Sepuluh
Happy reading. 💜
***
Data para jomlowati yang mengikuti acara Grab Me! sudah berada di tangan Hansya. Tatapan penuh tanda tanya yang dilayangkan Andre padanya saat memberikan file tersebut, membuat Hansya termenung. Sama seperti Andre, Hansya juga tidak tahu kenapa ia meminta file mengenai informasi para jomlowati itu.
“Ini pasti gara-gara Andre ngeracunin pikiran gue!” decak Hansya kesal.
Meski mulutnya mengumpati Andre, tetapi tangan Hansya tetap membolak-balik dokumen berisi data para jomlowati. Membaca satu per satu biodata serta foto yang tertera di sana.
Dahinya berkerut saat membaca alasan salah satu jomlowati untuk mengikuti Grab Me! yang tengah naik daun itu.
“Mencari suami kaya raya?” Mata Hansya kini beralih ke nama sang jomlowati. “Clara Frenita. Fotonya lumayan.”
Mengamati foto Clara, fokus Hansya terpaku pada satu titik. Sebagai lelaki normal, tentu dia tidak akan menolak disuguhi pemandangan yang cukup indah itu. Siapa suruh pamer aset gratis, kan? Lagipula di foto itu, Clara tampak percaya diri dan bangga memamerkan aset yang menyembul dari balik bajunya.
“Ukurannya lumayan,” gumam Hansya tanpa sadar. Ia kemudian menatap tangannya. “Pas apa nggak, ya, di tangan gue?”
Hansya merasa udara di sekitarnya memanas hanya karena melihat foto Clara yang cukup menantang. Sadar akan kesalahannya, Hansya cepat berkedip. Membalik halaman dan membaca biodata wanita yang lain. Degup jantungnya tiba-tiba memacu cepat. Bak seorang pencuri yang ketahuan sang pemilik rumah.
Setelah membaca seluruh data para jomlowati, Hansya meletakkan dokumen, cukup jauh dari arah pandangannya. Melonggarkan dasi dan melepas jas yang membuatnya gerah, lelaki itu lantas berdiri. Tidak lupa melepaskan kacamata yang sebenarnya tidak terlalu perlu ia gunakan. Toh, sebenarnya ia masih bisa melihat dengan jelas. Minus-nya tidak terlalu besar.
Pintu ruangannya yang diketuk dari luar, membuat Hansya menoleh. Setelah mempersilakan masuk, sosok Andre kini tertangkap matanya.
“Kenapa?” tanya Hansya.
“Pak Yusrizal meminta bertemu,” ucap Andre.
“Kenapa tidak menghubungi gue langsung? Kenapa mesti dari elo?”
Andre menaikkan alisnya. “Tumben,” sahutnya. “Biasanya, kan, Pak Yusrizal emang ngehubungin gue kalau mau ketemu sama elo. Lo lupa udah ngeblolir nomor bokap lo sendiri?”
Hansya tersentak. Fakta itu memang benar. Namun kenapa ia seolah baru tahu akan fakta yang satu itu. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Hansya melempar pandang ke arah lain. Berdeham pelan demi menutupi rasa malu yang entah kenapa bisa muncul.
“Bego! Gue kenapa, sih?” rutuknya pelan pada diri sendiri.
“Kayaknya lo butuh istirahat, deh,” usul Andre saat menyadari tingkah laku Hansya yang sedikit aneh. Padahal pagi tadi lelaki itu biasa-biasa saja.
“Ya, ya, ya, makasih info dan usul lo. Bilangin ke bokap gue, sepulang dari kantor gue bakal ke rumah.”
Andre mengangguk, lelaki itu kemudian pamit keluar dari ruangan Hansya. Sepeninggal Andre, Hansya menggelengkan kepalanya. Merasa aneh dengan apa yang tengah terjadi.
“Gue kenapa jadi aneh gini?”
Ia lantas melempar pandangan pada dokumen di atas meja. Menatap sinis dokumen yang berisikan data para jomlowati.
“Ini pasti gara-gara Andre yang nyuruh gue ikutan Grab Me!. Ya, pasti gara-gara itu.”
***
Rumah pribadi Yusrizal tampak lebih ramai dari yang bisa Hansya ingat, terakhir kali ia datang. Suara riuh percakapan dan tawa di ruang tengah, tanpa sadar membuat tempo langkah Hansya bertambah. Dugaannya tepat, tatkala melihat sesosok wanita kini tengah bersenda gurau dengan Alda.
Menyadari kehadiran Hansya, wanita itu lantas berdiri dan mendekat. Memeluk Hansya dari samping, yang masih bergeming.
“Kak Herna?” cicit Hansya, setelah tersadar.
