📒 19 ✏ Awal yang Indah ✏

Akan lebih menentramkan jujur meski terkesan jahat dan menyakitkan daripada berbohong hanya sekedar untuk membuat orang lain bahagia tapi di akhir cerita justru jauh lebih menyakitkan__________________________

🍄🍄

TIDAK ada yang perlu diragukan dengan insting bisnis yang dimiliki oleh seorang Hafizh Abiyyu. Semua program kerjanya berjalan dengan sangat sempurna bahkan Qiyya berminat untuk menanamkan saham supaya tidak over kapasitas di Blitar. Dia akan membangun sebuah konveksi yang akan mengerjakan khusus pemesanan ekspor dan sebagian produksi untuk melengkapi outlet butik Hafizh.

Bulan inipun Qiyya mengirimkan tenaga khusus seperti halnya Indah untuk bekerja di outlet galery Hafizh yang ada di Malang.

"Kita tidak mungkin hanya bertumpu kepada pak Rizki sebagai suplier utama, Bunda. Abang mungkin akan menemui om Wildan dalam waktu dekat sekaligus membicarakan perihal apa yang pernah abang sampaikan kepada daddy dan bunda. Intinya kedua Aunty dan juga Uncle Erland bersedia membantu abang." Jelas Hafizh.

"Baiklah kalau memang itu telah menjadi keputusanmu. Tapi biarpun demikian tolong kamu benar-benar menyampaikan maksudmu yang sebenarnya kepada Aira dan juga abinya."

"Inshaallah Bunda. Semoga kerjasama abang dengan factory milik keluarga Aira membawa kebarokahan untuk kita semua. Dan dilancarkan selalu oleh Allah SWT. Aamiin."

"Aamiin."

Percakapan Hafizh dan Qiyyara melalui teleponpun akhirnya terputus. Hafizh harus segera kembali pada aktivitas kampusnya. Dan Qiyyara juga kembali untuk melanjutkan aktivitasnya yang sedikit tertunda.

Semilir angin siang ini membawa Hafizh akhirnya bisa memenuhi janjinya dalam hati untuk menemui Aira dan juga Wildan sebagai orang tuanya. Terkait dengan pernyataan perasaan Aira kepada Hafizh telah dianggap selesai oleh Hafizh dan tidak ingin diperpanjangnya lagi. Hari ini juga Hafizh ingin meminta maaf khusus kepada Aira dan juga Abinya mengenai hal itu sekaligus untuk membicarakan rencana kerjasama bisnis yang telah dibicarakan Hafizh dengan Wildan melalui telepon sebelumnya.

Mobil SUV yang dikendarai oleh Hafizh telah mengantarkannya ke sebuah restoran sederhana yang terletak tidak jauh dari kampusnya tempat dia belajar. Meski cukup sederhana tapi nyaris sempurna dengan kenyamanannya. Sehingga tidak jarang jika resto ini penuh dengan pengunjung setiap harinya.

Bukan tanpa alasan juga mengapa Hafizh memilih resto ini sebagai tempat untuk berbicara karena selain tempatnya nyaman juga karena ramainya pengunjung itu sehingga jika Wildan tidak bisa datang bersama dengan Aira, Hafizh tidak perlu berpikir dengan masalah ikhtilat dan khalwat yang memang sudah seharusnya mereka hindari. Hafizh belum melihat kehadiran Wildan ataupun Aira di sana. Itu artinya masih ada waktu untuknya menyelesaikan beberapa pekerjaan kampus yang seharusnya dia selesaikan sebelum bertemu dengan mereka berdua hari ini.

Lima belas menit berlalu namun belum ada tanda-tanda kehadiran mereka membuat Hafizh terpaksa mengambil gawainya untuk memberitahukan bahwa dia telah berada di resto sesuai dengan kesepakan mereka.

Di tempat yang berbeda Fatia tengah dibujuk kedua temannya untuk bisa mengikuti mereka. Awalnya Fatia menolak untuk ikut namun karena sungkan selalu menolak ajakan kedua sahabatnya yaitu Widya dan Puspa. Akhirnya Fatia mengiyakan ajakan kedua temannya mengingat hari ini dia tidak sendiri di butik. Sudah ada Mbak Ratih yang kini membantunya menjaga dan juga sebagai pekerja khusus seperti Mbak Indah yang ditempatkan di Malang.

"Ya sudah deh, tapi aku nggak bisa lama ya. Soalnya kan kalian tahu sendiri aku musti kerja." Kata Fatia kepada kedua sahabatnya.

