Kesalahan Yang Tersembunyi [END]
Ekhem... lumayan panjang ya.. Bacanya pelan-pelan aja. Nikmati seluruh alurnya.
Happy reading 😊😊😊😊
*****
🎼"I met you in the dark
You lit me up
You made me feel as though
I was enough
.....
I knew I loved you then, But you'd never know
'Cause I played it cool when I was scared of letting go
I knew I needed you, But I never showed
But I wanna stay with you, Until we're grey and old
Just say you won't let go
Just say you won't let go."🎼
--James Arthur ( Say you won't let go)
******
Dee memejamkan matanya, menikmati lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi cafe. Lagu yang mampu membuat Dee selalu mengingat Azka. Tentang betapa sering mereka menghabiskan waktu bersama. Tentang bagaimana mereka selalu tersenyum dan tertawa jika ada hal lucu seperti lelucon garing. Dan Dee malu mengatakannya, jika ia tidak ingin Azka pergi dari sisinya lagi ketika mereka bertemu kembali. Rasanya Dee bukan apa-apa tanpa Azka, hanya awan tak berwarna tanpa langit yang biru. Dee juga menyadari jika semua yang ia rasakan bukan hanya rasa nyamannya pada teman, melainkan rasa yang membuatnya mengagumi Azka dan rasa kagum itu yang menuntunnya menyukai Azka. Namun, semuanya sudah terlambat. Mereka tak akan bertemu lagi, bahkan semua orang tahu jika hal itu tidak akan terjadi.
Suasana cafe sangat ramai, mungkin karena cafe ini sangat cocok menjadi tempat rekomendasi bagi mereka yang ingin melepaskan rasa lelahnya. Beruntung Dee mengambil kursi di sudut ruangan, mencoba menghindari kemungkinan bercakapan dengan orang lain yang tak ia kenal. Beberapa menit yang lalu, Dee baru saja selesai dari kampusnya, maka dari itu ia memilih untuk mengistirahatkan pikiran dari masa lalu yang menjebaknya, di sini. Tetapi tetap saja ia selalu memikirkan masa lalunya. Sebenarnya Dee tahu caranya agar ia tidak selalu berpikir atau stres seperti ini. Mungkin, dengan bertemu Azka ia akan menjadi lebih baik. Kemudian ia akan menjalani hidupnya dengan tenang.
Seseorang menarik kursi di depan Dee, membuat Dee membuka matanya kaget. Apalagi lagu di cafe mulai digantikan dengan lagu lain, yang jauh lebih energik, dengan tempo yang cepat.
"Maaf lancang, tidak masalah 'kan saya duduk di sini? Karena yang lain tempatnya sudah penuh,"
Dee menatap wajah yang sedikit familiar itu. Pria itu mengenakan jas yang rapi dan serba hitam. Mata Dee terlihat bingung, ia menyapu pandangan ke sekelilingnya, mungkin saja pria ini hanya modus. Namun, ternyata memang benar, cafe itu sudah penuh. Dan satu-satunya tempat yang kosong adalah kursi di depan Dee. Uhh, sore hari memang menyebalkan. Padahal Dee ingin menikmati waktu dirinya sendiri, lain kali Dee tidak akan memilih tempat ini lagi untuk bersantai.
Dee tersenyum tipis, mencoba bersikap ramah. "Silahkan duduk saja. Siapapun boleh duduk di mana saja, jadi jangan perdulikan saya." Dee menyesap Coffee latte yang sudah dingin.
Pikiran Dee kembali dipenuhi dengan bayangan Azka. Dee harus mengakui jika ingatannya sudah mulai rusak, karena hanya berputar pada ingatan yang sama. Terulang-ulang dalam adegan yang sama. Dee rasa ia mulai gila. Semua yang hidup disekitarnya seakan memudar, dan Dee yang terjebak dalam masa lalunya. Seakan hanya Dee dan memorinya yang berada di cafe itu yang selalu berputar. Bayangan kebersamaan mereka yang sempurna, pengorbanan Azka saat menolong Dee, dan sampai bayangannya dan Azka yang saling bertengkar. Semuanya menyakiti hatinya terlalu dalam dan sakit. Seperti ribuan belati yang dilempar ke titik yang sama. Sangat menyakitkan.
