📒 09 ✏ Cemburu atau Baper? ✏
Kamu berbicara padaku dengan kata-kata. Sementara aku cukup memandangimu dengan penuh perasaan______________________________
🍄🍄
MEMUTUSKAN untuk bersilaturahim ke kediaman Ustadzah Ikhlima bukan tanpa sebab atau terlebih hanya ingin membuat Fatia cemburu. Ada misi besar bagi Hafizh untuk menambahkan ilmu agama kepada seluruh karyawannya. Ini semua bertujuan untuk tetap menjaga keimanan dimana kadang lupa menjadi penyebab utamanya. Memberikan charge ilmu, tujuan dari Hafizh bersilaturahim adalah meminta kepada Ustadzah Ikhlima bersedia menjadi pembicara untuk acara bulanan yang rencananya memang akan selalu diadakan bagi seluruh karyawan yang bekerja dengan Hafizh baik itu karyawan yang berada di konveksi maupun di butik milik Qiyya.
Selain itu, Hafizh rencananya juga akan menyelenggarakan pengajian untuk meminta doa kepada seluruh karyawannya demi kelancaran pembukaan salah satu cabang butiknya di kota Malang. Pengurusan izin dan renovasi tempat usaha telah selesai satu minggu yang lalu, sehingga tempat itu telah siap untuk di isi dan dipergunakan untuk menambah lapak usahanya.
"Ooh, jadi rencananya untuk rutin setiap bulan ya Nak Hafizh?" tanya Ustadzah Ikhlima saat Hafizh telah seleai mengatakan maksud dan tujuan bersilaturahim ke rumahnya.
"Inshaallah seperti itu Ustadzah, semoga Ustadzah Ikhlima bersedia dan tidak keberatan."
"Tidak ada yang memberatkan untuk bisa berbagi ilmu dengan sesama muslim. Justru buat saya adalah keharusan, sehingga kita bisa selalu menularkan kebaikan untuk semua orang yang hidup di akhir jaman ini." Jawab Ustadzah Ikhlima.
"Alhamdulillah kalau begitu, saya jadi tenang ke depannya. Karena terus terang saya bukan hanya ingin mengantarkan mereka untuk sukses di dunia tanpa bekal untuk akhirat Ustadzah." Ada desir halus di hati Ustadzah Ikhlima mendengar ucapan Hafizh. Sangat jarang di era modern ini seorang pemimpin yang masih memikirkan hal itu untuk karyawannya.
"Namun apa tidak sebaiknya itu dilakukan oleh seorang Ustad, Nak Hafizh. Mengisi kajian yang yang jamaahnya ada rojulun itu rasanya kurang pas bagi saya." Sekali lagi Ustadzah Ikhlima mengemukakan pendapatnya.
"Masalahnya pekerja di tempat kami itu 95% adalah perempuan. Laki-laki hanya untuk kuli pengangkut barang dan driver saja Ustadzah, jadi menurut saya tidak menjadi soal. Selain itu saya yang terus terang sudah terbiasa dengan kajian yang diisi oleh Ustadzah Ikhlima di Panti Asuhan Oma yakin jika itu bukan menjadi kendala yang berarti. Nanti akan kami siapkan hijab bagi yang laki-laki dan perempuan." Terang Hafizh.
"Bunda sudah mengetahui tentang ini?" tanya Ustadzah Ikhlima.
"Saya sudah menyampaikan ini kepada Bunda. Intinya beliau setuju jika Ustadzah Ikhlima bersedia untuk mengisi kajian tersebut. Tapi beliau belum tahu jika hari ini saya datang kemari untuk menemui Ustadzah." Jawab Hafizh.
"Baiklah jika memang seperti itu. Coba nanti saya diskusikan kembali dengan Bundamu. Mari silakan diminum dulu."
Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan oleh Hafizh dengan Ustadzah Ikhlima maka Hafizh segera pamit untuk kembali pulang. Alarm tubuhnya telah memanggil, badannya yang terasa remuk sudah meminta untuk segera diistirahatkan.
Saat Hafizh hendak berjalan menuju ke mobilnya, bayangan Aira yang sedang membersihkan halaman depan rumah Ustadzah Ikhlima menyapa Hafizh. "Bang Hafizh sudah selesai urusannya dengan Uti Ikhlima?"
"Alhamdulillah sudah. Aku pulang dulu ya Ai. Terimakasih tadi sempat menemani ngobrol di mobil." Terkesan sangat formal namun Aira sangat menikmati kebersamaan dengan Hafizh sore itu. Hafizh yang masih memberikan jarak yang tegas diantara mereka membuat Aira semakin mengaguminya.
'Berbahagialah kelak seseorang yang menjadi pasangannya. Laki-laki yang tegas namun selalu sopan terhadap wanita.'
