📒 10 ✏️ Tentang Rasa ✏️

Kelak jika benar di hidupku adalah kamu, kuingin mempuisikan semua tentangmu dengan kata yang sederhana dan mencintaimu dengan rasa yang membahana________________

Hafizh Abbiyu Asy Syafiq

🍄🍄

AKU berdiri diantara ketidakmampuanku. Membiarkan semua rasa di dalam hatiku menggelambyar semakin tidak menentu. Untuk mengungkapkannya saja aku tidak akan pernah mampu.

Islam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk membina suatu hubungan sebelum halal.

Aku tahu persis itu dan tidak akan kulakukan demi kedua orang tuaku bisa melenggang melangkah menuju surganya Allah. Mengingat kembali perjalanan cinta Daddy dan Bunda yang terbilang singkat. Kemudian mempelajari berlikunya kisah cinta Mas Hanif yang menurutku begitu banyak yang harus dia korbankan, termasuk juga dengan hatinya.

Tapi sekali lagi berbicara qodar, tidak akan lagi bisa manusia menjadi penghalang dan pengingkar atas semua yang telah tertulis di lauhul mafudzNya. Kesabaran Mas Hanif akhirnya berbuah juga. Bisa mendekap Kak Azza ke dalam pelukannya. Meskipun itu bukan merupakan pernikahan impiannya tapi kini yang aku tahu darinya tidak ada yang terucap selain rasa kesyukuran yang tidak berkesudahan.

Oh, Allah. Kembali mengingat mereka. Aku ini bukan apa-apa, mengapa justru aku tidak bisa bersabar seperti yang dilakukan oleh kakakku yang selalu menjadi teladanku setelah Daddy tentunya.

Kakak yang selalu menyayangi adik-adiknya.

Hari ini jadwalku memang harus bekerja. Semenjak pengerjaan renovasi butik yang akan ku buka di Malang selesai, itu akan membuatku semakin banyak waktu untuk melakukan mobilitas dari Blitar ke Malang.

Tiba-tiba terbersit ide setengah gila namun aku yakin Bunda tidak akan menolaknya, semoga.

'Allah, jika memang niatku ini tidak keliru aku mohon berikanlah kemudahan untuk mewujudkannya.' kataku dalam hati.

"Bang, pagi-pagi kok bengong. Lagi mikir apa? Itu nasinya sudah memanggil untuk dimakan loh." Kata nunda yang mungkin melihatku bukan segera menghabiskan sarapan tetapi justru hanya terbengong sambil memainkan tangan di bibir mug yang berisikan teh tanpa gula kesukaanku.

"Eh Bund, abang sedang mikir outlet yang di Malang. Kira-kira siapa yang bisa dipercaya untuk megang. Sejauh ini kalau butik kan Fatia dan Widi yang bisa pegang laporan keuangan."

"Sepertinya bunda tahu kok yang kamu inginkan. Sudah Fatia saja untuk outlet di Malang. Dalam hatimu menginginkan dia kan?" jawab Bunda yang memang sudah seperti cenayang yang bisa membaca kemana arah pikiranku.

"Satu lagi Bund."

"Apa?"

"Maaf, Bunda jangan marah ya?" pintaku ragu-ragu.

"Mengapa bunda harus marah jika abang tidak melakukan kesalahan?" jawab Bunda masih dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

"Abang ingin Fatia melanjutkan sekolah lagi Bund, setidaknya D3 di Malang. Alasan itulah yang membuat abang ingin dia yang pegang outlet di Malang." Jawabku akhirnya meski dengan muka tertunduk karena terus terang aku masih belum siap jika Bunda tidak mengizinkannya.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut wanita yang telah merawatku sedari aku kecil ini. Yang aku tahu bahwa langkah kakinya sekarang berjalan mendekatiku hingga kurasakan sentuhan tangan lembutnya di bahuku.

"Kamu benar-benar mencintainya?" pertanyaan Bunda yang akhirnya membuatku mendongak ke arahnya sampai mataku terkunci dengan tatapan lembut dan selalu membuatku tidak berdaya.

