📒 26 ✏ Fitrah Cinta ✏
Cinta bukan melepas namun merelakan. Bukan memaksa namun memperjuangkan. Bukan menyerah namun mengikhlaskan. Bukan merantai namun memberi sayap______
🍄🍄
SEULAS senyuman yang selalu ditampilkan Fatia untuk suami tercinta. Bagi Fatia sedinginnya gesture yang ditampilkan Hafizh kepadanya, dia tetaplah suami yang harus ditaati dan diperhatikan.
Fatia sangat tahu apa yang menjadi penyebab suaminya mendinginkannya seperti itu. Kejadian waktu itu benar-benar tidak pernah terpikirkan oleh nalarnya. Mengapa kedua sahabatnya melakukan semua itu kepadanya.
"Bang, habis kampus nanti ikut kajian dulu di masjid ya. Selesai langsung ke butik."
Hari ini adalah jadwal Fatia di kampus tidak terlalu padat namun dia ingin mengikuti kajian keputrian di masjid universitas.
"Jangan capek-capek. Semalam sudah begadang ngerjain tugas. Istirahat di rumah saja habis dari kampus." jawab Hafizh yang masih menghabiskan sarapan yang dibuatkan oleh Fatia.
Sesungguhnya keadaan mereka jauh lebih baik sekarang. Meskipun belum mencair sepenuhnya namun Hafizh selalu menunjukkan perhatiannya kepada Fatia. Meskipun perhatian itu terkesan posesif yang terlalu berlebihan. Intinya satu hal, Hafizh tidak ingin Fatia kembali lagi mengulang kesalahan yang sama seperti sebelum mereka menikah.
Masih dengan muka di tekuk. Rasanya memang Hafizh tidak pernah sempurna membuat tali yang mempermanis lehernya saat dia harus mengenakan pakaian formal.
"Ufffhht...."
"Sini, aku bantuin." pada akhirnya Hafizh harus menyerah dan memberikan dasi kepada Fatia.
Harum buah cherry yang menguar dari rambut Fatia benar-benar membuat Hafizh harus menahan semua hasrat lelakinya. Ini sudah hampir sebulan mereka menjadi pasangan halal namun masih belum juga ada kemajuan. Hanya seputar bersentuhan dan kecupan di kening Fatia setiap pagi.
Cukup bagi Fatia Aruna.
Fatia menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Menalikan dasi Hafizh dengan sangat baik. Kedua tangan Hafizh yang masih terkepal sempurna harusnya kini berada di pinggang sang istri seperti yang dilakukan Daddy kepada Bundanya. Namun ego laki-laki Hafizh masih enggan untuk melakukan itu.
"Syukraan, jazakillah khair." satu kecupan lembut di kening Fatia yang di berikan Hafizh setelah istrinya menyelesaikan pekerjaannya. Senyum manis Fatia menggetarkan selaput hati Hafizh yang selama ini masih beku.
"Aamiin."
"Aku berangkat dulu, selesai kajian langsung pulang atau nanti aku jemput saja. Semoga meetingnya berjalan lancar."
Kalau sudah seperti itu sepertinya memang Fatia memilih untuk di jemput Hafizh. Mengembalikan kepercayaan suami, itu yang kini telah diusahakan oleh Fatia. Karena cinta bukan hanya perihal lelaki yang memulai, perempuan juga punya alasan untuk berjuang.
Siapakah yang pertama kali menyebarkan isu, bahwasanya setiap memulai hubungan, harus laki-laki yang terlebih dulu 'bergerak'?
Siapa yang pertama kali menyebarkan isu, bahwasanya wanita harus menunggu dalam memulai hubungan? Padahal manusia sama-sama diberikan sepotong hati oleh Tuhan. Dan kita tidak punya kemampuan khusus untuk mengendalikan hati kita sepenuhnya. Intinya kita tidak akan bisa memberikan perintah langsung kepada hati, untuk memilih siapa orang yang akan kita cintai.
Siapa yang pertama kali menyebarkan isu, bahwasanya semua laki-laki itu sama? Walaupun mereka punya kesamaan, tapi tetaplah berdasar bahwa tidak akan bisa menyamakan mereka semua dengan satu kesimpulan.
