Tiga Puluh Empat
Happy reading. 💜
****
Untungnya demam Hansya benar-benar sudah turun. Kiki pun bisa bernapas lega meski Hansya meminta gadis itu untuk membawa semua pekerjaan di kantor ke apartemennya. Tidak ada alasan untuk menolak, Kiki pun menyanggupi tanpa banyak bertanya.
Semua jadwal meeting telah Kiki atur ulang hingga kondisi Hansya benar-benar pulih. Meski memang suhu tubuh Hansya tidak tinggi seperti kemarin, lelaki itu tetap saja butuh istirahat yang cukup. Kiki pikir, hal itu terjadi karena Hansya terlalu memforsir dirinya hingga lembur berhari-hari.
Kiki baru saja menutup pintu ruang kerja Hansya saat Andre menghampiri. Tanpa kata, lelaki itu meletakkan sebuah brosur di atas tumpukan file yang Kiki bawa.
“Buat lo,” ujar Andre. Menjawab semua tanya yang tercetak jelas di wajah Kiki.
Dengan dahi berkerut bingung, Kiki melirik brosur tersebut dan wajah Andre bergantian. Dalam hitungan detik, mata gadis itu seketika membola saat menyadari brosur yang diberikan Andre tersebut.
“Kursus mengemudi?” ucap Kiki tidak percaya.
“Kata Hansya lo nggak bisa bawa mobil. Jadi dia nyuruh gue daftarin elo di sana. Jadwal lo udah gue kirim di WA, mungkin belum lo cek. Juga Hansya udah ngasih izin buat lo nggak kerja full pas jadwal lo kursus nanti,” jelas Andre, panjang lebar tanpa diminta.
“Tapi, kan—”
“Udah, lo terima beres aja,” potong Andre cepat. Kemudian ia meraih file di tangan Kiki. “Ini mau lo bawa ke apartemen Hansya, kan?”
“Ah, iya.”
“Ya udah, biar gue aja yang ke sana. Lo di sini aja,” ujar Andre. Kiki hendak menolak, tetapi ia urungkan setelah melihat ekspresi Andre yang tidak ingin dibantah.
“Hm, makasih,” ucap Kiki kemudian.
“Gue pergi dulu.”
Bergeming di tempat, Kiki menatap punggung Andre yang menjauh. Setelah lelaki itu tidak lagi tertangkap netranya, barulah Kiki kembali ke meja. Duduk sembari memandangi brosur salah satu kursus mengemudi yang cukup terkemuka di kota ini.
Kiki ingat, suatu hari Andre pernah cerita kalau ia dan Hansya seringkali pergi berdua tanpa sopir untuk bertemu klien. Andre yang menjadi sekretaris Hansya pun merangkap menjadi sopir lelaki itu. Sekarang, posisi itu akan tergantikan oleh Kiki. Tidak heran jika Kiki pun dituntut harus bisa mengemudi.
Bukannya Kiki tidak suka diberikan fasilitas kursus mengemudi secara gratis seperti ini. Hanya saja ia terlalu terkejut. Tidak menyangka jika Hansya seperhatian itu pada pekerjanya.
***
“Serius?” ucap Ajeng, kaget. “Lo dimasukin ke kursus mengemudi?”
Menyesap jus jeruknya, Kiki mengangguk. “Karena kemarin Pak Hansya sakit dan nggak bisa bawa mobil, jadi dia nyuruh gue. Bodohnya, gue malah ngeiyain.”
“Ck! Bego emang! Padahal bawa motor aja lo nggak bisa. Ini malah mobil,” decak Ajeng.
“Mungkin karena terlalu panik, jadi gue ngeiyain aja.”
“Terus? Lanjutannya gimana? Lo hampir nabrak orang?” todong Ajeng penasaran. Ia bahkan sedikit memajukan tubuhnya yang berada di hadapan Kiki.
“Ya nggaklah! Gila aja! Gue masih waras tahu.”
“Nah, kan, tadi lo bilang disuruh bawa mobil dia.”
“Iya, untungnya pas udah di mobil gue sadar kalau gue nggak bisa bawa mobil. Jadinya dia nyuruh gue nelepon sopir dia. Gue sama dia sama-sama belum mau mati.”
Tak disangka, Ajeng melongo sebelum akhirnya menyemburkan tawanya. Membuat Kiki sedikit malu karena pengunjung kafe kini memandang mereka berdua dengan tanda tanya.
“Astaga! Gue nggak bisa bayangin gimana ekspresi kalian berdua. Haha ... pasti tengsin banget tuh Pak Hansya.”
“Kalau dia lagi nggak sakit, mungkin gue udah dia telan hidup-hidup,” argumen Kiki yang dibalas Ajeng dengan cekikikan geli.
