Dua Puluh Satu

Happy reading. 💜

***

Kiki hanya bisa geleng-geleng kepala saat Ajeng kembali merias wajahnya di toilet Halo TV. Padahal menurut Kiki, riasan Ajeng tidak ada yang rusak sedikit pun. Sudah berdandan dari rumah, kemudian naik motor menuju Halo TV, membuat Ajeng berpikiran untuk memperbaiki riasannya.

Touch up,” kata Ajeng.

Kiki mendesah melihat Ajeng yang begitu lihai memulas wajahnya dengan blush on. Karena tidak tahu lagi ingin melakukan apa, akhirnya Kiki memilih keluar. Ketimbang ia hanya memerhatikan tingkah Ajeng yang kini tengah memakai gincu.

Keluar dari lorong toilet, Kiki menatap sekeliling. Senyum tipis terbit di wajah gadis itu melihat kantor Halo TV yang begitu bersih. Baru beberapa langkah ia melangkah, tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya. Kehilangan keseimbangan, Kiki pun mendarat sempurna di atas lantai. Bokongnya langsung berciuman dengan dinginnya lantai.

“Pantat gue,” ringis Kiki. “Pantat udah tempos, malah ditambah tempos.”

Sorry, gue nggak sengaja.”

Kiki kira sang penabrak akan meninggalkannya ternyata ia salah. Malah lelaki itu mengulurkan tangannya untuk membantu Kiki berdiri.

“Lain kali hati-hati dong. Sakit nih badan gue,” dumel Kiki. Ia benar-benar merasa sakit di bagian belakang tubuhnya itu.

Kiki melihat lelaki itu melontarkan senyum tipis sebelum kembali melontarkan maaf, “Gue bener-bener nggak sengaja. Gue lagi terburu-buru. Maaf sekali lagi.”

“Iya, iya, gue maafin,” kata Kiki. Merasa tidak enak juga dengan sikap baik lelaki yang entah siapa itu.

Setelah menunduk singkat, tanda permintaan maaf, lelaki itu pun berlalu dari hadapan Kiki. Gadis itu tebak, mungkin si lelaki tengah dikejar waktu karena langkahnya yang begitu lebar, nyaris berlari. Namun, tetap saja, permintaan maaf lelaki itu tidak menghilangkan nyeri di bokong Kiki.

“Kenapa lo?” tanya Ajeng yang baru saja keluar dari lorong toilet. Pertanyaan itu meluncur keluar setelah dilihatnya Kiki tengah meringis sambil meletakkan tangan di bokong.

“Sakit, habis jatuh tadi. Ditabrak orang,” aku Kiki.

“Astaga! Lo nggak kenapa-napa, kan? Ada yang sakit?” Ajeng langsung cemas. Ia membolak-balik tubuh Kiki.

“Pantat gue sakit. Udah, ah, pusing gue lo puter-puter gini.”

“Terus? Orang yang nabrak lo gimana? Kabur?”

“Nggak. Tadi udah minta maaf, terus udah pergi.”

“Oh syukurlah kalo gitu. Omong-omong, kenapa lo nggak minta ganti rugi aja?"

“Is, apa, sih? Cuma jatuh doang, nggak luka juga. Lagian kayaknya dia lagi terburu-buru, makanya nggak sengaja nabrak gue.”

“Oh gitu.” Ajeng manggut-manggut. “Masih bisa jalan, kan?” Ajeng kini menatap bokong Kiki.

“Masih. Cuma agak nyeri aja. Nanti paling hilang sendiri.”

“Ya udah kalau gitu. Yuk ke ruang audisi, bentar lagi casting mau dimulai.”

“Iya,” jawab Kiki pelan.

Kiki berusaha melangkah, tetapi nyeri di bokongnya tidak bisa ia bohongi. Padahal tubrukan tadi tidak terlalu kencang, tetapi entah kenapa sakitnya belum hilang juga.

“Pasti gara-gara gue kekurusan, nih,” dumelnya pelan.

“Lo kenapa? Susah jalan?” tanya Ajeng yang sudah lebih dulu melangkah. Ia memutar tubuh, memandang Kiki yang masih kesulitan berjalan. Berdecak pelan, Ajeng kemudian mendekati Kiki dan menuntun gadis itu berjalan.

“Eh, nggak usah. Gue bisa sendiri,” tolak Kiki saat Ajeng menyelusupkan tangannya ke bahu gadis itu.

“Apa susahnya minta tolong? Toh gue, kan, temen elo. Gengsi banget.”

“Gue bisa sendiri, makanya nggak minta tolong,” bantah Kiki. Awalnya ia memang merasa tidak memerlukan bantuan Ajeng. Namun kalau begini ceritanya, ia butuh juga bantuan gadis itu.