Dee tidak bisa memaafkan dirinya. Ia terpenjara dalam rasa penyesalan ini. Ia butuh Azka. Dee mengenggam tangannya erat, menahan matanya yang berkaca kaca, agar ia tidak menangis. Ia butuh Azka yang mau mengatakan jika ia memaafkan Dee. Ia akan melupakan semua kebohongan Azka. Ia ingin mendengar Azka mengucapkan jika Azka mau memaafkannya. Dadanya merasa sesak. Apa Dee boleh berharap? Ia ingin Azka mengatakan itu.
"Aku memaafkanmu."
Dee terpaku, matanya terbelalak. Mulutnya membuka, secara perlahan menatap pria asing. Pria yang bahkan tak ia ingat keberadaan jika ia tidak sendirian. Mata Dee menilai pria itu, pria yang sempurna dan tampan. Dan ia tidak mengerti mengapa pria asing itu mengatakan sederet kata alien itu. Matanya terbelalak semakin lebar, tatapan Dee terpaku pada tangannya yang tanpa sadar mengenggam erat tangan pria asing itu.
"Ya Tuhan!" seru Dee, secepat mungkin melepaskan genggaman tangannya pada pria itu. "Ma-maaf ... saya gak bermaksud apa-apa. I-itu hanya tindak ketidaksadaran saya. Tolong maafkan saya, saya benar-benar tidak berniat menggoda anda," entah mengapa Dee sangat gugup ketika menjelaskan pada pria yang kini menatapnya lekat. Pasti pria itu berpikir buruk tentangnya. Ya Tuhan! Bencana apa lagi ini? Memalukan.
"Aku memaafkanmu," pria itu mencondongkan tubuhnya, bertumpu pada kedua lipatan lengan di atas meja.
Dee mengernyit, "Excuse me?" Apa Dee mengenal pria itu? Kenapa seolah-olah pria itu mengenalnya. Oke, ini sangat gila.
Pria itu tersenyum tipis. "Lo gak kenal gue?"
Dee mengernyit dalam, kali ini Dee tidak ragu menatap pria asing itu. Matanya yang seperti bulan sabit, dan bau yang sangat mirip dengan seseorang. Dee mencondongkan tubuh, ia harus memastikannya entah kenapa ia semakin penasaran. Apa yang membuat Dee bisa berpikir jika orang ini adalah seseorang yang sangat ia rindukan. Dee tidak mengerti dengan dirinya. Bayangan Azka memenuhi pikirannya, dan ia melihat Azka ada di dalam pria itu. Temannya, sahabatnya atau mulai sekarang ia bisa mengakui jika Azka adalah seseorang yang ia sukai.
Mata Dee berkaca-kaca, perlahan tangannya terulur, menyentuh pipi pria itu. Dee tidak mengerti mengapa ia begitu berani. Pria itu hanya tersenyum. Ini gila! Kenapa dalam pikiran Dee pria itu adalah dia.
Dee berkata dengan lirih. "Azka?"
Pria itu nyaris tertawa mendengar suara Dee. Tangannya menyentuh tangan Dee pipinya, mengenggamnya erat. "Lo ingat?"
Seketika itu, rasanya jantung Dee ingin meledak, ia tidak pernah menyangka jika kali ini ia lebih dari orang gila. Ia lebih cocok dibilang sinting. Apa Dee baru saja merayu seorang pria asing? Mungkin, iya. Dee sangat memalukan.
Saat itu juga, Dee menarik tangannya. Namun, kalah cepat dengan pria itu yang menahannya. Pria itu tersenyum lembut, Dee bisa melihat pipinya bersemu merah.
"Awalnya gue juga gak ingat kalau yang diceritakan Rania, itu Lo. Sampai gue lihat sendiri foto lo sama adek gue." Pria itu menurunkan tangan Dee dari pipinya, dan mengenggamnya erat. "Lo udah berubah, jauh dari yang gue bayangin."
