📒 28 ✏ (bukan) Rindu Terlarang ✏
Cukup hari ini saja, biarkanlah rindu ini bercerita kepadaku tentang suaramu yang waktu itu berbicara padaku, tentang aku yang menjadi kaku saat berada dihadapanmu, tentang kita yang tak lagi sama seperti dulu__________________________________
🍄🍄
ADAKAH kata penyesalan yang datang di awal sebuah cerita?
Mungkin jika itu ada, Nabi Adam selamanya tidak akan menyentuh yang namanya buah khuldi hingga menyebabkannya diturunkan oleh Allah dari surga ke dunia. Bahkan harus dipisahkan dengan Siti Hawa hingga ratusan tahun sebelum akhirnya mereka dipertemukan kembali di jabal rahmah.
Ya itulah dunia dan kenyataan yang seringkali terlupakan oleh umat manusia. Bahwa berbuat baik kepada sesamanya adalah suatu kewajiban setiap insan.
"Fatia, kami benar-benar meminta maaf. Sebenarnya waktu itu aku dan Widya__"
"Sudahlah Pus, aku sudah memaafkannya." jawab Fatia saat mereka bertemu kembali di kampus.
Semenjak musibah yang menimpa Fatia yang disebabkan oleh kedua sahabatnya itu. Hubungan ketiganya memang sedikit merenggang. Fatia memang jelas memberikan batasan sesuai yang diperintahkan Hafizh kepadanya.
Ya, biar bagaimanapun Hafizh tetaplah sang suami yang wajib dihormati dan dituruti perintahnya. Berteman saja sudah cukup, tidak perlu melebihkan lagi dengan ikut kegiatan mereka di luar jadwal kuliah dan kegiatan kampus lainnya.
"Kita makan yuk Fat kamu tentuin deh dimana tempatnya. Ini sebagai permintaan maaf dari kami." kata Widya.
"Terimakasih, tapi sepertinya mulai sekarang aku nggak bisa ikut kalian keluar kecuali acara kampus dan kuliah. Maaf ya, aku harus pulang setelah kuliah selesai."
Dingin, itu kata yang kini dirasakan oleh kedua sahabat Fatia. Tapi mereka bisa apa setelah kesalahan fatal yang mereka buat hingga membuat Fatia malu.
"Baiklah kalau begitu. Fatia, apapun yang kamu perlukan kami berdua siap membantu untuk menyukseskan acara pernikahanmu dengan Pak Aftab." kata Widya lagi namun hanya dibalas senyuman oleh Fatia kemudian ketiganya masuk ke kelas karena dosen pengajar telah berjalan menuju ke kelas mereka.
Pernikahan yang tidak akan pernah terlaksana sampai kapanpun juga. Karena garis iradhah menunjuk Hafizh sebagai imamnya bukan lagi seorang Aftab. Tapi jelas kedua sahabatnya itu belum mengetahui kenyataan itu karena memang Fatia memilih untuk menutup rapat semuanya.
Dhuhur kali ini, Hafizh memilih untuk mengikuti sholat jama'ah di kampus Fatia sekaligus untuk menjemput istrinya yang baru selesai jam kuliahnya selepas dhuhur ini. Hafizh melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu 30 menit untuk mengikuti kajian yang diadakan oleh takmir masjid ba'da dhuhur.
Beberapa jama'ah tetap tinggal untuk bersiap mendengarkan nasihat. Memberikan nutrisi untuk jiwa yang rindu akan pelukan angin surga. Hafizh tetap duduk terpekur dalam diamnya menanti sang ustad berdiri di atas mimbar.
Beberapa menit kemudian nasihat telah mengalir. Rasanya memang seperti menampar muka Hafizh. Tema yang diangkat begitu kongruen dengan masalah yang kini membebat hatinya.
