BATU KERIKIL

-ALFIAN POV-

Meskipun aku dan Ily tinggal terpisah, namun sesekali kami bertemu dan melakuakan pemanasan. Ya, walaupun sekadar bercumbu, tapi itu sudah membuat kepalaku sedikit ringan. Hampir satu bulan di Jerman membuat kepalaku sakit, melihat gadis seksi dan berpakaian mini di sana membuat jujun semakin tersiksa. Tapi untung saat aku pulang dan langsung datang ke rumah mertuaku, tak sia-sia, aku dan Ily bisa melakukannya walaupun belum buka segel.

Saat aku sedang mengemudi sendiri melewati jalanan sepi, tiba-tiba melihat seseorang pria gagah sedang berlari mengejar seorang wanita. Tolong nggak ya? Tolong tidak, tolong tidak, tapi kasihan wanita itu, kalau sampai kenapa-napa bagaimana? Oke, demi membantu sesama. Aku menghentikan mobilku di dekat wanita itu dan membuka pintunya agar dia masuk.

"Masuklah!" pintaku.

Tanpa pikir panjang dia masuk. Aku melihatnya sangat ketakutan dan ujung bibirnya mengeluarkan darah. Napasnya tersengal seperti habis lari bermil-mil, kasihan.

"Nih, minum." Aku memberikannya air mineral, dia langsung menenggaknya sekali tarikan napas habis.

"Makasih," ucapnya yang aku tanggapi hanya dengan anggukan kepala.

Apa yang dilakukan lelaki tadi? Apa dia menyakiti wanita ini? Dasar pecundang, beraninya menyakiti wanita. Pria sejati tidak akan pernah membuat wanita menangis, itu prinsipku.

"Terima kasih ya sudah nyelametin gue," ucapnya masih dalam ketakutan.

"Iya, nggak masalah. Di mana rumah lo?" tanyaku yang sepertinya dia seusiaku.

"Tolong, bawa gue ke mana pun lo pulang, gue nggak mau pulang ke rumah. Please," pintanya memohon dan aku melihat dia sangat ketakutan.

Masa iya gue bawa dia pulang ke apartemen. Kalau Ily tahu bagaimana? Ah, dia nggak bakalan tahu kalau hanya malam ini saja. Menolong apa salahnya?

"Oke, tapi malam ini saja ya?" kataku tanpa memerhatikannya lebih detail.

Berbuat baik dengan sesama, sekadar membantunya tanpa ada pikiran lebih dari itu.

"Makasih," ucapnya. "Oh iya, siapa nama lo?" tanya dia.

"Nama gue Alfian. Lo bisa panggil gue Al," jawabku yang terus memikirkan Ily.

Jujur saja, sebenarnya dalam hati aku takut membawanya pulang ke apartemen, tapi kalau melihat dia tadi ketakutan seperti itu, aku tidak tega. Maafkan aku Ily, janji nggak bakalan menyentuh wanita ini sedikit pun! Aku janji sama kamu, Mama, dan atas nama Tuhan. Melirik saja aku nggak, Ly. Sumpah! Demi apa pun deh, Ly.

"Nama gue Mita." Dia mengulurkan tangannya, namun aku tidak membalasnya.

"Sorry, gue lagi nyetir," alasanku yang sudah berjanji tidak akan menyentuhnya sama sekali. Ini demi janjiku sama bini yang mungkin sekarang lagi belajar.

"Oh iya, maaf," ucapnya menarik lagi tangannya.

Saat hatiku gelisah, handphone-ku berdering. Aku melihat Ily yang menelepon, kenapa jantungku berdetak tak tenang begini ya? Aku merasa ketakutan dan gemetar. Huhf, tenang Al, Ily nggak lihat lo sekarang, dia cuma telepon. Aku langsung mengangkatnya dan memakai handset, sembari terus melajukan mobil ke apartemen.

"Hallo Sayang," sapaku yang kubuat semanis mungkin agar wanita di sampingku tahu jika aku sudah memiliki wanita spesial.

"Om Jang, besok nggak usah jemput aku ya?" pintanya manja membuatku rindu.