Mata Dee berkaca, ia menggigit pipi dalamnya, "lo beneran Azka?" Lirihnya.
Pria itu menggangguk, "Iya, Azka yang lo kenal."
"Lo ganteng banget,"
Saat itu, pria yang mengatakan dirinya adalah Azka tertawa, membuat wajahnya memerah saat itu juga.
Dee yang melihat genggamam jemari dalam telapak tangan Azka, begitu erat dan kokoh. Senyumannya masih sama, tawanya masih sama. Kali ini Dee percaya jika orang ini memang Azka. Dan Dee mengakui yang ia rasakan lebih dari seorang teman.
"Lo masih sama, gak berubah. Terlalu berterus-terang," Azka tertawa lagi.
Dee merasa kebingungan, ini seakan tidak nyata. Bagaimana Dee mengatakan pada Azka jika ia juga punya kesalahan yang lebih dari Azka lakukan. Mungkin sudah waktunya Dee meminta maaf.
"Gue minta maaf," Dee menundukkan wajahnya, mengucapkan kata itu begitu pelan.
Azka menghentikan tawanya, menatap Dee bingung. Ia mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulut Dee.
"Sebenarnya...," Dee menarik napasnya, berusaha untuk tidak menelan salivanya. "Ada sesuatu yang gak gue ceritain ke lo---"
"Tunggu," Azka menyela, "sebelum lo cerita lebih lanjut, harus gue yang pertama kali cerita sama lo, tentang motif apa yang buat gue berani deketin lo."
Saat itu, cerita yang tersembunyi itu mengalir dari mulut Azka. Dee tidak menyangka ternyata semuanya hanyalah ketertarikan masa remaja. Dee hampir mengira jika semua cerita itu hanya berada dalam dunia lain, dunia dongeng. Pikiran Dee terbentang sangat jauh akan kenyataan bahwa semua ketulusan Azka itu benar-benar nyata. Rasa suka Azka padanya lebih dari teman. Dan Azka tidak mempermasalahkan fisik Dee yang saat itu kurang sempurna. Harusnya ia bersyukur, karena sekarang Dee juga merasakan perasaan seperti Azka. Dan ternyata waktu kebersamaan mereka yang membuat mereka terikat dengan benang merah yang kasat mata. Tetapi, apa kali ini Azka masih menyukainya?
Hati Dee penuh kelegaan saat mendengar tuturan Azka. Entah mengapa rasa bahagia diam-diam menyelinap dalam hatinya.
"Sekarang lo udah beda. Jauh lebih....," Azka menggantungkan, mencoba mencari kata yang tepat, "kurus."
Mendadak Dee terdiam, semburat merah muncul di kedua pipinya. Dee menoleh ke arah lain, ia merasa malu. Sebenarnya selama ia pindah ke Jakarta, diam-diam Dee mengikuti diet untuk menurunkan berat badannya. Entah dorongan apa yang membuatnya selalu giat untuk program diet, mungkin saat itu Dee ingin membuktikan pada dirinya sendiri jika tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Dan siapa yang menyangka jika hasilnya luar biasa. Berat badannya turun 21 kilogram dari 69 kilogram, bisa dikatakan dia sekarang hanya 48 kilogram. Itu pencapaian yang luar biasa. Saat itu Dee melakukan diet dengan menjaga porsi makan dan mengurangi lemak di tubuhnya dengan olahraga yang dilakukan secara rutin. Dan sekarang Dee percaya, dengan pepatah ini. 'Apa pun yang ingin kita capai, jangan bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Tapi bandingkan dengan kemampuan diri sendiri.'
Dee berdehem. "Ceritanya panjang,"
Azka hanya tersenyum, "gak masalah kok, gue selalu menerima lo apa adanya,"
Dee mengerutkan dahinya, apa hanya ia yang merasakan jika perkataan Azka sangat ambigu? Mata Dee menatap Azka penuh tekat,kali ini Dee harus cerita sesuatu yang sudah tersembunyi sangat lama.
"Sebenarnya---"
"Ngomong-ngomong, kacamata lo di mana Biasanya selalu lo pake."
