu merupakan singular verb digunakan pada singular subjek, seperti: I, she, he, it, Andi, dan the cat, kecuali “you”. Nah, sebaliknya were yang merupakan plural verb digunakan pada plural subjek, seperti: you, they, we, Andi and Susi, dan the cats. Ngerti kan?"
Terlihat Dee menjelaskan pelajaran bahasa inggris yang menyangkut masalah Simple past tense pada satu-satunya murid Dee. Alexa mengangguk dengan semangat.
"Ngerti Miss. Alexa udah hafal kok bagian ini,"
Dee tersenyum. "That good, apa kita lanjut ke contohnya atau ke pembahasan yang lain supaya kamu gak bosan. Gimana?"
Alexa langsung menggeleng dengan cepat dan ia menghela napas secara berlebihan. "Miss, sebenarnya tuh Alexa gak mau belajar lagi. Bukannya bosan atau gimana sih Miss ... cuman---" Alexa sengaja mengantung ucapannya membuat Dee menatap wajah Alexa dengan penasaran.
Namun, bukannya penasaran dengan lanjutan perkataan Alexa, Dee malah kehilangan fokus. Mata yang seperti bulan sabit. Netral yang bening. Alis yang tebal. Hal itu selalu membuat Dee merasa sesak. Ia tidak menyangka bayangan Azka kembali menghampiri hati terdalamnya. Senyuman Alexa yang sangat mirip dengan Azka, membuat rasa bersalah Dee semakin besar. Dia menyesal. Kenapa rasanya semuanya begitu terlambat. Dee ingin membayangkan dia berada dalam pelukan Azka, menangis dan meminta maaf dan mengatakan jika ia ingin Azka tetap bersamanya dan tidak pernah menyerah untuk berteman dengannya.
"Miss? Kok Miss nangis?" Alexa terlihat sangat bingung.
Bibir Dee bergetar. Napasnya mencekit lehernya. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dosanya terlalu besar, dan rasanya Dee ingin menghilang dari dunia ini. Kali ini ia akan membiarkan bahunya bergetar hebat, menangis dalam tangisan tak bersuara. Dee ingin penyesalan ini berakhir, dan jika ia bertemu dengan Azka, ia akan mengatakan semua kebenaran yang ia sembunyikan selama ini.
Sementara itu, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Alexa selain memeluk guru les privatnya yang sangat kacau. Mungkin wanita itu punya masalah pribadi.
"Maafin aku," gumam Dee lirih.
Alexa menghela napas, ia sama sekali tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Jadi, biarkan saja semuanya ini tanpa penjelasan, ia akan tahu jika Miss Dee mau menjelaskan kepadanya apa yang terjadi.
*****
"Merasa baikan, Miss?"
Dee mengangguk, mata dan hidung yang sembab itu sangat buruk bagi dirinya.
Selama empat tahun yang lalu, Dee selalu menahan dirinya untuk tidak menangis. Biasanya hanya berhenti ketika matanya kaca-kaca saja. Dee tidak menyangka jika Azka terlalu banyak mengambil ruang dalam hatinya. Kebersamaan mereka dulu selalu ia rindukan. Tapi ada kebohongan yang belum ia katakan pada Azka. Seharusnya ia memberi penghargaan pada Azka yang sudah berani meminta maaf dan selalu berjuang untuk kembali berteman dengan Dee. Padahal fisik Dee tidak sesempurna orang lain.
"Miss?"
Kenyataan mengembalikan Dee pada kehidupan yang sekarang. Jika ada gadis yang mirip Azka yang mengulurkan teh hangat padanya. Hell! Kenapa ia malah terlihat memuakkan seperti orang yang tak sangat sanggup menjalani hidupnya. Dee ingin berlari dari kenyataan, tapi nyatanya ia terlalu percundang.
Dee menerima teh hangat itu. Kepulan uap menari-nari di atas cangkir, dengan pelan ia menyesap teh itu.
"Kayaknya Miss harus ke kamar mandi dulu deh. Cuci muka," Alexa memandang jam dinding menunjukkan jam pukul 8 malam, "atau Miss mau cerita masalah Miss ke Alexa dulu. Alexa bisa kok jadi pendengar yang baik,"
Dee tersenyum tipis, "Miss ke kamar mandi aja. Cuci muka dulu,"
"Oke," Alexa tersenyum manis, "hati-hati ya Miss. Jangan sampai ketemu sama Beruang," lanjut Alexa misterius.
Dee mengernyit dalam, sama sekali tidak mengerti. "Miss gak ngerti. Btw, rumah ini kok agak rame sih, biasanya enggak. Ada tamu ya?"
"Udah Miss, ke kamar mandi aja dulu. Nanti Alexa cerita,"
"Yaudah," Dee keluar dari kamar. Rumah Alexa cukup mewah, tetapi memakai perabotan yang minimalis. Dan mereka mengambil konsep, untuk kamar anak memakai kamar mandi di luar kamar. Jadinya Dee harus ke kamar mandi yang tak jauh dari kamar Alexa.
Dee berbelok ke lorong, dan matanya melihat sekelebat bayangan di depan kamar mandi. Namun, Dee tidak begitu peduli. Karena ia tahu jika bayangan itu hanyalah seorang manusia. Lalu Dee mengambil ponselnya, membuka galeri dan mencari fotonya dan Azka empat tahun yang lalu yang selalu ia lihat. Pada foto itu, mereka berada di Cafe Aroma, duduk berdampingan seraya tersenyum ke arah kamera. Dee menghela napas, foto itu selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Ia tersenyum tipis, Dee ingin melihat bagaimana takdir mempertemukan dengan Azka atau bahkan tidak sama sekali.
Apa mereka tidak akan mengenal lagi? Atau mungkin sebaliknya.
Dee baru saja melewati seseorang, seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi, yang mengeringkan rambutnya sambil berjalan. Dee tidak bisa melihat wajahnya. Seketika itu Dee mencium bau yang sangat familiar, saat itu juga Dee tersentak kaget. Bau yang selalu ia ingat selama empat tahun yang lalu.
Jemari Dee bergetar hebat, ia mencengkram erat ponselnya. Mendengar detak jantungnya yang mulai menggila, secara perlahan mencekik pernapasannya. Orang itu membangun kenangan lamanya lagi. Mengapa rasanya dunia ini sangat jahat pada Dee? Dee tidak menginginkannya, ia menyakinkan dirinya jika orang itu bukan dia. Itu bukan Azka.
Dee berhenti, perlahan menoleh ke belakang. Sontak ia menggigit pipi dalamnya, yang ia lakukan sekarang adalah menatap punggung orang itu yang mulai menghilang di balik lorong.
Bibir Dee bergetar. 'Maafin aku, Azka.'
**Tbc**
FOLLOW MY INTAGRAM : risennea
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top