PROLOG

Wanita tua dengan sarung sebatas dada bergerak lamban, jari-jarinya mengusap permukaan daun sirih yang kemudian ia selipkan beberapa rempah. Ada pinang, gambir, dan kapur yang kemudian ia kunyah setelah dibuntal oleh daun hijau itu. Lalu mata senjanya—berselaput putih di sebagian—menerawang.

Tatapan itu mengundang anak gadis yang turut duduk di sampingnya, mengamati rambut putih terlepas dari cengkeraman kerudung bertuliskan CTS di satu pojoknya. Kain segiempat yang dilipat menjadi segitiga, membungkus kepala wanita itu dengan sisa kerudung dibuntal menyerupai sanggul.

"Niserrah tang lakeh, joh!"* serunya dengan gemericik mata bahagia. Sedang lelaki tua yang dibicarakannya sekadar foto di dinding rumahnya. "Mun benni margenah tangkepen, engkok tak alakeh."**

"Bibi, terjemahin, dong!" seru anak gadis berambut sebatas bahu pada perempuan yang sedang berkutat dengan sapu lidi.

"Dia bilang, kalau bukan karena ditangkap, dia nggak bakalan kawin sama suaminya."

Gadis itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, melihat lagi sang Nenek yang sedang menginang. Memamah rempah-rempah yang dipercaya memperkuat gigi. Namun, bukan itu perhatiannya. Melainkan kawin dengan cara ditangkap seperti yang Bibi jelaskan tadi lebih mengusik benaknya.

"Ditangkap gimana, Bi?"

"Itu namanya kawin tangkap. Orang Madura, tuh, paling murka dengan urusan zina. Jadi, kalau ada pasangan muda yang sering menghabiskan waktu bersama, alias sering berduaan tanpa orang tua atau teman, biasanya ditangkap. Dimasukkan dalam rumah dan dinikahkan oleh tokoh setempat. Orang Madura paling anti malu," cerocos Bibi sambil membenarkan sapu yangbeberapa lidinya mencuat tak beraturan. "Orang Madura keyakinan agamanya kuat. Jarene seng penting sah dulu karo Gusti Pangiran, masalah rejeki pasti nyusul."

CATATAN:

*Kasian suamiku itu

**Kalau bukan karena kena tangkap, aku mungkin tak akan pernah nikah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top