“Apa kabar adik kecil gue yang semakin tampan ini?” tanya Herna dengan nada menggoda.
Hansya mencibir mendengarnya. Saat Herna hendak mencium pipinya, Hansya dengan gesit menjauhkan wajah. Membuat tawa Herna dan Alda mencuat dan mengudara di sekitar mereka.
Alda yang memang ingin memberi ruang untuk kedua anaknya, langsung masuk ke dalam kamar. Setelah sebelumnya membuatkan Hansya minuman untuk menemani lelaki itu mengobrol dengan sang kakak.
“Kapan Kakak datang?” tanya Hansya saat mereka sudah duduk di sofa.
“Baru satu jam yang lalu tiba,” jawab Herna. Wanita itu lantas mengusap perutnya yang sudah membuncit. Perubahan fisik kakaknya yang baru ia sadari.
“Kakak lagi hamil?”
Senyum semringah hadir di wajah Herna disertai anggukan. Menyadari hal itu, Hansya turut menarik kedua sudut bibirnya.
“Anak kedua sama ketiga, nih,” ucap Herna bangga.
“Kembar?” tanya Hansya tidak percaya.
Kembali Herna mengangguk. Rona bahagia tidak lepas dari wajahnya.
“Gue juga nggak nyangka kalau dapet anak kembar.”
“Wow!” decak Hansya. “Ponakan gue bakal langsung dua.”
“Ada tiga,” ralat Herna. “Jangan lupakan Dania. Dia suka ngambek kalau diabaikan.”
Hansya tentu tidak lupa akan Dania. Ponakan satu-satunya yang begitu menggemaskan. Gadis kecil itu kini sudah berusia sepuluh tahun. Meski Herna sudah menikah selama lima belas tahun, tetapi Tuhan menitipkan Dania ke keluarga kecilnya sepuluh tahun yang lalu.
Kemudian obrolan pun berlanjut menjadi ajang temu kangen. Hansya memang tidak terlalu dekat dengan Herna. Namun tinggal terpisah semenjak wanita itu menikah dan mengikuti sang suami ke Surabaya, membuat Hansya cukup kesepian tanpa kehadiran Herna di rumah.
“Lo kapan nyusul? Nggak mau nyumbang cucu buat Mama sama Papa?” tanya Herna. Wanita itu tahu, hingga detik ini Hansya belum juga memiliki gandengan. Tentu saja, sang mama juga menceritakan hal ini padanya. Mencurahkan isi hatinya melalui sambungan telepon.
“Belum ada yang cocok,” jawab Hansya setelah melemaskan punggungnya.
“Emang cewek-cewek yang dikenalin Mama sama Papa nggak ada yang menarik minat lo?” kejar Herna.
Hansya hanya menjawab dengan gelengan kepala. Lelaki itu lantas menyeruput pelan kopinya yang mulai mendingin.
“Lo mau gue kenalin sama dokter di rumah sakit? Kayaknya ada, deh, satu atau dua yang single. Kalau lo mau, gue bisa atur perkenalan kalian.”
“Nggak usah repot-repot,” tolak Hansya. “Gue bisa nyari sendiri.”
“Iya, gue tahu. Tapi nyari sendirinya sampe kapan? Udah umur 35, tapi masih sendiri. Lo masih normal, kan?”
“Njir! Lo kira gue apaan, Kak?”
“Nggak boleh mengumpat depan gue. Lo lupa gue lagi hamil? Emang lo mau anak gue jadi jelek akhlaknya gara-gara denger lo mengumpat kayak tadi?”
Hansya terdiam, sadar akan kesalahannya. Menutupi rasa bersalahnya, lelaki itu pun mengusap perut Herna dan berkata, “Maafin Oom, ya. Oom janji nggak bakal mengumpat di depan kalian.”
“Nah, gitu dong. Kan enak.”
“Elo nyebelin, sih, Kak.”
“Nyebelin dari mana? Inget umur, Han. Tahun depan udah 36, lo nggak mau apa punya keturunan kayak gue?”
“Ya mau lah. Kata siapa nggak mau?”
“Makanya nikah! Gue juga mau lihat lo ada yang ngurusin.”
“Bawel!” gerutu Hansya.
“Gue bawel karena gue sayang sama elo.”
“Ya, ya, ya. Thanks.”
Kemudian hening menyapa mereka. Terlebih kini Herna tengah sibuk dengan ponselnya. Sebuah sambungan telepon telah mengalihkan wanita itu dari Hansya yang juga tengah sibuk dengan ponsel. Sebuah permainan Hansya pilih untuk menemaninya bersama hening.
“Han,” panggil Herna, tak lama setelah ia menyudahi sambungan telepon.
