📒 29 ✏ Lembaran Baru Sesungguhnya ✏
Tidak perlu kisah sempurna untuk dijalani, yang diperlukan adalah dirinya bersedia tetap bertahan diantara ketidaksempurnaan__________
🍄🍄
MALAM begitu panjang mengiring langkah dua orang anak manusia yang kini telah menyempurnakan ibadah mereka dalam sebuah pernikahan. Pada akhirnya keberhasilan ini harus dijadikan sebagai tonggak bersejarah dalam perjalanan cinta mereka.
Ah, andai saja semua orang tahu bahwa dalam hati keduanya kini begitu bahagia.
Nafas teratur dari keduanya masih menandakan bahwa semesta menaunginya dalam buaian penuh kasih. Fatia dan Hafizh yang kini telah meleburkan diri dengan mencabut batas diantara keduanya.
Fatia melenguh dan menggeliat, suara dering alarm membuatnya harus segera membuka mata. Menatap wajah suami yang kini berbaring di sampingnya. Fatia baru benar-benar bisa melihat dari dekat bagaimana wajah Hafizh yang kini berhadapan dengannya.
Tangan kirinya terulur untuk mengusap alis dan hidung yang selama ini membuat mata Fatia tidak bisa berpaling untuk tidak mengaguminya. Terakhir kalinya jemarinya menyentuh bibir Hafizh hingga membuatnya terkejut saat bibir merah muda itu bergetar namun mata milik suaminya masih juga tertutup rapat.
"Sudah puas memandangiku?" Fatia mengambil kembali tangannya kemudian tersipu saat mata tajam Hafizh kini berganti memindahi segala sesuatu yang ada pada dirinya. Tak lama kemudian Hafizh mendaratkan bibirnya di kening Fatia. "Terimakasih untuk malam indah yang telah kita lalui bersama."
Hafizh beringsut untuk segera membersihkan diri sebelum menyempurnakan berdirinya. Diikuti Fatia yang tentu saja harus membereskan sisa-sisa pesta mereka berdua semalam.
Tidak ada syukur yang lebih bagi keduanya setelah semua hijab itu terbebaskan dengan penyatuan mereka.
"Rabbi Illahi, tidak akan pernah ada nikmat dariMu sedikitpun yang bisa kami dustakan dengan perbandingan apapun juga." lirih bibir Fatia mengakhirkan doanya.
Kali ini Hafizh membimbing Fatia untuk bisa bermunajah bersama. Mulai saat ini dan sampai kapanpun nanti mereka harus bersama, melangkah dengan beriringan menuju tujuan mereka bersama.
"Aku siapkan sarapan, Abang ke masjid dulu untuk sholat subuh."
"Tidak ikut sholat di masjid?" Fatia menggeleng, "aku sholat di rumah saja dulu."
Hafizh memahaminya, ya karena memang ada sesuatu yang membuat Fatia lebih nyaman untuk melaksanakan sholat subuh di rumah pagi ini.
"Kalau masih ada daging, aku mau dibuatin roast meats." sebenarnya tidak sulit menyiapkan roast meats namun hanya butuh waktu sedikit lama.
"Aku lihat di freezer dulu. Nanti aku siapin." Fatia masih saja merona saat Hafizh pamit berangkat menuju masjid dengan mengedipkan sebelah matanya. Rasanya sentuhan Hafizh masih membekas di seluruh tubuhnya saat ini.
Ini bukan tentang sebuah rasa jatuh cinta tapi lebih tersebab mencinta karena jalan Allah yang akhirnya menyatukan mereka berdua.
Pagi yang sama seperti biasa namun pasti telah berbeda rasa. Senyum lebar itu benar-benar terukir indah menghias sudut bibir milik Hafizh dan Fatia. Tidak lagi ada keraguan, luruh semua rasa ketakutan karena keduanya ingin saling membahagiakan.
"Maaf jika baru sekarang aku memberikan hakmu yang harusnya telah menjadi kewajibanku saat kata sah menghalalkan setiap aktivitas kita bersama." kata Hafizh saat Fatia membantu melipat lengan bajunya.
Tidak perlu berlebihan karena sesuatu yang berlebihan akan berefek tidak baik untuk kesehatan jantung nantinya.
"Hari ini aku ke kampus Bang. Ada kuliah pagi, kalau tidak memungkinkan Abang mengantarku aku naik motor saja."
"Tapi selesai kuliah langsung pulang, jangan pergi kemana-mana."
