DIA

-ILY POV-

Sudah dua hari ini dia tidak pulang ke apartemen. Aku telepon, dia tidak menjawab, aku kirim pesan dia sama sekali tidak membalas. Apa sih mau dia? Terus di mana dia tinggal? Apa dia pulang ke rumah Mama?

Aku memilih untuk mencari kampus hari ini. Daripada aku stres memikirkannya, lebih baik aku menyibukkan diri. Aku mengendarai mobil mewah pemberiannya. Setelah berkeliling mencari kampus, aku menghentikan mobilku di salah satu universitas terbaik di negara ini. Aku turun, ketika sedang berjalan seseorang menabrakku hingga aku hampir terjatuh. Untung dia menyangga punggungku, jadi aku tidak terjatuh ke belakang.

"Maaf," ucapnya.

Aku mengedipkan mata, tampannya orang ini? Aku langsung tersadar posisi kami yang kurang pas. Dia membantuku menegakkan badan.

"Oh iya, nggak apa-apa," jawabku merapikan diri.

Dia tersenyum sangat manis dan mengulurkan tangannya padaku.

"Gue Roy," ucapnya.

Aku tersenyum manis dan menerima tangannya dan kujabat.

"Gue Ily."

"Lo mau kuliah di sini?" tanya Roy yang langsung aku jawab dengan anggukan. "Oke, gue akan bantu lo. Ayo!" ajaknya menemaniku mencari informasi tentang kampus ini.

Hari terus bergulir, Om Jang entah berapa hari tidak pulang ke apartemen. Dan aku? Lebih baik pulang ke rumah Mami. Kedekatanku dengan Roy juga semakin baik. Ternyata dia anak yang asyik dan nyambung diajak mengobrol.

Saat aku pulang bermain bersama teman-teman baruku dan mereka juga teman Roy, Roy mengantarku pulang sampai di depan rumah. Tubuhku menegang saat melihat Om Jang keluar dari rumah dan hanya melihatku sekilas. Dia langsung masuk ke dalam mobil dan pergi begitu saja. Apa dia masih marah padaku? Aku terus menatap mobilnya hingga menghilang di tikungan gang.

"Ly," panggil Roy mengibaskan tangannya di depan wajahku.

"Eh iya, sorry" jawabku gelagapan menatapnya.

"Kok malah melamun. Kenapa? Siapa dia? Kakak lo?" tanya Roy dan seketika aku bingung menjawabnya.

Aku gelagapan dan memainkan ujung bajuku. Harus aku jawab apa ini?

"Ily! Masuk!" teriak Mami menatapku tajam dari teras. Seketika perasaanku tak enak, ada apa ini?

"Roy, gue masuk dulu ya?" pamitku yang langsung berlari masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Roy menjawab.

Sesampainya di dalam rumah, wajah Mami mengeras, apa yang tadi Om Jang dan Mami bicarakan hingga Mami seperti itu?

"Duduk!" perintah Mami yang tidak mampu aku bantah.

Aku duduk di depan Mami dan terus menunduk takut menatap wajahnya.

"Al datang ke sini dan dia tadinya mau bicara sama kamu. Tapi melihatmu pulang diantar pria lain, dia langsung pergi. Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang, Ly? Kamu sudah punya suami. Apa pantas kamu jalan berdua dengan pria lain yang bukan suami kamu?" caci maki Mami yang langsung membuatku menangis. Aku dengarkan semua amarah Mami.

Apa aku salah berteman dengan orang lain? Apa aku tidak boleh bergaul dengan teman baru? Aku hanya berteman dan tidak lebih. Salah Om Jang sendiri yang meninggalkan aku begitu saja. Bukan salahku jika aku mencari kesibukan sendiri.

"Oke, kalau kamu ingin bebas, bilang sama Mami. Akan Mami urus perceraian kamu dan Al."

Seketika aku mendongakkan kepala dan menatap Mami dengan linangan air mata. Cerai? Aku tidak menginginkan itu sama sekali. Sumpah! Aku tidak mau bercerai.

"Mi," lirihku ingin berusaha mencegah Mami pergi.

