📒 17 ✏️ Kesibukan Baru✏️
rasa cinta itu seperti persahabatan antara angin dan api. Suatu ketika menyalakan, namun terkadang bisa melenyapkan_________________________
🍄🍄
MENJADI mahasiswa baru, meski sudah vacuum 5 tahunan tidak menyurutkan semangat Fatia. Dia sudah 3 bulan tinggal di Malang sebelum resmi menjadi mahasiswa di awal tahun ajaran baru ini.
Menempati rumah minimalis satu lantai dengan dua kamar tidur yang lumayan besar jika harus ditinggali seorang diri. Rumah milik keluarga Ibnu yang hanya sesekali dipakai untuk keperluan mengisi akhir pekan jika keluarga itu visit ke Malang. Atau sekedar investasi yang awalnya dulu sering disewakan untuk keperluan acara kantor atau sekedar tempat menginap orang-orang yang juga ingin menikmati Malang dengan jarak yang lebih dekat. Semacam villa namun masih berada di lingkup kota.
Seorang tukang kebun yang dipercaya juga merangkap untuk bisa membersihkan rumah selama tidak dipakai. Pak Kusdi namanya, lelaki paruh baya ini yang memaksa Ibnu untuk bisa merawat rumah yang ada di Malang. Rata-rata memang orang-orang yang dikenal oleh Ibnu itu adalah mantan pasien atau keluarga dari pasien-pasiennya.
Fatia menempati rumah itu sekarang. Bunda Qiyya melarang untuk mengambil sebuah kamar kost dengan alasan apapun. Bahkan di sana juga telah disediakan sepeda motor yang bisa dipakai Fatia untuk menjalankan aktivitasnya. Rata-rata kelas pagi yang Fatia ambil memudahkannya untuk bisa membagi waktu dengan pekerjaan di outlet galery butik milik Hafizh.
Tidak berbeda jauh dengannya. Sebagai seorang mahasiswa baru juga Hafizh lebih banyak menghabiskan waktunya di kota pendidikan ini. Hanya saja dia memilih untuk menempati kamar kost sederhana. Seandainya saja mereka telah halal pastilah Daddy dan Bundanya tidak akan melarang tinggal seatap dengan Fatia. Nyatanya Hafizh masih tetap pada keinginannya yaitu mewujudkan mimpi besar sebelum dia menikah.
Penting dan harus digarisbawahi, Hafizh tidak diperbolehkan berada di rumah mereka tanpa adanya keluarga yang lain.
Pengenalan kampus sudah bukan barang yang asing lagi bagi Hafizh, dia hanya ingin belajar dengan baik dan menyelesaikan secepatnya. Berbeda dengan Fatia yang baru saja menginjakkan kakinya sebagai seorang mahasiswa. Euforia rasa takjub dan kagum, bahagia bercampur menjadi satu. Berkenalan dengan teman-teman yang tentu saja jauh dibawah usianya membuat dia kembali ke masa seperti lepas dari SMA dulu.
"Fatia, emang kamu harus ya kerja selepas kuliah?"
Fatia hanya tersenyum melihat teman-temannya yang tengah cemberut kesal saat dia tidak mau diajak hang out karena harus kembali ke butik untuk membuka dan menjaganya.
"Kalau nggak kerja kan nggak bisa kuliah. Atau kalian hang out ke butik tempat aku kerja saja yuk. Kali aja kalian butuh pakaian dan ada di butikku."
"Boleh bawa makanan nggak?"
"Boleh, untuk sahabat-sahabat aku tentu saja boleh." Jawab Fatia dengan senangnya.
Berbuat kebaikan dengan semua orang tentu saja diwajibkan kepada seluruh umat manusia. Demikian juga yang dilakukan oleh Fatia, dia cukup tahu bahwa butiknya harus clean dari kotoran tapi bukan berarti Fatia tidak bisa menerima sahabatnya untuk datang bermain ke sana.
Sebenarnya belajar dari Hafizh juga, dengan banyak teman berarti bisa menggunakan metode promosi mouth to mouth yang telah terbukti hasilnya. Sedikit berbeda dengan konsep butik yang berada di Blitar, di Malang lebih ke casual dan elegant muslimah. Lebih banyak outfit atau layer yang kini banyak diminati oleh mahasiwa mahasiswa muslimah. Meski juga menyediakan beberapa vintage clothes yang handmade dan tidak akan ditemui di butik lainnya.