"Suami itu adalah imam, nahkoda dalam sebuah kapal yang bernama keluarga. Jika tidak kuat pasang badan untuk melindungi keluarga maka bersiaplah kapal itu akan karam pelan-pelan." suara ustad itu begitu membahana di masjid yang hanya ada kaum adam di hadapannya.
"Sekali lagi, apa yang suami harapkan dari istrinya? Jika dia sudah menuruti apa yang kita perintahkan, dan melakukan semua kewajibannya dengan sangat baik. Maka dari itu sebagai suami, fardu 'ain hukumnya bagi kita untuk memberikan hak istri. Janganlah hanya kita yang menuntut tapi kita sendiri melupakannya."
Hafizh seolah mengingat sebulan terakhir setelah statusnya berubah menjadi seorang suami. Rasanya Fatia memang telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Menyiapkan segala kebutuhannya, bahkan Fatia selalu menyiapkan makanannya tanpa dia minta. Tapi apa yang Hafizh berikan?
Kepalanya menggeleng ringan. Bahkan dalam hati kecilnya berkata, dia belum bisa mempercayai istrinya kembali seperti dulu.
"__jangan menjadi suami yang dzholim. Dzholim kepada istri, kepada anak dan juga kepada keluarga. Nah kemarin saya sempat ditanya oleh seseorang, Pak Ustad bagaimana kalau istri saya pernah melakukan kesalahan? Maka jawabannya adalah jika seorang istri melakukan suatu kesalahan dan dia telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi dan itu sudah dibuktikan oleh sikapnya kepada kita ya kita wajib untuk memaafkannya. Az Zumar 53 - 54 sebagai dasarnya. Allah saja yang maha besar bisa mengampuni, mengapa kita tidak bisa memaafkan?"
Satu tamparan telak. Apalagi yang diharapkan oleh Hafizh atas Fatia. Mungkin Hafizh melupakan sesuatu bahwa dia harus menjadi seorang imam yang baik, bukan hanya memberi contoh yang baik untuk rukyahnya namun terlebih dia juga harus bisa memberikan rasa nyaman kepada mereka nantinya.
"Astaghfirullah."
Lirih bibir Hafizh beristighfar untuk menciptakan kesabaran di dalam hatinya. Hingga nasihat telah selesai dan Hafizh berdiri untuk menjemput sang istri.
Sudut matanya menangkap sesosok bayangan yang tidak asing lagi baginya. Laki-laki yang sempat meremukkan ulu hatinya. Hafizh berniat untuk menghindarinya namun terlambat, Aftab telah berjalan mendekat dan mengucapkan salam kepadanya.
"Assalamu'alaikum." tangan Aftab terulur kepada Hafizh. Semua muslim bersaudara bukan? jadi janganlah ada permusuhan diantaranya hanya karena kesalahfahaman yang sebenarnya telah mendapatkan solusi dari masalah itu.
"Waalaikumsalam."
Boleh jadi hati Hafizh masih berkabut namun salam itu tetaplah doa, dan saling mendoakan kepada setiap hamba itu adalah kebaikan.
"Sebelumnya aku ingin meminta maaf kepadamu Fizh. Tapi mungkin tidak di sini, bisa kita bicara sambil makan siang?" tanya Aftab dengan sangat sopannya. Berbeda dengan sore itu yang langsung memberikan bogem mentah kepada Hafizh yang kala itu masih belum berpakaian lengkap.
"Maaf, tapi aku sudah ditunggu seseorang. Mungkin lain waktu."
Bagi Aftab, Hafizh dengan sengaja datang ke kampus ini pastilah karena alasan untuk menjemput Fatia. Apalagi? Itu yang dulu seringkali Hafizh lakukan sebagai atasan Fatia. Meski Aftab tidak menyukai dan bisa dikatakan cemburu sang calon istri dijemput laki-laki yang didapatinya berada di rumah yang sama dengan Fatia sewaktu kejadian itu. Namun setelah mendengarkan penjelasan kedua sahabat Fatia, Aftab benar-benar menyesal telah memperlakukan Hafizh seperti itu. Bahkan penyesalan terbesarnya adalah telah memutuskan untuk membatalkan lamarannya kepada Fatia tanpa dia tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya.