"Bunda___"

"Tanpa menjawab pun sebenarnya bunda sudah tahu apa jawabannya. Mata kamu tidak bisa berbohong banyak kepada Bunda." Bunda terdiam, menarik nafas kemudian berkata kembali. Bukan jawaban yang kuterima tetapi justru PR yang harus kuselesaikan jika tetap menginginkan Fatia bisa sekolah kembali melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

"Jangan bersikap tidak adil kepada karyawanmu sebelum kamu benar-benar menjadikan Fatia menjadi wanitamu. Bunda tidak melarang jika kamu mampu untuk membiayai sekolahnya tapi jangan hanya semata karena kamu mencintainya. Belum tentu juga dia mau menerimanya. Buatlah dia menerima itu karena usahanya, bukan karena kamu yang memberikan. Atau kamu berminat untuk menjadikannya istri dalam tempo dekat ini?" telak. Pertanyaan terakhir bunda membuatku tidak berdaya untuk menjawabnya.

Ya, jujur aku memang menginginkan Fatia. Tapi tidak dalam waktu dekat. Aku masih harus belajar, belajar untuk menjadi laki-laki dewasa, belajar untuk menjadi seorang imam yang baik. Tentunya juga suami yang baik untuk Fatia nanti.

Aku menginginkan Fatia untuk melanjutkan sekolah lagi, setidaknya menjadi bekal untuknya nanti. Denganku ataupun bukan, percaya atau tidak percaya bahwa dunia masih mengukur kemampuan seseorang dari legalitas pendidikannya.

Lebih dalamnya lagi ketika nanti benar menjadi jodohku, terus terang aku tidak ingin dia menjadi minder jika harus berdampingan dengan kak Azza.

"Abang masih ingin belajar lebih Bunda. Belum terpikir untuk menikah sekarang meski Bunda tahu kepada siapa sesungguhnya hati Abang telah berlabuh." Jawabku pada akhirnya.

Bunda mengerti dan sepenuhnya bisa memahami maksudku. Ada banyak yang harus aku selesaikan sebelum akhirnya melabuhkan duniaku kepada wanita yang nanti akan membersamaiku menuju surgaNya.

"Sekali lagi buat dia menerima tanpa menimbulkan iri hati dari karyawan lainnya." Kata bunda di ujung ceritaku.

"Bunda bisa memberikan sesuatu sebagai contohnya?"

Senyum wanita separuh baya yang selalu cantik di mataku itu kembali mengembang. Gigi putihnya terlihat berjejer rapi. Hingga bibirnya bergerak, Bunda benar-benar memberikan PR yang harus secepatnya aku selesaikan.

"Lulusan terbaik Oxford, pasti dengan sangat mudah bisa mencerna, mengartikan dan mengambil langkah cepat atas apa yang Bunda sampaikan barusan." Bunda benar-benar tidak memberikan clue apapun. Kami hanya makan dan membicarakan tentang pekerjaan yang harus kami handle secepatnya.

Wanita yang membuat dunia Daddy kembali. Wanita yang membuat keluarga kami semakin berwarna karena kehangatannya tentu. Ya, wanita yang begitu aku cintai sekaligus aku hormati. Wanita yang telah memberikan jutaan cintanya kepada kami.

Kembali pada rutinitasku. Itu artinya aku kembali akan dipertemukan dengan wanita yang kini telah menjungkirbalikkan duniaku. Wanita yang selalu aku perhatikan namun seolah dia enggan untuk menerimanya. Atau memang tidak tahu akan signal cinta yang telah aku kirimkan kepadanya.

Fatia, gadis sederhana yang pernah membuatku cemburu karena begitu dekat dengan Bunda. Jelas aku tidak mau siapa pun mengambil bunda dari sisiku. Bunda Qiyya selamanya akan menjadi Bundaku. Meski sesungguhnya aku telah keliru. Sebelum kami bertemu, Bunda telah menjadi bundanya anak-anak panti asuhan yang dikelola oleh oma.

"Selamat pagi Bang." Sapa Widi saat aku masuk ke butik. Sekilas kulihat Fatia juga telah siap melayani pelanggan di sebelah Widi berdiri.

"Selamat pagi." Singkat memang, aku tidak akan kuat berlama-lama berdekatan dengan Fatia saat ini. Bukan karena aku marah hanya aku masih belum bisa menekan rasa yang kini sedang bermekaran di dalam hatiku untuknya.

"Bang___" panggil Widi lagi ketika aku hendak melangkahkan kaki.

"Ya?"

"Akhir tahun sepi saja Bang, nggak ada acara gitu untuk memeriahkannya?" aku tersenyum kemudian meninggalkan mereka namun sekilas aku mendengar Widi bertanya kepada Fatia apa yang terjadi padaku pagi ini kelihatan diam dan sepertinya menghindar.

