📒 14 ✏ Roda yang Berputar ✏

Bukan karena pilihan saat menentukan satu diantara dua. Terkadang logika harus bermain untuk berseberangan dengan rasa___________

🍄🍄

MESKI sesungguhnya rumah sakit bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Namun jika harus bertanya kepada orang pastilah semua akan menjawab, tidak ada yang mau berurusan dengan sebuah gedung yang bernama rumah sakit.

Bertanggung jawab, apa yang harus dipertanggungjawabkan jika kita tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan. Namun rasa kemanusiaan kembali menyapa naluri Hafizh sebagai atasan segaligus manusia yang beradab.

"Maaf Nak Hafizh. Kami datang terlambat." Kata Ustadzah Ikhlima sesaat setelah dia sampai di IGD rumah sakit yang telah Hafizh informasikan.

"Oh iya Ustadzah, tadi dokter ingin bertemu dengan keluarga pasien. Sempat menanyakan kepada kami namun kami informasikan bahwa Ustadzah dengan suami akan segera datang." Jawab Hafizh dengan sopan.

Sekejap, ustadzah Ikhlima segera berlalu dan menemui dokter yang menangani Aira.

Harusnya Hafizh bisa menyerahkan semua urusan rumah sakit kepada ustadzah Ikhlima, namun sekali lagi dia tidak merasa enak hati meninggalkan ustadzah Ikhlima yang masih tegang harus menghubungi orang tua Aira yang kini sedang berada di Malang. Mungkin dokter mengatakan sesuatu hal kepadanya hingga membuat raut wajahnya berubah menjadi seperti itu.

"Wildan, Bibi minta segera ke Blitar secepatnya. Ini tentang Aira." Tidak lagi ada pembicaraan selanjutnya yang bisa di dengar oleh Hafizh karena ustadzah Ikhlima juga telah menyelesaikan ucapannya dengan memutus sambungan teleponnya.

Sekali lagi dengan senyum santunnya Hafizh berbicara dengan Ustadzah Ikhlima dan suaminya.

"Maaf Ustadzah, karena Ustadzah dan juga Bapak sudah ada di sini sebaiknya kami permisi untuk melanjutkan aktivitas kami kembali. Maaf, jika mungkin dalam saya mengajari Aira membuat dia merasa kelelahan atau___"

"Tidak Nak Hafizh, bukan karena itu Aira sakit. Jazakallah khair sudah mengantarkan Aira ke rumah sakit." Kata suami ustadzah Ikhlima.

"Aamiin, baiklah kalau seperti itu adanya, kami izin untuk pamit dulu. Assalamu'alaikum." Pamit Hafizh setelah keduanya menjawab salam.

Dalam perjalanan pulang ke konveksi tidak banyak yang bisa dia bicarakan dengan Siwi. Pekerjaan yang tentunya Hafizh sudah bisa menyelesaikan dengan baik.

Akhirnya setelah sepuluh menit keluar dari rumah sakit, sampailah dia kembali di konveksi.

Gurat kelelahan dan sepertinya sedang dalam mode yang tidak ingin di ganggu yang terbaca oleh Fatia membuatnya hanya melaporkan apa yang baru saja dia kerjakan.

Misi selesai.

Begitulah hingga setelah pekerjaannya di konveksi terselesaikan Fatia izin kembali ke butik.

"Aku balik lagi ke butik ya, Bang?"

"Tunggu, temani aku kerja di sini sebentar. Setelah itu kita akan ke butik bersama-sama." Bolehkah Fatia memiliki harapan berlebih mendengar permintaan Hafizh yang mengiba itu?

"Apa yang bisa aku bantu lagi?"

"Nggak ada, cukup kamu duduk di sofa dan temani aku menyelesaikan menulis email kepada para konsumen untuk alert pengiriman barang kita hari ini." Jawab Hafizh dengan mata yang tetap terarah ke monitor komputer di depannya.

Rasa kikuk mendera, menikmati garis tegas wajah Hafizh dari samping memang terkadang bisa membuat orang mabuk mendadak. Butuh berliter-liter pasokan oksigen untuk menyegarkan alveoli di paru-parunya. Kantung alveolar di ujung bronkiolus mendadak sesak dengan karbon dioksida yang harus segera diganti.

Kaca mata minus yang memang selalu Hafizh pergunakan ketika bercengkerama dengan tulisan membuatnya terlihat 'smart'. Bukan terlihat sebenarnya, memang Hafizh adalah seseorang entrepreneur yang genius. Bisa membaca peluang dan mengaplikasikannya kepada pekerjaan yang sedang dia geluti dan dia kerjakan.