Dee sedikit terkejut dengan pertanyaan Azka, dia memang sudah tidak memakai kacamata lagi. Lalu perasaan kesal masuk dalam hatinya. Kenapa rasanya Azka sengaja mengalihkan pembicaraan seolah tak ingin mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dee. Memangnya ada yang salah? "Sebenarnya---"
"Oh ya, nanti setelah ini kita ke rumah gue ya? Pasti bunda seneng banget ketemu sama lo, 'kan dulu gue gak pernah ajak lo main ke rumah." Azka terlihat terkekeh lucu.
Dee menggeram kesal, "Azka please? Dengerin dulu!"
Azka terkekeh lagi, "oke silahkan."
Dee menghembuskan napasnya secara perlahan, "yang pertama, gue mau minta maaf sama lo."
Azka mengangkat sebelah alisnya, mendengar ucapan Dee.
"Gue gak sebaik yang lo kira. Sebenarnya gue juga udah bohong sama lo, gue gak minus, kacamata yang selalu gue pake itu cuman buat gaya-gayaan aja, dan lo tahu? Gue bukan bohong sama lo aja. Tapi semua anak di sekolah, temen-temen gue. Gue bohongin semua," raut wajah Dee terlihat sangat menyesal, lalu matanya tampak menerawang jauh, mencoba mengingat kesalahan yang ia perbuat.
Azka sangat tercengang dengan ucapan Dee. Namun, dia mencoba untuk mendengar lebih lanjut penjelasan Dee.
"Dari SMP gue juga udah suka bohong kok. Awalnya cuma iseng aja, tapi malah jadi terusan. Waktu itu, ada yang tanya sama gue tentang PR seni budaya, kapan dikumpulkan. Dan lo tahu? Gue malah bohongin teman gue, dan bilang gak ada PR seni budaya. Padahal waktu itu gue sendiri udah kumpulin tugasnya, esok harinya kami bertengkar dan musuhan. Dan ingat gak? Pas lo tanya gue sakit mag, sebenarnya itu juga bohong. Gue cuma mau ada yang perhatian sama gue walau itu kecil banget. Dengan cara itu gue kira itu sukses buat gue dapetin teman walaupun manfaatin mereka. Lalu suatu hari gue sadar, kalau yang gue lakuin itu salah. Gue sadar kalau kebohongan itu hanya hancurin hidup gue,"
Mata Dee menoleh ke arah Azka yang menatapnya dalam diam seperti patung. Dee memantapkan hatinya, kali ini tidak ada lagi kebohongan. "Sebenarnya gue gak benci matematika, gue baru sadar saat gue jenguk nyokap gue minggu lalu, dan dia minta maaf sama gue karena selama ini dia selalu mengabaikan gue. Dan di sana gue ngerti. Gue cuman iri sama orang yang jago matematika. Karena gue gak bisa kayaknya mereka. Walaupun gue bilang benci, nyatanya tiap malam gue selalu belajar matematika walau soalnya gak pernah selesai."
Dee tersenyum miris, matanya menghindari Azka. "Gue munafik ya?" Dee menunduk malu, "sampe rasanya gue gak tahu harus gimana kalau ketemu sama lo."
Tiba-tiba Dee menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menengggelamkan wajahnya pada tumpuan lengan di atas meja. "Rasanya gue malu banget,"
Azka terkekeh, Azka bisa memaklumi kesalahan Dee. Karena di dunia ini semua orang mempunyai kesalahan. Orang yang hebat itu adalah orang yang mampu mengatakan kebohongannya dengan jujur, dan Dee sudah sangat hebat. Azka bisa melihat ada rona merah di kedua telinga gadis itu hingga lehernya. Pasti gadis itu sangat malu.
Jika Dee sudah selangsing ini dan semakin cantik untuk apa Azka menunggu lagi tentang perasaannya. Dan mungkin Dee juga sudah merasakan apa yang dirasakan pada Azka. Dengan gemas, Azka mengacak-gacak rambut Dee seraya tersenyum. Seketika itu Dee langsung mengangkat wajahnya yang semakin memerah.
"Lo gak marah?" Tanya Dee.