Amarah yang selalu menguasai pikiran dan menjatuhkan keputusan yang salah.
Tanpa menunggu lama Aftab segera menelpon nomor Fatia supaya bisa segera datang ke masjid universitas. Namun setelahnya, Aftab mendengar bunyi gawai yang tidak asing lagi ringtonenya di telinga Aftab berada di saku baju yang dikenakan oleh Hafizh.
"Handphone Fatia___?"
Hafizh hanya tersenyum masam kemudian menekan gawainya untuk menghubungi Fatia.
Tidak berapa lama panggilannya terjawab oleh Fatia dan tanpa basa basi Hafizh memintanya untuk segera ke masjid universitas.
Tentu saja Aftab menyimpan banyak pertanyaan dalam hatinya. Sebenarnya memang dia berniat untuk meminta maaf kepada keduanya dalam waktu dekat dengan mendatangi keluarga Hafizh di Blitar namun setelah mengetahui Hafizh yang mengikuti kajian dan ada kesempatan Aftab bermaksud untuk mengutarakannya langsung. Baik itu kepada Hafizh maupun kepada Fatia.
"Aku baru tahu dua minggu setelah kejadian itu jika ternyata kedua sahabat Fatialah yang membuat semuanya menjadi___" setelah sekian lama keduanya terdiam, akhirnya Aftab memilih untuk membuka obrolan dengan mengangkat tema sesuatu yang menjadi akar permasalahan mereka. Namun harus terpotong ketika tiba-tiba Fatia telah sampai di hadapan mereka.
"Sudah sholat?" tanya Hafizh terlebih dulu kepada Fatia sebelum Aftab menyapanya. Dan seperti biasa tangan Fatia terulur meminta tangan kanan Hafizh untuk diciumnya.
"Alhamdulillah sudah."
Pemandangan yang langka dan baru pertama kali dilihat oleh Aftab. Fatia bersedia dengan suka rela bersalaman dan mencium tangan laki-laki yang tidak bermahram dengannya? Apakah ini adalah_____
"Fatia, apa kabar?"
"Alhamdulillah, Pak Aftab." jangan berprasangka dahulu, jika di lingkungan kampus Fatia tetap memanggil Aftab dengan panggilan Bapak untuk menghormatinya.
Awalnya Aftab memang ingin mengajak keduanya untuk makan siang bersama. Namun melihat pemandangan yang baru saja terjadi, mengapa hati Aftab seolah teriris?
"Pak Aftab ini tadi meminta kita untuk bersedia diajak makan siang bersamanya. Kamu masih ada kelas?" Entah untuk alasan apa Hafizh berkata semanis itu. Atau mungkin karena ada Aftab di depan mereka? Ah rasanya tidak. Hafizh memang selalu manis meski sekarang banyak dingin. Namun dia tidak pernah memperlihatkan itu di depan orang setelah hubungan mereka 'sedikit' membaik.
"Kita?" tanya Fatia memperjelas ucapan Hafizh kepadanya.
"Iya. Kamu masih ada kelas lagi?" jawab Hafizh.
"Oh nggak ada. Kalau Abang bersedia aku ikut apa kata Abang saja." sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan Fatia. Namun mengapa justru terdengar agak sumbang di telinga Aftab.
"Di Shoburo Cafe ya." ajak Aftab. Sepertinya dia sudah tidak sabar mengetahui ada hubungan apa diantara keduanya.
Sudut mata Aftab menangkap dengan jelas, bahkan di saat yang seperti inipun Fatia tidak lagi memandangnya. Seolah Aftab tidak ada dan dengan tanpa diminta oleh Hafizh, Fatia mengikuti Hafizh dengan sukarela. Bahkan saat Aftab telah berada di belakang kemudi melihat dengan jelas bagaimana Hafizh membukakan pintu mobil dan tanpa halangan apapun Fatia menerima perlakuan Hafizh dengan sangat baik. Bahkah Fatia tidak menolak sama sekali saat tangan mereka saling terkait ketika berjalan menuju ke mobil Hafizh.