Sehari ini kami bertemu hanya saat aku menjemputnya tadi pagi berangkat sekolah. Siangnya dia pulang sekolah aku masih sangat sibuk di kantor, sampai tega menyuruhnya pulang naik taksi, kasihan istriku.

"Kenapa?" tanyaku curiga.

"Nggak apa-apa, besok aku berangkat bareng Lisa. Katanya dia mau jemput aku. Kita mau mampir dulu ke rumah Fia, mau ambil hasil prakariya kelompok," jelasnya membuat perasaanku sedikit lega.

Setidaknya besok masih ada waktu buat membereskan jejak wanita ini sebelum Ily datang berkunjung ke apartemen akhir pekan. Karena setiap akhir pekan dia selalu menginap di apartemen dan Minggu kita selalu menghabiskan waktu bersama, entah hanya di dalam kamar atau pergi jalan-jalan.

"Ooooh, ya sudah. Kamu lagi apa?" tanyaku sebenarnya sudah sangat merindukan dia. Ingin bercumbu bersamanya, duh jangan sekarang ya jujun? Waktunya tidak tepat.

"Lagi belajar, besok ada ulangan, tapi nggak tahu juga sih, belum pasti. Setidaknya belajarlah, biar lebih siap. Kalau nilai aku bagus kan, Iphone 7 jadi kamu kasih ke aku." Aku langsung tertawa lepas, masih ingat saja nih anak dengan Iphone 7 yang aku belikan setelah pulang dari Jerman beberapa waktu lalu.

"Iya, kalau dapat nilai 90 ke atas, aku kasih," ujarku bersyarat.

"Aaaah, kok 90 sih? 80 deh," negonya manja, aku yakin jika aku di hadapannya sekarang pasti dia sedang mengedip-ngedipkan puppy eyes-nya.

"Nggak. 90 ke atas atau nggak sama sekali," kukuhku yang hanya ingin dia giat belajar.

Kalau dia giat belajar dan mendapat nilai tinggi kan bagus. Siapa tahu nanti dia bisa masuk ke universitas internasional mengikuti jejakku dulu.

"Iya deh, aku usahakan," jawabnya pasrah. "Ya udah, aku mau belajar dulu, biar dapat Iphone 7," imbuhnya sangat bersemangat.

"Iya, nanti aku telepon lagi ya? Ini masih di jalan. Sudah makan malam kan?" tanyaku penuh perhatian.

"Sudah tadi. Iya, hati-hati ya? Awas macam-macam, aku sunat jujun kamu!" ancamnya membuatku bergidik ngeri.

Eh busyet, kalau si jujun disunat lagi, apanya yang mau dipotong? Kan aku sudah sunat. Aku melirik sekilas wanita yang duduk di sampingku, dia sepertinya sedang mendengarkan percakapanku dengan Ily. Bodoh amat sama dia, kenal aja nggak!

"Iya Emes-nya Om Jang. Janji nggak akan macam-macam, cukup satu macam aja," ujarku menekan setiap kata agar si Mita tak berharap lebih denganku.

"Ya udah, iya aku percaya sama kamu, Om Jang."

'Deg!

Entah mengapa jantungku seperkian detik rasanya berhenti dan juga seperti lepas dari tempatnya, saat dia mengatakan 'Aku percaya sama kamu', seperti ada sesuatu tanggung jawab besar yang menimpa diriku. Aku jadi takut jika merusak kepercayaannya.

"Iya." Hanya itu yang mampu aku katakan sekarang.

"Ya udah, aku matiin ya? Love you Om Jang-nya Emes," ucapnya terdengar bahagia.

"Love you too Emes-nya Om Jang," balasku merasa bersalah karena sudah menolong wanita ini.

Pikiranku seketika kalut dan perasaanku menjadi tak ikhlas menolong Mita.

Sampainya di apartemen, aku langsung meminta Mita membersihkan diri. Karena di sini hanya ada dua kamar, satu kamar aku ubah menjadi ruang kerja, jadi aku biarkan Mita menempati kamarku. Aku memilih mengunci diri di ruang kerja. Tidak sedikit pun keluar dari ruang kerja. Aku sebenarnya kurang nyaman ada wanita lain di apartemenku. Tapi ya sudahlah terlanjur. Setelah menelepon Ily, barulah aku tidur di sofa panjang berselimut sarung tipis.

