2
Surabaya masih sama, sisa panas di waktu siang menyisakan suam menyentuh kulit. Sangat terasa, apalagi setelah melewati sembilan jam di gerbong bersuhu rendah. Bau debu kental di udara stasiun Pasar Turi, mengingatkan berbagai kenangan dulu pertama kalinya aku meninggalkan kota kelahiranku ini. Meski banyak penataan yang mengubah wajahnya, tetap tak melekangkan tangis Mama di sudut pintu batas pengantar. Lambaian tangannya tak pernah berhenti sekalipun aku tak mengindahkannya.
Jakarta adalah asmara, Surabaya pelabuhan cinta. Aku lahir di sana, menemukan Igo dan mencintainya dari bangku sekolah. Kenangan memalukan, banyak kutoreh demi mendapatkan perhatiannya, semua terekam apik di sudut kota Pahlawan ini.
Aku nyampe stasiun Pasar Turi
Kukirim pesan singkat pada Igo, mengingat sepanjang perjalanan dia selalu mengecek posisiku di mana. Tak sempat membaca balasannya, aku memilih menaiki taksi dan menuju rumah yang sudah lama tidak kujejaki. Bayangan senyum Mama menghias di pelupuk, mencipta perasaan yang ingin menembus jarak secepat kilat.
Perjalanan dari Stasiun Pasar Turi menuju rumah terasa lambat sangat. Mungkin karena aku terlalu menggebu ingin bertemu, memeluk Mama yang tentunya akan senang dengan kedatangan putrinya. Mengingat sudah hampir setahun aku meninggalkannya.
Maka, senyum di pintu gang itu cukup melenyapkan lelah perjalanan. Walau terlihat jelas bahagianya, tetap saja matanya yang layu mengantongi air yang siap meruah. Usiaku sudah 23 tahun, tapi perlakuan Mama masih seperti waktu aku berusia 10 tahun. Menciumku berulang, memegang kedua belah pipiku, lalu berkata, "Anak Mama sudah gede."
"Gedenya dari dulu, Ma. Kok, Mama baru sadar?"
"Oyah? Coba sini, cium Mama!"
Seperti hal lumrah, Mama menyodorkan pipinya untuk kuciumi, lalu bergelung di pelukannya. Tubuhnya terasa lebih kurus dari terakhir kulihat, mungkin asmanya sering kambuh. Namun, perempuan kuat itu tak akan pernah sampai hati mengadukan keadannya yang menurun.
Ah, seandainya Mama memilih menikah lagi. Tentu hari-harinya tidak kesepian seperti ini. Mungkin juga aka nada adik dari pernikahan keduanya. Sayang, cinta Mama terlalu besar pada Bapak. Sampai beberapa lelaki yang ingin mempersuntingnya dibuat mundur. Dengan begitu, membuatku bercita-cita mempunyai kisah romantic sepertinya. Cinta yang abadi dan kuat.
-----
"Aku enggak tahu apene cerito ambek sopo? Aku cuma percaya kamu, Nun." Gadis kurus tinggi dengan wajah jenaka—macam anak TK—yang sering membuatku takjub, menatapku dengan air muka yang tampak lusuh dan kusut. Sikap yang biasanya lembut dan tutur kata yang beratur seolah-olah ambruk tak tersisa. Wajah yang dibalut jilbab biru itu tampak terluka parah, meski sesekali mengumbar senyum.
"Ada apa, Mas?" Hanya itu yang keluar dari bibirku meski sejujurnya tidak yakin bisa memberinya rasa nyaman selayaknya kepercayaannya.
"Mas Anwar duwe wong wedok liyo," katanya datar, seakan itu bukan masalah berarti. Lantas apa yang membuatnya rapuh? Nimas hanya mengusap air mata dengan ujung jilbabnya sembari menatap Putri yang lelap di sampingnya.
Namun, justru berbeda denganku, kurasakan dada mulai sesak dengan darah yang berdesir, kecepatannya melebihi biasanya. Bagaimana bisa Mas Anwar bertingkah seperti itu? Bukankah Nimas adalah tolok ukur istri idaman, setidaknya itu menurutku selama mengenalnya. Nimas selalu santun, belum pernah terekam jejak berpacaran dengan lelaki mana pun. Sekalinya terembus kabar, itu setelah dia memilih Mas Anwar sebagai pendamping hidupnya.
Tiba-tiba aku merasa takut, takut tentang kehidupan pernikahan, kelak. Dan itu menarikku kembali ingat tentang ajakan Igo waktu lalu.
"Ya Allah, Mas!" Kuraih tangannya dan mengusap lembut punggungnya. Aku tahu dia sengat menderita saat ini, dan aku hanya bisa menemaninya. Berharap semoga adanya aku, membuatnya merasa aman. Setidaknya aku tak mungkin selingkuh darinya.
"Bukan itu masalahnya, Nun. Tentang Mas Anwar ambek wong wedok iku wes werro ket biyen sebelum kita nikah. Namanya Maryam."
"Nek Werro, opo'o koen terusno?" Sekonyong-konyongnya aku mempertanyakan keputusannya. Menikah dengan pria yang jelas mempunyai hubungan dengan perempuan lain bukan keputusan baik, melainkan keputusan gegabah dan bodoh.