Siapa yang menyebarkan isu bahwa wanita tidak boleh mengambil langkah duluan? Berapa banyakkah di luar, para wanita yang gagal mendapatkan orang yang dicinta, hanya karena tidak berani untuk mengambil langkah duluan? Cinta datang ke dalam hati bukan tanpa alasan.
Siapakah yang berani melarang wanita memperjuangkan cintanya? Jikalau yakin dengan perasaan dan yakin bahwa laki-laki yang dicintai bisa membuat perempuan lebih baik, jangan biarkan siapapun menghalangi jalan. Perjuangkanlah, karena cinta memang pantas untuk diperjuangkan.
"Laa khaira fii katsiirin min najwaahum ilaa man amara bishadaqatin au ma'ruufin au ishlaahin bainannaasi waman yaf'al dzalikaabtighaa-a mardhaatillahi fasaufa nu'tiihi ajran 'azhiiman." Fatia mendengarkan dengan sepenuh hatinya suara yang mengalun merdu dari seorang ustadzah yang memimpin kajian ba'da dhuhur ini.
"Dengan sangat gamblang dijelaskan dalam firman Allah pada AnNisaa' ayat 114 bahwa tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar."
Islam dengan fitrah dan keindahannya, jangan pernah melupakan itu.
"Sudah ada yang menikah di sini? Atau calon istri dan calon ibu nantinya? Tentu, karena kita adalah wanita yang inshaallah dirahmati Allah. Ingin masuk surga dengan mudah bukan? istri yang melaksanakan shalat fardhu lima waktu, berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menta'ati suaminya, maka dikatakan kepadanya masuklah surga dari pintu manapun juga."
Tidak ada yang membantah, jamaah taklim yang sebagian besar calon istri itu mendengarkan dengan seksama.
"Ada pertanyaan sampai di sini?" tiba-tiba Fatia mengangkat tangan kanannya.
"Afwan ummi, ana ingin bertanya."
"Tafadhol ukhti."
Sebenarnya Fatia ragu ingin menanyakan secara terbuka seperti ini. Namun dia harus memperoleh ilmu yang benar karena ini berkenaan dengan masa depannya dengan Hafizh.
"Sebagai seorang istri, apakah ada tuntunannya untuk wanita yang ingin memberikan hak suami sebagaimana fitrahnya meskipun suami tidak meminta?" sangat sopan kalimat tanya yang disampaikan oleh Fatia. Mungkin juga banyak dari jamaah yang kurang memahami maknanya, namun senyum ustadzah menyapu semua mata jamaahnya.
"'Asif, ukhti sudah menikah?"
"Alhamdulillah sudah."
"Berbahagialah yang menjadi suaminya, jika setiap istri memiliki pemikiran seperti itu. Walladzii nafsu Muhammadin biyadihi, laa tuaddiilmaratu haqqo robbihaa khatta tuiddiya khaqqo zaujihaa. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, wanita tidak menunaikan hak Rabbnya sehingga menunaikan hak suaminya. Bahkan nabi Muhammadpun sampai bersabda 'seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan wanita supaya bersujud kepada suaminya.' Jadi tidak ada larangan seorang wanita menjajakan dirinya di hadapan suami."
Mendengar kalimat terakhir itu membuat jamaah taklim tertawa bersama. Bukan hal yang tabu untuk belajar seperti itu, karena itu ilmu yang memang harus di kaji sebagai bekal untuk menjadi istri shaleha.
"Dalam ilmu neurologi, telah dijelaskan banyak tentang perbedaan otak antara perempuan dan laki-laki jadi memang secara harfiah kita itu berbeda. Namun dengan perbedaan ini harusnya kita bisa saling melengkapi. Tidak ada salahnya, justru sangat dianjurkan bagi pasangan halal seorang istri berinisiatif untuk memberikan haknya suami sebelum suami memintanya. Kasarnya jikalau boleh dikatakan jadilah PSK yang paling sempurna di mata suami."
Jadi apakah Fatia harus memulai dulu, ataukah menunggu Hafizh memintanya? Bukankah cinta butuh diperjuangkan?
Sejak peristiwa sakitnya Hafizh hingga Fatia merawatnya dengan penuh cinta. Tidak ada yang lebih indah dari hidup dengan saling menyayangi. Hafizh memang belum bisa menunaikan kewajibannya untuk menafkahi Fatia lahir dan batin. Namun setelah dia sembuh dari sakitnya, setidaknya sudah ada sedikit kemajuan.