Belajar design, secara otodidak dilakukan oleh Fatia yang memang suka sekali dengan menggambar. Tidak sedikit dari gambarannya yang dipakai Qiyya untuk mengaplikasikan ke model pakaian yang akan dibuatnya untuk di jual. Memang sepertinya sejak awal Qiyya telah sependapat dengan selera fashion Fatia. Meskipun gadis itu tetap nyaman dengan rok panjang dan pakaian lebarnya. Namun untuk menggambar design dia begitu detail.
"Kamu bisa gambar juga Fatia?"
"Sedikit, kalau lagi nganggur."
"Gunting dan jahit bisa juga?"
"Selama modelnya simpel dan kainnya polos aku bisa sedikit tapi kalau yang batik dan harus ngepasin gitu yang agak sulit belum sampai belajar ke sana."
Kehebohan teman-teman Fatia yang akhirnya mencoba serta mulai mencoba dan mengunggah di berbagai akun media sosial mereka harus terhenti saat sebuah mobil SUV datang dan seorang laki-laki turun dari balik kemudi. Hafizh baru saja selesai kuliah dan ingin mengecek apakah Fatia telah membuka butiknya atau belum. Sementara Fatia masih sibuk dengan pelanggan-pelanggan butik yang lainnya.
"Fatia, pelanggan cowok tuh. Aduh itu orang apa artis?" ucap Widya.
Fatia melihat ke arah ditunjukkan Widya dengan matanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Artis yang dia bilang itu bukanlah orang lain bagi Fatia tapi si bos yang mungkin datang untuk mengecek pekerjaannya. Sehingga Fatia bergeming dari tempatnya berdiri. Masih dengan mode melayani customernya.
Mendengar Fatia tidak merespon ucapannya, Widya langsung menyambut Hafizh dengan sapaan khas penjual kepada pembeli barunya.
"Selamat siang Mas, ada yang bisa dibantu?" bukannya menjawab Hafizh justru tersenyum tipis. Bukan untuk menggoda tapi untuk menghormati meski dalam hati bertanya siapa wanita yang menawarkan bantuan kepadanya ini.
"Ini model terbaru loh dari butik kami. Kalau masnya mungkin ambil banyak pasti akan kami berikan diskon khusus." Boleh juga bahasa pemasarannya, namun memberikan diskon? Apa-apain ini, Hafizh yang memiliki butik ini saja belum mendelegasikannya kepada Fatia.
Somehow, Fatia mengerti atau justru membiarkan temannya ini terjebak situasi. Salah seorang temannya juga hanya memperhatikan interaksi Widya dengan calon pembelinya.
"Boleh, mana yang paling istimewa dari butik ini?"
"Mohon maaf untuk diberikan kepada siapa Mas, ibu atau mungkin kekasih atau istri." Kata Widya yang masih sangat serius untuk melayani. Lagi-lagi Hafizh tersenyum simpul, hampir membuat Widya pingsan di tempat.
"Istri. Calon istri lebih tepatnya." kembang yang mulanya mekar dengan subur di hati Widya tiba-tiba melayu saat mendengar bahwa lelaki rupawan di depannya ini telah memiliki seorang calon istri.
Meski tidak bersemangat lagi tapi masih dengan sikap profesionalnya Widya mencoba mengambilkan pakaian yang dirasa pantas untuk diberikan kepada sang calon istri bapak yang masih berdiri tegak di tempatnya sambil mengedarkan pandangannya ke semua penjuru butik. 'Lakinya saja seperti ini, perempuannya pastilah sangat istimewa.'
Setelah customer yang dilayani Fatia selesai melakukan pembayaran dan di sana hanya ada dia, Widya juga Puspa. Baru Fatia angkat bicara, "Sorry Bang, I invited my friends here."
Tidak ada jawaban dari mulut Hafizh. Hanya senyuman dan tatapan penuh tanda tanya dari kedua teman baru Fatia.
"No matter what, if it doesn't annoyed your job."
"I don't think so, but they had been upload some picture to their sosmed for offer our product."
"Do it. If you think it's a good to do." Jawab Hafizh dengan gayanya yang semakin membuat kedua teman Fatia terpesona dan semakin bertanya-tanya. Sepertiya memang Fatia belum menceritakan banyak tentang dirinya sehingga kedua teman barunya ini harus saling memandang seolah bertanya namun keduanya sama sama tidak mengetahui jawabannya.
Mengerti kedua temannya dalam fase kebingungan Fatia segera menyudahinya.
"Kenalkan ini Bang Hafizh. Owner butik ini dan itu artinya dia adalah bos aku. Ini Widya dan ini Puspa, Bang. Mereka berdua temen aku di kampus. Tadi rencananya mau hang out tapi kan tidak mungkin buatku, so aku mengajak mereka ke sini." Lebih tercengang lagi kedua temannya saat melihat Hafizh mengangguk dan tersenyum tanpa mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Fatia kemudian menunjukkan beberapa gambar yang telah dia rancang dan telah disetujui oleh Qiyya untuk segera diberikan kepada Indah untuk di eksekusi pemotongan dan pembuatannya.