"Soale dia memilihku. Maryam itu mantannya yang ketemu mane setelah dua tahun pisah. Jarene, Maryam iku wes nikah ambek wong lanang liyo, tapi cerai. Dan mereka dekat lagi semasa aku dan Mas Anwar ta'aruf.
"Karena itu, aku memberinya pilihan antara melanjutkan ta'aruf kemudian menikah denganku atau melanjutkan hubungannya bersama Maryam, janda sekaligus mantannya. Terus dia milih aku, Nun. Itulah kenapa aku terima lamarannya dengan syarat melupakan semua tentang Maryam. Dan dia menyanggupi.
"Dua tahun pernikahan kami nyaris tanpa pertengkaran berarti, hanya sesekali kami cek-cok mulut gara-gara sepele seperti soal letak sabun dan odol." Nimas bercerita panjang tentang kisahnya yang tidak banyak aku ketahui. Selama ini kurasa orang paling tahu Nimas adalah aku, karena paling dekat dengan Nimas daripada sahabat-sahabat baru di kampus, seperti Dini dan Soul. Kini aku merasa sangat tuli akan dirinya, masih banyak yang belum kuketahui tentangnya. Aku sudah meninggalkan Nimas begitu lama, mungkin karena aku terlalu sibuk dengan romansaku bersama Igo.
"Seminggu yang lalu Maryam nelepon aku, dia memaki-maki aku dan bilang aku yang ngerebut Mas Anwar darinya. Parahnya, dia bilang kalau Putri bukan anak Mas Anwar, sebab mereka sudah berulang kali berhubungan badan, tapi enggak kunjung hamil."
"Edan! Koen guyon, kan, Mas?" Aku mencari celah ketidakbenaran cerita Nimas, namun si empunya kisah hanya tertunduk dan kembali mengusap air mata dengan jilbab birunya. Sehingga jilbab yang dikenakan sebagian besar sudah basah.
"Podo ambek koen, aku enggak percaya. Makanya aku konfirmasi langsung sama Mas Anwar tiga hari yang lalu...."
"Apa kata Mas Anwar?" tanyaku sembari membayangkan bagaimana Mas Anwar yang mengelak dari semua pertanyaan Nimas.
"Dia mengamini perkataan Maryam dan balik menuduh aku berselingkuh, Nun...." Kali ini pecah sudah tangisnya. Keanggunan yang membuatnya tampak lebih dewasa dari usia dan wajah jenakanya, sirna. Terbawa arus kencang tangis, diterpa gempa di dadanya, digerus sedemikian rupa oleh makhluk yang bernama lelaki, dan itu adalah suaminya.
Kurengkuh pundak Nimas yang bergoncang pelan dan semakin hebat ketika berada dalam pelukanku. Menangislah Nimas, kata orang tangis itu meringankan lara. Aku akan menjadi sandaranmu, meski dadaku mungkin tak selebar dada Mas Anwar.
Cerita itu tidak usai, tapi waktu sudah melenyapkan tangis Nimas. Mencipta hening, hanya isak Nimas yang terdengar mulai mereda. Sesekali senggukannya mengguncang tubuh kurus itu. Aku teringat kembali bagaimana Nimas mengenal Mas Anwar. Menurut ceritanya, ia dikenalkan oleh sepupunya pada Mas Anwar yang kemudian mereka sepakat untuk ta'aruf. Dua bulan setelah itu, Nimas mengabariku bahwa pernikahannya akan dilangsungkan bulan depan. Aku bahagia mendengarnya, meski tidak sepenuhnya.
"Kamu enggak istikharah dulu, Mas?" tanyaku saat itu.
"Untuk apa? Istikharah itu hanya untuk orang-orang yang meragu. Sedang aku sangat yakin. Enggak perlulah." jawabnya ringan. Aku memang tidak bisa mendebati lebih banyak. Sebab, jika itu soal agama, dia lebih paham. Beda denganku yang menulis kalimat Arab saja masih seperti cacing kepanasan.
Ah Nimas, lantas kenapa sekarang kamu memilih hidup penuh tangisan?
-----
Pertemuanku dengan Nimas, kisah laranya yang memanas, juga tangisnya semalam, membuatku termakan waktu. Duduk menemaninya bersedu-sedan, hingga terlelap tak terduga. Baru setelah adzan subuh berkumandang, remang-remang kulihat layar ponselku. Notifnya tertulis 99+, dan itu sukses membuatku dirundung perasaan tak menentu. Seperti ada sebagian dari diriku yang hilang, bolong atau berlubang. Bodohnya, aku tidak tahu itu apa. Dari 99+ notif yang masuk, semua berisi panggilan tak terjawab dari Bibi, Bude, Mbak Aisy, dan Mas Arul. Tanganku gemetar hebat, saat kubaca pesan singkat Bibi.
Nun, kamu di mana? Rumahmu kebakaran, dan mamamu dirawat di Karang Menjangan. Kalau sudah baca SMS ini, segera nyusul.
Aku sudah tidak merasakan kaki menjejak tanah, bahkan pertanyaan Nimas dengan suara paraunya tak mampu kudengar jelas. Yang kutahu, segera menyusul Mama ke rumah sakit, seperti instruksi Bibi.
Bukan update yang sebelah, eh malah update di sini.
Nggak papa, semua ada gillirannya, kok.
salam kisu 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top