Azka tersenyum manis. "Ngapain marah? Kita kan sama-sama pembohong."
Dee menunduk, menyembunyikan senyuman di bibirnya. Tiba-tiba Azka menggenggam tangan Dee, menariknya pergi dari cafe itu. Dee yang merasa melayang seolah ia berada dalam gravitasi di planet lain, merasa sangat senang dan sama sekali tidak membantah.
.
.
.
Mobil Azka berhenti di depan rumah yang sangat dikenal Dee. Rumah dengan gaya minimalis yang mewah. Rumah Alexa, murid les privatnya.
"Ngapain ke sini?" Dee menahan tangan Azka saat lelaki itu keluar dari mobil. Dan Dee merasa sangat kebingungan. Rasanya Dee tidak pernah mengatakan jika ia mengajar les privat apalagi menceritakan tentang muridnya pada Azka. Mereka baru saja bertemu, dan Azka tidak mungkin membaca pikirannya untuk mengetahui tentang ini.
"Ini rumah gue," perkataan Azka mengejutkan Dee. Rasanya Dee baru saja disambar petir di siang bolong.
"Kok bisa?" Dee sama sekali tidak bisa mengontrol keterkejutannya.
"Rasanya gue udah bilang Rania itu adek gue, masa lo gak ingat?" Kali ini Azka yang menatap Dee kebingungan.
"Siapa?"
"Rania Alexa itu adek gue, lo beneran enggak ingat? Padahal kita sering curhatan tentang adek gue, dan adek gue yang les sama lo." Ada kekecewaan di mata Azka.
Dee kehilangan kata-kata, Dee sama sekali tidak menyangka jika hari ini akan datang banyak kejutan. Pantas saja setiap ia melihat Alexa selalu mengingat Azka. Karena mereka saudara, jelas kemiripan mereka pasti melekat di antara mereka.
Dee menghela napas, mencoba mengontrol dirinya sendiri. "Terus kita ngapain di sini?" Dee mulai merasa curiga.
"Aku udah bilang kalau kita mau ketemu bunda, apa kurang jelas?"
Dee memanyunkan bibirnya, "Gue udah sering ketemu bunda lo. Balik aja yuk. Antarin gue pulang aja."
"Gak bisa. Pokoknya turun dulu," Azka sudah membuka setengah pintunya, namun Dee kembali mencegah Azka, menahan lengan lelaki itu.
"Ada apa?" Azka mengangkat sebelah alisnya. Ia bisa melihat wajah Dee mulai memerah. Azka mendekati Dee, mencoba memastikan, "lo kenapa?"
Entah mengapa, Dee sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya. Jika ia sangat merindukan Azka. Dan seperti saat ini, ketika Tuhan begitu baik hati padanya di saat Dee bertemu dengan Azka, rasanya Dee ingin memeluk Azka sebagai teman yang sudah lama tak berjumpa. Apa itu salah? Dee berpikir seperti tidak kan? Walaupun awalnya ada keraguan di mata Dee saat menatap Azka. Namun Dee menyakinkan dirinya agar ia tidak boleh ragu. Lalu tak lama kemudian, Dee mendekati Azka, melingkarkan lengannya ke leher Azka. Memeluk sahabat lamanya.
"Gue kangen banget sama lo. Dan entah kenapa aku tahu kalau perasaan ini lebih dari teman," entah keajaiban dari mana ucapan itu mengalir begitu lancar dan tegas dari bibirnya.
Mata Azka terbelalak, bahkan mulutnya sampai terbuka. Azka sangat terkejut, ia sama sekali tidak menyangka jika Dee akan mengatakan sesuatu yang tak pernah ia duga. Perasaannya yang dulu masih sama hingga sekarang. Masih untuk Dee. Kenapa Tuhan begitu jahat menyatukan mereka setelah memisahkan mereka bertahun-tahun lama. Apa memang Tuhan sedang menguji sebatas apa perasaan mereka? Azka tersenyum, dan ia sangat bersyukur.
