1
"Moleo opo'o Nun! Mamae dewean. Kan, Inun sudah nggak ada jadwal kelas. Skripsi bisa dikerjakan dari Surabaya," rengek Mama semalam. Rajukan Mama terngiang-ngiang di telinga. Cerita tentang kesendiriannya adalah keluhan dari kerinduan. Sedang pria di depanku kini masih beku, segala rayuan yang keluar dariku menjadi angin lalu.
"Go, aku harus pulang. Pliss, ini mama aku, calon mertua kamu."
"Emang enggak bisa mamamu yang ke Jakarta, Nok?"
Itu memang sempat aku pikirkan. Tapi Mama paling sungkan meninggalkan rumah yang dibangun Bapak untuk kami. Jangankan ke Jakarta yang jauhnya 700 kilometer lebih, ke Madura saja jarang. Padahal, tidak jauh dari Surabaya, apalagi dengan adanya jembatan Suramadu.
"Aku pulang ke rumah, Go. Nggak pergi kemana-mana. Kalau kamu kangen, tinggal pulang juga ke Surabaya. Macam enggak punya embah wong Suroboyo," celotehku demi meyakinkannya. Manik cokelatnya menatapku dengan tegas dari balik sedotan yang menghalangi pandanganku. Dia terduduk dengan punggung yang menempel di sandaran kursi. Sedang aku menikmati wajah tampan berhidung mancung itu dengan posisi kepala di atas meja.
"Berapa lama kamu di sana?"
"Mungkin sehabis lebaran aku balik."
"Lama kali, Nok? Gak bisa seminggu aja?" Teguh yang lebih suka kupanggil Igo mencoba bernegosiasi tentang kepulanganku. Padahal jika komitmen yang kubangun dengannya mengantarkan ke pelaminan—seperti yang kami inginkan—kelak, sudah barang tentu banyak waktuku yang tersedia untuknya. Ah, Igo bersabarlah! Pasti ada masanya hanya untuk kita.
"Seminggu? Mama malah minta aku skripsian di Surabaya."
"Jadi...,"—Igo menegakkan tubuhnya dengan meletakkan kedua tangan di atas meja—"kita mau el-de-er-an, ceritanya?"
Aku menganggukkan kepala samar setelah mengangkatnya dari meja, rasanya seperti mengangkat seton beban di tengkuk. Tatapan Igo memenjarakan, mengundang sebagian sisiku untuk luruh pada maunya. Namun, rajukan Mama menyela di antaranya, mengukuhkan keinginanku untuk kembali pulang.
"Kita 'kan bisa teleponan, chatingan, face time-an. Kita hidup di jaman digital, Go. Nggak ada ceritanya el-de-er-an."
"Tetap saja berjauhan." Igo meraih gelas berisi es cokelatnya, sebelum menenggak sisa isi gelas itu. "Ya sudahlah!" katanya kemudian sambil meraih jaket hijau tuanya dan beranjak.
"Mau ke mana?"
"Beliin tiket buat kamu."
"Jadi, boleh?"
"Kalau bukan sekarang, kapan lagi aku bisa ngalah buat camer? Ayo, buruan! Kalau sorean lagi bisa kejebak macet."
Ajakannya kusambut dengan semringah, mengamit lengan kekarnya. Seakan menyalurkan rasa terima kasih yang terucap berulang seiring mengeratnya genggaman tanganku. Meski alot, Igo pun mau mebiarkanku pulang ke rengkuhan Mama. Keputusannya menumbuhkan cinta yang teramat dalam kutanam sejak dulu.
Ah, kenangan itu merebak di saat-saat seperti ini. Kusisir kembali momen-momen bersamanya. Cintaku yang berkembang di SMP, lalu kutuai di bangku kuliah. Semacam kebetulan yang kusengaja ciptakan, menemukan dia sebagai mahasiswa manajemen di kampusku. Sejujurnya, aku memang mengejarnya. Demi satu kampus dengannya, aku jadikan jurusan yang sepi peminat sebagai pilihan altenatifku. Hanya demi meraih cintaku di sana.
