Dua Puluh Empat

Happy reading. 💜

***

Keadaan Yusrizal sudah lebih baik. Hansya sadar akan hal tersebut. Namun kali ini ia memilih menetap lebih lama. Meski niat awalnya hanya ingin menginap sampai akhir pekan.

Hansya tengah memasang dasi, saat Alda masuk ke kamarnya. Memberitahu jika ia dan Yusrizal tengah menunggu di meja makan. Hansya mengangguk, mengatakan ia akan menyusul setelah selesai berpakaian. Daun pintu yang kembali ditutup Alda membuat Hansya kembali ke kegiatan semula.

Hansya hendak keluar dari kamar, tetapi matanya seolah terkunci pada satu objek. Mendesah pelan, Hansya meraih benda tersebut dan menyimpannya ke laci lemari. Menetralkan degup jantungnya, barulah lelaki itu keluar dan bergabung dengan Alda dan Yusrizal di meja makan.

“Papa akan ke kantor Kamis nanti,” ungkap Yusrizal setelah menyelesaikan sarapan mereka.
Hansya menyesap kopinya perlahan. Namun dari pinggir mata, ia tidak melepaskan sosok Yusrizal.
“Papa akan mewawancarai calon sekretaris baru kamu,” lanjut Yusrizal.

Meletakkan cangkir kopinya, Hansya pun berkata, “Baiklah. Aku akan menurut kali ini.”

Hansya tidak tahu, di seberangnya, Alda menghela napas lega. Bertukar pandang dengan suaminya disertai senyuman.

“Papa senang kamu tidak menganggu rencana Papa ini.”

“Mungkin karena aku juga sudah lelah.” Hansya mengendikkan bahu, lantas berdiri dan mencium kedua pipi Alda. Tak lupa mencium punggung tangan Alda dan Yusrizal. Ia berpamitan.

“Malam ini kamu pulang?” tanya Alda penuh harap.

“Aku akan menginap di sini, Ma,” jawab Hansya yang kembali menerbitkan senyum di wajah Alda.

Senin pagi selalu menjadi sesuatu yang Hansya tidak sukai. Bukan ia membenci hari, tetapi ia hanya tidak suka jika terjebak kemacetan seperti ini. Melirik arlojinya, Hansya menghela napas panjang. Sebenarnya tidak masalah jika ia terlambat datang ke kantor, tetapi ia tidak ingin mencontohkan hal yang buruk pada para karyawannya. Karena itulah, ia selalu mengusahakan datang sesuai jam kerja. Namun hari ini, nampaknya akan menjadi pengecualian.

Benar seperti dugaan Hansya, kali ini ia datang terlambat ke kantor. Memasuki ruang kerjanya, Andre sudah menyambut lelaki itu dengan tablet di genggaman dan dokumen di tangan satunya.

“Apa ada rapat penting hari ini?” tanya Hansya setelah duduk di kursinya.

“Hanya rapat bulanan dan janji temu dengan GoodFood,” ujar Andre. Matanya tidak lepas dari layar tablet.

“Baiklah.”

Andre sudah pamit undur diri. Namun entah kenapa Hansya malah menahan langkah lelaki itu. Terlebih saat pertanyaan yang Hansya lontarkan. Andre semakin heran dibuatnya.

“Mengenai calon sekretaris baru gue nanti, siapa aja yang lolos tahap akhir?”

Andre tercengang sekian detik, sebelum kesadarannya kembali mengambil alih. Ia yang semula sudah berdiri dua langkah di depan pintu, kini kembali membawa tubuhnya mendekati meja Hansya.

“Ehm, yang gue tahu dari HRD, sih, kemarin mereka mewawancarai empat orang yang bakal diseleksi lagi jadi dua orang buat interview user.”
Hansya manggut-manggut. “Lo ada CV mereka?” tanya Hansya lagi.

Sayangnya, Andre menggeleng. “Kalau lo mau, gue bisa minta sama anak-anak di HRD.”

Hansya menggeleng. “Nggak usah,” tolaknya tegas. “Interview-nya Kamis nanti.”

“Hm, iya. Kayaknya, sih. Gue juga nggak nanya dan mereka juga nggak cerita lagi.”

“Ya udah kalau gitu.”

“Hm, apa nanti lo yang bakal meng-interview mereka?”

“Bukan,” jawab Hansya. “Bokap gue yang turun tangan langsung.”

“Hm, nggak heran, sih, kalau Pak Yusrizal yang bakal turun tangan.”

Hansya mengernyitkan dahi. Kata-kata Andre sedikit mengusiknya. Sadar akan tatapan Hansya saat ini, cepat-cepat Andre undur diri meninggalkan ruangan lelaki itu. Namun meski begitu, tetap saja Hansya menyimpulkan sendiri apa yang terjadi.

“Sebenarnya apalagi yang Papa rencanakan?” monolog Hansya sembari memijit pangkal hidungnya.


