Dua

Selamat siang! 💜
Mari kembali berhalu ria!

*

Ruangan bersuhu 16 derajat Celcius itu semakin dingin akibat entitas seorang lelaki yang begitu serius menatap lembar demi lembar laporan di hadapannya. Mata bernetra hitam kelam yang dibingkai kacamata minus 0,5 itu semakin menambah aura mencekam di dalam ruangan.

Di seberang mejanya, berdiri seorang lelaki yang sudah sepuluh tahun ini menjadi sekretarisnya. Meski tatapan sang atasan dapat membuat adrenalin siapa pun yang melihatnya menjadi terpacu, hal demikian tidak berlaku bagi lelaki tersebut. Berdeham pelan, si lelaki mencoba menarik atensi atasannya.

Si pemilik mata kelam mendongak, menatap sang sekretaris dengan dahi berkerut.

"Kenapa?" tanya dengan suara yang dalam itu terdengar di udara.

"Nanti siang lo ada agenda buat ketemu Pak Yusrizal."

Tidak ada sapaan formal saat keduanya tengah berada di ruangan yang sama seperti ini. Usia mereka yang terpaut tidak terlalu jauh, membuat sang atasan meminta sang sekretaris untuk tidak berlaku formal padanya jika tengah berdua, seperti saat ini.

"Bisa lo batalin aja, Dre? Gue males banget. Sumpah."

Andre, sang sekretaris hanya bisa menggeleng pelan.

"Lo udah batalin pertemuan ini minggu kemarin dan minggu kemarinnya lagi. Kayaknya Pak Yusrizal beneran mau ngobrolin hal penting sama lo," jelas Andre.

Hansya Yusrizal mendesah pendek. Menjauhkan laporan dari hadapannya lantas melepaskan kacamata yang membingkai mata lelah itu. Mengalihkan pandangan pada Andre yang juga tengah menatapnya lurus, Hansya menggeleng lemah.

"Gue udah tahu apa yang mau bokap omongin dan gue males ngebahas hal yang sama terus-terusan." Ia melirik Andre sekilas sebelum melanjutkan, "Gue rasa, lo juga tahu apa yang bakal bokap gue omongin. Lo pernah denger sendiri pertanyaan tersebut dari mulutnya."

Andre mengangguk maklum. Namun ia juga tidak bisa berbuat banyak untuk atasan sekaligus sahabatnya itu. Berulang kali Pak Yusrizal meminta Hansya untuk bertemu. Namun sang pewaris tunggal tersebut memilih menghindar. Terlebih semenjak sudah memiliki rumah sendiri, Hansya semakin sulit untuk ditemui. Bahkan di kantor pun, ia memilih sembunyi-sembunyi dari sosok Yusrizal.

"Gue rasa hal yang wajar kalau Pak Yusrizal membahas hal tersebut," ucap Andre yang membuat Hansya terkekeh pelan.

"Hanya karena usia gue sudah kepala tiga?" sarkas Hansya.

"Mungkin Pak Yusrizal takut nggak mendapat ahli waris dari lo. Mengingat lo anak satu-satunya, cowok pula."

Kekehan Hansya semakin terdengar. Ia bahkan berdiri dari kursinya, lantas menepuk pundak Andre. "Gue belum kepikiran buat nikah. Gue masih menikmati kerjaan gue."

"Tapi lo udah tiga lima, Han. Lo beneran nggak kepengen ngebangun keluarga sendiri?" tanya Andre sedikit heran.

Hansya terdiam sesaat. Bahkan Andre yang umurnya tidak terlalu jauh darinya pun sudah berkeluarga. Memiliki seorang gadis kecil berusia tiga tahun. Hansya cukup sering bertemu dengan Amel, anak Andre, dan ia begitu gemas dengan gadis kecil tersebut.

"Untuk saat ini gue belum kepikiran. Nggak tahu nanti."

Jawaban Hansya menjadi penutup obrolan mereka karena lelaki itu langsung meninggalkan ruangannya, meninggalkan Andre di belakang. Namun bukan Andre namanya jika tidak tinggal diam begitu saja. Segera ia menyusul Hansya yang kini sudah berdiri di depan lift.

"Pak Yusrizal nunggu elo di rumah. Gue denger juga kesehatan beliau mulai memburuk. Makanya akhir-akhir ini beliau nggak kelihatan di kantor," ucap Andre dengan nada pelan. Namun Hansya masih dapat mendengarnya dengan jelas.

Menghela napas, Hansya membalas, "Lihat nanti, gue nggak janji."

Pintu lift pun terbuka. Tidak membuang waktu, Hansya langsung memasuki ruangan berbentuk kubus tersebut. Tahu jika Hansya ingin waktu sendiri, Andre membiarkan lelaki itu pergi. Tanpa mengejarnya seperti tadi.