Berbagi ranjang dengan sangat hangat tanpa sebuah guling diantara mereka.
Intinya Fatia hanya harus bersabar menunggu Hafizh. Dia pasti juga sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya. Cukup Fatia tahu bahwa Hafizh juga mencintainya sama besar seperti cintanya kepada Hafizh.
"Ngomongin tentang apa saja tadi ngajinya?" tanya Hafizh saat mereka dalam perjalanan pulang.
"Hmmmm___?" seolah terkoyak dari lamunannya Fatia mengalihkan pandangannya kepada suami tercinta.
"Tentang istri yang harus menaati suami serta tentang kewajiban yang harus dilakukan istri dan hak yang harus diterima istri." jawab Fatia dengan lugas. Tidak usah menyembunyikan sesuatu yang memang tidak perlu untuk disembunyikan.
Hafizh kemudian terdiam dan menjalankan mobilnya menuju butik mereka. Butik yang sungguh memberi kenangan tersendiri untuk Fatia. Di sinilah dulu Hafizh memberikan kode kepadanya bahwa dia menyukai Fatia namun enggan untuk mengungkapkannya melalui kata-kata. Hanya saja entah Fatia yang merasa terlalu rendah untuk bersanding dengan Hafizh atau memang dia yang terlalu polos untuk mengartikan semua kode morse dari Hafizh. Sehingga kesalahpahaman itu terjadi.
Salah Fatia juga mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Masih ingin mengumpulkan mimpi menjadi nyata. Masih ingin melanjutkan sekolahnya dengan baik. Sehingga membuat Hafizh justru mendukungnya dan tidak ingin meminangnya dengan cepat.
Lalu Fatia cemburu dengan kedekatan Hafizh dan Aira hingga memutuskan sesuatu yang penting dalam hidupnya yang terkesan sangat tergesa-gesa. Bolehlah berkata sudah melakukan istikharah, namun mengambil keputusan saat hati dan kepala panas itu?
Ditambah lagi dengan kecerobohan kedua sahabatnya. Paket komplit namun justru membuat Fatia jatuh ke pelukan lelaki yang selama ini dia sukai dalam diam. Ya, harus Fatia akui bahwa cinta yang diucapkan Hafizh ketika itu tidak bertepuk sebelah tangan. Hatinya sudah lama tertuju kepada Hafizh namun karena keadaan yang membuat Fatia tidak percaya diri untuk berusaha mengimbangi langkah Hafizh. Menjadi pasangan sepatu untuknya, membersamai langkah menuju kebahagiaan yang telah mereka impikan.
Konspirasi semesta membuat takdirnya harus bersama Hafizh. Apalagi selain buncah bahagia yang bersemayam di benak Fatia. Sepertinya memang dia yang harus memulai, memperjuangkan dan membuat percaya Hafizh. Bahwa Fatia bisa menjadi seorang istri yang baik, istri yang sholeha, istri yang taat dan istri yang berbakti kepada suami.
"Sudah makan tadi Bang?" tanya Fatia setelah dia selesai merapikan tas dan perlengkapan mengajinya.
"Belum."
"Ish, kenapa tidak bilang. Tahu gitu tadi ke rumah dulu, biar aku bisa siapin makan siangnya." kata Fatia.
"Makan di sini saja. Sudah lama kan kita tidak makan di sini. Pesan online saja ya." kata Hafizh seraya memainkan gawainya untuk memesan beberapa makanan yang menurutnya enak untuk di santap bersama Fatia.
Percakapan keduanya memang sudah tidak sekaku kemarin. Karena memang semua berusaha. Hanya saja bagi Hafizh menghilangkan trauma kejadian sore itu tidaklah semudah membalik telapak tangannya. Rasanya masih nyeri saat dia mencoba untuk melakukan skinship dengan Fatia secara sengaja.
Tapi bukan Fatia juga namanya jika dia tidak memiliki ide untuk mendekat dengan suaminya.
"Bang, boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Fatia saat mengetahui Hafizh sedang membaca sebuah buku tebal di pangkuannya. Ekonomi dan bisnis, apalagi yang membuat lelaki itu begitu serius dengan kaca mata yang bertengger manis di hidung mancungnya.
Hafizh mengalihkan pandangannya kepada Fatia yang kini telah berdiri di sampingnya dengan sebuah gelas besar berisi minuman segar di tangan kanannya.
