Tiga Puluh Enam
Happy reading. 💜
***
Ada yang berubah, Kiki menyadari itu. Namun dia tetap pura-pura bodoh demi membuat dirinya nyaman. Entah apa yang merasuki Hansya hingga lelaki itu berubah lebih baik padanya. Tidak jarang Andre menggoda keduanya, tetapi hati Kiki tidak selaras dengan semua itu. Begitu janggal, entah kenapa.
Karena itu, saat weekend, Kiki dan Ajeng membuat janji temu. Sebuah kafe yang memiliki spot yang cukup privasi, menjadi pilihan mereka.
“Beneran deh, dia naksir elo!” ujar Ajeng menggebu-gebu. “Ciri-ciri cowok yang naksir kita itu kayak yang Pak Hansya lakuin ke elo. Percaya deh sama gue.”
“Bukan,” sangkal Kiki, “ini nggak kayak yang lo bayangin, Jeng. Pak Hansya nggak suka gue, tapi kayak jadiin pelarian dia dari sesuatu.”
“Ini efek elo kelamaan jomlo, Ki,” kata Ajeng, yakin.
Kembali Kiki menggeleng. Meski Ajeng ataupun wanita di dunia ini berkata Hansya memiliki hati padanya, Kiki akan tetap bersikeras jika hati lelaki itu tidak demikian. Kiki sangat yakin, semua ini ada hubungannya dengan cincin yang tidak sengaja ia lihat tempo hari.
Semua bermula dari Hansya yang jatuh sakit.
Ya, Kiki yakin jika semua keanehan ini berawal dari sana.
“Terus? Apalagi kalau bukan cinta namanya? Lagian Hansya itu, kan, udah di usia yang siap buat menikah. Keinginan kita bakal tercapai, Ki. Menggaet CEO!”
“Cinta nggak seperti ini, Jeng.”
“Emang menurut lo, cinta itu apa?”
Kiki terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan Ajeng. Saat dirasa sudah menemukan jawaban, Kiki menatap lekat netra Ajeng.
“Cinta itu bukan kayak apa yang lo kira Pak Hansya lakuin ke gue. Gue emang nggak tau persis apa makna cinta. Bahkan elo tanya ke siapa pun, pasti mereka punya jawaban yang beda-beda.”
“Ya udah, anggap aja kita tahu, nih, cinta itu apa. Nah, menurut lo, wajar nggak semua perhatian Pak Hansya ke elo? Dari yang gue denger dari cerita lo, Pak Hansya ngasih perhatian yang beda ke elo.”
“Kan udah gue bilang di awal, ini yang buat gue curiga, Jeng,” desah Kiki, frustrasi. “Pak Hansya emang baik, ngasih perhatian lebih, tapi gue juga yakin ini bukan cinta.”
“Jadi apa Kiki ...?”
Dugaan Kiki tetap sama, Pak Hansya sengaja melibatkan dirinya ke dalam sesuatu. Namun hingga Kiki mendapat jawaban dan bukti yang pasti, gadis itu tidak mau mengemukakan asumsinya.
Percakapan sore itu pun terhenti tanpa jawaban akan titik temu. Ajeng tetap pada keyakinan jika Pak Hansya mulai menyukai Kiki. Namun Kiki tetap merasa Pak Hansya menyembunyikan sesuatu. Karena itulah lelaki itu belakangan cukup baik padanya.
“Lagian, lo tahu nggak kenapa di usia segini Pak Hansya belum juga punya pasangan?” tanya Kiki, sesaat sebelum mereka meninggalkan kafe.
“Ya elah, masa itu aja nggak tau, sih? Ya karena belum nemu yang cocok lah, Ki. Emang lo mau jawaban apa?”
“Gue rasa ada hubungan sama cincin yang waktu itu gue lihat di meja kerja dia.”
“Udah ah, gue mau pulang.” Ajeng menjawab jengah. “Lo cuma harus buka hati elo. Biar elo bisa nerima cinta baru yang diberikan ke elo.”
Kiki terdiam di tempat. Menatap punggung Ajeng yang makin menjauh. Ada kata yang hendak Kiki ucap. Namun bibirnya seolah terkunci rapat. Tergembok tanpa tahu di mana kuncinya.
***
Kiki bukannya tidak mau membuka hati. Sangat mudah baginya untuk jatuh cinta dengan lelaki seperti Hansya. Hanya saja, keraguan dalam hati akan semua perhatian yang ia dapatkan dari Hansya, tentu tidak bisa Kiki abaikan begitu saja.