"Kamu sedang melamun atau memikirkan aku, hmmm?" tanya Hafizh tiba-tiba dengan fokus yang sama hingga membuat hati Fatia mencelos karena malu ketahuan sedang memandang Hafizh dengan begitu intens.

Bagaimana Hafizh bisa tahu, sementara jari dan juga matanya tetap fokus kepada monitor dan keyboard di depannya. Mungkinkah dia memiliki 'perewangan' yang selalu setia memberitahukan kepadanya apa saja yang dikerjakan orang-orang disekitarnya? Hati Fatia langsung menyangkalnya. Ya, memang setiap manusia memiliki teman jin bernama Qarin yang selalu setia menemani kita dari lahir sampai dengan ajal menjemput nanti. Dia mengetahui semua ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh orang yang dia dampingi tersebut. Bersama malaikat Rokib dan Atid yang mencatat semua amalan manusia, hanya dialah berusaha untuk mempengaruhi manusia untuk berbuat kemaksiatan.

Hafizh akhirnya mengalihkan pandangannya dengan tersenyum tipis kepada Fatia yang kini tengah tertunduk. Bukan Hafizh sok tahu mengatakan seperti tadi, karena dia merasa Fatia tidak seperti biasanya yang selalu ramai dan hangat. Pagi ini seolah dia menjadi sangat kaku dengan diamnya.

Hafizh lebih pandai dibandingkan Hanif jika menyangkut tentang hati tapi jika harus berkenaan dengan sebuah penyakit sepertinya memang putra kedua dokter bedah ini harus berkonsultasi lebih dalam dengan Daddy atau kakaknya.

"Assalamu'alaikum. Maaf Bang Hafizh, saya langsung masuk. Hanya ingin tahu bagaimana kondisi Aira tadi di rumah sakit." Tiba-tiba Icha datang dan meminta Hafizh untuk menceritakan kondisi Aira.

"Oh, iya Aira. Mengapa tiba-tiba tadi dia pingsan ya? Apa caraku menegur dia terlalu keras?" telinga Fatia cukup jelas mendengar pertanyaan Hafizh kepada Icha.

"Bukan Bang, dari sebelum gathering itu sebenarnya dia sudah tidak enak badan. Makanya waktu acara gathering dia tidak terlalu bersemangat. Kemarin memang suhu badannya panas, tapi ketika Icha tawarkan untuk membelikan obat penurun panas dia menolak, katanya sama seperti kemarin jika dipakai istirahat akan membaik." Jawab Icha.

"Kok pakai ditawarkan dahulu, harusnya segera dibelikan dong Icha supaya tidak terlambat seperti ini." Kata Hafizh yang mulai tertarik dengan pembicaraannya bersama Icha. Sementara Fatia hanya cukup menjadi pendengar yang baik untuk keduanya.

"Nggak mungkin Bang. Loh tadi ketika di rumah sakit Aira tidak mengatakan kalau dulu dia memiliki penyakit kronis yang membuat kami sahabat-sahabatnya tidak berani memberikan obat secara sembarangan kepadanya?" tanya Icha.

"Penyakit kronis?"

"Waktu kecil Aira mengidap penyakit pneumonia. Itu karenanya jika badannya sedang capek atau tidak fit sedikit pasti langsung ambruk." Terjawab sudah apa yang menjadi tanda tanya besar di dalam hati Hafizh sedari tadi.

Ketika dokter menanyakan apakah pasien memiliki penyakit bawaan dari kecil? Dan telepon dari Ustadzah Ikhlima kepada seseorang. Mungkin inilah penyebabnya yang akhirnya meminta Abi Aira segera datang ke sini.

"Tidak, tadi kami hanya mengantarkan ke IGD dan selanjutnya ada Ustadzah Ikhlima dan suaminya yang menunggu Aira di rumah sakit sebelum aku dan Mbak Siwi kembali." Jawab Hafizh.

"Baiklah kalau begitu, nanti kami mohon izin ya Bang untuk bisa menjenguk Aira. Setelah pekerjaan kami selesaikan tentunya." Izin Icha dengan penuh harap.

"Boleh silakan, nanti bilang sama Mbak Siwi ya."

"Siap, terima kasih. Kalau begitu saya permisi dulu." Sekilas kemudian Icha hilang dari balik pintu yang dibiarkan terbuka oleh Hafizh.

Helaan nafas panjang terdengar baru saja terurai dari bibir Fatia. Hafizh melihatnya sekilas kemudian membiarkan Fatia kembali duduk manis. Sementara dia melanjutkan kembali pekerjaannya dengan baik.