“Hm?” balas Hansya. Tidak sedikit pun mengalihkan pandangan dari ponsel.
“Lihat sini bentar. Gue lagi ngomong.”
“Apaan?” Hansya melirik Herna sekilas sebelum kembali fokus dengan permainan di ponselnya.
“Hansya,” geram Herna. Tidak peduli dengan omelan Hansya, wanita itu langsung merebut ponsel sang adik. Menyimpannya di belakang punggung, jauh dari jangkauan Hansya.
“Dengerin gue,” kata Herna lagi. “Gue mau ngomong serius sama lo.”
“Hape gue. Lagi seru mainnya.”
“Elo umur berapa, sih, Han? Lelaki tiga puluhan atau dua puluh? Gue mau ngebahas masa depan lo. Ini yang sering Mama curhatin ke gue.”
Ucapan Herna sontak membuat Hansya terdiam. Mencoba melupakan perihal ponselnya yang disita Herna, lelaki itu pun fokus pada sang kakak yang masih memasang wajah galak.
“Mama sama Papa tu udah kepengen gendong cucu dari lo. Pengen juga ada yang nerusin Halo TV, setelah lo. Lo tahu sendiri gue di Surabaya dan nggak mungkin ninggalin rumah sakit di sana demi Halo TV. Secara ada lo di sini yang lebih punya kuasa. Anak laki pula.”
Hansya masih bergeming. Ia sudah tahu benang merah dari ucapan Herna, tetapi lelaki itu memilih bungkam.
“Mama sedih loh, setiap ngenalin anak gadis temennya ke elo, lo selalu nolak. Bahkan kata Mama, lo sengaja lembur di kantor demi menghindari pertemuan dengan tu cewek. Lo nggak tahu apa Mama mesti menanggung malu karena anaknya ngegantungin anak gadis orang? Lo ngebuat dia nunggu sendirian berjam-jam di restoran yang udah Mama pesan.” Herna geleng-geleng, tidak habis pikir dengan perlakuan adik satu-satunya itu.
“Gue emang lagi lembur,” kilah Hansya. Ia bahkan sudah lupa kejadian itu, kalau Herna tidak mengingatkan.
Lagi pula, gadis mana, sih, yang Hansya ingat dari sekian gadis yang disodorkan kedua orang tuanya? Hansya bukan tipe orang yang akan mengingat seseorang yang ia rasa tidak penting. Termasuk para gadis yang dikenalkan padanya itu.
Herna mendesah panjang mendengar jawaban adiknya. Menyaksikan dengan kepala sendiri seperti apa respons Hansya, Herna jadi prihatin dengan kedua orang tua mereka yang makin menua. Ia ikut merasakan rasa frustrasi yang dirasakan kedua orang tuanya.
“Lo nggak kasihan sama Mama dan Papa?” tanya Herna. Mencoba mengulik isi hati Hansya.
“Gue belum siap nikah, Kak.”
“Kapan lo siapnya?”
“Gue nggak tahu.”
Kembali Herna mendesah. “Gue tahu, nggak baik maksa lelaki untuk menikah. Karena itu sama aja merusak ego mereka.”
“Itu lo tahu.”
“Tapi, Han, apa benar seperti dugaan semua orang, kalau lo jadi belum siap nikah gara-gara gagal berumah tangga dengan Haru?” tanya Herna, hati-hati. Awalnya ia takut membahas hal ini. Namun ini satu-satunya cara agar adiknya itu mau berbagi.
Hansya tidak membuka mulutnya. Dengan sabar Herna menanti jawaban lelaki itu. Namun yang Herna dapati malah sorot kesedihan di balik netra berbingkai kacamata itu.
“Bisa jadi,” jawab Hansya kemudian. Lelaki itu menghindari tatapan Herna yang begitu intens ke arahnya.
“Sudah berapa tahun kejadian itu, Han?” tanya Herna. Meski ia tahu jawabannya, ia ingin mendengar langsung dari bibir Hansya.
“Tujuh tahun.” Hansya memejamkan mata. Tidak ingin kenangan itu dikulik lebih jauh.
“Gue nemu jawabannya. Sebanyak apa pun gadis yang dikenalkan ke elo, elo nggak akan bisa menerima mereka karena lo masih mengunci hati lo. Apa salahnya mencoba membuka hati, Han? Bukan buat siapa-siapa, tapi buat lo sendiri.”
Ada gemuruh dalam dada Hansya dan ia tidak ingin Herna tahu. Karena itu ia memilih berdiri, meninggalkan Herna yang menatap sendu punggungnya yang menjauh.
***
Happy weekend.
Xoxo
Winda Zizty
22 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top