Namun Mami tetap meninggalkan aku sendiri di ruang tamu. Aku tidak mau cerai dan aku tidak mau kehilangan Om Jang. Seketika aku berlari ke garasi dan mengeluarkan mobil. Dengan perasaan kalut, aku pergi ke rumah mertuaku, aku ingin bicara dengan Om Jang. Harus kami bicarakan masalah ini.

Sesampainya di pelataran rumah Mama, aku memarkirkan mobil asal.

"Ma!!!" teriakku setelah masuk ke dalam rumah.

Aku tidak mengucap salam, yang aku inginkan sekarang dapat bertemu Om Jang. Di mana dia sekarang?

"Ily, kenapa kamu menangis?" tanya Mama langsung menyambutku hangat.

"Ma, mana Kak Al?" tanyaku sudah tak sabar ingin menemuinya.

Mama hanya menunjuk ruang kerja di rumah ini. Tak pikir panjang lagi aku membuka pintu ruang kerja dengan kasar. Aku melihat Om Jang sedang disibukkan dengan tumpukan map yang tinggi di atas meja. Aku menutup pintunya pelan dan berjalan menghampirinya. Dia tetap diam hanya melihatku sekilas dan langsung kembali bekerja. Aku langsung duduk di depan meja kerjanya. Hening tak ada yang memulai berbicara.

"Om Jang," panggilku pelan sambil terisak.

Dia meletakkan pulpennya dan menungguku berbicara. Aku takut menatapnya, dia menyandarkan tubuh di kursi dan terus menatapku.

"Aku mau kita bicara," kataku menahan tangis.

"Aku sudah membayar daftar ulang kuliahmu dan aku juga sudah melunasi semua biaya yang kamu butuhkan di sana, sampai selesai. Sekarang terserah kamu. Maaf aku masih sibuk, aku harus kerja," ujarnya santai dan membuat hatiku semakin tersakiti.

Mendengarnya seperti itu membuat hatiku tersayat, perih dan sangat sakit. Dia kembali memegang pulpennya dan mengecek pekerjaannya. Aku menangis di depannya, namun dia tidak sehangat dulu. Sikapnya berubah seperti waktu pertama kami menikah. Cuek dan sangat dingin. Dia tetap duduk di tempatnya dan kembali bekerja. Hingga aku berdiri dan mendekatinya. Mungkin dengan ini kita bisa berbicara baik-baik. Aku menyentuhnya, aku sangat merindukan ini, aku memberanikan diri duduk di pangkuannya dan memeluknya. Tak ada penolakan bahkan tidak ada balasan, dia tetap diam.

"Maaf," ucapku tertahan sambil mengecup lehernya sangat lembut dan menyisir rambutnya dengan jemariku.

Aku bisa merasakan tubuhnya menegang, semoga dengan ini dia dapat luluh. Aku terus menciumnya meskipun dia tetap diam tidak membalas. Aku mendengar dia menghela napas dalam dan tangannya menyentuh pinggangku. Ya Sayang, balas cumbuanku.

"Tolong jangan seperti ini. Aku harus kerja, kamu bisa melakukan semua sesuka hatimu sekarang," ujarnya menjauhkan tubuhku darinya.

Aku menatapnya lembut, namun dia mengalihkan tatapan matanya. Dia menghindariku dan tidak ingin membalas tatapan mataku. Dia menurunkanku dari pangkuannya.

"Aku ingin kita bicara," pintaku lembut padanya.

"Ya, bicaralah," sahutnya dingin tanpa menatapku.

Aku sangat tersiksa dia perlakukanku seperti ini. Ini buka suamiku yang dulu, yang hangat dan penuh cinta. Aku mundur sedikit menjauh darinya. Melihat dia dan memerhatikannya. Dia tidak berubah, dia tetap masih sama seperti dulu, hanya sikapnya yang berubah dingin dan tak acuh.

"Aku ingin kita tinggal bersama lagi," pintaku ingin memperbaiki semuanya yang sempat berantakan karena keegoisan kami.