10 menit

15 menit

20 menit

"Bang, aku nggak mau terima gaji buta loh. Masa iya aku duduk duduk terus di gaji?" kata Fatia yang sudah merasa bosan. Setengah jam dia hanya duduk termenung menunggu Hafizh yang sedang bekerja.

Fatia lebih memilih untuk disuruh-suruh seperti biasanya daripada menikmati keheningan bersama Hafizh yang akhirnya membuat hayalannya mengembara.

"Ya itung-itung nanti untuk belajar," jawab Hafizh ringan.

"Belajar apa ini maksudnya? Kuliahku? Iyalah tentu akan belajar dengan sangat baik."

"Bukan," jawab Hafizh singkat yang semakin membuat Fatia meradang.

"Lah terus?" kejarnya hingga Hafizh mematikan komputer karena sepertinya pekerjaan yang dia kerjakan telah selesai.

"Iya bukan belajar kuliah. Kalau itu sudah kewajibanmu nanti sebagai mahasiswa." kata Hafizh dengan melakukan skinship dengan menepukkan sebuah buku ke pundak Fatia. "Tapi belajar nerima gaji buta karena___"

"Haaaaahhhh????"

Hafizh hanya tersenyum manis sambil memberikan kode kepada Fatia untuk mengikutinya. Menyebalkan bukan? Padahal Fatia ingin tahu dengan jelas apa maksud Hafizh dengan makan gaji buta. Tapi Hafizh malah sengaja menggantung kalimatnya.

Berduaan di mobil seperti biasa, Hafizh fokus dengan jalanan yang ada di depannya.

"Bang, itu kacamata kenapa tidak dipakai sih?"

"Takut aku nabrak ya?"

"Fatia belum nikah Bang. Belum ngerasain yang kata orang nikmatnya surga dunia setelah menikah. Masa iya sudah harus Bang Hafizh tabrakin. Nggak enak banget." kata Fatia seperti biasanya namun hanya ditanggapi senyuman oleh Hafizh yang langsung memasang kacamatanya.

"Memangnya kamu pengen cepet-cepet nikah?" tanya Hafizh mulai memancing di air keruh.

"Menikah? Iya pengen tapi tidak cepat-cepat juga. Masih pengen kuliah juga kali Bang. Lagian juga belum ada calonnya." Kata Fatia sambil terkekeh geli.

Membayangkan menikah dan memiliki keluarga baru membuatnya dia menjadi tertawa lirih. Masih jauh, dia masih ingin mengumpulkan uang untuk meraih mimpinya menjadi seorang yang berharga setidaknya untuk orang-orang yang ada di dekatnya.

Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Hafizh tidak ingin menggoda Fatia lebih dari itu mengingat pesan yang disampaikan Ibnu kepadanya. Syukur jika Fatia juga memiliki pemikiran yang sama dengan Hafizh sehingga dia tidak perlu terburu nafsu untuk segera menikahinya.

Hingga mobil yang mereka tumpangi mengantarkan mereka ke butik AdzQibnu. Fatia langsung masuk dan kembali ke pekerjaan utamanya.

"Bang, datar amat sih?" sapa Widi saat keduanya masuk ke butik. "Jangan bilang kalian sedang berantem ya?"

Fatia langsung membulatkan matanya. Widi enggak banget, tidak tahu kalau si bos sedang banyak pekerjaan dan tidak suka diganggu. Namun mendengar celoteh Widi justru membuatnya tertawa lebar. Bertengkar dengan Fatia, itu sudah masa lalunya.

"Tanya sama Fatia, tadi aku apain sampai cemberut seperti itu." Ucap Hafizh kemudian meninggalkan keduanya.

Hafizh kembali teringat sesuatu untuk segera menelpon kakaknya. Persetan dengan perbedaan waktu dia hanya ingin mendapatkan jawaban dengan segera.

"Nggak kerja?"suara Hanif yang masih juga mengenakan snellinya.

"Ini juga lagi kerja, gimana kabarnya kembar?" tanya Hafizh.

"Ya kaka masih di NICU, doain ya semoga bisa melewati masa kritisnya." Kemudian mereka berdua terlibat percakapan yang menghangatkan. Ya, rasanya memang hanya melalui sebuah telepon pintar hampir selama 6 tahun terakhir ini yang menghubungkan antar kedua kakak beradik ini. Hingga setelah sekian lama Hanif mulai menyadari bahwa sang adik ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ada apa Bang? Sepertinya ada hal lain yang mendesakmu untuk menelponku hari ini selain menanyakan tentang kembar dan keadaan kami di sini?"

"Pneumonia."

"What? Pneumonia? Siapa yang sakit itu?" tanya Hanif sedikit terkejut dengan jenis penyakit yang disebutkan adiknya

"Karyawan."