“Haha, udah pasti. Untungnya dia malah ngedaftarin elo ke kursus mengemudi. Dia beneran nggak mau mati bareng elo, Ki.”
“Sialan lo!” ucap Kiki kesal, sembari melempar bungkus sedotan ke Ajeng.
“Terus, sekarang dia masih sakit? Nggak ngantor?”
Kiki mengangguk. “Iya, dia minta pekerjaan di kantor dibawa aja ke apartemen.”
“Oh gitu. I see.” Ajeng manggut-manggut.
“Eh, Jeng,” sahut Kiki pelan.
“Hm? Paan?”
“Pas Pak Hansya rada pingsan gitu di kantor, gue ngelihat kotak cincin di deket dia. Bagus banget cincinnya pas gue buka.”
“Cincin? Sepasang?”
“Iya, sepasang. Kayaknya cincin nikah gitu deh.”
“Punya Pak Hansya?” kejar Ajeng.
Kiki mengendikkan bahu. “Nggak tahu. Kayaknya iya punya dia sih.”
“Wah! Gagal deh rencana kita buat ngegaet CEO. Pak Hansya udah ada yang punya ternyata,” desah Ajeng, kecewa.
“Kan elo yang ngebet, gue mah nggak.”
“Tapi, kan, elo yang punya jalan ninja buat ngegebet CEO,” balas Ajeng.
“Jalan ninja pala lo!”
“Btw, lo liat nggak ada cewek yang di sekitaran Pak Hansya?”
“Ehm, ada, sih. Pas gue di apartemen Pak Hansya, ada cewek yang ke sana.”
“Oh ya? Bisa jadi tu cewek orangnya.”
Kiki menggeleng, tidak menyetujui. “Kayaknya bukan, deh. Soalnya Pak Hansya kayak nggak suka gitu tu cewek ke sana. Padahal tu cewek dokter loh.”
“Wow! Saingan lo berat, Ki. Mundur aja daripada sakit hati.”
Kiki mengabaikan perkataan Ajeng. Gantinya, ia malah bertanya, “Menurut lo, apa wajar kalau tu cewek dan Pak Hansya ada hubungan, tapi pas tu cewek dateng malah kek diusir secara halus gitu?”
“Ya, wajar aja, sih. Kali aja mereka lagi berantem. Jadi pas tu cewek dateng ke apartemen Pak Hansya, malah diusir. Lo kayak nggak pernah pacaran aja, Ki. Masa yang ginian aja lo nggak tahu?” cibir Ajeng.
“Tapi, Jeng, situasinya kemarin nggak kayak gitu. Karena gue ngerasa malah kayak cinta sepihak gitu. Karena Pak Hansya sama sekali nggak ngelihat Imelda kayak cowok yang ngelihat kekasihnya. Kan ada tu, tatapan orang yang lagi jatuh cinta. Nah, gue nggak nemuin itu di Pak Hansya.”
“Buset, lo kayak udah ahli aja. Pake bahas tatapan cinta segala.”
“Gue serius, Jeng!”
“Jadi, kalau bukan buat Imelda? Tu cincin yang lo liat itu buat siapa?”
“Nggak tahu,” jawab Kiki cepat. “Bukan urusan gue juga.”
“Udah tahu bukan urusan lo, tapi ngapain lo malah kepo liat tu cincin coba? Hayo?”
“Ya, penasaran aja. Nggak tahu kenapa.”
“Ck! Dasar! Kelakuan.”
“Untung aja Pak Hansya nggak tahu,” gumam Kiki.
“Iya, untung banget. Beruntungnya lagi, lo malah buat gue penasaran sama kisah cintanya Pak Hansya.”
“Kata lo tadi itu bukan urusan gue? Terus kenapa lo malah penasaran?”
“Ya elah, Ki, zaman sekarang, siapa, sih yang nggak penasaran sama kisah cinta orang lain? Apalagi setelah denger cerita elo. Makin penasaran dong gue.”
Dalam hati, Kiki mengiakan ucapan Ajeng. Bahkan ia yang melihat sendiri interaksi Hansya dan Imelda di depan matanya, sangat penasaran dengan hubungan kedua orang itu. Tidak heran jika Ajeng pun ikut penasaran. Walau belum bertatap muka langsung dengan Imelda.
“Apa dulu Pak Hansya ditolak Imelda, ya? Jadi dia berubah sinis gitu?” Kiki mengucapkan asumsinya.
“Kayaknya bukan deh.”
“Kenapa lo bisa nebak gitu?” tanya Kiki, penasaran.