"Siap." mereka menikmati sarapan di meja makan dengan berjuta harap yang tumbuh di dalam dada. Pagi ini Hafizh memang ada beberapa kunjungan ke pelanggan yang memakai jasanya. Sehingga akan sangat memakan waktu jika harus mengantarkan Fatia ke kampus yang jamnya sedikit tidak bersahabat dengan jadwalnya. Sehingga meski dengan terpaksa Hafizh mengizinkan istrinya menggunakan sepeda motor ke kampus.
Hafizh mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Memberikan kepada Fatia, namun merasa enggan menerimanya Fatia bertanya, untuk apa gawai miliknya yang dulu pernah diminta Hafizh diberikan lagi.
"Ini untuk apa Bang?"
"Bawa saja, kamu pasti sangat kesulitan di kampus kalau tidak ada itu." Fatia menggeleng untuk menolak. Dia sudah nyaman dengan apa yang sekarang dimiliki dan dengan hubungan mereka yang telah mencair kini. Namun tak lama kemudian Hafizh berkata kembali. "Tidak apa-apa, meski kamu membawa gawai itu aku akan tetap tahu apa yang kamu lakukan dengan itu demikian pula denganmu. Karena dua gawai milik kita sudah terkoneksi satu dengan yang lainnya sehingga kamu bisa akses aktivitas gawaiku melalui milikmu demikian akupun juga bisa mengakses semua aktivitas gawaimu melalui milikku."
Sekali lagi kecanggihan teknologi akhirnya bisa memberikan solusi untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih baik. Bukan karena tidak percaya namun menjaga itu jauh lebih baik daripada mengobatinya. Dan Hafizh melakukan itu karena dia adalah kepala keluarga yang mulai kata sah diucapkan atas hubungan mereka menjadi penanggung jawab penuh atas kehidupan Fatia.
"Syukraan imamku." Fatia mencium pipi Hafizh meski harus dengan berjinjit karena perbedaan tinggi mereka yang begitu kentara. Ah lagi-lagi dia begitu menikmati melakukan hal itu kepada suaminya. Anggap saja itu sebuah compliment yang diberikannya kepada sang suami karena telah mengajaknya terbang melihat bagaimana indahnya dunia.
"Nanti malam boleh ya pinjam magic carpetnya Aladdin?"
"Karpet ajaib?" Fatia tidak mengerti kemana arah pembicaraan Hafizh itu.
"Iya, supaya kita nggak jatuh kalau sedang terbang ke angkasa bersama." dan sekali lagi Fatia tersenyum malu-malu lalu memilih untuk membereskan meja makan dan membersihkan peralatan makan mereka yang baru saja terpakai.
Perjalanan panjang bersama dan biarlah hanya mereka berdua yang yang merasakannya.
Kehidupan tak ubahnya seperti kita sedang berlayar di atas samudra. Ada saatnya ketika gelombang bersahabat kita bisa menikmati dengan begitu nyamannya. Melihat hamparan lautan yang seolah tiada bertepi. Namun pada saatnya angin berhembus dengan kencang dan bisa mengalihkan arah kemudi saat itu pulalah kita bersiap bagaimana bisa tetap mempertahankan kapal berlayar hingga mencapai dermaga terdekat setidaknya untuk menghindari amukan gelombang yang mungkin akan bisa menenggelamkan bukan hanya kita namun seluruh penumpang yang ada di kapal tersebut.
Inilah saat untuk bisa saling bahu membahu, menjalankan kemudi dengan melakukan perannya masing-masing dengan baik.
Pagi ini, lima bulan berlalu sejak kehidupan Fatia berubah dan dunianya seolah semakin dekat dengan surga karena Hafizh yang selalu ada di dekatnya. Namun lagi-lagi dia harus menerima kenyataan pahit bahwa menjelang sholat subuh ini tamu yang sudah sejak penyatuannya dengan Hafizh tidak lagi diharapkan kedatangannya.
"Hei mengapa menangis?" tanya Hafizh saat melihat Fatia keluar dari kamar mandi dengan muka sembabnya.
"Maafkan aku Abang, dia datang lagi." Hafizh menarik Fatia kedalam pelukannya. Memberikan rasa aman dan nyaman kepada istrinya yang begitu berharap usaha mereka berdua akan membawa keberhasilan. Namun sepertinya Allah mencoba untuk mereka bisa bersikap sabar dan bisa menerima semua ketetapanNya dengan penuh rasa syukur.
