Sebelas
Happy reading. 💜
***
Pukul sebelas kurang sepuluh menit, Ajeng sudah tiba di kediaman Kiki. Turun dari motor tanpa melepas helmnya, Ajeng pun menyapa Lira yang tengah duduk di ayunan sambil menyiangi daun singkong.
“Pagi, Tante,” sapa Ajeng kemudian mencium punggung tangan Lira. Gadis itu lantas ambil posisi tepat di hadapan Lira.
“Mau ke mana?” tanya Lira sedikit tersentak saat melihat Ajeng sudah rapi. Biasanya saat main ke rumah, Ajeng hanya mengunakan baju kaos dan celana yang panjangnya sampai betis.
“Mau jalan sama Kiki, Te. Emang Kiki nggak ngomong mau jalan sama aku?”
Lira terdiam, kemudian mengangguk. “Oh iya, Tante lupa. Tadi pas sarapan dia emang udah izin mau pergi sama kamu. Haha, maklum, ya, Tante sudah semakin tua,” kekeh Lira.
“Udah siap punya cucu dong,” canda Ajeng.
“Maunya, sih, gitu. Tapi Kiki belum ketemu jodohnya.”
“Hehe, sama aja kalau gitu.”
“Udah dapet panggilan kerja belum?” tanya Lira lagi.
“Hehe, belum, Te. Kan bareng Kiki ngelamar kerjanya.”
“Oh, gitu,” sahut Lira. “Kalau ada info lowongan, kasih tahu Kiki, ya. Kalian saling kasih informasi.”
Ajeng mengangguk sambil terkekeh. Tanpa dipesankan pun, ia dan Kiki memang saling berbagi info jika ada lowongan pekerjaan.
“Si Kiki masih di dalem, Te?” tanya Ajeng. Kepalanya ia tolehkan ke arah pintu. Namun sosok Kiki belum juga tertangkap matanya.
“Paling lagi dandan. Biasa si Kiki, dandan aja mau satu jam lebih.”
“Hehe, namanya juga cewek, Te. Aku juga kalau dandan lama kok.”
“Kiki! Ada Ajeng, nih! Buruan keluar!” pekik Lira.
Tak berselang lama, Kiki yang memang sudah siap pun menampakkan dirinya. Bibirnya mengerucut setelah diteriaki Lira. Tangan kiri gadis itu menenteng helm.
“Iya, udah tahu, Ma,” dengkulnya, lalu mencium punggung tangan dan kedua pipi Lira. “Kiki pamit dulu, Ma.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
“Kami pamit pergi, Te,” ucap Ajeng dan mencium punggung tangan Lira lagi.
“Iya, hati-hati, Jeng, bawa motornya. Nggak usah ngebut. Pelan-pelan aja, asal sampai.”
“Iya, Tante.”
Kiki yang sudah berdiri di dekat motor Ajeng, langsung mengenakan helmnya. Setelah Ajeng menghidupkan mesin, ia langsung duduk di boncengan motor. Tanpa banyak membuang waktu, kedua gadis itu pun berlalu dari halaman rumah Kiki.
Jalanan cukup ramai dikarenakan hari ini memang hari Minggu. Salah satu hari yang digunakan para pekerja untuk jalan-jalan bersama keluarga, ataupun teman mereka. Namun bagi Kiki dan Ajeng yang pengangguran, setiap hari adalah hari libur mereka.
“Mau ke mana?” tanya Kiki saat lampu merah menyetopkan perjalanan mereka.
“Kan gue udah ngomong mau ke mall. Gimana, sih?” dumel Ajeng.
“Mall mana maksud gue,” balas Kiki sambil melirik lampu lalu lintas. “Duh, masih 90 detik lagi. Lama, deh.”
“Lamaan nunggu lo dandan.”
“Eh, enak aja!” bantah Kiki. “Woi, gue tadi nanya belum lo jawab.”
“Yang mana?”
“Kita mau ke mall mana?”
“Yang deket-deket aja, deh. Gue lagi males bawa motor jauh-jauh.”
“Oh, oke deh.”
Kiki manut saja. Toh Ajeng yang mengendarai kendaraan, bukan dia. Sebagai penumpang, Kiki tidak banyak protes.
Seperti yang dikatakan Ajeng, mereka menyambangi sebuah mall yang tidak terlalu jauh dari kediaman Kiki. Cukup berkendara sekitar 30 menit jika dilalui dengan sepeda motor.
Setelah mendapat tempat parkir, kedua gadis itu langsung melenggang masuk. Udara yang berasal dari pendingin ruangan langsung menyapa mereka. Sangat kontras dengan udara di luar sana yang sudah membuat Kiki keringetan. Kiki memang tidak bersahabat dengan matahari. Belum lima menit berdiri di bawah matahari, ia akan banjir keringat.
