Kebenaran dalam Kebebasan
Suara dentuman baku tembak menggelegar di seluruh penjuru ruangan, kuat-kuat aku menutup mata, tak mau melihat tubuh bersimbah darah kental lagi. Begitu pun kugunakan kedua tanganku yang bebas untuk menulikan suara bising senjata api di luar sana. Jeritan dan genangan air dalam pelupuk mata, aku coba menahannya. Aku tak mau siapapun mendengarnya. Bersamaan dengan jantungku yang berdetak keras tak karuan, karena takut.
Tap! Tap! Tap!
Langkah kaki besar mulai menapaki tiap anak tangga di lantai bawah. Tak terdengar lagi suara bising senjata api, maupun dentuman senjata berat dari tiap ruangan. Perlahan namun penuh kepastian, aku menjauhkan kedua tanganku dari telinga yang kubuat tuli beberapa saat tadi. Begitu pula aku membuka mataku untuk memastikan keadaan benar-benar baik-baik saja. Meski dalam gelapnya ruangan, aku masih bisa melihat samar tubuh tegap di ambang pintu sana. Jantungku berdetak semakin tidak karuan.
Aku mencoba menggunakan kedua tanganku untuk menutupi indra perasa dan penciumanku agar hawa keberaaanku menipis. Bila itu terjadi, orang-orang bertubuh tegap di ambang pintu yang membawa senjata akan pergi dari sana dan mengabaikan aku di sini.
Namun pupus sudah harapanku, pria bertubuh tegap lainnya datang sambil membawa lentera sebagai penerangan. Entah sudah berapa banyak air mataku keluar, hanya karena pasrah dalam keadaan ini. Bahkan untuk melarikan diri pun sia-sia, karena di luar sana bahkan lebih kejam daripada tempatku berdiri saat ini. Satu-satunya hal yang tersisa sekarang hanyalah pertolongan dari-Nya.
“Bismillahirahmannirahim,” bisikku berharap mereka tidak akan mendengarnya.
Aku lalu teringat akan qur’an kecil yang ada di samping meja kecil tempat aku berdiri. Dengan tertatih-tatih aku berusaha mendapatkan kitab suci yang kujadikan pedoman hidupku. Entah apa yang merasukiku agar berani untuk mengambilnya dan mengabaikan para tentara yang mungkin saja ingin membunuhku sama seperti teman dan keluargaku.
“Tidak ada siapa pun di sini,” ucap salah satu pria bertubuh tegap di sana. Aku ingin langsung bersujud syukur, namun aku belum mengambil al-qur’an yang masih aku usahakan untuk mengambilnya tanpa mereka tahu. Perlahan aku mengambil kitab suci Al-qur’an dan kudekap penuh perlindungan. Dan aku tidak sadar ketika aku berjalan ke tempat aku berlindung sebelumnya, aku menabrak meja kecil tersebut.
Srak! Srak!
Mendadak cahaya kuning dari lentera yang sedari tadi masih setia menemani pria-pria bertubuh tegap tersebut mengarah padaku. Aku merinding ketakutan. Bahkan wajahku bisa dipastikan putih pucat ketika aku melihat beberapa pria tegap itu mengangkat senjata api mereka kepadaku. Aku semakin mendekap Al-qur’an erat, kini tiada lagi yang membuatku takut. Meski bisa kapan saja peluru berkaliber.
“Tunggu, jangan tembak!” ucap pria yang membawa lentera pada pria bertubuh tegap lainnya. “Ukhti, apa yang terjadi padamu? Mengapa gadis sepertimu sendirian di atas rumah?”
Dia bertanya padaku, aku lalu menunduk menyadari ketika pria lainnya menatapku seolah aku musuh mereka. Aku hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaannya. Seakan mengerti, pria-pria itu menurunkan senjatanya dan meminta aku mengikuti mereka. Aku ragu awalnya, namun berprasangka buruk itu tak baik seperti yang orangtuaku ajarkan padaku.
Aku mengekor pada pria-pria bertubuh tegap yang mengiringiku ke sebuah rumah. Tampaknya di dalam rumah itu terdapat anak-anak seumuran denganku tengah tersenyum bahagia. Selintas aku melupakan semua pemandangan buruk yang aku lihat sebelumnya. Pria-pria itu meninggalkan aku sendirian, tapi tidak semuanya pergi, tersisa pria yang membawa lentera di sampingku.