“Udah, nggak usah banyak cincong. Gue bantuin lo jalan. Nggak usah protes!”

Sesuai permintaan Ajeng, Kiki pun mengunci mulutnya. Membiarkan Ajeng menuntunnya menuju ruangan untuk mengikuti casting. Melirik Ajeng, Kiki pun mengulas senyum tipis. “Makasih, ya,” ucapnya tulus.

“Hm,” balas Ajeng. “Asal jangan lupa aja, uang parkir elo yang bayar.”

“Siap! Kecil mah kalo itu.”

***

Kiki tengah menyesap es jeruk saat Ajeng datang dengan dua mangkok bakso. Gadis itu lantas membenarkan posisi duduknya dan mengambil salah satu mangkok dari tangan Ajeng.

“Gila. Laper gue,” dumel Ajeng yang kini sudah duduk di hadapan Kiki.

Saat ini mereka tengah berada di warung bakso, tidak jauh dari Halo TV. Kedua gadis itu dilanda kelaparan setelah sekian lama menunggu giliran mereka untuk casting. Setelah menimbang-nimbang isi dompet dan tingkat kelaparan mereka, akhirnya dipilihlah warung bakso yang cukup ramai ini. Saking ramainya, Ajeng mesti mengambil sendiri pesanan mereka.

“Kira-kira kita lulus nggak, ya?” tanya Kiki. Ia minder juga karena melihat peserta lain yang bisa dibilang lumayan cantik.

“Mulai deh mindernya kambuh." Ajeng menelan satu pentol bakso sebelum melanjutkan, “Casting tadi cuma formalitas aja, Ki. Kita otomatis udah keterima, apalagi kalau kita good looking gini. Nggak mungkinlah nggak keterima.”

“Tapi peserta yang lain nggak kalah cantik kok. Malah cantikan mereka.”

“Astaga dragon yang ada di iklan susu! Lo itu cantik, tahu, Ki. Mesti berapa kali lagi gue ngomong?” ucap Ajeng, frustrasi. “Dikatain cantik, nggak percaya. Dikatain jelek, nggak terima. Maunya apa coba?”

“Ya, gue, kan, emang cantik. Kalau gue ganteng, gue cowok dong.” Kiki tidak mau kalah.

“Astaga naga! Kayaknya balik dari sini gue mesti mandiin lo pake bunga tujuh rupa. Biar tu otak agak bersih dikit. Terus supaya elo lebih percaya diri lagi.”

“Lebay deh elo. Nggak harus gitu juga kali.”

“Elo tu lebay. Lo itu cantik tahu. Nggak perlu ribuan orang buat bilangin lo cantik. Karena emang dasarnya elo udah cantik.”

“Kalau gue beneran cantik, kenapa gue masih jomlo?” tanya Kiki sedih. Sedari tadi belum satu suap pun bakso yang masuk ke mulutnya. Berbeda dengan Ajeng yang sudah menelan tiga pentol bakso kecil.

“Kiki yang cantik, tapi tidak pernah menyadarinya, dengerin gue, ya. Pasang tu kuping baik-baik. Lo mau cantik kek, jelek kek, manis kek, pait kek, kalau bukan takdirnya punya pacar, ya, tetep aja lo jomlo. Makanya gue ngajakin lo ikutan Grab Me! biar lo bisa lihat betapa cantiknya elo.”

“Emang ada pengaruhnya?” tanya Kiki bingung.

“Zzzzzz, tidur nih gue lama-lama.”

“Ya makanya kalau jelasin itu yang bener. Lo jelasin kayak tadi, gue malah tambah bingung."

Ajeng menghentikan kunyahannya dan memilih menatap wajah Kiki lekat-lekat. Tak lama, gadis itu pun menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan aktivitas makannya.

“Kayaknya lo terlalu laper, jadi nggak konsen. Dah, mending lo makan tuh bakso. Dari tadi belum lo makan, kan?”

Kiki mendesah. Namun ia menuruti juga perkataan Ajeng. Mungkin benar, ia hanya terlalu lapar hingga tidak bisa mencerna dengan baik kata-kata Ajeng. Kiki mulai menikmati baksonya dengan menyeruput pelan kuah bakso terlebih dahulu.

Btw, cowok yang nabrak lo di Halo TV tadi ganteng nggak? Kira-kira dia kerja di sana juga apa cuma lewat aja? Pengunjung kayak kita?” tanya Ajeng beruntun. Pertanyaan itu justru membuat Kiki tersedak.