"Allah, cobaan apalagi ini untuk hamba?" lirih suara Aftab dalam hening di mobilnya memecah jalan raya.
Jika ada suatu pertanyaan, masihkah ada satu kesempatan untuknya bisa berharap bahwa Fatia masih seorang singelillah yang bisa Aftab ajak kembali untuk menikah. Merangkai dan menyempurnakan mimpi yang sempat terobek dari catatan hati karena semua peristiwa yang menciptakan kesalahpahaman diantara mereka.
Perjalanan hidup yang belum sempat tertulis namun harus terhempas. Dan hari ini Aftab berjanji untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya.
"Fatia__"
"Bang Hafizh__"
Kata mereka bersamaan yang tentu saja membuat keduanya saling memandang sekilas. Ada kedut rasa yang membuat hati Hafizh menggema. Tidak ada yang berubah dari sikap Fatia, dahulu dan sekarang setelah menjadi istrinya. Tetap lembut dan selalu manis. Senyum tipis menghiasi bibir Hafizh. Sedikit hatinya menghangat karena peristiwa siang ini.
Adanya Aftab memang membuat keberanian Hafizh untuk melakukan skinship dengan menggenggam jemari Fatia. Sepertinya memang Hafizh membutuhkan orang lain untuk membantu menyembuhkan sakit yang ada di dalam hatinya. Selain dengan niat yang kuat untuk bisa sembuh dan menjalani kehidupan normal layaknya sepasang suami istri.
"Kamu mau bilang apa?" tanya Hafizh setelahnya.
"Eh__ya?"
"Lah kok jadi bengong?" tanya Hafizh lagi. "Tadi mau bilang apa, hmm?"
"Itu, em anu. Maksudnya aku___" balas Fatia terbata. Dia bingung ingin mengatakan maksudnya.
Hafizh memandangnya sekilas kemudian mengambil jemari tangan kanan Fatia untuk dia genggam dengan tangan kirinya.
"Apakah aku semenyeramkan itu sampai kamu harus takut?" tanya Hafizh.
Fatia tersenyum tipis. Pipi merona kemerahan jelas menggambarkan hatinya yang kini lengkap berkembang. Jantungnya berdegup seirama dengan deru nafas yang semakin mendamba. Kemajuan yang begitu pesat.
"Eh ya enggak. Maaf ya Bang sebelumnya tapi sebaiknya kita jujur dengan Pak Aftab saja tentang apa yang terjadi kemarin. Dan tentang pernikahan kita__" kata Fatia terpotong.
"Tentang pernikahan kita ya jelas akan aku katakan kepadanya supaya dia tidak lagi berharap untuk memilikimu. Atau kamu masih berharap untuk bersamanya?" kata Hafizh sembari tetap menggenggam jemari Fatia dan fokus pada jalan yang ada di depannya.
"Ishh, apaan si Abang. Aku cintanya sama Abang, kenapa jadi bawa-bawa Pak Aftab." sungut Fatia.
"Cinta, tapi nerima lamaran lelaki lain. Apa itu namanya?" lirih gumaman Hafizh namun masih terdengar di telinga Fatia.
"Iya, maaf. Lagian Abang juga sama Aira sebegitunya."
Hafizh kembali memandang Fatia sekilas. Mendengar nama Aira disebut rasanya dia ingin tertawa. Namun karena sepertinya Fatia memang sedang tidak ingin ditertawakan Hafizh menahannya dengan sekuat hati.