“Assalamu’alaikum, adik-adik, kakak membawa teman baru,” ucapnya memperkenalkan diri. Aku sendiri tak lupa mengatakan salam pada mereka. Tak lama waktu berselang, datang beberapa wanita lebih tua dari pria yang membawaku datang.
“Wa’alaikumsalam, siapa yang kamu bawa itu, Jafar?” tanya wanita paruh baya yang melihat ke arahku. Aku kembali mendekap erat al-qur’an, aku percaya mereka bukanlah orang jahat. Tatapan mata mereka sama seperti aku yang merindukan banyak hal. Namun mereka tetap tersenyum.
“Ummi, aku dan teman-teman menemukan dia di sekitar tempat kami berperang. Tapi dia belum bicara. Sepertinya Ummi yang bisa bicara dengannya,” jawab pria yang dipanggi Jafar. Aku mulai menunduk kembali, menyadari wanita lainnya memandangku, bertanya.
“Jangan menunduk terus. Siapa namamu, Nak? Apa orangtuamu ikut berperang?” tanya wanita paruh baya yang memandangku. Aku mengangguk sekilas lalu berhenti menunduk. Aku menghirup udara sebanyak yang aku bisa lalu membuang seluruh keraguanku.
“Nama saya Assyfa Layla Malayeka. Ibu dan ayah saya sempat ikut berperang namun keduanya terbunuh di medan perang petang tadi, ketika terjadi perang di dekat rumah saya,” jawabku terdengar sedih di hadapan mereka.
“Jafar, istirahat saja dulu, bersihkan dirimu. Nak Assyfa, ayo ikut ummi, kamu juga harus membersihkan dirimu,” aku menuruti wanita paruh baya tersebut tanpa adalagi keraguan di hatiku. “Nak Assyfa, karena hari sudah malam juga, nanti kamu istirahat ya.”
“I…iya, Ammatiy,”
Aku membersihkan diriku pagi hari ini, tak luput dari kebiasaanku, kukenakan jilbab sebagai penutup auratku dan tak lupa aku membawa Al-qur’an kecil yang mampu kubawa ke mana-mana. Dengan senyum mengembang, aku keluar dari kamar. Anak-anak yang terlihat lebih muda dariku. Mereka tersenyum senang dan memperkenalkan diri mereka satu per satu padaku.
Aku mengikuti ajakan mereka untuk makan. Dengan kesederhaan, kami makan bersama di lantai. Aku membantu membawakan makanan, karena rasanya tidak enak kalau aku tidak membantu, sementara aku menumpang di rumah saudara yang telah membantuku.
Aroma masakan menyengat indra penciuman setiap anak, termasuk pria bernama Jafar. Senyum mereka mengembang dan memamerkannya pada tiap anak perempuan yang membawa nampan berisi makanan. Aku tertawa kecil melihatnya. Seakan aku memiliki keluarga baru yang sangat menyenangka dan begitu hangat. Meski duka menetap jauh dalam lubuk hatiku. Namun, aku tak pernah diajarkan untuk terlalu berlarut dalam kesedihan.
“Assyfa, umurmu berapa?” tanya ibu padaku. Aku tersenyum lalu menjawabnya.
“17 tahun, Ammatiy,” jawabku.
“Wah, umur Kakak sama seperti Kak Jafar,” seru anak kecil di samping sana. Aku tersenyum kecil, namun juga terkejut menyadari Jafar masih belia seperti diriku. Aku terkagum padanya, dengan umur yang terbilang belia dia dengan berani menjadi pembela tanah air.
“Ummi, Jafar tadi Subuh dapat kabar dari Faiz, tenaga medis sangat kurang. Ummi bisa bantu Jafar?” ucap Jafar berselang ketika sarapan telah habis.
“Ummi bantu, tenang ya… Oh iya, Nak Assyfa, kamu masih sekolah? Bisa ummi minta tolong antarkan adik-adik ini ke sekolah seberang rumah?”
“Tentu, Ammatiy. Dengan senang hati saya akan mengantarnya Ammatiy. Alhamdulillah, saya sudah lulus,” jawabku penuh bahagia.