Pintu lift kembali menutup. Menelan sosok Hansya yang berdiri kaku di dalamnya.

***


Jalanan cukup padat siang ini. Mengantre bersama puluhan kendaraan lain saat lampu merah, Hansya kembali memikirkan permintaan sang  papa untuk bertemu.

Hansya mendesah panjang. Semakin bertambah usia, beban yang harus ia pikul semakin bertambah, bukan berkurang. Terlebih di usianya yang sudah kepala tiga ini dan sebagai anak tunggal, membuatnya menjadi satu-satunya pewaris di keluarga. Ada perusahaan yang harus ia pimpin, menggantikan sang papa. Apalagi hingga saat ini ia belum juga mendapatkan pendamping.

Ia bukannya tidak merasakan kegelisahan kedua orang tuanya. Namun hingga detik ini, semenjak seseorang pergi dari hidupnya, Hansya belum tertarik untuk menjalin hubungan serius lagi.

Baik dari keluarga maupun teman-temannya, bukan tidak pernah berusaha mengenalkan Hansya dengan gadis lain. Terlalu sering malah, hingga Hansya bosan sendiri. Tidak ada yang menarik minatnya hingga ia lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan.

Kesibukan yang membuatnya tidak menyadari waktu begitu cepat berlalu. Hingga ia sendiri tidak sadar jika saat ini usianya sudah tiga puluh lima tahun.

Lampu lalu lintas telah berganti warna menjadi hijau. Tanpa tedeng aling-aling, Hansya kembali melajukan mobilnya. Untuk kali ini dia mengalah. Tidak ada salahnya bertemu sang papa. Ia tidak mau dicap sebagai anak durhaka jika kembali menolak untuk bertemu orang tuanya.

Sekitar empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya Hansya tiba di kediaman yang mengusung tema tradisional tersebut. Ukiran kayu khas Jepara langsung menyambut mata Hansya.

Memarkirkan mobilnya di bawah carport, Hansya tidak langsung keluar. Ia mencoba mengatur emosinya yang tengah tidak stabil. Ada kesal, rindu, kecewa, sedih, yang bercampur aduk dalam dadanya. Setelah memastikan semua baik-baik saja, barulah Hansya keluar dari mobilnya.

Langkah pelan nan tegap milik lelaki itu sinkron dengan ekspresi dinginnya. Namun senyum tipis akhirnya tertarik di kedua sudut bibirnya, tatkala melihat wanita yang tengah melahirkan Hansya ke dunia ini.

"Hansya? Akhirnya kamu pulang juga."

Haru dan kerinduan segera bertemu. Alda, sang mama langsung memeluk putra tercintanya. Tidak lupa kecupan di wajah lelaki itu Alda hadiahkan.

"Mama apa kabar?"

"Alhamdulillah, kabar Mama baik. Kamu sendiri gimana?"

"Alhamdulillah, baik juga, Ma."

Ada setetes air mata yang keluar dari sudut mata Alda. Melihat hal itu, Hansya langsung menyekanya. Menuntun Alda hingga mereka berdua kini telah berada di ruang keluarga. Duduk di sofa yang membentuk huruf L berwarna marun.

"Mama kangen banget sama kamu, Nak. Kenapa baru pulang sekarang? Rumahmu masih di kota ini, tapi Mama merasa kamu tinggal di benua yang berbeda."

Hansya mencium punggung tangan Alda sebagai tanda meminta maaf.

"Hansya sibuk kerja, Ma. Banyak yang mesti aku urus."

"Tapi sudah berbulan-bulan kamu tidak pulang, Nak. Mama kangen. Papa kamu juga."

Saat papanya dibicarakan, Hansya mendesah tanpa sadar. Matanya kini menatap sekeliling. Suasana rumah yang sepi membuat tanya tak ayal muncul di kepalanya.

"Papa di mana, Ma?" ucapnya saat dirasanya tidak ia temukan sosok sang papa.

"Ada di kamar. Akhir-akhir ini kesehatan papamu menurun. Dia terpaksa harus bed rest atas saran dokter."

"Kalau gitu, aku lihat Papa dulu, Ma."

Hansya berdiri setelah melihat Alda mengangguk. Langkahnya harus terhenti sejenak saat Alda berujar, "Papamu sering mengigau, memanggil nama kamu. Sepertinya ada yang Papa pikirkan sampai seperti itu."

"Iya, Ma." Hanya itu yang bisa Hansya katakan sebelum benar-benar berlalu dari hadapan Alda.

Pintu kamar kedua orang tuanya sudah tertangkap netra Hansya. Awalnya Hansya meragu untuk masuk ke dalam. Namun, akhirnya ia memilih masuk karena memang niat semula adalah untuk menemui Yusrizal.