“Nebak aja, sih. Kalau Imelda yang nolak, mana mungkin dia ke apartemen Pak Hansya pas tu orang sakit. Realistis aja, sih, kalau udah nolak, berarti dia nggak suka, kan, sama Pak Hansya? Kalaupun suka dan akhirnya menyesal setelah nolak Pak Hansya, harusnya respons Pak Hansya nggak sedingin itu.”
“Iya juga, ya.”
“Atau jangan-jangan, tu cincin buat orang lain? Imelda yang suka sama Pak Hansya, tapi doi malah suka sama cewek lain. Menurut lo, mana yang lebih masuk akal?”
Kiki terdiam. Jika boleh jujur, pendapat Ajeng yang terakhir lebih masuk akal. Ekspresi penuh luka yang terlihat di wajah Imelda seketika kembali masuk ke ingatan Kiki. Meski akhirnya mengulas senyum di wajah, Kiki tahu ada luka di hati Imelda saat itu.
“Tapi, kalaupun bener kayak yang lo bilang, kenapa tu cewek nggak pernah gue lihat di kantor, ya? Kalaupun Pak Hansya ada cewek, kan, minimal gue pernah lihat dia di kantor. Ini malah nggak pernah sama sekali.”
“Mungkin itu cewek lagi di luar negeri, atau luar kota. Nggak heran, kan, sama yang LDR?” ucap Ajeng sambil mengunyah kentang goreng.
Kembali Kiki terdiam. Mengingat apa saja yang Hansya lakukan selama di dalam maupun luar kantor. Namun tidak sekali pun Kiki menangkap Hansya tengah berbincang dengan lawan jenis baik di telepon maupun secara nyata. Berbincang dalam arti adanya hubungan romantis di antara keduanya.
“Atau yang paling tragis, tu cewek udah meninggal. Jadi wajar di usianya yang segitu, eh, dia udah 30-an, kan?” tanya Ajeng memastikan.
“Iya, 35 apa kalau nggak salah,” balas Kiki. Ia pernah bertanya mengenai umur Hansya pada Andre, yang dijawab lelaki itu tanpa menaruh curiga.
“Nah! Kalaupun dia gila kerja apa gimana, minimal dia udah ada gandengan. Ya, kecuali kayak yang gue bilang tadi, cewek yang dia suka udah nggak ada di dunia ini. Makanya sampe sekarang bos lo itu masih melajang.”
Kiki terdiam. Meresapi ucapan Ajeng yang ada benarnya itu.
“Kalau emang cewek Pak Hansya meninggal, kira-kira kenapa, ya?”
“Ya, mana gue tahu, Ki. Udah ajalnya aja.”
Meski hendak mengenyahkan pikiran mengenai kemungkinan yang ada. Namun Kiki tidak bisa mengelak kalau ia penasaran juga dengan kisah cinta Hansya. Terlebih cincin yang sempat ia lihat di meja Hansya, cukup membuat rasa penasaran itu berkembang tanpa bisa dicegah.
“Kalaupun emang cewek Pak Hansya meninggal dan dia masih melajang sampe detik ini, besar kemungkinan dia itu cowok yang gagal move on, Ki. Mungkin karena terlalu cinta sama pasangannya, sampe ia nggak minat nyari pengganti, meski udah ditinggal pergi.”
“Emang lo yakin ceweknya Pak Hansya udah meninggal?” tanya Kiki.
“Bisa aja gitu, kan? Kan kita baru beberapa bulan ini tahu sama dia. Masa lalu dia termasuk kisah cintanya kita nggak tahu. Lagian mikir aja deh, kayak yang udah gue bilang tadi, kalau nggak ditinggal mati ceweknya, berarti dia ada hubungan romantis sama si Imelda itu. Tinggal lo pilih aja mau mikir kek gimana. Pak Hansya ditinggal mati ceweknya, atau doa terlibat hubungan romansa sama Imelda, tapi kisah cinta mereka lagi rumit. Atau yang paling ngeri, Pak Hansya itu ... gay.”
Mata Kiki sontak membola. Tidak percaya.
“Nggak mungkin!”
“Ya itu terserah elo, sih, mau percaya yang mana. Kalau gue, sih, nevaknya dia ditinggal mati ceweknya.” Ajeng tidak mau ambil pusing. Dengan santainya ia menghabiskan makanan yang telah ia pesan. “Lagian, manusiawi kalau ada cowok yang gagal move on. Tinggal gimana dianya aja. Mau tinggal di masa lalu, apa menatap ke masa depan dan menjalani hidup lebih baik dari kemarin.”
***
Jadi, Hansya itu gay apa gagal move on?
Terima kasih masih setia dengan cerita ini. 💜
Xoxo
Winda Zizty
05 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top