"Yang kata bunda lagi deket sama kamu?" tanya Hanif lagi.

"Bukan."

"Jangan suka mainin perasaan wanita Bang, Masmu ini tidak pernah mencontohkan seperti itu. Kemarin daddy juga bilang kalau kalian sudah berbicara sebagai laki-laki dewasa. Lalu apa keputusanmu?" tanya Hanif malah tidak menjawab pertanyaan Hafizh tentang penyakit Aira.

"Abang masih belum ingin menikah cepat Mas, dia juga sama."

"Tahu darimana?"

"Dia yang bilang sendiri waktu abang tanya." Jawab Hafizh.

"Hubungan kalian sudah sejauh itu ternyata. Kalian pacaran?"

Tentu saja Hafizh langsung menjawab tidak. Sudah bukan menjadi masalah yang utama jika apa yang menimpanya sampai juga ke telinga Mas Hanifnya.

Tapi dengan segera Hafizh mengembalikan lagi ke pokok pembicaraan awal mereka.

Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang paru, sehingga menyebabkan kantung udara di dalam paru meradang dan membengkak. Itu yang disampaikan Hanif kepadanya.

"Sebenarnya pneumonia banyak ditemukan pada anak-anak dan juga orang lanjut usia. Namun jika seseorang yang pernah mengidap penyakit ini kelelahan atau kekurangan nutrisi pasti akan kembali merasakan gejala yang sama." Kata Hanif melengkapkan informasinya.

"Lantas apa yang kita harus lakukan jika itu terjadi?"

"Pengobatan tentunya. Istirahat, tidak berpikiran berat dan minum air yang cukup." Jawab Hanif lagi. "Memang karyawan siapa yang terkena itu?"

"Anak PKL Mas, tadi langsung pingsan dan segera Abang antar ke IGD. Hanya setelah Ustadzah Ikhlima berbicara dengan dokter kok sepertinya beliau bingung menghubungi abinya Aira." Jawab Hafizh

"Ustadzah Ikhlima?" tanya Hanif karena keduanya sama-sama mengenal siapa ustadzah Ikhlima yang dimaksud Hafizh.

"Aira itu anak dari keponakan ustadzah Ikhlima."

Hanif terdiam sesaat. Usianya dulu memang belum mengerti apa yang terjadi antara kedua orang tua, tante dengan abi gadis yang sedang ditolong Hafizh. Namun bukan berarti Hanif tidak mengerti saat usianya cukup untuk mengerti semuanya.

"Mas? Are you Ok?"

"Sebaiknya kamu ikuti pesan daddy Bang, jangan suka mempermainkan hati wanita." Pesan Hanif kepada sang adik.

"Apa hubungannya dengan penyakit Aira, Mas?"

Hanif tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya karena hal yang sudah selesai sebaiknya tidak perlu ditimbulkan lagi ke permukaan. Dia hanya memberikan pesan yang sama seperti yang disampaikan oleh Daddy mereka saat berbicara dengan Hafizh malam itu.

Akhirnya percakapan keduanya harus terputus. Fatia datang ke ruangan Hafizh dengan kotak makan siang.

"Bang, makan dulu. Habis itu ke rumah sakit yuk, nengokin keadaan Aira seperti apa. Nggak etis kalau Abang nggak ke sana segera." Pesan Fatia sebelum dia meninggalkan ruangan Hafizh.

"Kamu sudah makan Boo?"

"Ini masih nungguin Widi yang istirahat dulu." Jawab Fatia.

"Oke deh, aku tunggu kamu saja. Bawa makananmu ke atas, kita makan siang bersama. Mau sholat bareng?"

Fatia tertawa mendengar tawaran Hafizh namun dia harus menjaga kasir bergantian dengan Widi yang sedang istirahat jadi tidak mungkin menerima tawaran Hafizh meski hatinya ingin. Sholat berjamaah 27 derajat lebih banyak pahalanya daripada sholat sendiri.

"Aku harus gantian sama Widi istirahatnya. Ntar saja Bang Hafizh jadi imam hidup Fatia." Kekeh Fatia kepada Hafizh yang dijawab gelengan kepala Hafizh dengan senyuman yang tidak kalah manisnya.

"Yakin mau nih jadi pelengkap imanku?"

Gleeggg, gayung bersambut dan skakmat. Candaan Fatia membuat Hafizh lebih berani membalikkan Fatia tidak mungkin lagi menjawab candaannya. Hafizh segera membasuh muka dengan air wudhu dan segera menyambut panggilan Rabbnya.

🍄🍄

-- to be continued --

🍃 ___🍃

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

🍃 ___ 🍃

mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini

Blitar, 10 September 2019

revisi dan republish 18 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top