Begitu daun pintu itu terbuka, netra Hansya menangkap sosok lelaki paruh baya yang tengah tergolek di atas kasur. Selimut tebal menutupi tubuhnya hingga dada. Ada sedih yang Hansya rasakan melihat kondisi Yusrizal yang tengah sakit.

"Pa," panggil Hansya pelan. Lelaki itu lantas menggenggam tangan Yusrizal yang begitu hangat.

Mata Yusrizal yang semula terpejam, perlahan mulai terbuka. Saat netranya bersirobok dengan milik Hansya, secercah sinar langsung tampak di sana.

"Ha ... Hansya?" katanya, nyaris tidak percaya.

Jemari lemah itu terayun di udara, menuju wajah Hansya. Menyadari situasi, sontak Hansya mendekatkan wajahnya. Membiarkan jemari Yusrizal kini mengelus wajahnya penuh kasih.

"Maafkan aku yang baru datang, Pa." Ada sesal di sana. Tanpa bisa ditutupi lagi.

Yusrizal tersenyum lemah, lantas menggeleng. "Tidak apa-apa. Melihatmu secara langsung seperti ini, sudah membuat Papa senang."

Hansya balas tersenyum. "Papa mau aku ambilkan minum?"

Yusrizal mengangguk, membuat Hansya dengan sigap mengambil gelas yang sudah terisi air mineral di atas nakas. Setelah sebelumnya membantu Yusrizal duduk bersandarkan bantal, Hansya lantas menyerahkan gelas air mineral tersebut pada sang papa.

"Papa merasa jauh lebih baik setelah melihat kamu," ucap Yusrizal setelah menandaskan minumannya.

Hansya tersenyum tipis.

"Aku janji bakal lebih sering pulang ke rumah."

"Sudah seharusnya seperti itu. Rumah ini akan menjadi milikmu setelah Mama dan Papa tiada."

Sebuah fakta yang sudah Hansya ketahui, tetapi tidak ingin ia dengar di saat seperti ini. Mencoba mengalihkan pembicaraan, Hansya lantas berujar, "Rating di stasiun TV kita meningkat dibandingkan tahun sebelumnya."

"Alhamdulillah," balas Yusrizal senang. "Tidak salah Papa menyerahkan posisi CEO padamu. Kamu memang memiliki rasa tanggung jawab yang besar."

"Terima kasih, Pa."

"Tidak perlu berterima kasih." Yusrizal tersenyum lebar. Ekspresinya kini berubah. "Hansya, Papa dan mamamu sudah menua dan kamu sudah mengambil alih stasiun TV kita. Usiamu juga sudah tiga puluh lima, Papa dan Mama ingin sekali melihatmu memiliki pendamping. Meski kamu sesukses ini, tentu akan sepi rasanya tanpa seseorang yang mendampingi."

Hansya tersenyum samar. Topik yang selalu ia hindari akhirnya dibicarakan juga. Salah satu alasan mengapa ia menghindari pulang ke rumah dan memilih tinggal sendiri di rumah pribadinya.

"Iya, Pa, Hansya tahu."

"Apa kamu sudah memiliki calon untuk dikenalkan ke kedua orang tuamu ini? Kesehatan Papa semakin menurun. Sebelum Papa dipanggil yang Kuasa, Papa ingin sekali melihatmu menikah."

Hansya terdiam. Matanya menatap kosong pada selimut di depannya.

"Anak gadis kenalan Papa sudah Papa kenalkan semua ke kamu. Bahkan anak teman Mama pun sudah, tapi di antara semua gadis itu, kamu belum juga menjatuhkan pilihan," ucap Yusrizal. "Apa kematian Haru menjelang pernikahan kalian yang membuatmu seperti ini?"

Jantung Hansya rasanya seperti berhenti berdetak saat nama itu terdengar di telinganya. Menoleh cepat pada Yusrizal yang menatapnya lurus, Hansya lantas kehilangan kata-kata. Tidak tahu ingin menjawab apa.

"Benar dugaan Papa, kamu belum bisa melupakan Haru."

Jika ada cara untuk menghapus seseorang dari hati dan ingatan, tolong beritahu Hansya. Karena seperti dugaan Yusrizal, Hansya memang belum bisa melupakan Haru. Calon pengantinnya yang sudah lebih dulu dipanggil Yang Maha Kuasa.

**

Duh, ternyata Babang Hansya belum move on, gaes! Gimana nih?

Jangan lupa tinggalkan saran, komentar, kritik, dan like cerita ini, ya. Bagikan ke teman kalian supaya lebih banyak lagi yang membaca cerita ini.

Xoxo

Winda Zizty
12 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top