Menyeruput es jeruknya, Kiki lantas menjawab, “Ya mana gue inget. Ngapain juga gue peduli? Gue lebih peduli sama pantat gue yang sakit ketimbang orang yang nabrak gue.”

“Ya, kali aja, kan, dia jodoh lo. Kayak di film sama novel gitu,” kata Ajeng. Nada bicaranya terdengar kecewa.

“Nggak inget gue pernah ngomong apa?”

“Emang apa?”

“Novel itu karangan manusia. Ceritanya itu ditulis sesuai apa yang dia mau. Jadi jangan disamain kehidupan nyata sama kehidupan di dalam novel. Jelas ada bedanya. Apalagi tokoh-tokoh sempurna di dalam novel, di dunia nyata, mana ada yang begitu.”

“Iya, iya,” jawab Ajeng malas.

“Tapi kayaknya dia udah kerja, deh.” Kiki tampak mengingat-ingat. “Soalnya dia pake jas, rapi juga. Terus kalau gue nggak salah cium, dia juga wangi. Aroma parfum mahal gitu. Bukan parfum isi ulang di pinggir jalan yang biasa kita beli.”

Penjelasan Kiki sontak membuat semangat Ajeng yang layu, kembali berkembang. Mata gadis itu pun kini tampak berkobar.

“Terus? Gimana? Lo nggak ngajak kenalan?”

“Ngapain? Kurang kerjaan banget. Kan udah gue bilang—”

“Kehidupan nyata nggak sama dengan novel,” potong Ajeng. Gadis itu mendelik, tidak suka. “Lo emang suka banget ya melepas kesempatan emas.”

“Kesempatan emas gimana? Badan gue yang sakit, elo malah bilang gue ngelepasin kesempatan emas?”

“Pertama, lo nggak minta ganti rugi karena nabrak elo. Kedua, lo nggak ngajak dia kenalan, padahal lo bisa aja, kan, ngajak dia kenalan. Terakhir, kata lo dandanan di rapi, pake jas, wangi, ala-ala esmud gitu.”

“Nah, terus? Eh, esmud apaan?” Kiki menaikkan alisnya.

“Eksekutif muda. Itu aja masa lo nggak tahu?”

“Nah, jadi apa hubungannya sama kesempatan emas?”

“Siapa tahu, kan, dia itu CEO yang lagi kerjasama sama Halo TV. Bisa aja CEO di perusahaan minuman isotonik. Dia mau nawarin produk baru buat diiklankan di Halo TV, makanya dia tadi ke sana. Apa lo lupa rencana kita buat ngegaet CEO?”

“Astaga! Kok gue nggak kepikiran, ya?”

“Nah!” Ajeng menjentikkan jarinya. “Itu yang gue bilang lo melepas kesempatan emas. Coba, di mana lagi kita bakal ketemu CEO? Lo bener-bener udah kehilangan satu kesempatan elo, Ki,” desah Ajeng dramatis.

“Belum rejeki gue aja,” sahut Kiki santai. Ia kini mengunyah pentol bakso yang sedari tadi ia anggurin. “Kalau pun dia jodoh gue, nanti juga ketemu lagi. Entah di mana dan kapan. Atau malah ketemu orang lain, bukan dia.”

“Sepasrah itu?” tanya Ajeng, tidak mengerti.

“Ya mau gimana lagi? Mesti gue muter waktu? Kan nggak bisa.”

“Iya juga, sih.” Ajeng manggut-manggut. “Terus, lamaran kerja lo gimana?”

“Kalau lolos, nanti mau tes lagi kalau nggak salah. Apa langsung wawancara gitu. Lupa gue. Nanti mereka hubungi via email kalau gue lolos.”

“Semoga lo lolos deh. Biar ketemu sama CEO yang tadi,” harap Ajeng.

“Sok yakin banget kalau yang nabrak gue tadi itu CEO. Kalau cuma sales, gimana? Bisa aja, kan, dia sales dari minuman isotonik, kayak yang elo bilang tadi, alih-alih CEO-nya.”

“Nggak! Gue yakin dia CEO! Firasat gue mengatakan demikian.”

“Ya, ya, terserah elo deh. Gue laper, mau makan.”

***

Udah berapa hari aku nggak update? 😭😭😭

Maafkan daku.

Kemarin ada masalah pribadi, jadi aku alihkan baca komik dan ya, begitulah, aku nggak update.

Banyak banget, ya, utangku. Semoga bisa segera aku lunasi.

Masih setia, kan, menunggu cerita ini? Jangan berpaling, ya. Doi aja yang berpaling, kalian jangan. *Eh

Tetap #StayatHome, ya.

Xoxo

Winda Zizty

08 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top