Dalam perjalan tiap anak berlomba ingin bercerita padaku, dan beberapa yang sepantar denganku terlihat tak acuh. Anak-anak kecil mulai berlari ke kelas mereka. Kecuali Ava, anak laki-laki-sepantar dengan Jafar- yang selalu diam dan memandang diriku sinis. Ava bahkan diam di tempat aku berdiri sekarang.
“Ava, kamu tidak pergi?” tanyaku sambil menunduk.
Bruk!
Aku tidak sempat mendengar apa yang Ava ingin katakan ketika aku menyadari seorang anak terjatuh dari pohon. Aku segera menghampirinya. Tangisnya begitu kencang, dan darah kental bercecer dari lututnya. Tangannya yang penuh dengan serbuk tanah mencoba mengusap darah, namun aku sempat mencegahnya.
“Jangan, nanti infeksi,” ucapku padanya. Aku membantunya berdiri dan memapahnya pada ember berisi air bersih. Tak lupa aku mengeluarkan sapu tangan bersih sepeninggalan ayah dahulu. Kubasuh dan membersihkan kotoran serta darah yang sudah menyatu. Aku memintanya menahan rasa sakitnya.
“Kak, ini perbannya,” ucap anak gadis menyerahkan segulung perban dan obat merah padaku, dapat aku pastikan dia baru saja berlari untuk mendapatkan perban ini.
“Terimakasih,” jawabku sambungku mengobati lagi.
oOo
“Assyfa, kalau kamu keberatan kamu boleh mengundurkan diri sekarang,” tegur Jafar padaku mengingatkan. Aku menggeleng lemah. Sudah sebulan ibu meminta Jafar mendaftaku sebagai tenaga medis tanah air tercinta. Seminggu pula aku mencoba mengikuti test, dan alhamdulillah aku lolos.
Di sini aku berada. Medan perang. Meski ketakutan dulu masih menggenang di dalam pikiran, aku coba untuk menepisnya. Jafar tahu ketakutanku dan dia selalu khawatir tentang aku terjun ke medan perang. Tapi aku selalu menyadarkan Jafar, bahwa aku tidak apa-apa. Tak lama dia dipanggil tentara lain. Sementara aku setia menunggu rekanku. Rian, wanita berumur 26 tahun yang menjadi sukarelawan dari Indonesia untuk membantu tanah airnya.
“Assyfa, mau dengar berita baru dari PBB?” ucap pria berambut kuning dengan mata birunya. Dia tak pernah lupa untuk selalu memakai tanda pengenalnya sebagai wartawan. Aku mengalihkan pandanganku. Dan mengangguk membalas pertanyaannya. “PBB akan membantu negaramu untuk merdeka. Tidak hanya raga kalian yang bebas, namun jiwa dan pikiran kalian akan bebas dari belenggu yang mengikat kalian. Namun, hal ini masih dipertimbangkan lagi.”
“Alhamdulillah, aku senang bila PBB memutuskan untuk membantu. Aku tidak pernah tahan dengan keadaan ini,” jawabku cepat. Josen-nama pria tersebut, menatapku bingung. Dia seperti orang yang penasaran. Mungki karena dia menjadi seorang kuli tinta, membuat Josen lebih banyak bertanya-tanya.
“Kenapa?”
“Karena sekarang tenaga Assyfa sangat dibutuhkan oleh tentara di barat daya. Ayo, Assyfa,” ucap Rian tiba-tiba langsung menarikku. Itu berarti keadaan benar-benar genting di barat daya. Aku mulai menyeimbangi langkah cepat Rian.
Begitu banyak korban dari medan perang, dan tak pernah luput merah kental dari luka-luka yang sering mengalir. Seiring dengan suara dentuman serta suara bising di kejauhan sana terdengar hingga tenda pengobatan. Aku membantu Rian mengobati satu per satu tentara yang telah membela tanah air tanpa takut esok bisa saja mereka mati.
“Hahaha,” terdengar gelak tawa dekat dengan tenda. Aku sadar hampir tiap tenaga medis terganggu oleh suara tawa yang entah berasal dari mana.
“Assyfa, bisa kamu memperingati mereka ini tempat berbahaya? Aku yakin mereka pasti anak-anak yang bermain di atas pohon,” omel Rian. Aku menurut perintahnya.