Benar yang dikatakan Fatia bahwa dia cemburu dengan sikap Hafizh itu yang menjadi alasan utama mengapa akhirnya Fatia menerima pinangan dari Aftab. Mobil Hafizh berjalan pelan, lampu sein yang berkedip menunjukkan bahwa mereka kini telah sampai di tempat dimana telah disepakati untuk mereka akan menikmati makan siang bersama Aftab.
"Jaga pandanganmu, Aftab masih memandangmu seperti singa yang belum makan satu bulan. Iyakan saja nanti apa yang aku bilang di sana." pesan Hafizh sebelum mereka turun dari mobil.
Apapun itu permintaan Hafizh, Fatia pasti akan mengiyakan. Hatinya kini sedang berbunga-bunga. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Fatia berdoa dalam hatinya semoga ke depan dia bisa melalui hari-hari bahagia bersama orang yang paling Fatia cinta. Hafizh Abiyyu Asy Syafiq.
Setelah berbasa-basi, Fatia memilihkan menu untuk makan siang mereka. Hafizh sendiri hanya memilih sandwich dan juga salat buah untuk makan siangnya. Sedangkan Fatia dan Aftab memilih untuk makan sushi siang ini.
Ketiganya menikmati makan siang bersama. Seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aftab yang memang ramah kepada siapapun sebenarnya memang sangat cocok dengan Hafizh. Terlebih karena keduanya memiliki terapan ilmu dan basic pendidikan yang tidak jauh berbeda. Sehingga untuk membicarakan suatu pokok bahasan akan nyambung dan mengalir begitu saja.
Sayangnya keduanya masih sangat canggung sampai Fatia berinisiatip untuk menjadi penengahnya. Hingga akhirnya pada kesempatannya Aftab mulai berbicara ke intinya.
"Hafizh, Fatia. Sebenarnya aku mengajak kalian ke sini. Selain untuk___, ya makan siang tentunya, ada hal yang lebih penting ingin aku sampaikan kepada kalian." Aftab kemudian terdiam dan melanjutkan kalimatnya beberapa saat kemudian.
"Hafizh, harusnya aku langsung meminta maaf kepadamu setelah apa yang sudah aku lakukan kepadamu sore itu. Harusnya aku bisa sedikit untuk berpikir lebih jernih lagi. Harusnya aku percaya denganmu karena mataku hanya melihat kejadian setelahnya hingga otakku membuat asumsi yang melahirkan fitnah itu. Aku benar-benar menyesal telah melakukan semuanya kepadamu. Aku minta maaf, dan benar-benar minta maaf. Kamu boleh membalasku dengan apapun yang kamu inginkan atas perbuatan yang pernah aku lakukan dulu. Dan terima kasih telah menolong Fatia sore itu akibat dari bubuk laknat yang diberikan dua sahabat Fatia ke dalam minumannya." kata Aftab yang hanya ditanggapi dengan sorot mata tajam Hafizh tanpa berniat untuk berbicara sedikitpun.
"Fatia, aku juga minta maaf. Harusnya aku mempercayaimu lebih. Sebagai calon suamimu, harusnya aku lebih tahu bagaimana kamu yang tidak mungkin melakukan semua itu. Aku malu kepadamu, aku malu sekali. Sekali lagi maafkanlah aku." kata Aftab sambil memandang Fatia. Namun Fatia justru memalingkan muka untuk menatap Hafizh yang seketika itu Hafizh juga menatapnya.
Percik rasa tidak suka jelas terpancar dari raut muka Aftab melihat kedekatan Hafizh dengan Fatia. Ya, benar hatinya sedang cemburu. Tapi logikanya kini sedang berjalan dengan baik. Tidak mungkin di tempat ini Aftab menghantam Hafizh dengan bogemnya lagi karena tidak rela calon istrinya memandang Hafizh dengan tatapan yang, ahh seharusnya Aftab tidak perlu melihat itu.
"Aku minta maaf kepadamu Fatia. Bersediakah engkau memaafkanku? Hafizh, bersediakah kamu memaafkanku juga?"