Azka membalas pelukan Dee, memeluk gadis itu dengan erat. Ia tidak akan melepaskan Dee lagi, jika mereka harus berpisah lagi. Ia bisa merasakan jantung Dee dan dirinya berdetak sama kencangnya. Bergemuruh dan berisik. Tapi Azka menyukai sensasi ini. Apalagi setelah mendengar Dee yang mengatakan perasaannya, yang langsung membuat Azka melayang, dan ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Azka harus memastikan jika perkataan Dee tadi adalah nyata.
"Lebih dari teman kan?"
Dee mengernyit, tidak mengerti. Ia menjauh dari Azka, mencoba melepaskan pelukan Azka. "Maksudnya?"
"Kita teman atau lebih?" tanya Azka mengerling nakal.
Seketika itu tawa Dee terdengar. Di mata mata Azka, tawa Dee masih sama. Terlalu indah di mata Azka. Dan Azka menunggu jawaban Dee.
"Maunya apa?" Dee menantang Azka dengan tatapan tajamnya.
Azka menarik Dee kembali dalam pelukannya. "Maunya lebih," bisik Azka di telinga Dee.
Jelas, Dee langsung tersipu. Pipinya sudah memerah. "Apaan sih?" setelah itu, Dee mendorong Azka menjauh, dengan cepat keluar dari mobil. Azka dengan sigap mengejar Dee.
"Kalau Bunda ada di rumah. Aku bakal lamaran kamu di depan Bunda," Azka menyembunyikan senyuman di sudut bibirnya. Ia langsung merangkul bahu Dee, sekalian aja modus. Kalau Dee sudah sekurus ini, Azka pasti akan sangat mudah bagi Azka memeluk dari belakang. Dan Azka sangat ingin mencoba. Setelah berpikir begitu Azka menggeleng kepalanya, 'Astagfirullah, masih belum halal, harus halalin dulu,' lalu Azka terkekeh sendiri.
Dee terdiam saja setelah mendengar ucapan Azka yang mengejutkan batinnya. Namun, tangannya menepis tangan Azka di bahunya.
"Gak mau ya? Nikah sama aku?" Azka sengaja membuat nada sedih dalam suaranya.
Dee berhenti di depan beranda. "Aku gak bilang gitu kok."
"Jadi?"
"Ya gitu," wajahnya Dee kembali memerah. Dan entah kenapa dia baru untuk sadar tidak menggunakan elo-gue lagi dengan Azka.
"Mau kan?" Azka merentangkan tangannya, bermaksud memeluk Dee lagi.
Dengan cepat Dee menepis tangan Azka. "Halalin dulu, baru boleh peluk."
Setelah itu, Dee langsung masuk ke rumah Azka, seraya mengucapkan salam. Dee sama sekali tidak canggung untuk mencium tangan Bunda, ketika melihat Bunda Azka yang sedang menonton tv.
Azka terpaku di depan pintu. Ucapan Dee tadi secara tidak langsung menerima lamarannya. Azka merasa sangat tidak romantis, karena melamar Dee di depan pintu rumahnya sendiri. Berarti itu lampu hijau untuk Azka, jika Dee mau menikah dengannya.
Azka tak dapat mengindahkan rasa senang nya. Ia merasa sangat bahagia. Dan rasanya tidak ada salahnya jika ia berteriak.
"BUNDA! AZKA MAU NIKAH SAMA DEE!"
Oh My! Jantung Dee ingin copot saat itu juga. Kenapa Azka harus bertingkah sangat konyol? Dee bisa melihat wajah Azka penuh binar-binar kebahagiaan.
Oke, Dee mengakui jika ia mau menikah dengan Azka, namun tidak secepat ini. Ya Tuhan! Mau ditaruh di mana muka Dee, yang sudah memerah padam.
Bunda Azka melirik Dee, sontak gadis itu langsung salah tingkah. Dee menatap Azka dengan tajam yang terus mesem-mesem tidak jelas. Lihat saja! Dee akan membalas perbuatan Azka!
The END
_____________________________________________
Jangan malu-malu tuk kritik typo.
Mohon bantuannya ☺️☺️☺️
Yuk skrolll ke bawah.. Eh? Maksudnya ke part selanjutnyanya.. Ada cuap-cuap cayus di sana. 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top