Kiki mengikuti saja ke mana langkah kaki Ajeng. Mereka kini tengah berada di lift untuk menuju lantai tiga. Lantai di mana outlet-outlet untuk menunjang penampilan berada.
“Lo mau beli baju?” tanya Kiki setelah menyadari tujuan mereka. “Perasaan, baru dua minggu yang lalu lo minta gue temenin lo beli baju. Sekarang, lo mau beli baju lagi?”
“Sstt, diem ah. Jangan banyak cincong. Mingkem aja napa?”
“Yee, gue nanya baik-baik malah gitu jawabannya.”
“Makanya, diem aja dulu.”
Meski bibirnya tengah mengerucut, Kiki tetap mengikuti langkah Ajeng. Kedua gadis itu kini berjalan bersisian memasuki salah satu outlet sepatu wanita.
Mata Kiki langsung melebar begitu melihat sepatu yang ia suka. Sayang saat Kiki membalik sepatu itu untuk melihat harganya, gadis itu segera mengembalikan ke tempat semula. Untuk ukuran pengangguran sepertinya, uang dua ratus ribu untuk sebuah sepatu sangatlah berharga. Lain halnya saat ia telah bekerja.
Mencoba mengalihkan perhatiannya karena tidak bisa membawa pulang sepatu yang ia mau, tatapan Kiki kini beralih pada salah satu rak yang memajang sepatu bersol rendah.
Sepatu yang disusun cantik tersebut membuat mata Kiki kembali melebar. Namun karena tahu pemasukannya tidak seberapa, kembali Kiki menahan keinginannya untuk memboyong salah satu dari sepatu-sepatu tersebut.
“Lo mau beli sepatu apa?” tanya Kiki pada Ajeng.
Ajeng yang tengah memegang salah satu stiletto itu pun menoleh. Ia mengangkat stiletto di tangannya.
“Menurut lo gimana?”
Dimintai pendapat seperti itu, Kiki pun mengamati stiletto di tangan Ajeng. Mencoba mencari model lain, Kiki pun mengarahkan pandangannya ke arah rak di dekat mereka. Mengambil salah satu stiletto yang menurutnya lebih baik.
“Kalau yang ini aja gimana?”
Ajeng mengejutkan dahi. Namun ia menerima stiletto yang disodorkan Kiki padanya. Menimbang-nimbang beberapa saat, ekspresi bingung di wajah Ajeng semakin kentara.
“Kalau lo bingung, beli aja dua-duanya,” usul Kiki yang langsung dihadiahi Ajeng sebuah pelototan.
“Lo kira bapak gue Sultan?” ucapnya sedikit memekik. Ia lalu mengembalikan kedua stiletto itu ke tempat semula.
“Eh, kok dibalikin? Nggak jadi beli?”
Sebagai jawaban, Ajeng menarik tangan Kiki menuju pintu keluar. “Cari toko lain aja.”
Namun sebelum tubuh Kiki melewati pintu keluar, mata gadis itu menangkap sesosok wanita yang tidak terlalu asing di benaknya. Langkah kaki gadis itu tanpa sadar terhenti saat menyadari jika wanita dengan perut membuncit itu adalah Herna Yusrizal. Seketika, pupil Kiki melebar.
“Astaga dragon! Aslinya lebih bening ketimbang di foto.”
Kiki memang sering kepo dengan Herna semenjak ia melihat foto pernikahan wanita itu di sosial media. Siapa sangka, sekarang ia bertemu langsung dengan Herna Yusrizal meski tidak dalam jarak yang dekat. Jiwa kepo Kiki semakin menjadi tatkala seorang lelaki mendekati Herna yang tengah memilih sandal. Mata Kiki menyipit saat menyadari jika lelaki itu bukanlah suami Herna, seperti yang ada di sosial media.
“Tu orang siapa? Nggak mungkin, kan, kalau Herna selingkuh?”
Kiki tidak mungkin salah mengenali suami Herna, walaupun ia hanya melihat rupanya dari foto-foto di sosial media. Jadi, kalau bukan suaminya, lelaki itu siapa dong? Tidak heran, kan, kalau Kiki berpikiran kalau lelaki itu adalah selingkuhan Herna?
“Ah, nggak boleh suudzon, kali aja itu sepupunya.” Kiki mencoba berpikiran positif.
Tatapan Kiki masih terarah lurus ke pasangan itu, tanpa sedetik pun teralih. Hingga gadis itu tersentak saat sepasang mata tajam tengah terarah padanya. Tatapan di balik kacamata yang penuh intimidasi itu seketika membuat Kiki merinding, hingga tanpa sadar ia melangkah mundur.