Bersyukurnya, pilihan utama menerima aku sebagai salah satu mahasiswanya. Jurusan komunikasi. Letak fakultas yang tak berjauhan, memberi harapan besar terhadap perkembangan cintaku.
Sampai akhir semester dua, aku pun bertemu dengannya. Penampilan yang sama, klimis dan beraroma.
"Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanyanya saat kami berpapasan di kantin kampus. Kupasang wajah dengan kernyitan jelas, seolah-olah aku berusaha mengingatnya. Agar tak tampak bahwa aku memang sengaja memburunya sampai Ibu Kota. Demi sepotong senyum dengan mata cokelat itu.
"Siapa, yah?" Kupura-pura menyipitkan mata seperti sedang mengubek-ubek folder memory otak. Padahal jelas dia sudah menjadi wallpaper jiwaku. Yang setiap saat aku pandanginya selalu.
"Kamu dari Surabaya, bukan?" tanyanya lagi dengan nada keraguan. Terlihat dari tangannya yang menggaruk tengkuk tak gatalnya. "Mukamu rasanya familier. Aku yakin kita pernah ketemu sebelumnya." Sekarang nadanya lebih yakin dari sebelumnya, setelah mengamatiku lebih saksama.
Melihatnya begitu, tak kuasa kau menahan senyum. Mungkin ini sudah waktunya, mendekat lalu meraihnya. "Kak Teguh Pahlawan, bukan?" Todongku dengan nada suara seakan-akan baru mengingatnya di sepersekian detik yang lalu, dan mengulurkan tanganku untuk menjabat tangannya.
"Aku Loly, Kak. Kayaknya kita pernah satu sekolah dulu di Surabaya." Sengaja kuberi dia nama lain. Hanya ingin mengujinya, sejauh mana ia mengingatku.
"Wah, pantas saja mukamu familier. Aku memang pernah SMP di Surabaya dulu." Suaranya berbarengan dengan gelegak tawa yang kudengar sangat merdu. "Jadi namamu, Loly, toh."
"Bukan, Kak."
"Loh, siapa?"
"Aku Inun, panjangnya Ainun Latifah. Nama yang bagus, 'kan?!" seruku dengan nada riang, demi menyamarkan dentuman jantung yang sepertinya semakin lama, semakin tak terkendali. Apalagi baru saja aku menjabat tangannya. Oh, betapa kokohnya tangan itu, besar dan gagah, membuatku berkeinginan telentang dalam gendongannya.
"Yang bagus itu matamu, kayak mata kucing. Gemesin!" responsnya yang membuatku hampir lunglai. Dia memujiku!
"Kuliah di sini? Jurusan apa?"
"Iya, Kak. Jurusan Komunikasi, baru semester dua." Kupandangi matanya lagi. Oh, masih cokelat.
"Bagus, dong! Cocok sama kamu yang sedikit bawel." Kuanggap itu sebagai pujian, sekalipun itu hinaan, rasanya aku rida. "Sudah makan?" tanyanya kemudian.
"Belum, ini lagi pesan."
"Ya sudah, sekalian bareng. Mumpung ketemu, enggak asyik 'kan, kalau enggak bernostalgia masa sekolah," katanya sambil menarik tanganku mengikuti langkahnya. Sentuhan di luar dugaan, pertemuan yang manis.
Pertemuan itu berlangsung lama, dan dengan sengaja aku tinggalkan satu mata kuliah dengan berbohong bahwa tidak ada lagi jam kuliah. Mengikuti jamnya yang kosong. Di sana kami bercerita panjang lebar, dari mengulik kenangan semasa SMP, guru yang paling diantisipasi, sampai guru yang paling diledeki, tertuang dan mengalir begitu saja. Bahkan, cerita-cerita lain di luar kenangan kita, menjadi nilai tukar dalam percakapan panjang. Sehingga, ketika sore lewat dan berganti malam, tidak kami sadari. Jika saja penjaga kantin tidak menegur, kami pun takkan menyadari bahwa sudah berjam-jam kami lewati.