Deheman suara Hafizh mengambil alih posisi. Hafizh mulai bersuara untuk mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya kepada Aftab.
"Pak Aftab, dua hal yang harus anda ketahui adalah bahwa saya tahu benar kapasitas saya sebagai seorang muslim untuk menghormati wanita. Pertama, bahwa saya yang tanpa sengaja berada di tempat kejadian sore itu, di sebuah resto yang dijadikan Fatia dan teman-temannya untuk menggelar acara yang menurut saya dari kacamata Islam sangat tidak berguna. Karena memang tidak ada faedahnya dan perbuatan itu tidak pernah dicontohkan oleh nabi. Kenyataan bahwa saya harus menolong Fatia itu adalah signal manusiawi saya yang berbunyi. Jika Anda berada di posisi saya kala itu. Pasti Anda juga akan melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang saya lakukan kepada Fatia. Hingga akhirnya Anda mengetahui saya berada di dalam rumah yang sama, ya saya memang harus mandi karena akan menunaikan ibadah sholat maghrib. Jika bukan karena teriakan Bunda dan Tante Kania, saya juga tidak akan keluar kamar mandi dengan posisi tidak pantas. Saya kira kala itu ada pencurian atau apa, karena saya tahu Bu Kusdi pamit kepada saya pulang mengambilkan pakaian yang bisa saya pakai untuk sholat setelah mengganti pakaian Fatia di kamarnya. Jadi saya tidak pernah melakukan sesuatu apapun kepada Fatia seperti yang telah Anda tuduhkan kepada saya dulu. Kedua, mengenai balasan untuk Anda, cukup Allah yang maha menghakimi membalas apa yang telah Anda lakukan kepada saya. Tidak ada untungnya juga bagi saya membalas bogem yang pernah Anda layangkan hingga membuat muka dan dada saya lebam dan membiru." kata Hafizh panjang lebar.
Aftab hanya bisa mendengarkan dengan hati sangat terluka. Benar memang dia telah melakukan semua yang Hafizh katakan tanpa berpikir panjang.
"Maafkan aku, Fizh."
Tidak ada jawaban hingga dua menit berikutnya baru Hafizh menjawabnya pelan. "Memaafkan itu perkara gampang. Yang terpenting adalah janji___"
"Abang___" suara Fatia menengahi sambil menggenggam tangan Hafizh yang diletakkan di atas meja. Dia tahu suaminya sedang emosi. Dan tugas Fatialah yang harus menenangkannya.
"Ya, saya memaafkanmu." Hafizh mengepalkan tangannya. Namun beberapa saat kemudian tangan kanannya mengusap tangan Fatia yang berada diatas tangan kirinya.
"Aku baik-baik saja." kata Hafizh kepada Fatia.
Sekali lagi Aftab melihat drama Hafizh-Fatia di depan matanya. Pikirannya kini semakin melanglang buana. Membayangkan sesuatu hal besar telah terjadi diantara keduanya, kini.
"Aku juga memaafkan Pak Aftab. Sebaiknya kita memang sudah tidak perlu mengungkit masalah itu. Masa depan kita pasti akan berbahaya jika kita selalu menoleh ke belakang." sambung Fatia.
"Fatia, jika aku mencabut pembatalan khitbahku dan memintamu kembali untuk menjadi istriku. Masihkah kamu bersedia menerimaku kembali?" mata Aftab tidak lepas dari tangan Hafizh dan Fatia yang sedari tadi telah bertaut. Aftab tidak ingin menundanya lagi. Dia menginginkan Fatia kembali untuknya.
Hafizh yang semula telah bisa meredam emosinya seketika itu langsung berdiri. Laki-laki mana yang rela jika istrinya di tawar oleh lelaki lain di hadapannya. Dan lagi-lagi Fatia meminta Hafizh untuk tetap duduk.
"Pak Aftab, untuk yang satu itu aku minta maaf. Sepertinya memang sudah tidak mungkin lagi aku menerimamu kembali?" jawab Fatia.