"Sekali-sekalilah Fatia. Bang Hafizh pasti akan mengerti kok. By the way, memang selama ini kalian nggak pernah ya ada rasa yang gimana gitu. Kerja bareng, kadang ke kampus diantar bahkan tidak jarang dijemput juga oleh Bang Hafizh. Kalau kita berdua nggak tahu bahwa Bang Hafizh itu bos kamu pasti kita juga nyangkanya seperti anak-anak yang lain. Kalian pacaran." Ucap Widya yang memang tidak semuanya salah. Fatia memang sering diantar atau dijemput oleh Hafizh. Alasannya simpel, Hafizh sering melewati kampus Fatia untuk bertemu dengan kolega bisnisnya dan meminta Fatia untuk ikut bersamanya.

"Sembarangan kalian. Islam melarang kita pacaran." Jawab Fatia yang masih juga memegang teguh pada prinsipnya.

Ngomong-ngomong apa kabar tentang cincin pemberian Aftab. Sampai sekarang ternyata Fatia masih belum memberikan jawaban atau sedikit melupakannya karena kesibukan kampus dan juga kesibukan di tempat kerjanya. Semenjak Widya dan Puspa sering mengendorse pakaian serta pernak-pernik wanita yang di jual di butiknya Fatia semakin banyak memiliki pelanggan. Bahkan kini dia menyediakan akun sosial media resmi untuk mengupload keluaran terbaru dari produk-produk yang dikeluarkan oleh AdzQibnu Boutique.

"Eh tapi bener loh, Bang Hafizh itu ya, semangat kerjanya patut diacungi enam jempol kita. Kalian tahu nggak, secara ya, lulusan Oxford dan memilih untuk bekerja membangun bisnis retail seperti ini rasanya kok enggak banget. Tapi doi emang bener-bener beda. Sayang rada minim ekspresi kalau sama kaumnya hawa." kata Puspa menilai perangai Hafizh yang tertangkap oleh indra penglihatannya.

"Kata siapa minim? Asyik kali doi kalau diajakin ngobrol nyambung dan nggak pernah ngasih batasan sama kita. Kamu ingat nggak yang kapan hari kita ngerjain tugas kelompok bikin makalah yang literasinya Bahasa Inggris semua? Kan doi yang bantu kita beneran sampai larut di butik, bercanda sampai segitunya. Tapi mungkin karena si Abang tahu kalau kita temennya Fatia dan sudah tau karakter kita kali ya?" jawab Widya sedikit tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Puspa.

"Iya juga paling karena kita emang sudah saling kenal. Tapi kalau jemput Fatia coba, bener-bener deh dia cuek banget sama cewek-cewek yang coba ngasih kode untuk bisa diperhatikannya." Balas Widya.

"Eh kenapa jadi kalian ghibahin Bang Hafizh di sini sih? Jadi nggak nih ke restonya? Kalau nggak jadi aku mending balik ke butik, musti ngepak pesanan nih." Kata Fatia membubarkan acara menggosip kedua sahabatnya tentang si bos tampannya.

Hafizh tetaplah Hafizh yang jauh berbeda dengan Hanif. Jika Hanif memang sama sekali tidak pernah memberikan responnya kepada semua wanita. Hafizh tidak sepenuhnya seperti itu. Sebenarnya Hafizh masih bisa dikategorikan ke dalam pria yang ramah hanya saja memang dia sangat pemilih jika kata ramahnya ditujukan kepada wanita. Batasannya akan sangat jelas apa yang dimaksud dengan ramah itu.

Hafizh juga tidak sama seperti Hanif tentang cara memilih untuk mendapatkan pasangannya. Meski mereka berdua sama-sama tidak akan pernah mengatakan kepada orang yang mereka cintai tentang perasaannya sebelum menikah. Namun jika Hanif memilih menunjukkan dengan kesungguhannya bisa bergerak dengan cepat meski dia harus menelan semua kesakitan sebagai akibatnya, Hafizh lebih memilih untuk menunjukkan sikapnya kepada wanita yang dia suka. Perhatian itu tidak selalu harus dibungkus dengan keromantisan, pertengkaran kecil yang kadang nggak banget untuk kapasitas orang dewasa terkadang masih Hafizh lakukan untuk menunjukkan kepada orang yang dia cintai bahwa itulah bentuk bagaimana dia memperhatikan dan menyayanginya. Meskipun pada kenyataannya pesan yang diperlihatkan oleh Hafizh setiap harinya itu tidak pernah tersampai dengan benar kepada Fatia.

Ketiga sahabat itu akhirnya bergerak menuju sebuah resto untuk sekedar bercengkerama dan makan siang. Lebih tepatnya sih kalau untuk Fatia bisa melakukan sesi obrolan bebas dengan tempat yang nyaman karena kalau untuk makan Fatia lebih senang makanan yang lebih membumi dengan harga yang tetap berada di bumi bukan lagi selangit seperti kebanyakan harga makanan yang tersedia di resto atau cafe kekinian.