***


Waktu rasanya terlalu cepat berlalu. Entah Hansya yang terlalu menikmati hari, atau ia terlalu sibuk dengan semua kegiatannya. Pertemuan demi pertemuan telah ia lakukan di minggu ini. Bahkan ia kembali mengecek pembangunan mal yang terafiliasi dengan hotel miliknya.

“Jangan terlalu keras bekerja, Nak. Kamu masih muda,” pesan Yusrizal, di suatu satu hari saat Hansya pulang dalam keadaan letih. Wajah lelaki itu begitu kusut.

“Aku tidak bekerja dengan keras, Pa. Aku hanya memaksimalkan semua yang aku miliki. Aku tidak mau mengerjakan sesuatu secara setengah-setengah.”

“Sesekali, cobalah untuk berlibur. Jangan terlalu sering memikirkan urusan di Halo TV, kamu juga butuh untuk dirimu sendiri.”

Hansya tersenyum, lantas membalas, “Terima kasih sarannya, Pa. Nanti akan aku pikirkan.”

Pagi ini, setelah aktivitasnya terlaksana seperti biasa, Hansya tersenyum tipis sembari mengangguk singkat saat melihat Yusrizal ada di Halo TV. Hansya teringat jika kedatangan sang ayah adalah untuk meng-interview calon sekretaris barunya.

“Semoga hari Anda menyenangkan,” ucap Yusrizal, formal.

“Terima kasih, Pak,” ucap Hansya, lantas berlalu dengan Andre yang setia mengekori.

Pintu lift yang tertutup menjadi kali terakhir Hansya melihat sosok Yusrizal, sebelum benda persegi itu membawanya dan Andre ke lantai bawah. Pintu lift kembali terbuka, kali ini mata di balik kacamata itu harus menyipit saat netranya menangkap objek yang tidak biasa. Seorang gadis yang tengah membenahi gincunya di depan lift, seolah tidak menyadari keberadaan Hansya dan Andre.

Hansya berdeham, cukup keras. Bermaksud menyadarkan gadis itu, yang posisi berdirinya cukup menutupi pintu lift. Padahal tubuh gadis itu tergolong mungil untuk bisa menghalangi jalan keluarnya.

Gadis itu lantas terlonjak saat Hansya kembali berdeham dengan nada yang lebih keras. Alhasil, gincu merah muda gadis itu sedikit keluar dari garis bibirnya. Alih-alih Hansya meminta maaf, gadis itu terlebih dulu mengatakannya. Menyingkir sambil menunduk, memberi jalan pada Hansya dan Andre untuk keluar.

Hansya pikir, gadis itu adalah gangguan yang pertama dan terakhir setelah ia keluar dari lift. Namun Hansya tidak menyangka jika dari arah yang berlawanan seseorang tengah menuju ke arahnya dengan terbirit-birit. Sama-sama tidak siap dan tahu akan kejadian selanjutnya, Hansya dan gadis itu sama-sama jatuh di dekat pintu lift. Malangnya, Hansya yang menjadi orang yang tertabrak, harus membentur dinding samping lift. Membuat punggungnya sedikit nyeri, ditambah bobot tubuh gadis yang entah siapa itu.

“Ah, maaf,” gadis itu sedikit memekik saat melihat Hansya yang meringis.

Hansya menggelengkan kepala yang sedikit terbentur setelah punggungnya. Dari balik kacamata, Hansya dapat melihat jelas ekspresi ketakutan dan cemas milik si gadis.

“Bapak nggak kenapa-napa, kan?” tanya si gadis.

Hansya menggeleng. Andre yang dengan sigap membantu lelaki itu tegak kembali, hanya bisa tersenyum saat bersitatap dengan sang gadis.

“Ya, aku tidak kenapa-napa,” jawab Hansya. Tabrakan yang cukup keras itu tentu membuat dirinya kenapa-napa. Namun ekspresi sang gadis membuat Hansya harus mengubur rasa sakitnya. Ia tidak ingin membuat gadis itu merasa semakin bersalah lagi jika Hansya jujur mengenai kondisi punggung dan kepalanya.

“Maaf, banget, Pak. Saya sedang terburu-buru dan tidak melihat Bapak.” Gadis itu benar-benar merasa menyesal dan bersalah.

“Aku benar-benar tidak kenapa-napa,” balas Hansya. Berusaha menangkan gadis tersebut.

“Ah, maaf, sekali lagi, Pak. Tapi saya ada keperluan di atas. Permisi.”

Pintu lift di sampingnya kembali terbuka, tanpa membuang banyak waktu, gadis itu pun masuk ke dalamnya. Tidak lupa ia mengangguk dengan tatapan bersalah yang masih bersarang di matanya. Hansya menarik senyum, seolah berkata tidak apa-apa. Namun hingga pintu lift tertutup dan ia berlalu dari sana bersama Andre, senyum itu tidak juga surut dari bibir Hansya.

***

Jadwal update molor lagi. Terima kasih masih setia dengan cerita ini.

Xoxo

Winda Zizty
13 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top