MASA HAMIL
-ALFIAN POV-
Aku melihat Ily menuruni tangga dengan susah payah, perutnya yang sudah membuncit karena usia kandungannya memasuki bulan ketujuh, membuatnya kesulitan bergerak. Lucu sih, wanita mungil, perutnya besar, kelihatan gemesin, rasanya pengin aku remas, iiiihhhh gemes banget. Apalagi sekarang badannya berisi, tapi jangan sekali-kali mengatakan dia gendut. Nanti dia bisa marah.
"Om Jang, kamu lagi makan apa?" tanya dia melihatku duduk di meja makan.
"Makan jeruk, kamu mau?" tawarku mengulurkan jeruk padanya.
Dia menggeleng dan terus berjalan melewatiku ke arah dapur. Sementara ini, aku memintanya cuti kuliah lebih cepat. Aku tidak tega melihatnya, berjalan saja kerepotan begitu. Membayangkan jika dia di kampus harus naik turun tangga membuat pikiranku tidak tenang saat bekerja.
"Om Jang, aku mau martabak deh. Tolong pesankan ya? Martabak manis rasa coklat, kacang dan keju, satu, sama sekalian martabak telur spesial, satu juga," titahnya duduk di sebelahku membawa susu murni yang baru saja dia keluarkan dari kulkas.
Entah sejak kapan dia suka banget minum susu sapi murni. Dia beli setiap sore dari pedagang keliling, terkadang dia campur dengan stroberi, kadang melon, kadang coklat, pokoknya sesuai yang dia mau. Rasanya enak juga sih, seger kalau sudah di campur sama buah atau coklat, rasa amisnya berkurang.
"Udah, cuma itu doang?" tanyaku meyakinkan.
Sejak usia kandungannya memasuki bulan kelima, nafsu makannya jadi tinggi. Biarpun dia sering bolak-balik ke rumah sakit karena ada saja yang dikeluhkan, tapi alhamdulillah, bayi kami selalu bisa bertahan. Baru minta ini, selisih satu jam, minta yang itu. Sampai abang gojeknya hafal alamat dan wajah kami.
"Sama bakso sekalian, yang isi telurnya dua, bakso uratnya juga dua. Yang lain bakso biasa," imbuhnya antusias.
Alamat makan besar nih, mati aku! Biasanya kalau dia nggak habis, aku yang jadi korbannya. Aku yang nanti menjadi tong sampahnya. Dia mah ... perutnya buncit karena hamil, nah aku? Buncit karena nimbun lemak. Astaga, bisa-bisa perut seksiku hilang. Harus rajin olahraga setelah makan nih.
Di tempatku sini ada layanan makan cepat, jadi konsumen tinggal SMS atau telepon, nanti dari agen akan membelikan semua makanan yang kita mau, sebagai pengantarnya, mereka bekerja sama dengan gojek. Bagus kan? Ide pekerjaan yang cemerlang, karena sekarang banyak orang yang malas keluar untuk mencari makan padahal mereka ingin makan. Meskipun sedikit mahal, tapi kita tidak perlu cape-cape keliling, tinggal tunggu duduk manis di rumah, datang deh pesanan.
"Kamu ini, nggak enek minum susu segitu?" tegurku mengelap sisa susu yang ada di ujung bibirnya dengan tisu.
Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dan mengelus-elus perutnya yang buncit.
"Nggak tahu nih, penginnya makan terus. Susu satu gelas tidak terasa," jawabnya.
Aku hanya menghela napas dalam, untung lagi hamil, jadi gendutan dikit nggak apa-apalah. Sudah wajar, berat badannya sekarang sudah naik 10 kilogram.
"Jangan kebanyakan makan, nanti anak kita besar di dalam," peringatanku justru membuatnya tertawa renyah.
"Nggak, tenang saja. Kan diimbangi sama olahraga, jadi masih bisa dikontrol," sahutnya menegakkan tubuh dan menuangkan susu ke dalam gelas lagi.
Kelihatannya enak, aku juga mau ah!
"Minta dong," pintaku memelas.
"Halah, dulu aja katanya nggak mau? Sekarang malah ketagihan," cercanya sambil menuangkan lagi susu ke gelas.
"Ini kamu campur sama buah apa? Kok warnanya hijau ... gimana gitu," tanyaku sebelum meminumnya.