Sibuk melamunkan ucapan Ajeng tempo hari, Kiki tidak sadar jika lelaki yang memenuhi isi kepalanya telah berdiri di depan meja. Menatap dalam diam wanita yang beberapa bulan ini menjadi sekretarisnya. Di samping Hansya, Andre berdiri. Menatap bergantian Hansya dan Kiki.
Sebuah dehaman yang cukup keras membuat Kiki tersentak. Lamunannya seketika buyar digantikan keterkejutan akibat wajah Hansya yang pertama kali ia lihat. Buru-buru ia berdiri dan menundukkan kepala, sebagai rasa hormat.
“Apa saja jadwal hari ini?” tanya lelaki itu.
“Ah, hari ini ....” Gegas Kiki mengecek jadwal di tablet. Setelah membacakan jadwal Hansya hari ini, lelaki itu pun berlalu diikuti Andre.
Semenjak beberapa hari yang lalu, meja kerja Andre berpindah ke ruangan Hansya. Membuat Kiki harus sendiri di ruangan luar.
Namun Kiki tidak merutuki hal tersebut. Justru ia merasa sedikit lega, karena bisa terhindar dari sikap dan tatapan usil yang acapkali Andre layangkan. Tentu saja, semenjak Hansya memberikan perhatian berlebih pada gadis itu.
Mengecek ulang jadwal Hansya di tablet, Kiki lantas berdiri untuk mencari udara segar. Berkeliling stasiun televisi, Kiki teringat jika hari ini syuting Grab Me! tengah berlangsung syuting. Namun sayang, Kiki tidak lagi bisa menemui Ajeng karena minggu lalu gadis itu sudah mendapatkan pasangan. Menatap pintu studio, Kiki hanya bisa menghela napas panjang sebelum berlalu dari sana.
Tidak tahu ingin ke mana untuk menenangkan degupan jantung, Kiki tanpa sadar menuju taman kantor. Duduk di salah satu bangku, gadis itu menengadah, menatap langit. Menyipitkan mata saat sinar matahari begitu menyilaukan.
“Pak Hansya bukannya cinta gue,” monolog Kiki, “dia cuma mau membungkam mulut kedua orang tuanya yang selalu nyuruh dia nikah.”
Tak lama, Kiki menunduk. Air mata mengalir tanpa sadar.
Alasan utama ia yakin jika Hansya tidak mencintainya karena ia pernah tidak sengaja mencuri dengan obrolah Hansya dengan Yusrizal. Dari sana juga Kiki tahu, perekrutan dirinya adalah salah satu cara Yusrizal agar Hansya mau melirik wanita. Karena kehadiran Imelda pun gagal untuk menggerakkan hati Hansya.
“Gue mesti gimana? Ajeng bahkan ngira kalau Pak Hansya suka sama gue. Gimana gue bisa jujur kalau bukan itu alasan Pak Hansya baik ke gue?”
Kiki jelas tidak mungkin bercerita pada Lira. Ia masih ingat betul betapa khawatirnya Lira saat Kiki patah hati tempo hari. Karena itu, Kiki tidak enak hati jika harus menceritakan kegelisahan ini pada Lira. Takut sang mama kembali khawatir dan membuatnya semakin tidak enak pergi ke kantor.
“Bukan gue yang nggak bisa buka hati, Jeng, tapi Pak Hansya.”
Kiki menunduk semakin dalam, menyembunyikan wajah di telapak tangan. Jika ia tahu hal ini lebih cepat, ingin rasanya ia membalas ucapan Ajeng tempo hari. Namun mengingat ekspresi Hansya dan Yusrizal saat memperdebatkan dirinya, membuat bibir Kiki seketika bungkam.
“Cincin itu punya Haru. Harusnya mereka udah nikah,” gumam Kiki di sela isakannya. “Pantes pas sakit kemarin Pak Hansya manggil nama Haru. Karena dia masih cinta sama mendiang pacarnya. Kenapa gue nggak bisa cerita ini ke elo Jeng? Kenapa?”
***
Halo!
Apa kabar? Semoga selalu diberikan kesehatan, ya.
Hansya-Kiki update lagi, walaupun kelamaan bangetttt molornya.
Tetap dukung cerita ini dan ceritaku yang lain, ya.
Tulisanku tidak hanya ada di Wattpad saja, tetapi juga ada di Storial dan Dreame.
Jangan lupa juga baca ceritaku di Storial yang berjudul Urgensi. Dijamin nggak kalah oke dari cerita ini.
Xoxo
Winda Zizty
11 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top