"Mungkin Allah memang meminta kita untuk pacaran lebih dulu, saling mengenal dan percayalah Allah mungkin tengah mempersiapkan benih terbaik dariku untuk bersatu dengan sel telur milikmu sehingga akan menghasilkan keturunan yang luar biasa nantinya." Hafizh mencium lembut kening Fatia, memeluknya dengan penuh cinta. Ya, istrinya memang butuh dikuatkan, istrinya butuh dukungan dan sebagai seorang suami sekalipun Hafizh juga sangat menginginkan semua itu namun tidak ada hak baginya menuntut Fatia akan segala sesuatu yang telah menjadi kuasa Allah di dalamnya.
Yang bisa mereka lakukan saat ini adalah berdoa dan selalu berusaha.
"Atau usaha kita kurang ya, Boo? usaha lagi yuk." kata Hafizh yang berusaha untuk membuat bibir Fatia kembali menyunggingkan senyumnya.
Bukannya tersenyum tapi Hafizh justru mendapatkan cubitan kecil di lengannya.
"Abang____"
"Apa? Gimana? aku yang mulai atau kamu yang mulai?"
"Ishhhh, gimana bisa memulai kalau si dia datang lagi." Fatia memajukan bibirnya. Sayangnya hal itu justru membuat Hafizh semakin gemas untuk melewatkan kesempatan tidak menyecap bibir merah muda milik istrinya.
Sapuan lembut itu akhirnya membuat Fatia kini telah berada di gendongan Hafizh.
"Jangan suka memanyunkan bibirmu di hadapanku. Aku tidak bisa menahannya lagi untuk tidak melumatnya, Sayang." kata Hafizh setelah berhasil membaringkan Fatia kembali ke tempat tidur mereka.
"Kamu istirahat saja, aku siap-siap sholat subuh dulu."
Sore harinya Fatia benar-benar membawa Hafizh untuk memeriksakan mereka ini sudah bulan ke lima sejak penyatuan mereka yang sebenarnya namun mengapa masih belum ada sesuatu yang terjadi dalam tubuh Fatia. Masalah infertilitas memang rentan sekali dengan makhluk yang namanya wanita, karena seolah menjadi pihak yang akan tetap disorot walau apapun hasilnya. Dan Fatia tentu ingin memperjelas semuanya dengan memeriksakan kondisi mereka.
Berbagai macam tes dilakukan oleh Fatia, mulai dari screening, USG hingga pengecekan milik Hafizh dan setelah mengetahui hasilnya bahwa mereka berdua dalam kondisi yang sehat tentu saja ini membawa kelegaan bagi keduanya. Namun masih saja kurang bisa terpuaskan karena menilik dari pengalaman sang kakak ipar, Azza bisa langsung hamil meskipun mereka dulu baru sehari bersama.
"Jangan pernah diperbandingkan dirimu dengan siapapun. Allah memberikan rezeki dengan jalan yang berbeda dan tak disangka-sangka." kata Hafizh setelah Fatia menumpahkan semua yang ada di dalam hatinya.
"Tapi Bang____"
"La-in syakartum la aziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiidun." ucap Hafizh sambil mengusap kepala Fatia. Jika kita bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kita tentunya Dia akan menambah nikmat kita dengan lebih banyak namun jika kita mengkufurinya maka siksaan Allah itu amatlah pedih.
Hafizh mengambil gawai Fatia dan memintanya untuk menelpon si kembar. Mungkin dengan begitu perasaan Fatia akan merasa jauh lebih baik.
"Assalamu'alaikum Aunty Fatia." suara Azza mewakili Habeel dan Hafsha yang sudah mulai disuapi makanan lunak oleh Azza.
"Twiiiiiinnnnn____" Fatia kegirangan begitu melihat wajah lucu mereka. Rasanya memiliki anak kecil berapapun akan membuat hati setiap orang tua bertambah bahagia.
Ya, sejak hubungan dengan Hafizh mencair Fatia memang sangat sering berkomunikasi dengan kakak iparnya. Entah itu membicarakan masalah twin ataupun sharing tentang masalah kewanitaan. Dan itu cukup menjadi penghibur Fatia dikala hatinya sedang gundah seperti saat ini.
Pada akhirnya memang ucapan Hafizh seluruhnya adalah suatu kebenaran bahwa kesabaran adalah kunci untuk bisa membawa mereka pada kehidupan yang lebih mulia. Karena sesungguhnya Allah berada bersama dengan orang-orang yang sabar.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunggu keajaiban itu tiba.
"Bang, tadi di pengajian kan mubalighnya memberi nasihat ya kepada kita bahwa dunia dan seisinya ini adalah kesenangan yang menipu." kata Fatia.