"Sama buah kiwi, biar ada asem-asemnya, jadi nggak enek." Aku menganggukkan kepala, lalu minum lagi.
Hmmm rasanya tuh segar, karena susunya dingin baru dikeluarkan dari kulkas, manis dari gula jagung yang sering dia pakai dan asemnya buah kiwi sangat mendukung di cuaca siang panas begini, pokoknya enak.
"Kamu dapat resep begini dari mana sih?" tanyaku meletakkan gelas di meja.
"Dari buku dan tanya-tanya sama Dokter Anita. Daripada susu kardus atau kaleng begitu, lebih baik susu murni seperti ini. Karena susu sapi murni mengandung nutrisi yang sangat baik untukku yang sedang hamil. Dari sini aku bisa mendapatkan nutrisi, protein, kalsium dan vitamin D. Kalau ditambah buah-buahan selain mengurangi rasa amis pada susu, buah juga memperkaya vitamin yang aku konsumsi," jelasnya panjang lebar membuatku tersenyum bangga padanya.
Dia sekarang banyak berubah, sejak hamil tak lagi egois, semua yang dia lakukan selalu memikirkan kesehatan janin dan keselamatannya. Kehamilannya membawa Ily pada perubahan yang positif.
"Tuh martabaknya datang," serunya sumringah.
"Kamu di sini saja, biar aku yang ambil." Aku berdiri berlari kecil membukakan pintu mengambil pesanan sekaligus membayar bonnya.
Aku membawanya masuk, dia sudah mempersiapkan piring dan mangkuk di meja ruang tengah.
"Sini saja Om Jang, sekalian nonton kartun," pintanya duduk di atas karpet beledu.
Aku meletakkan pesanannya di atas meja dan ikut duduk di sampingnya. Hal yang pertama dia ambil adalah bakso. Sejak dia hamil, Ily jarang makan nasi, kalau melihat nasi rasanya mual. Jadi setiap makan pengganti nasi kalau tidak mi ya ... makanan berat seperti ini. Nggak apa-apalah dia jajan terus, asal masih mau makan saja.
"Kamu mau nggak?" tawarnya setelah menumpahkan bakso ke dalam mangkuk.
"Entar ah! Paling ujung-ujungnya kalau nggak habis juga minta aku yang habisin," kataku yang langsung dia setujui anggukan kepala mantap.
Aku mengacak rambutnya pelan, dia sangat lahap memakan baksonya. Melihatnya seperti ini membuatku bahagia. Ya Allah, gimana nanti dia makan martabaknya ya?
"Om Jang, ambilin martabak telurnya dong," pinta Ily yang langsung aku turuti.
Dia memasukkan martabak ke dalam mangkuk bakso, lantas memakannya sedikit demi sedikit dengan kuah bakso.
"Kok nggak dimakan baksonya?" tanyaku, menyomot bakso kecil satu.
"Nggak, mau makan baksonya saja, kan aku cuma pengin kuahnya, terus dimakan sama martabak begini. Entar kamu yang makan baksonya ya?" ujar dia sambil terus mengunyah makanan.
"Lah, terus aku makan baksonya tanpa kuah?" tanyaku memastikan.
"Iya dong, kan kuahnya aku makan sama martabak. Otomatis kuahnya habis dan tinggal baksonya saja. Itu nanti jatah kamu," katanya enteng tanpa beban.
Aku menghela napas dalam. "Kalau begitu, kenapa tadi nggak minta kuahnya aja?" gerutuku sebal memalingkan wajah ke arah lain.
"Emang boleh? Beli bakso tanpa baksonya?" sahutnya cepat dan galak melirikku tajam.
Masya Allah, kenapa sekarang biniku jadi galaknya melebihi macan bunting ya? Sabar, ngelus dada, urut dada, sabar, bini lagi bunting, jadi suasana hati tidak bisa ditebak.
"Iya deh," ujarku berdiri, berniat ke dapur.
"Kamu mau ke mana?" tanya dia menengadahkan wajah menatapku memelas.
"Ke dapur, ambilin kamu minum." Aku langsung melenggang ke dapur dan meminta seorang ART membuatkan kuah kaldu buat nanti aku makan baksonya.
Biarpun rasanya tidak sama dengan yang asli, setidaknya ada kuahnya, biar tidak nyangkut di tenggorokan saat dimakan. Aku kembali ke ruang tengah membawakannya air mineral.