***

Telingaku sayup-sayup mendengar bel apartemen bunyi. Aku perlahan membuka mata, karena AC ruang kerja sedang rusak dan belum diperbaiki jadi aku semalam kepanasan, akhirnya aku membuka baju dan hanya menyisakan boxer saja.

"Siapa sih pagi-pagi bertamu. Masih pukul 6 juga," gerutuku keluar dari ruang kerja berniat membuka pintu, namun aku melihat Mita sudah membukakannya.

"Siapa?" tanyaku sambil mengucek mata.

Pintu terbuka lebar dan mataku membulat sempurna melihat Ily sudah rapi berseragam melihatku dengan air mata yang menggantung di pelupuknya. Oh shit! Kenapa dia bisa sepagi ini datang? Kenapa dia nggak bilang? Oh my God kiamat datang. Aku melihat di tangannya membawa kue ulang tahun dan lilin yang sudah menyala. Tanggal berapa ini?

"Maaf," ucapnya memberikan kue itu pada Mita dan langsung pergi begitu saja.

Aku seketika langsung mengejarnya, tak peduli hanya memakai boxer, aku hanya ingin menjelaskan pada Ily bahwa apa yang dia lihat tak seperti dugaannya.

"Emes, tunggu!" pintaku melihatnya sudah masuk ke dalam lift.

Saat aku sudah hampir menangkapnya, pintu lift itu tertutup, aku sempat melihat dia menangis. Pasti dia sudah salah paham. Oh Tuhan, apa yang akan terjadi setelah ini? Aku langsung masuk ke apartemenku lagi.

"Al, gue buatkan sarapan buat lo," kata Mita yang tak aku dengarkan.

Aku langsung masuk ke kamar dan membersihkan diri. Setelah rapi, segera aku ambil kunci mobil, keluar dari kamar tak mengacuhkan Mita yang entah sedang apa. Yang ada dalam pikiranku hanya Ily. Aku harus datang ke sekolahannya.

Sampai di sekolahannya, gerbang sudah tertutup dan sepertinya jam pelajaran sudah dimulai. Sebaiknya nanti pulangnya saja aku jemput. Aku kembali ke apartemen lagi, wanita itu masih di sini dan justru dia saat ini sedang merapikan apartemenku.

"Al, gue letakkan kue ulang tahun dari adik lo di meja makan," katanya tanpa berdosa.

Apa? Adik katanya tadi? Hey, dia istri gue! is-tri! i-s-t-r-i, istri is bini! Aku enggan berbicara padanya, aku langsung ke ruang makan melihat kue ulang tahun yang Ily bawa tadi. Aku tahu, mungkin kemarin dia tidak ingin aku menjemputnya karena ingin memberikanku kejutan, tapi malah justru aku yang memberinya kejutan. Maafkan aku Ily, aku menyesal telah menolong Mita. Jika orang lain bangga bisa menolong, tapi kali ini, untuk aku tidak! Aku justru menyesal telah menolongnya. Aku menarik kertas kecil yang terselip di ujung kue dan aku membukanya.

Selamat ulang tahun Om Jang-nya Emes. Semoga makin dewasa, makin sayang sama keluarga, makin cinta sama aku, makin sabar ngadepin manjanya aku, makin dan makin semuanya yang baik-baik. Maaf, cuma ini yang bisa aku kasih, uang jajan aku satu bulan nih. Ganti ya? Love you so much my husband.

Aku tersenyum tipis melihat isi note-nya. Seandainya tadi ceritanya tak begitu, pasti aku dan Ily sudah bahagia bersama pagi ini. Makan kue ini bersama dan aku bakalan dapat vitamin penyemangat pagi. Tapi semua hancur karena ada Mita dan Ily pasti sudah salah paham dengan keadaan tadi yang dia lihat. Pasti itu!

"Al, adik lo lucu ya? Datang-datang langsung pergi," kata Mita ikut duduk bersamaku di meja makan.

Aku menggeser kue ke depan dia dan aku tunjuk kue itu agar dia membaca tulisan di atas coklat padat di kue tersebut.