"Iya, pasti itu karena dalam AlQuran surrah Al Hadiid ayat 20 telah dijelaskan___wamaal hayaatud dunyaa ilaa mataa'ul ghuruur. Bahwasanya kehidupan yang ada di dunia itu hanyalah kesenangan yang menipu. Karena ada yang lebih kekal daripada itu yaitu akhirat. Untuk itu kita harus selalu berbuat kebaikan." jawab Hafizh. Hal yang sering dilakukannya bersama Fatia kala mereka selesai melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah untuk memperdalam ilmu akhirat. Memberikan vitamin untuk qolbu yaitu nasihat untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.
"Lalu tadi dijelaskan juga bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan apa itu yang namanya mati. Dan secerdas-cerdasnya hamba adalah mereka yang mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu." kata Fatia lagi.
"Kullu nafsin dzaiqotul maut, benar seperti itu adanya, hamba yang cerdas adalah mereka yang mempersiapkan bekal untuk bertemu dengan Allah nantinya di akhirat." Hafizh mengernyitkan keningnya menunggu pertanyaan berikutnya dari istri tercinta.
"Jika amalan manusia sebagai penghamba yang dilakukan di dunia dan tidak terputus hingga mereka meninggal itu ada 3 hal, amal jariyah, ilmu yang manfaat dan doa anak-anak sholeh sholiha, apakah nanti pasangan seperti kita yang belum Allah beri keturunan tidak akan mendapat keringanan?" Hafizh tersenyum kemudian mengambil kedua tangan Fatia. Nyatanya istri cantiknya itu masih juga terpikir tentang hadirnya buah hati diantara mereka. Hafizh tidak akan menampik hal itu karena sejatinya dia jua menginginkan hal yang sama meski tidak pernah mengungkapkan seperti yang seringkali Fatia ucapkan.
"Itu haknya Allah sayang, Allah yang membagi rezeki kepada hambaNya dengan adil. Dan adil itu tidak harus sama. Amalan yang tidak akan terputus pahalanya ketika kita telah meninggal dunia ya memang hanya ada tiga itu." Hafizh menatap Fatia kemudian mencium kedua matanya yang sepertinya akan meneteskan hujan.
"Jika Allah memang belum memberikan kita keturunan sehingga belum ada yang bisa mendoakan sebagaimana doa anak yang sholeh-sholeha, berarti kita masih ada jalan kan, amal jariah dan memberikan ilmu yang manfaat. Kita harus berlomba untuk kedua hal itu, lalu bagaimana kalau sampai meninggal Allah belum juga memberikan keturunan siapa yang akan mendoakan kita. Jawabannya adalah Allah lebih tahu apa-apa yang tidak kita tahu. Jangan sampai hanya karena doa anak sholeh-sholeha lantas setelah kita meninggal mengundang tetangga untuk mendoakan dan membagikan sedekah, tidak seperti itu prakteknya. Doa anak sholeh-sholeha itu ya, doa anak keturunan kita tanpa melibatkan bantuan dari orang lain, doa anak sholeh-sholeha, bukan doa tetangga sholeh-sholeha. Tidak ada larangan kita bersedekah kepada tetangga tapi harus dengan cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, bukan kita membuat acara sendiri yang seolah-olah syar'i namun tidak ada tuntunannya."
Fatia tahu suaminya sedang menyelipkan nasihat untuk dirinya agar selalu berjalan lurus sesuai dengan islam yang hak dari Allah. Meski terkadang itu dipandang tidak pada umumnya oleh tetangga. Tapi itulah akidah, itulah dean yang memang harus sewajarnya kita luruskan.
"Jangan hanya karena tetangga melakukan itu lantas kita juga mengikutinya. Jika tidak sesuai dengan tuntunan Qur'an dan Hadist shohih yang memiliki sanad hingga pada Nabiyullah Muhammad SaW, untuk apa kita melakukan segala sesuatu yang jelas tidak ada balasannya dari Allah? salah-salah nanti malah dimasukkan ke neraka karena kita termasuk golongan orang-orang yang menambahkan atau mengurangi sesuatu."
"Naudzubillahi mindzalik." Fatia mengerti. Banyak hal yang harus disyukurinya meski mereka belum dikaruniai hadirnya buah hati.
Ya, waya'lamu maa fiis-samaawaati wamaa fiil ardhi wallahu 'ala kulli syai-in qadiir, Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
-- continued in epilog --
hmmmm akhirnya sampai disini juga ya 😂😂
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
*sorry for typo
Blitar, 10 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top