"Sakit gigi mungkin." Jawaban Fatia sebenarnya membuatku ingin tertawa tetapi sekuat tenaga aku tahan.

Tapi ngomong-ngomong masalah pertanyaan Widi tadi akhirnya membuatku mendapatkan ide jawaban dari PR Bunda yang diberikan kepadaku. Pagi ini aku mencoba untuk mencari tahu tentang perguruan tinggi recomended di Malang yang bisa dijadikan tujuan Fatia untuk melanjutkan studinya. Tentu saja jurusan yang mirip dengan yang aku ambil dahulu.

Setelah memeriksa laporan rugi laba dan juga semua stock. Aku berani mengambil keputusan bahwa dengan membiayai sekolah Fatia, keuntungan perusahaan tidak begitu berpengaruh.

Setelah memberitahukan bunda dan juga mendapat izinnya tentu saja senyum merekah itu tidak pernah lepas dari bibirku. Ya, menutup tahun ini aku akan mengadakan quiz untuk seluruh pegawai, namun aku pastikan hanya Fatia yang akan bisa mengerjakan dengan baik. Ya, tentu saja karena quiz yang akan aku berikan adalah pelajaran yang pernah aku ajarkan kepada Fatia sebelum sebelumnya.

"Widi__" panggilku saat kutahu sahabat Fatia itu melintas di depan ruangan kerjaku.

"Iya Bang, ada yang bisa aku bantu?" jawabnya.

"Di bawah sepi? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu dan juga kepada Fatia. Tolong panggil Fatia kemari." Aku memang harus segera menyampaikan perihal pemindahan Fatia ke Malang secepatnya.

Sekejap kemudian keduanya telah duduk manis di depan mejaku. Tidak ada yang berubah dari raut muka Fatia. Dia masih dengan begitu santainya berhadapan denganku. Padahal aku berusaha mati-matian untuk menekan semua perasaanku agar terlihat biasa saja.

"Bang Hafizh kenapa sih dari tadi diem saja. Nggak biasa-biasanya. Beneran sakit gigi? Ke dokterlah." Kata Widi yang sepertinya memang sedikit mengerti perubahanku hari ini.

Aku menghela nafas dalam dalam baru setelahnya menjawab rentetan pertanyaan yang Widi sampaikan.

"Bukan, bukan sakit gigi. Tapi memang banyak pekerjaan yang membutuhkan fokus tinggi. Ada dua hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian hari ini. Intinya aku ingin kalian berdua berkembang." Sebuah prolog berhasil aku sampaikan kepada keduanya. Tidak ingin membuang waktuku dan juga rasa ingin tahu mereka.

"Pertama, mengenai acara akhir tahun yang ditanyakan Widi tadi pagi. Nanti akan kita buat acara untuk menyemarakkannya. Widi langsung handle sebagai ketua panitia, karena kamu yang mengingatkanku tadi pagi__" kataku yang belum selesai namun sudah dipotong oleh Widi.

"Tapi Bang__" sepertinya dia merasa keberatan namun ketika jari telunjukku sebagai isyarat berada di depan bibir mau tidak mau dia akhirnya terdiam.

"Jangan di jeda dulu. Widi sebagai ketua panitia. Bikin games untuk membuat karyawan bisa guyup dan juga saling membantu satu sama lainnya. Selebihnya nanti akan aku adakan quiz, yang mana sebagai hadiah akan aku siapkan tiket pesawat wisata ke luar negeri atau beasiswa belajar. Pilih salah satu diantaranya." Aku cukup tahu jika keduanya terkejut. Tidak ada yang berlebihan jika kita niatkan semuanya atas nama Allah.

"Yang kedua, karena butik di Malang akan segera di buka. Mengingat baru kalian berdua yang memegang tiket qualified untuk memegang keuangan dan juga laporannya. Maka aku memilih Fatia untuk memegang butik di Malang. Widi yang akan menggantikan Fatia di sini juga untuk menghandle laporan konveksi." Akhirnya tersampai juga apa yang menjadi pikiranku pagi ini.

Melihat ekspresi mereka yang berbahagia aku akhirnya menyadari sesuatu yang mungkin terlupakan. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang ya Rabb.

"Wah selamat ya Fatia di Malang nanti bakalan lebih dekat dengan mas Aftab dong. Semoga pedekatenya berhasil, ya nggak sih Bang?"