"Om Jang, nggak habis." Ily menggeser mangkuk menjauh dari depannya.
Aku menuangkan air mineral di gelas untuk dia. Sekali tarikan napas, air itu ludes tak tersisa. Aku melongo melihatnya. Ya Allah, itu perut isinya anak atau air? Kuat banget sih? Ck ck ck ck, ya Allah, biniku kok jadi kemaruk begini sih?
"Sudah kenyang?" tanyaku membantunya berdiri.
Dia pindah duduk di sofa dan kakinya selonjoran. Keringat keluar membasahi tubuhnya, wajah Ily pun seperti orang yang habis cuci muka. Dia mengibas-ngibaskan tangan mengipasi wajahnya. Dengan sigap aku ambil majalah di bawah meja dan mengipasinya.
"AC-nya dong, Om Jang. Panas nih?" ucapnya menyandarkan tubuh santai di sofa. Aku mengatur suhu ruangan ini, dia tampak lebih nyaman sekarang.
"Den, kuahnya sudah jadi," kata seorang ART yang tadi aku mintai tolong membuat kuah bakso.
"Oh iya, makasih ya? Tolong bawa ini ke belakang, kalau mau ambil saja Bi," titahku menunjuk makanan yang ada di atas meja. ART itu langsung membereskan meja.
"Martabak manisnya jangan, nanti mau aku makan," sahut Ily cepat saat ART itu ingin mengangkat kardus martabak manisnya.
Ya Allah, perut apa gentong nih? Martabak telur saja dimakan sama kuah bakso sudah habis setengah porsi sendiri, masih mau makan martabak manis? Masya Allah, Ily ....
"Baik Nyonya." ART itu hanya meninggalkan martabak manis di meja, yang lain sudah dipindahkan ke dapur atau mungkin ke meja makan? Biarlah, lebih terlihat longgar dan bersih sekarang mejanya.
"Aku ngantuk," rengek Ily menarik-narik ujung bajuku.
"Mau pindah ke kamar?" tawarku langsung dia jawab anggukan kepala manja.
Aku langsung membopongnya, ya Allah, kok jadi berat begini ya badannya? Kayaknya sudah kedendutan nih, yang dikhawatirkan bayi ikut besar di dalam kandungan, jadi kasihan Ily nanti saat proses melahirkan. Besok deh aku ajak ke dokter, biar bisa dipantau perkembangan janinnya.
Aku merebahkan Ily di ranjang. Saat aku ingin melepaskan tangan, dia menahannya.
"Di sini aja, temenin aku bobo," pintanya memeluk lenganku.
Aku mengangguk dan berbaring di sampingnya. Dia memiringkan tubuhnya membelakangiku. Aku memeluknya dari belakang dan mengelus perutnya pelan. Perut Ily yang membuncit menghalangi kami berpelukan dari depan, makanya sekarang aku sering memeluknya dari belakang.
"Om Jang?" panggilnya pelan.
"Hmm ... apa?" sahutku lembut yang sedikit berat mataku karena kantuk.
"Aku pengin," imbuhnya membuatku tersenyum tipis.
Aku tahu maksud dia. Maklum saja, sudah lama kami tidak melakukannya, sejak awal kehamilan yang sering banyak keluhan, hingga sampai saat dia harus bed rest di rumah sakit dan disambung bed rest di rumah hingga benar-benar dinyatakan kehamilannya sudah kuat. Di usia kandungannya yang sudah masuk bulan ketujuh, baru kami bisa melakukannya. Lama juga ya, aku puasanya?
Hamil tujuh bulan tidak menghalangi bahkan tidak membuatnya malas bercinta. Justru hormonnya semakin tinggi, hingga libidonya meningkat dua kali lipat dari biasanya. Kami sudah membicarakan posisi yang tepat untuk bercinta, apalagi dengan perut Ily yang sekarang membuncit, pasti jika posisi tidak sesuai akan terasa mengganggu. Untung saja Dokter Anita memberikan penjelasan posisi bercinta yang aman sehingga tidak mengganggu kehamilan Ily. Yang pasti kami melakukannya sangat hati-hati tanpa menyakiti yang ada di dalam.
"Mau making love?" tanyaku memastikan keinginannya.
"Iya, tapi gaya bos kantor ya?" pintanya membuatku tertawa keras.