"Ok, aku istirahat dulu. Kamu sudah makan siang, Boo?"
"Sudah, Abang belum makan?"
"Belum, tapi nanti saja aku ingin tiduran dulu diatas. Kalian, terimakasih ya sudah menemani Fatia." Kata Hafizh sebelum meninggalkan ketiga gadis yang masih shock saat mengetahui siapa dia. Lantai dua memang disediakan satu kamar yang bisa dipakai untuk istirahat. Dan memang selera Hafizh sekali design kamarnya. Sehingga hampir tidak pernah dipakai oleh Fatia istirahat.
Sepeninggal Hafizh, Widya langsung menyeret Fatia. Rasa malu yang dia rasa membuatnya harus meminta pertanggungjawaban dari Fatia.
"Kenapa nggak dari tadi si Fatia bilang kalau itu bukan pelanggan tapi yang punya. Mana dia juga woles banget menanggapi aku ngomong nawarin pakaian. Ih, Fatia bikin malu saja!!" rutuk Widya, Puspa hanya terkekeh geli.
"Bang Hafizh memang seperti itu orangnya. Kadang usil, warming tapi juga bisa jadi kulkas tergantung moody." Jawab Fatia.
"By the way, ganteng banget. Sayang sudah punya calon istri." Ucap Puspa dan tidak ditanggapi lagi oleh Fatia. Entah benar atau tidak yang jelas Fatia hanya melihat satu wanita yang mungkin membuat hati bosnya itu bergetar.
Satu jam setelahnya, kedua teman Fatia telah meninggalkan butik sehingga menyisakan Fatia seorang diri. Satu mangkuk salad buah yang baru saja dibuatkan Fatia untuk Hafizh telah siap untuk diletakkan di lemari es sebelum disantap oleh Hafizh. Hingga saat Hafizh turun dan telah kembali fresh Fatia tinggal menawarkannya.
"Ada salad buah. Abang mau? Aku ambilkan di kulkas ya?"
"Kamu beli?"
"Enggak, barusan buat. Kebetulan kemarin Bunda kemari dan bawa bahan bahannya katanya untuk Abang yang suka banget makanan itu."
"Boleh deh. Tapi lapar juga sedari siang belum makan ini." kata Hafizh kemudian melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Ini sudah sangat terlambat untuk dikatakan sebagai jam makan siang.
Sambil makan Hafizh menanyakan kedua teman baru Fatia. Tentu saja bahasan yang telah diberi prolog oleh Fatia mengenai unggahan mereka di akun sosmed.
"Temen kamu siapa namanya tadi?"
"Widya dan Puspa."
"Cantik." Jawab Hafizh singkat yang membuat kening Fatia berkerut.
"Hmmm, iya cantik masih muda kan habis lulus juga SMA."
"Maksud aku, dia menjual banget kalau seandainya mau endorse barang-barang kita. Nanti bisa ditawarkan ke follower mereka. Yakin deh kalau mereka berdua banyak followernya."
"Seyakin itu?"
"Widya, orangnya friendly Fatia. Dia pasti sering tuh posting apapun kegiatannya di sosmed. Nah mengapa nggak coba kita ajak kerja sama?" kata Hafizh.
"Paham, maksudnya dia jadi model produk kita kan?"
"Ya, harga teman pasti lebih murah. Tawarin gih ke mereka. Nanti aku bawain SLR untuk mengambil gambarnya biar bagus." Usul Hafizh yang langsung disetujui oleh Fatia.
Tidak ada yang istimewa dari perbincangan mereka. Hafizh mengajak Fatia untuk keluar untuk membeli makan dan menutup sementara namun Fatia menolak. Katanya sayang jika harus ditutup nanti bisa membuat pelanggan kecewa.
"Ya sudah, aku keluar dulu. Laper, kamu mau makan apa nanti aku bawakan."
"Sama seperti yang Abang makan saja. Jangan rare grilled ya."
Hafizh masih saja tertawa mengingat peristiwa itu. Lucu tapi kasihan yang akhirnya mencairkan hubungan mereka berdua.
Masih seperti biasanya setelah kepergian Hafiz. Pengunjung datang silih berganti seperti hari biasanya. Hingga sudut mata Fatia menangkap sebuah mobil yang sudah tidak asing lagi berhenti di depan butiknya.
Mobil yang sering parkir di parkiran dosen tempat dia kuliah. Siapa lagi jika bukan milik pak dosen Aftab Aldebaran.