"Mau tanya apa? Selama aku bisa menjawab." kata Hafizh.
"Seberapa banyakkah downside risk itu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara?" tanya Fatia.
Hafizh mengerutkan keningnya. Dia pikir Fatia ingin menanyakan tentang mereka namun ternyata dia salah mengira. Istrinya justru menanyakan tentang masalah perekonomian negara seperti yang kini sedang dia baca.
"Downside risk itu berarti perlambatan. Lebih tepatnya kita menyebut sebagai risiko pelambatan ekonomi. Setiap negara terpapar pada risiko tersebut. Banyak faktor penyebabnya baik itu lokal, regional bahkan global. Mengenai ketidakpastian global menjadi boomerang tersendiri karena perang dagang yang semakin berlarut-larut memberikan dampak pada perdagangan internasional. Namun tidak semuanya mengacu kepada itu. Jika faktor lain lebih kuat untuk membuat perekonomian tumbuh. Rasanya ketidakpastian global tersebut bukan hal yang menakutkan lagi untuk diperhitungkan." jawab Hafizh yang membuat Fatia menganggukkan kepalanya tanda bahwa dia mengerti apa yang dimaksud oleh Hafizh.
"Ketidakpastian global ini hanya akan berdampak pada beberapa industri saja seperti contohnya industri manufaktur hingga memicu aliran dana keluar dari negara berkembang termasuk Indonesia. Itu sebabnya pemerintah harus tetap menjaga momentum pertumbuhan dari sektor konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi dan kinerja ekspor. Jika indeks keyakinan konsumen masih bagus, perekonomian suatu negara itu masih terjaga dari sisi konsumsi." jangan lagi ditanya untuk masalah seperti ini. Cukup dengan satu pertanyaan Hafizh akan menjawab dengan paket komplit.
"Berarti sebagai pelaku ekonomi kita juga harus tahu ya Bang hal-hal yang seperti itu?"
"Ya kalau sebagai pelaku ekonomi mikro seperti kita ini cukup tahu saja bahwa saat ini memang terjadi kelesuan perdagangan sehingga kita harus bersiap juga untuk menjaga kestabilan usaha dengan memperhitungkan input dan output barang yang kita jual beserta turunannya." kata Hafizh lagi.
Obrolanpun mengalir sembari mereka menikmati makan siang yang sedikit terlambat. Banyak hal tentang masalah kuliah hingga akhirnya sampai membawa Fatia menuju ke pertanyaan inti yang ingin dia sampaikan kepada Hafizh.
"Bang, aku boleh ya puasa Daud?" tanya Fatia yang membuat Hafizh sedikit terkejut.
Bagi Fatia puasa daud itu adalah puasa yang paling berat dilakukan. Itu sebabnya pahalanya juga menjadi paling pol dari puasa-puasa sunnah yang lain. Tapi bagi Hafizh ada sedikit ragu untuk memberikan izinnya. Ah mengapa Hafizh jadi memikirkan kebutuhannya sebagai suami yang tidak ikhlas istrinya puasa sementara dia sendiri belum pernah menyentuh Fatia.
"Daud? Apa nggak terlalu memberatkanmu?" tanya Hafizh.
"Inshaallah tidak, justru itu akan sangat membantu dan memudahkanku." jawab Fatia masih dengan sikap antusias dan senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
"Membantu dan memudahkan?" tanya Hafizh lagi.
"Iya." Fatia terdiam kemudian melanjutkan kalimatnya lagi. "Tadi sewaktu di pengajian dikatakan oleh ustadzah Bang. Jika kita sudah merasa mampu dan telah menginginkannya maka menikah itu adalah keharusan. Kalau kita sudah ingin menikah tetapi belum mampu itu sebaiknya dia berpuasa. Nah aku kan sudah menikah Bang, menjadi istri seorang Hafizh Abiyyu namun aku belum bisa menunaikan kewajibanku dan belum bisa menerima hakku, karena Abang belum bisa untuk itu. Jadi mungkin berpuasa akan memberikan kebaikan yang lebih untukku."
Biarlah kali ini Fatia dibilang murahan. Toh dia juga mengatakan semua ini kepada suaminya sendiri. Bukan orang lain, apalagi suami orang.
Ada tatapan keterkejutan dari raut muka Hafizh yang dia tunjukkan kepada Fatia. Namun kemudian dia bisa menetralisir untuk kembali normal.