Memang sih gaya ini sekarang sering kami lakukan. Ada beberapa gaya yang disarankan Dokter Anita, jika doggy style sudah biasa, maka dari itu kami memiliki 4 gaya bercinta yang baru.
Pertama gaya bercinta tidur miring. Posisi seks ini juga sering kami terapkan, karena sangat mudah dan aman bagi Ily. Biasanya kami juga melakuakan gaya ini. Ily menarik kedua kakinya sehingga paha berada di sudut tegak lurus dengan badannya. Sedangkan aku tidur menyamping, tepat di belakangnya.
Terus yang kedua, gaya bercinta tempel sendok. Jangan membayangkan sendok makan ya? Posisi bercinta ini hampir mirip dengan posisi bercinta tidur miring, tapi lebih nyaman dan rileks, sehingga tidak membuat kami kelelehan. Caranya, kami tidur menghadap ke arah yang sama, Ily memunggungiku. Lakukan dengan jarak serapat mungkin agar penetrasi dapat dilakukan dengan mudah.
Terus yang ketiga, gaya bercinta balap kuda. Bagi yang pernah naik kuda mungkin kalian tidak akan bingung dengan posisi hubungan intim gaya ini. Posisi ini, biasanya Ily yang banyak memegang peranan, kami melakukannya dengan cara ... aku duduk meluruskan kedua kaki, lalu Ily duduk membelakangiku, sambil merapatkan panggul. setelah itu kedua pahanya mengapit panggulku. Posisi ini dijamin tidak menekan perutnya yang hamil membesar, jadi aman.
"Ayo!" ajakku bersemangat.
Aku turun dari tempat tidur dan melucuti seluruh pakaian tanpa menyisakan sehelai benang pun. Lantas aku membantu Ily bangun dan menanggalkan seluruh pakaiannya. Entah mengapa biarpun dia sekarang tubuhnya sedikit berisi, tapi malah membuatku semakin nafsu. Bagaiamana tidak? Bokongnya sekarang nungging ke belakang, sedangkan dadanya membusung ke depan, terlihat seksi. Mungkin karena payudaranya sekarang sedang memproduksi ASI, jadi terlihat semakin besar dan berisi, kalau saran Dokter Anita, aku tidak boleh lagi menghisap payudaranya. Karena itu dapat mengeluarkan ASI yang kini sedang Ily proses untuk anak kami nanti. Sabar deh, payudaranya bagian si anak, tapi lubang buaya tetap bagian si bapak. Hehehe
"Foreplay," pintanya yang langsung aku turuti.
Tidak perlu lama-lama foreplay, sebentar saja pasti dia sudah tinggi nafsunya. Aku merengkuh pinggangnya agar tubuh dia menempel padaku. Meski perutnya sudah mengganjal, tapi tidak mengganggu kegiatan kami. Aku menempelkan bibir kami, Ily membalas ciumanku dan kami pun saling bersilat lidah di dalam rongga mulutnya.
Kami bercinta sangat hati-hati. Teringat pesan Dokter Anita agar tidak melepaskan sperma di dalam rahim Ily. Alasan Dokter Anita menyarankan seperti itu untuk menghindari kontraksi dini pada kandungan Ily. Apalagi kandungannya sering rewel dan riskan, jadi kami juga harus sangat hati-hati ketika bercinta.
"Cape." Ily menjatuhkan diri di atas tubuhku yang basah berkeringat.
Napas kami ngos-ngosan, tenggorokan pun terasa kering. Aku memindahkan Ily ke tempat tidur.
"Haus," lirihnya langsung aku ambilkan air mineral yang selalu tersedia dia kamar kami.
Aku membimbingnya duduk bersandar di kepala ranjang, aku memberikannya segelas air putih. Setelah dia minum tersisa setengah gelas, baru aku habiskan sisanya. Napasku masih saja memburu dan keringat bercucuran seperti orang mandi.
"Kamu lap dulu keringatnya, baru nanti bobo, peluk aku," perintah Ily merosotkan tubuhnya dan menarik selimut tipis menutupi tubuh telanjang dia.
"Iya," jawabku singkat, lalu aku mengambil handuk dan mengeringkan keringatku. Suhu AC aku atur meredakan panas di ruangan ini.
Setelah semua dirasa nyaman, barulah aku menyusulnya tidur. Berbaring di belakang dia dan memeluknya dari belakang. Beginilah suami siaga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top