Hafizh kini telah berbicara dengan Aira dan juga Wildan yang ada diantara mereka. Berbasa basi sebelum akhirnya masuk ke pokok pembicaraan utama.

"Maaf Ai, sejauh ini tentunya kamu tahu bahwa aku tidak pernah ingin membina suatu hubungan antara laki-laki dewasa dengan wanita dewasa sebelum menikah. Dan terus terang memang menikah bukan fokus utama aku untuk saat ini. Aku masih ingin berkarya dan itu mulai terlihat sekarang. Buktinya aku harus mencari suplier tambahan untuk bisa menunjang produksi di tempat kerjaku. Sekolah adalah fokusku selanjutnya. Jika aku yang sudah menyelesaikan sarjana saja masih ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Rasa-rasanya kamu juga harus bisa lebih baik dari aku." Kata Hafizh yang dibalas senyuman oleh Wildan.

Sebelum Hafizh mengatakan semua ini kepada Aira, Wildan telah mengetahui apa yang akan disampaikan oleh putra dari wanita yang pernah diajaknya berta'aruf dulu.

"Nah itu, di dengarkan apa yang dikatakan Bang Hafizh. Kalau nanti sudah saatnya pasti Allah akan memudahkan jalannya. Ya kita nggak tahu nantinya dengan Bang Hafizh atau dengan yang lainnya. Yang pasti kita harus tetap yakin dan selalu berdoa kepada Allah untuk bisa diberikan yang terbaik, terbaik menurut Kakak belum tentu terbaik menurut Allah begitupun sebaliknya." Kata Wildan.

"Maafkan Ai, Bang. Seharusnya kemarin Ai berpikir lebih panjang lagi. Apalagi Ai seorang wanita___"

"Sudah itu tidak perlu dipermasalahkan lagi. Intinya sekarang aku tetap ingin membantu kamu." kata Hafizh kepada Aira kemudian dilanjutkan kepada Wildan. "Om Wildan pasti sangat tahu bahwa saya memang besar di lingkungan keluarga yang memiliki basic kedokteran dan kesehatan. Meski ya tidak semuanya seperti itu. Beberapa bulan yang lalu saya telah meminta izin kepada Daddy, Aunty dan juga Uncle yang mungkin bisa menolong Aira tentang penanganan penyakitnya. Meski saya tahu pastinya Aira juga punya dokter pribadi mungkin atau dokter keluarga yang sangat bisa membantu." Hafizh terlihat memberikan jeda terhadap kalimat panjang yang berhasil dia ucapkan.

"Jika memang Aira membutuhkan untuk sharing tentang apa yang dirasakan terkait dengan penyakit yang memang ada sejak Aira bayi itu. Tolong untuk bisa menghubungi saya atau langsung kepada mereka. Sehingga kejadian seperti kemarin tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang. Aira juga begitu, jangan merasa semuanya bisa dilakukan sendiri sehingga akan berakibat fatal, karena tidak semua orang di sekitar kita yang mengerti dengan jelas apa yang tubuh kita butuhkan saat kondisi luar biasa seperti kemarin kita rasakan." Akhirnya Hafizh bisa menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna.

Hafizh memang ingin menolong Aira tapi bukan dengan belajar untuk mencintainya. Itu yang beberapa bulan kemarin dia perdebatkan dengan daddy Ibnu dan bunda Qiyya. Sebenarnya kedua orang tua Hafizh khawatir Aira akan berprasangka lain dengan kebaikan Hafizh. Namun karena memang Hafizh merasa ini juga untuk kebaikan Aira maka dia lebih memilih untuk menjelaskannya di awal supaya tidak terjadi kesalahpahaman antara dia dan Aira.

Wildan tersenyum sangat puas. Hafizh tidak berusaha untuk menjauhi Aira meski dia tahu bahwa Aira telah menyatakan perasaannya. Justru dengan sikap Hafizh yang seperti itu membuat Wildan lebih mudah menjelaskan kepada putrinya bahwa sebagai seorang dewasa itu sebaiknya memang seperti itu. Setiap masalah itu harus diselesaikan bukan untuk dihindari. Ibarat sebuah kata mutiara, jika kuku kita yang panjang yang dipotong cukup kukunya, bukan jarinya terlebih tangan dan lengannya. Jika kita memiliki masalah dengan teman, yang dipotong cukup masalahnya bukan silaturahimnya.