Benar saja. Di belakang tenda terdapat pohon yang amat besar. Begitu asyik anak-anak kecil memanjat pohon di sana, mereka tertawa bahagia. Dan kadang saling mengejek di atas pohon. Dan aku ingin tersenyum bahagia melihat mereka, namun saat ini berbeda keadaan. Dia harus menegur kalau tempat ini bukanlah tempat aman untuk bermain.
Anak-anak itu masih tidak mau turun dari atas pohon. Meski aku paksa pun mereka tidak akan mau turun. Semua anak malah mengerjaiku seolah memintaku untuk ikut bermain bersama mereka. Tapi niat untuk bermain aku urungkan dalam-dalam, karena ini bukan waktu yang tepat untuk bermain. Aku takut. Sangat takut bila ada anak yang terluka karena aku lalai seagai tim medis. Aku bimbang harus melakukan apa. Banyak nyawa yang harus diselamatkan. Begitu juga anak-anak yang ada di hadapanku.
Dor! Dor!
Dua kali suara tembakan mengarah pada pohon besar tersebut. Semua anak dan aku memekik kaget. Seketika setiap anak turun dari atas pohon dan bersembunyi di belakangku. Sementara diriku sendiri bingung harus melangkahkan kaki ke mana. Orang yang menembak bisa aku rasakan semakin dekat ke arahku. Dengan berdo’a kepadaNya, aku percaya kami akan terlindung dari segenap bahaya.
“Bismillah,” bisikku pada raja kelana yang berlalu.
Anak-anak mulai ketakutan. Sementara pelaku masih berjalaan ke arah sini. Aku samar-samar mulai melihat pelaku yang memunculkan dirinya. Dia menggunak baju tentara Israel. Tapi aku tidak kaget dengan itu, melainkan aku tak bisa mempercayai wajah yang ada di hadapanku.
“Ava….”
“Ya, Assyfa. Aku memang sejak awal berasal dari Israel. Aku mencoba memberitahumu sebulan yang lalu, tapi kamu mengabaikanku dan lebih memilih menyelamatkan anak kecil,” jawab Ava seakan tahu semua pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya. Dia dan temannya kembali mengarahkan senjata apinya pada anak-anak yang bersembunyi di balik tubuhku.
“Ava, tidak kah kamu juga merasakan kesedihan kami? Apakah kamu tau betapa rindunya hati ini pada kedamaian kota tanpa ada yang saling mengangkat senjatanya? Atau krinduan tentang kamu yang bisa mendengar nyanyian burung di pagi hari? Ataukah tentang aroma masakan yang membuatmu lapar? Atau ketika kamu medengar gelak tawa anak-anak yang bahagia bermain tanpa henti? Dan tahukah kamu betapa rindunya peluk kasih ayah dan ibu?
“Tinggal, di mana hari esok bisa saja kamu mati. Atau kamu harus kehilangan yang dicinta dalam sekejap mata. Bahkan menghirup asap dan mendengar dentuman tiada henti. Kamu harus melihat betapa lukanya setiap anak hanya bisa menangis, terbunuh tanpa dosa. Dan pemandangan darah sudah tidak asing lagi di matamu. Ava, katakan padaku…bukankah itu sangat tidak menyenangkan?”
Ava dan temannya terdiam mendengar ucapanku bahkan hingga menangis. Anak-anak di belakangku juga turut bersedih. Namun aku merasa temannya mulai kembali membidik. Tapi aku tak peduli, aku mengambil al-qur’an yang kusimpan di saku. Lalu aku menatap Ava sekali lagi.
“Ava, orang ini terlalu banyak bicara, bunuh dia! Biarkan saja anak-anak ini!” ucap temannya dan menunjuk padaku. Ava diam tidak ingin menunjukkan senjatanya.
“Tidak apa, Ava. Aku rela, asal bukan anak-anak ini. Ava, kita teman,’kan? Musuh di hari ini merupakan teman di hari esok,” ucapku penuh pasrah dengan takdirku sekarang.
“Aku…”
“Ava, kamu masih mau diam saja? Sudahlah, biar aku saja!” pekik pria tersebut pada Ava. Aku lontarkan senyum terbaik sambil kudekap Al-qur’an erat.
Dan seketika ….
Aku tak dapat merasakan apapun lagi. Tak ada sakit apapun. Hanya gelap. Dan yang kuingat, aku menyebut “Allahu akbar.”
Fin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top