"Happy birthday my husband," bacanya yang langsung menatapku tak percaya.

"Dia bukan adik gue, tapi dia bini gue," jelasku membuatnya shock.

"Serius lo?" katanya terkejut tak percaya melebarkan matanya.

"Iya, gue sama dia nikah gantung. Sampai dia lulus nanti baru kami akan satu atap," jelasku biar Mita tahu diri.

Aku kesal dengannya dan ingin sekali mengusir dia dari apartemenku sekarang juga.

"Maaf Al, pasti dia salah paham sama kita," ucapnya menyesal. Baru nyadar dia.

Ya pastilah begok! Punya otak nggak sih nih orang. Kalau sudah tahu begitu kenapa dia nggak keluar dari sini sekarang. Bikin kepalaku semakin pusing saja.

"Ya," sahutku malas berbicara dengannya tanpa menatap dia.

Tak sudi aku membantunya lagi dan tidak akan aku meliriknya bahkan menyentuhnya seujung kuku pun tidak akan aku lakukan. Aku cuma menginginkan Ily, cuma Ily! Tak ada yang lain.

"Oke, gue akan bantu lo buat jelasin ini semua sama istri lo. Gue akan bicara sejujurnya sama dia, apa yang terjadi di antara kita itu tidak ada apa-apa," ujar yang meyakinkanku.

Apa dia serius? Ah! Mungkin itu lebih baik, dengan Mita bicara sama Ily, mungkin Ily mau menerima penjelasannya. Semoga saja.

"Hmm." Aku hanya bergumam menyetujui idenya itu.

***

Seperti yang sudah aku dan Mita bicarakan tadi, kini kami menunggu Ily keluar dari sekolah. Hampir 10 menit kami menunggu di dalam mobil, aku melihat dia keluar menunggu taksi. Aku segera mendekatkan mobil di depannya, aku buka pintu mobil, aku pikir dia akan masuk seperti biasanya, namun dia malah menghindar dan pergi.

"Ily!" panggilku tak dihiraukannya. Dia berjalan cepat menjauh dari mobil.

Aku mengejarnya dengan mobil, dia justru semakin berlari. Sampai tak sengaja dia menabrak seseorang yang sedang mengendarai motor, aku melihat Ily naik ke boncengan cowok yang berseragam sama dengannya. Siapa dia? Cowok itu bukan Rendi, bocah ingusan yang pernah Ily taksir. Aku mengikutinya sampai motor itu berhenti di sebuah toko buku. Ily turun dan aku langsung mendekatinya.

"Ily," panggilku namun dia justru bersembunyi di belakang punggung lelaki itu.

"Ly, siapa dia? Kamu kenal?" tanya lelaki itu menunjukku dan menoleh ke belakang karena Ily bersembunyi di balik tasnya.

Ily menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nggak! Gue ... gu...gue ... gue nggak kenal dia siapa, Gas."

Hatiku sangat sakit dan bener-benar sakit saat Ily berucap seperti itu. Mataku langsung memanas dan dadaku seketika terasa sesak. Aku menghela napas dalam menahan emosi.

"Ayo Gas, kita cepatan cari bukunya. Gue harus cepet pulang, kasihan Mami nunggu di rumah." Ily menarik tangan lelaki itu dan tak menghiraukanku.

Mereka masuk ke dalam toko dan, aku hanya bisa berdiri meratapi nasib. Entah dari mana datangnya musik idola Ily itu, yang pas banget sama momen kali ini. Bikin hatiku semakin sakit dan kesal.

Apa kau amnesia ... apa kau amnesi

"Al, mungkin dia butuh waktu. Biarkan saja dulu." Mita menepuk bahuku dan mengajakku pergi dari tempat ini.

Apa begini rasanya jika tak dianggap? Sakit dan benar-benar menyakitkan. Aku suaminya, bukan hanya sekadar pacar atau gebetan. Ini akibatnya jika kita berani menyepelekan kepercayaan seorang istri.

############

Pesan buku kirim pesan lewat WA atau SMS di nomor 0896-2260-8381 dengan format:

Nama:
No HP:
Alamat lengkap:
Judul buku: Kawin Gantung
Jumlah:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top