"Wah, serasa bertemu kawan lama dari kampung halaman. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, yah," ajaknya sambil memasukkan tangan kanannya ke saku celana, dan tangan kirinya memegang ponsel.
"Bagi nomer kamu, dong!" Tiba-tiba dia menyodorkan ponselnya padaku. Masih dengan tangan kirinya. Beberapa saat aku tertegun, hampir saja lupa bahwa pria di depanku ini adalah kidal. Kuraih ponselnya dan menekan nomer kontakku, tidak lupa melakukan misscall, agar aku pun bisa mendapatkan kontaknya saat itu juga. Sebab, tak mau 'kapan-kapan' itu berubah menjadi menanti-nanti berkepanjangan.
Tidak lupa juga kusematkan nama Inun Cantik pada kontakku. Agar dia selalu ingat.
"Makasih, Kak. Aku pamit dulu. Dah...." Buru-buru aku meninggalkannya. Ingin kuberi dia ruang untuk tertawa atau terpesona dengan tingkahku yang narsis berlebih, sehingga menamai kontak dengan Inun Cantik.
----
"Ini...!" Selembar kertas berwarna orange disodorkan padaku, memecah lamunan yang kurajut diam-diam sambil menunggunya. "Berangkat besok pagi, jadi malam ini jatah malam perpisahan," katanya, lalu berjongkok di hadapanku. Mengikat tali sepatu yang lepas dari simpulnya, jua tali sepatuku yang menjuntai serupa.
Dia cinta sederhana, yang terasa dari rabaan tak tersentuh. Menunjukkannya dengan perhatian penuh. Bagaimana tidak membuatku luluh?
"Jangan lupa skripsi dikerjain bener-bener, jangan main sama cowok."
"Aku enggak punya cowok selain kamu. Lagian aku cuma punya satu sahabat dari dulu," kataku.
"Nimas?"
Aku mengangguk sebagai jawabannya. "Eh, tapinya, Nimas sudah seperangkat dengan Mas Anwar, suaminya. Apa enggak boleh juga main ke rumah Nimas?"
Igo menggaruk dagu bekas cukurannya, sedangkan matanya menatap awang-awang. Seolah-olah menegaskan ia sedang berpikir keras tentang itu. Tingkah jenaka itu semakin enggan kutinggalkan. Mebayangkan tumpukan rindu dengannya seperti ini, dadaku terasa sesak.
"Sudahlah, itu aja dipikirnya kelamaan."
Lalu tawa kami membahana, melengking di stasiun yang ramai oleh banyak orang. Sebagian dari mereka ada yang hendak memulai perjalanan, sebagian lagi telah menyelesaikan perjalanan mereka. Dan aku di antara mereka, akan menyeruk jarak untuk berpisah kemudian bertemu lagi.
"Nok, tahun depan nikah, yuk!" ajaknya saat menggandeng tanganku menuju parkiran motor. Entah efek apa, tapi tangannya terasa hangat seketika. Membuat tanganku menghangat di peraduan genggamannya.
"Biar kita enggak pisah-pisah gini lagi."
Igo menghadapkan tubuhku padanya, menyelami bola hitam milikku di sana. Sedang aku masih terkesiap oleh pernyataannya.
"Gimana kalau soal ini kita bahas sehabis aku balik dari Surabaya? Ini sesuatu yang perlu kita bicarain lebih lama. Bukan di waktu mepet kayak gini."
Igo terdiam.
"Aku enggak nolak, Go. Cuma butuh obrolan matang. Dan malam ini, aku maunya kita lewatin dengan suka-suka, bukan bahas yang berat-berat. Gimana?"
Pria di hadpanku hanya membirai senyum sampaikahirnya berkata, "Memangnyaaku dikasih pilihan selain menyetujui maumu?" Igomemasangkan helm di kelapaku, lalu menuil sedikit hidung yang ujungnya panjangala kadarnya. "SiapTuan Putri kesayangan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top