"Pak Aftab?"
"Kalau tidak di kampus jangan panggil Pak. Kan sudah dari dulu dibilang." Jawabnya dengan senyum manis sambil membuka bungkusan yang dibawa.
Sekotak martabak telor hangat kesukaan Fatia. Hmmm, harumnya membuat cacing di perut Fatia berontak.
"Gimana kamu, kerasan tinggal di Malang?" tanya Aftab ketika mereka mulai mengunyah makanan yang dia bawa.
"Alhamdulillah Mas."
"Enak juga jadi mahasiswa baru?" tanya Aftab kemudian.
"Ya gitu, adaptasi sama sekolah lagi. Tapi sejauh ini masih sangat menyenangkan." Jawab Fatia dengan jujur.
"Kalau boleh tahu kamu pengennya seperti apa Fatia nanti. Selamanya ingin karyawan di butiknya Tante Qiyya?" tanya Aftab. Sepertinya memang dia ingin menyampaikan sesuatu tapi masih ingin menggali lebih jauh apa yang menjadi keinginan Fatia.
"Sebenarnya pengen jadi designer Mas. Suka banget gambar-gambar. Makanya di butik ini bisa untuk ngembangin hobi." Jawab Fatia lagi.
"Loh mengapa kemarin nggak ambil jurusan yang sesuai kamu inginkan. Akuntansi itu beda jauh loh sama design," kata Aftab.
Bukan Fatia tidak ingin belajar akuntansi tapi kesempatan langka yang dia peroleh ini sudah sangat membuatnya bersyukur. Memang ingin menjadi designer tapi dia juga tidak berkeberatan jika belajar tentang pembahasan laporan keuangan, auditing dan teman-temannya. Karena menurut prinsipnya ilmu itu nanti juga akan berguna untuknya.
Belajar dari seorang Hafizh yang dengan begitu mahirnya mengelola usaha, sebagai role model untuk memasarkan langsung, mengelola produksi, dan juga handle keuangan. Paket komplit untuk seorang entrepreneur, mengenai design-mendesign dia bisa mengambil kursus kilat karena dasar menggambar sudah dikuasai Fatia sejak dulu.
"Oghh, kalau menikah? Kamu ingin memiliki suami yang seperti apa?" tanya Aftab tiba-tiba.
"Laki-laki."
"Iya laki-lakilah masa iya perempuan. Maksudnya laki-laki yang seperti apa?" Fatia mengerutkan keningnya.
Mencoba mencerna pertanyaan Aftab yang tiba-tiba membuatnya menjadi tidak nyaman. Sedekatnya Fatia dengan Hafizh belum sekalipun Hafizh menanyakan dengan begitu frontal tentang laki-laki idamannya untuk dia jadikan sebagai suami nantinya.
"Ya yang bertanggung jawab, Islam dan bisa membimbingku untuk lebih baik lagi." jawab Fatia standar kriteria wanita pada umumnya. Tidak ada kriteria khusus yang harus dilengkapkan.
"Kira-kira, jika laki-laki itu aku. Bagaimana menurutmu?" Fatia sampai harus minum air putih sebanyak banyaknya karena terkejut dan tersedak saat mengunyah makanan.
Aftab mencoba membantunya dan hingga saat semuanya mereda Fatia hanya menarik nafas panjangnya. "Aku serius Fatia. Sejak pertemuan di Blitar dulu rasanya aku harus memantaskan diri untuk bisa mengatakan ini kepadamu." kata Aftab dengan sadar dan memandang Fatia lekat-lekat.
Martabak telor yang tadinya sangat lezat itu berubah menjadi hambar dan tidak lagi bisa tertelan ke kerongkongannya.
"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang." Dengan pasti Aftab mengambil cincin yang sudah dia persiapkan dan tersimpan di ring box. Menyerahkan kepada Fatia dan berkata, "Aku ingin kamu mendiskusikan dengan Allah terlebih dahulu baru setelahnya aku juga ingin melihat cincin itu melingkar di jari manismu."
Hening.
"Katakanlah kepadaku nanti kepada siapa aku harus memintamu." Kata Aftab sebelum akhirnya dia memilih untuk meninggalkan Fatia untuk memikirkannya.
Tidak ingin zina hati. Itu yang dilakukan Aftab mengapa dia begitu cepat untuk memutuskannya. Bermula perkenalannya di Blitar ditambah dengan kedekatan yang semakin intens saat mereka menjadi dosen dan mahasiswa membuat Aftab semakin yakin untuk melabuhkan hatinya kepada Fatia.
🍄🍄
-- to be continued --
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Blitar, 23 September 2019
revisi dan republish 21 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top