“Kiki!”
Panggilan Ajeng yang pelan, cukup menjadi penyelamat gadis itu. Tarikan tangan Ajeng yang membawa tubuhnya keluar dari outlet itu pun membuat Kiki tanpa sadar bernapas lega. Ia sendiri tidak tahu bahwa sejak tatapan lelaki itu terarah padanya, Kiki menahan napasnya.
“Lo ngapain, sih, jadi patung di depan pintu? Malu-maluin aja, deh. Untung tadi nggak ada yang merhatiin, kalau ada, gimana coba? Gue bakal pura-pura nggak kenal sama elo,” cerocos Ajeng. Namun tidak terlalu Kiki tanggapi.
Gadis itu memeluk lengannya karena tatapan si lelaki yang entah siapa itu, begitu menusuk. Hingga teras seperti tiada lagi tulang dalam tubuhnya.
“Kiki!” sentak Ajeng. Menyadari Kiki seolah kehilangan fokus dan mengabaikan dirinya yang tengah mengomel panjang lebar. “Lo kenapa?” raut khawatir tampak di wajah Ajeng.
“Ah? Hm, gue nggak kenapa-napa.”
“Lo pucet gitu. Kita makan dulu aja, ya? Gimana?” tawar Ajeng.
Pelan, Kiki mengangguk. Sepertinya ia butuh air mineral dingin untuk menetralkan detak jantungnya. Pun tubuhnya yang entah kenapa bergetar. Bahkan untuk menopang tubuhnya sendiri pun, Kiki rasanya tidak sanggup.
“Gue kenapa, sih?” gumam Kiki. “Tapi, tu cowok tatapannya serem banget.”
“Ha? Apa yang serem, Ki?” tanya Ajeng yang sayup-sayup mendengar gumaman Kiki.
“Ah, nggak ada.”
“Bener?” selidik Ajeng, tidak yakin.
Kiki memaksakan seulas senyum, lantas mengangguk. “Iya, beneran.”
“Ya udah deh kalo beneran nggak kenapa-napa. Ntar gue kena marah nyokap lo kalau bawa pulang anaknya dalam keadaan kenapa-napa,” ucap Ajeng, dengan nada bercanda.
“Haha, ya nggaklah.”
Ajeng membawa Kiki ke salah satu gerai minuman kekinian. Meski Kiki menolak untuk ditraktir Ajeng, tetapi gadis itu tetap bersikeras. Mengalah, Kiki pun membiarkan Ajeng membelikannya salah satu minuman kekinian itu. Duduk di salah satu meja yang tersedia, kedua gadis itu tampak menikmati minumannya. Meski sebenarnya, Kiki lebih membutuhkan air mineral ketimbang minuman kekinian.
“Eh, Ki,” panggil Ajeng, “bulan depan kita udah mulai casting Grab Me!. Tadi gue habis cek email.”
Ajeng pun menyodorkan ponselnya pada Kiki yang disambut baik oleh gadis itu. Seperti yang dikatakan Ajeng, di surat elektronik tersebut dikatakan bahwa jika kedua gadis itu akan ikut casting Grab Me! bulan depan.
“Oh, bentar lagi dong,” ucap Kiki, seraya mengembalikan ponsel Ajeng.
“Iya. Makanya gue ngajak elo ke mal buat belanja. Gue nggak mau penampilan kita nanti kalah jauh di antara peserta yang lain. Pokoknya kita harus lulus casting, Ki! Kita kudu dan harus dapetin CEO! Pemilik kafe pun nggak masalah. Atau nih, ya, pemilik outlet minuman kekinian ini,” ujar Ajeng berapi-api.
Kiki hanya bisa mengulum senyumnya melihat semangat Ajeng. Dibanding dirinya, memang Ajeng yang paling bersemangat mengikuti Grab Me! Bahkan untuk menggaet CEO pun, Ajeng yang lebih bergairah. Sebenarnya, Kiki tidak munafik jika ia juga menginginkan. Namun ia masih kepikiran, apakah ia memang ingin menikah atau hanya sekedar kebelet saja. Karena sebenarnya, ia merasa baik-baik saja dalam kesendiriannya ini.
Ya, walaupun sering baper juga lihat pasangan umbar kemesraan di sosial media.
“Habisin dulu minumannya, baru kita jalan lagi,” putus Kiki setelah Ajeng kembali cuap-cuap tentang apa saja yang akan mereka lakukan jika sudah lulus casting nanti.
***
Jangan lupa klik like di setiap chapter cerita ini, ya. Ambil yang baik, buang yang buruk.
Xoxo
Winda Zizty
23 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top