Setelah semuanya benar-benar selesai dan Aira bisa menerima dengan lapang dada Hafizh kemudian membicarakan rencana bisnis kedepannya dengan Wildan. Di sinilah sebenarnya Aira sangat berperan aktif karena mengenai factory keluarganya memang Aira lebih mengerti dibandingkan dengan Wildan yang memilih menjadi seorang dosen. Cukup menarik dan sangat membantu Hafizh, sepertinya memang Aira telah dipersiapkan oleh keluarganya untuk bisa meneruskan sebagai pengelola usaha itu. Sehingga banyak hal yang langsung dipegang olehnya dan keputusan yang dia ambil tidak melalui persetujuan sang abi melainkan langsung kepada eyangnya yang ada di Surabaya.

Satu kekaguman lagi yang bisa ditarik dari seorang Aira oleh Hafizh. Ya, Aira gadis yang sangat mandiri meski dia terlahir di lingkungan keluarga yang cukup berada.

Ditengah tengah asyiknya mereka berbincang dan juga tertawa bersama ternyata tidak jauh dari tempat mereka bercengkerama ada sepasang mata yang menatap dengan begitu tajam. Menusuk tapi tidak tahu siapa yang tersakiti di sini, namun bagi Fatia kejadian di sebuah resto siang itu telah cukup membuatnya segera mengambil keputusan atas lamaran Aftab yang ditawarkan kepadanya.

Menunggu kepastian dari seorang Hafizh rasanya akan sangat mustahil terwujud. Bahasa tubuh ketiganya menjelaskan kepada Fatia bahwa kini memang mereka seolah duduk tanpa ada jarak sedikitpun. Jika kemarin Hafizh dan Aira masih dengan seorang mentor dan siswa yang tengah melakukan PKL. Hari ini sudah tidak ada lagi batas itu. Hafizh sepertinya telah melepaskan hijab itu dan Aira juga sepertinya sangat menikmati pertemuan mereka.

"Fatia, bukankah itu bang Hafizh?" ucap Puspa yang menangkap sosok Hafizh tengah berbincang santai dengan dua orang yang duduk di satu meja dengannya.

"Iya."

"Kamu kenapa kok seperti itu mukanya? Sudah nggak usah takut, bang Hafizh pasti nggak akan memarahimu. Apa perlu kami mintakan izinmu kepadanya?" tanya Widya.

"Ngawur, sudah kalian jangan aneh-aneh deh. Kita pindah saja jangan di sini. Nggak enak kalau sampai Bang Hafizh nanti melihatku." Fatia tidak perlu lagi meminta persetujuan kedua sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu. Hatinya yang telah memutuskan untuk meninggalkan semuanya, termasuk dengan semua perhatian Hafizh yang mungkin dirasa beberapa minggu terakhir ini sangat menghangatkan hatinya. Ternyata Fatia memang keliru, Hafizh tidak sepolos apa yang dia pikirkan selama ini.

Hafizh tetaplah rembulan yang tetap berada sangat jauh dari bumi. Meskipun Neil Armstrong, Michael Collins dan Edwin E. Aldrin telah berhasil mendaratkan kakinya di bulan dengan Apollo 11, tahun 1969 dari Kennedy Space Center Amerika namun bagi Fatia mendaratkan cintanya ke hati milik Hafizh itu seperti pungguk yang selalu merindukan bulan. Andaikata dia adalah Armstrong yang dengan gagahnya bisa menginjakkan kaki di bulan, saat ini juga kemungkinan Fatia akan memilih menyampaikan perasaannya kepada Hafizh. Namun sayang dia tetaplah menjadi Fatia Aruna yang entah sampai kapan Hafizh akan melihatnya sebagai seorang wanita dewasa bukan lagi seperti Almira dan Ayyana yang memang akan selalu Hafizh sayangi sebagai adik perempuannya.

"Kamu kenapa Fatia?"

"Hei kok malah menangis di sini. Ayo kita nyari tempat lain saja kamu boleh bercerita yang semuanya kepada kita." melihat titik air mata yang mungkin sudah tidak bisa dibendung oleh Fatia membuat Widya mengajaknya langsung menuju tempat lain yang bisa menenangkan perasaan Fatia.

Something happen between Fatia and Hafizh? Who knows.

Kedua sahabat itu hanya mengikuti kemana Fatia akhirnya melajukan sepeda motornya hingga mereka akhirnya berada di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai namun cukup nyaman dipakai untuk sekedar bercerita dan berkeluh kesah. Fatia ingin memberitahukan kepada kedua sahabatnya tentang sebuah keputusan besar yang akan dia ambil untuk melengkapkan masa depannya nanti.

🍄🍄

-- to be continued --

🍃 ___🍃

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

🍃 ___ 🍃

sorry for typo

Blitar, 26 September 2019

revisi and republish 22 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top