Pertanyaan macam apa itu yang disampaikan Widi. Senyum kecut mewakili hatiku kuberikan kepadanya. Yang benar saja, niatku menempatkan Fatia ke Malang supaya dia bisa melanjutkan kuliah di sana mengapa justru memuluskan pendekatan antara Fatia dan Aftab. Aku tidak akan terima!!!

Tidak akan ada acara pendekatan-pendekatan. Malang seutuhnya di bawah kendaliku. Meski tahu jodoh ada di tangan Allah, namun apa salahnya aku mencoba untuk membuatnya bisa dekat denganku. Mungkin jika nanti Fatia bersedia untuk melanjutkan kuliah, maka aku juga akan serta melanjutkan pasca sarjanaku di sana. Lagi-lagi Malang menjadi alternatif utama supaya aku memiliki banyak waktu untuk berada di kota itu bersama si Booku.

"Memangnya Aftab pedekate sama kamu Boo?" tanyaku yang kembali ke mode sinis ketika aku baru kembali dari Oxford dulu.

"Eh, eng__apaan sih. Itu kan kata Widi bukan kataku Bang?" jawabnya seperti orang salah tingkah. Tapi aku masih melihat datar di raut mukanya.

"Kamu suka dia?" apa juga urusanku bertanya seperti itu kepada Fatia, belum juga menjadi hakku. Tapi demi Tuhan, hatiku tidak ikhlas menerima semuanya.

"Eh, itu nggak bener." jawabnya mulai tertata dengan baik.

"Apanya yang nggak bener?" tanyaku semakin mendetail. Aku hanya ingin mengetahui bagaimana jawabannya kembali ketika aku cecar dengan pertanyaan yang aku ambil dari jawaban dia sebelumnya.

Aku tahu dari Bunda jika tidak ada perubahan yang signifikan berarti memang jawaban yang dikemukakan adalah kebenaran dari dalam hatinya meskipun dia menjawabnya dengan gugup. Ternyata ada gunanya juga belajar ilmu psikologi dengan Bunda.

"Aku dan mas Aftablah. Siapa lagi Bang? Memangnya aku sama Bang Hafizh?" jawab Fatia yang langsung membuatku tertohok. "Aku dan mas Aftab memang tidak ada apa-apa. Bukankah pacaran itu dilarang menurut Islam?"

Benar, memang tidak ada istilah pacaran dalam Islam. Tapi kalimatmu sebelumnya membuat orang ketiga diantara kita berasumsi yang lain meski memang dalam hatiku menginginkan itu.

"Eh tunggu, kamu tidak ada apa-apa dengan mas Aftab. Sekarang aku tanya memang ada apa antara kamu dengan bang Hafizh, Fatia? Kok ngomongmu tadi seperti itu? Memangnya aku sama bang Hafizh, hayoh loh ngaku. Ada apa diantara kalian?" kan bener. Apa aku bilang dalam hati. Widi langsung menanggapi kalimatmu itu.

"Sudah-sudah. Aku sama Fatia belum ada apa-apa__"

"Cie, belum ya Bang bukan tidak? Berarti akan ada apa-apa." Kembali Widi menggodaku dengan Fatia yang membuatku menjadi salah tingkah di depan wanita yang masih memasang tampang polosnya ini. Ya Rabb, pandai sekali Engkau menciptakan wanita di depanku ini sehingga aku sama sekali tidak bisa membaca bagaimana perasaannya kepadaku.

"Itu biar menjadi urusan Allah, Widi. Kita jalani sesuai dengan qodarnya. Yang jelas aku pengen Fatia di Malang bekerja dengan baik, dan apa kamu tidak tertarik untuk bisa memenangkan quiz sehingga bisa melanjutkan sekolahmu nanti di Malang sambil bekerja."

Hap, pancinganku ternyata tertangkap dengan baik. Saat ini aku baru bisa membaca raut muka antusias yang di gambarkan olehnya.

"Tidak ada pedekate-pedekate atau apalah itu namanya, karena nanti kamu akan menempati rumah Daddy yang ada di Malang. Tidak diperbolehkan menerima tamu laki-laki, kecuali keluarga Daddy. Itupun tidak boleh sendirian termasuk denganku."

Senyum sumringah dalam hatiku seolah tersembul ke permukaan. Aku tidak akan memberikan kesempatan itu kepadamu Fatia. Catat akan hal itu!!!

🍄🍄

-- to be continued --

🍃 ___🍃

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

🍃 ___ 🍃

mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini

Pakuwon Mall Surabaya,
18 Agustus 2019

revisi dan republish 12 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top