"Ya, tunggu aku pulang dari Paris. Aku akan lama di sana. Semoga harimu menyenangkan selama aku tidak ada. Oh iya, bukankah kamu akan mengawali masa orientasi minggu depan? Maaf, mungkin aku tidak bisa mengajakmu," ujarnya santai dan beranjak dari tempat duduk meninggalkan aku begitu saja di ruang kerja.

Aku merosotkan tubuhku ke lantai dan membiarkan diriku terisak. Dadaku sangat sakit dan sesak. Apa salahku? Mengapa dia sampai seperti ini? Aku menelungkupkan wajahku di kaki. Hingga malam dia tidak juga kembali ke ruangan ini. Apa dia benar-benar akan meninggalkanku?

"Ily, Sayang. Makan yuk?" ajak Mama membantuku bangun.

Dia menghapus air mataku, aku merasa malu padanya. Dia sangat baik, dalam situasi seperti ini saja dia masih memperlakukanku manis dan hangat. Mertuaku tidak pernah ikut campur dalam rumah tanggaku dan Om Jang. Aku tersenyum palsu agar Mama tidak tersinggung. Dia mengajakku ke ruang makan, di sana sudah ada Om Jang dan Papa.

"Sini Ly, kita makan," ajak Papa ramah seperti biasa, seolah tidak terjadi sesuatu dengan rumah tangga anaknya.

Aku tersenyum sungkan dan duduk di sebelah Mama. Om Jang tidak memandangku, dia terus menikmati makan malamnya. Tidak ada obrolan saat kami makan, sebenarnya aku sangat malas untuk makan, namun karena menghargai masakan Mama akhirnya aku makan. Aku melirik Om Jang, dia tidak sedikit pun melihatku. Apa dia sudah tidak lagi menganggapku ada? Aku benar-benar sangat tersiksa saat dia mendiamkanku.

"Ly, tidur sini saja ya? Sudah malam, nggak baik pulang sendiri," kata Mama mengelus kepalaku lembut.

Aku melirik Om Jang, dia tetap diam tidak merespon apa pun. Aku hanya mengangguk pada Mama.

"Pa, aku ke kamar dulu," pamit Om Jang selesai makan langsung beranjak dari duduk dan berniat ke kamar.

"Al," panggil Mama menahan kepergiannya.

"Ya, Ma," sahut Om Jang memutar tubuhnya.

"Ajak Ily, biar dia juga istirahat," pinta Mama sangat lembut dengan senyuman terbaiknya yang mampu sedikit menenangkan hatiku.

"Mandilah, lalu istirahat," titahnya masih saja dingin padaku.

Ingin rasanya aku kembali menangis, namun tangan Mama menggenggamku kuat, seakan dia menyalurkan kekuatan padaku. Aku berdiri mengikuti Om Jang naik ke kamarnya. Sesampai di kamar, tidak seperti dulu lagi, jika dulu kami penuhi kamar ini dengan jejak cinta, namun kali ini aku merasa sungkan dan bingung melakukan apa.

"Mandilah, masih ingat kan di mana letak handuk dan pakaianmu?" tanya Om Jang sinis membuatku ingin melepaskan tangisan namun tidak bisa aku lakukan.

Aku hanya mengangguk dan segera mencari handuk dan pakaianku yang ada di lemarinya. Om Jang merangkak di ranjang dan langsung tidur memunggungiku. Aku segera membersihkan diri dan setelah berpakaian lengkap ikut berbaring di sebelahnya. Aku memerhatikan punggungnya yang lebar dan ingin sekali aku memeluknya. Aku merindukan dia, aku ingin seperti dulu lagi. Dimanjakannya, dibelainya, dicumbunya, dicintainya dan diperhatikannya. Aku merindukan masa-masa indah bersamanya.

"I miss you, Om Jang-nya Emes," gumamku dengan bibir bergetar menahan tangis.

Aku membalikkan tubuhku dan mengeluarkan air mata agar dadaku tak terasa sesak. Tidak ada pergerakan darinya, aku ingin dia memelukku dari belakang dan menciumku, menenangkanku seperti dulu lagi. Namun aku menunggunya, dia tak kunjung melakukan hal itu. Apa kesalahanku benar-benar fatal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top