Aftab yang mencoba bersabar sedari tadi mulai meradang. Lupa akan tujuan awalnya bahwa dia ingin meminta maaf kepada Hafizh dan Fatia. Kini ketika emosi sedang menguasai dirinya, sepertinya waktu akan kembali seperti sebelumnya.
"Dan itu semua karena laki-laki ini?" tanya Aftab sambil menunjukkan jari telunjuknya kepada Hafizh dengan muka merah.
"Kamu tahu apa hukumnya bagi seorang muslim meminta wanita yang telah berproses untuk menikah dengan muslim lainnya?" tanya Aftab kepada Hafizh dengan nada tinggi.
Tak ingin kalah, Hafizh juga menatap Aftab dengan sorot mata tajamnya. "Lantas, apa hukumnya untuk seorang muslim yang menawar wanita yang telah bersuami di depan suaminya sendiri?"
Ucapan Hafizh ini benar-benar menjadi pukulan telak untuk Aftab. Sakit yang dirasakan Hafizh karena bogeman dari Aftab rasanya tidak seberapa sakit seperti ulu hatinya saat ini. Tanpa Aftab tahu bahwa sesungguhnya Hafizh telah menyimpan rasa sakitnya itu dengan sangat rapi dan tanpa diketahui oleh siapapun.
"Kalian___?" tanya Aftab dengan suara yang langsung memelan seketika.
"Maaf Pak Aftab, kami memang telah menikah. Dua hari setelah Pak Aftab membatalkan khitbah untukku. Bang Hafizh adalah suamiku sekarang dan untuk selamanya." kata Fatia.
"Tapi mana mungkin itu terjadi? Kamu mencintaiku Fatia, mengapa harus menikah dengan Hafizh?" gumam Aftab lirih.
Tidak ada hal lagi yang dibicarakan Hafizh dengan Aftab. Keputusan untuk meninggalkan Aftab adalah yang terbaik. Hafizh memanggil pramusaji dan memberikan dua lembar uang seratus ribuan untuk membayar makan siang mereka. Berdiri kemudian pamit kepada Aftab untuk pulang terlebih dulu.
"Pak Aftab, sebaiknya kami pulang terlebih dulu___" kata Hafizh namun langsung dipotong oleh ucapan Aftab yang membuat Hafizh meradang seketika.
"Fatia, aku belum selesai bicara denganmu. Kamu harus menikah denganku, aku tidak mau tahu alasannya seperti apa. Aku mau kamu jadi istriku."
"Hei, apa Anda sudah gila? Fatia ini wanita yang sudah bersuami. Mengapa Anda begitu terobsesi dengan istri saya. Di luar masih banyak wanita yang lebih pantas untuk anda jadikan istri. Yang jelas mereka bukan istri saya." Hafizh benar-benar murka kemudian secepatnya menarik tangan Fatia untuk mengikutinya. "Kita salah sudah memaafkannya. Ayo Sayang kita pulang, bahaya semakin lama bersamanya, orang gila!!!"
Fatia mendekatkan dirinya kepada Hafizh. Dan tanpa ragu lagi Hafizh melingkarkan tangannya di pinggang Fatia lalu keduanya berjalan beriringan.
Jika omongan tidak bisa membuat Aftab mempercayai sebuah kenyataan mungkin dengan gesture tubuh mereka Aftab harus bisa menerima bahwa kenyataannya memang Hafizh telah menikahi calon istrinya yang telah dia batalkan khitbahnya karena emosi yang menggenggam jiwanya.
🍄🍄
-- to be continued --
ini adalah part terakhir yang akan sama dengan novel selebihnya akan sedikit berbeda karena di novel akan ada 40 part sedangkan di WP akan selesai di dua part yang akan datang, jangan dihapus dulu karena akan ada ending versi wattpadnya.
😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
And mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Kereta Api Malioboro express,
02 November 2019
revisi and republish 09 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top