"Jika seorang istri bisa dilaknat malaikat ketika dia menolak untuk memenuhi kebutuhan suaminya. Lantas bagaimana dengan suami yang belum memberikan hak itu kepada istrinya?"
Air mata Fatia kini jelas menetes di kedua pipinya. Rasanya dia menjadi wanita yang tidak berharga sampai suaminya sendiri tidak menginginkannya untuk memenuhi kebutuhan dan menjadikan dia wanitanya.
Fatia tahu resiko dari semua itu. Memberikan pertanyaan itu sama saja mengibarkan bendera perang kepada Hafizh. Dia tetap tertunduk dalam diam setelah mengucapkan itu. Hafizh sendiri yang kini menatap Fatia dengan perasaan yang entah bagaimana harus dia ungkapkan. Semua yang diucapkan Fatia adalah kebenaran namun mengapa kebenaran itu belum bisa dia tunaikan?
Hafizh tahu bahwa Fatia sangat mengerti. Tujuan dari sebuah pernikahan bukan hanya tentang kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan. Bahwa kenyataannya sampai sekarang Fatia masih suci itu adalah fakta yang membuat hatinya teriris.
Hafizh melepas kacamatanya, bangkit dari duduknya dan berdiri mendekat kepada Fatia. Memeluk istrinya saat ini adalah satu hal yang sangat pantas dia lakukan.
Di dalam pelukan Hafizh tangisan Fatia bukannya mereda justru semakin terdengar isakannya. Bahu Fatia yang bergetar di dada Hafizh cukup memberikan informasi bahwa Fatia sudah tak kuasa menahan semuanya seorang diri.
"Maaf. Maafkan aku, aku yang belum bisa menunaikannya." kata Hafizh lirih tepat di telinga Fatia.
Kembali dua insan berlainan jenis yang sudah mendapatkan setifikat halal tersebut tenggelam dalam alam pikirnya masing-masing. Detik berlalu hingga menit berganti keduanya hanya saling diam dan memeluk. Sampai pada akhirnya Fatia mengeluarkan suara setelah isakannya terhenti.
"Izinkan aku untuk bisa membantumu keluar dari trauma itu. Aku yang menyebabkan dan inshaallah aku juga yang harus mengobatinya." kata Fatia.
Hafizh memandang lekat ke dalam manik mata Fatia. Tidak ada kemunafikan di sana. Ketulusan dan perasaan bersalah Fatia membuat hati Hafizh meradang. Dia ingin tetapi tidak bisa, dia mau tetapi tidak mampu.
Saat hembusan nafas mereka semakin terasa di muka, bibir mereka mulai menempel. Lagi-lagi Hafizh harus memejamkan mata dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Fatia menyadari itu, suaminya belum bisa melakukan sekarang.
"Jangan dipaksa kalau Abang belum bisa. Aku tidak ingin kewajiban itu menjadi hal yang dipaksakan." kata Fatia.
Hafizh menghembuskan nafas kasarnya. Mengusap muka dan menyunggarkan jarinya ke rambut kemudian menjambaknya perlahan. Seolah membenci dirinya sendiri, Hafizh berdesis lirih.
"Kamu boleh berpuasa. Tapi jangan puasa daud, puasa senin kamis saja." kata Hafizh masih memunggungi Fatia.
"Syukraan Bang." tidak hanya itu, Fatia kemudian mendekati Hafizh kemudian memeluk suaminya dari belakang.
Kepala Fatia bersandar di punggung kokoh Hafizh sementara tangan Hafizh yang tadinya berada di saku celananya kini mencoba untuk menggenggam tangan Fatia yang melingkar di pinggangnya.
"Jangan puasa daud dulu, supaya kamu bisa membantuku." kata Hafizh kemudian.
Jika ada ungkapan sentuhnya wanita tepat di hatinya ternyata berlaku juga untuk seorang lelaki. Sentuhlah lelaki tepat di hatinya. Dia juga akan luruh seketika. Tidak perlu harus dengan nada tinggi untuk mengingatkannya. Nada rendahpun akan tersampai jika hati menginginkan untuk saling bertaut.
🍄🍄
-- to be continued --
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
sorry for typo
Kereta Api Penataran Blitar Surabaya
Stasiun Bangil, 17 Oktober 2019
revisi dan republish 02 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top