Ustadzah Ikhlima yang melihat mata Aira untuk Hafizh membawa ingatannya untuk kembali kepada peristiwa 19 tahun yang silam. Namun bibirnya kelu hanya sekedar untuk menceritakan apa yang terjadi kala itu kepada Aira. Ustadzah Ikhlima hanya bisa berdoa semoga Aira tidak memiliki harapan yang berlebih kepada Hafizh. Namun lagi-lagi kembali, tidak akan ada yang berubah jika qodarullah yang menjadi ujung dari sebuah cerita telah berbicara. Hanya saja ketakutan Ustadzah Ikhlima jika nanti Hafizh dan Aira dekat akan tercipta kecanggungan yang luar biasa antara Abi Aira dan mungkin juga keluarga besar Hafizh.
Qiyya baru melihat sang putra kembali dari Jakarta saat Hafizh memasuki rumah mereka. Muka lesu dan juga gurat kelelahan tergambar jelas di raut muka Hafizh. Hembusan nafas kasar dan juga rapalan kalimat istighfar terdengar begitu jelas di telinga Qiyya.
Rasanya setelah mendapat telepon dari ibunda, Qiyya memang harus memberikan perhatian yang cukup ekstra kepada Hafizh. Jika dulu Hanif memang cenderung lebih menutupi perasaannya kepada Azza, Hafizh justru berbeda 180°. Dia lebih memilih untuk menunjukkan namun dengan cara yang berbeda, ah anak muda yang sedang dirundung asmara memang akan memiliki banyak cara untuk mengungkapkan perasaannya.
"Baru sampai Sayang?" sapa Qiyya ketika kini mereka telah saling berhadapan.
"Sebenarnya sudah dari tadi Bunda, tadi sudah sempat mampir ke butik, ke konveksi dan juga sekaligus ke rumah Ustadzah Ikhlima untuk membicarakan seperti yang pernah Abang sampaikan kepada Bunda dulu itu." Jawab Hafizh.
"Ustadzah Ikhlima menerimanya?" tanya Qiyya.
"Intinya beliau tertarik, hanya saja tadi berkata jika akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan Bunda kembali." Kata Hafizh yang akhirnya memilih untuk meninggalkan Qiyya dengan muka awut-awutannya.
Saat Hafizh akan menaiki tangga suara Qiyya kembali menggema di telinga Hafizh dan sontak menghentikan langkahnya seketika.
"Kamu tidak sedang bertengkar dengan Fatia kan Bang? Atau ada sesuatu yang lain yang belum kamu sampaikan kepada Bunda?" sesungguhnya Hafizh ingin bersuara kembali namun akhirnya dia memilih untuk diam saat melihat senyum yang merekah dari bibir Qiyyara. Senyum dari Bunda yang selalu membuatnya hangat, menghilangkan rasa lelah dan bahkan melenyapkan segala macam kegalauan di dalam hati. Tidak perlu bertanya darimana sang Bunda mengetahui akan hal itu. Jika sudah menyangkut masalah keluarga, tembokpun bisa bercerita.
"Istirahatlah, setelahnya Bunda akan siap menjadi pendengar yang baik untukmu."
"I love you Bunda." Kecupan lembut bibir Hafizh ke pipi sang Bunda. Mendapatkan hadiah pelukan hangat dari Qiyya seperti telah menyuntikkan semangat baru padanya. Namun Hafizh kini benar-benar memilih untuk mengistirahatkan badannya. Perjalannya yang begitu menguras energi, rasa cemburunya yang menguras pikiran dan tentu saja rasa rindu terpendamnya membuat dia menjadi buta mata dan tidak bisa berpikir secara jernih.
Selepas sholat isya, Hafizh memilih untuk membuka kembali mushafnya. Melafadzkan khalam Allah, tentu saja dengan suara yang begitu merdu. Harga memang tidak bisa membohongi rasa, sedari awal Qiyya dan Ibnu dengan bersusah payah mengajarkan anaknya untuk selalu memegang teguh prinsip agama. Kini mereka bisa mengecap bagaimana manisnya rasa yang telah mereka tanam sebelumnya. Anak-anaknya tidak sekalipun melupakan ajaran yang selama ini berusaha untuk selalu ditanam dan di hidupkan di keluarganya.
"Sudah selesai murottalnya?"
"Bunda, apa yang harus Abang lakukan?" tanya Hafizh yang tiba-tiba kini memilih untuk meletakkan kepalanya di pangkuan sang Bunda.
Dengan lembut Qiyya menyisir rambut Hafizh dengan jemari tangannya. Laki-laki kalau sudah terkena virus cinta pasti akan merasa lemah di hadapan ibunya. Qiyya sangat memahami seluruh karakter dari putra-putrinya. Dia yang langsung mengasuh kelima anak-anak mereka. Jadi saat Hafizh sedang gundah seperti ini Qiyyalah tetap yang menjadi obat paling mujarab untuk menenangkan hatinya.
"Kamu punya Allah, Sayang. Buanglah rasa gundahmu itu untuk melangitkan semua doa yang membuatmu resah saat ini. Katakan pada Bunda atas sesuatu." Hafizh sangat mengerti apa yang dimaksudkan oleh Bundanya yang satu ini.
Tentang rasa Hafizh memang tidak bisa menyembunyikannya dari Qiyya, Bundanya ini memiliki ikatan yang sangat kuat dengan kelima anaknya. Sehingga apa yang dirasakan oleh putra-putrinya pasti akan segera tersampai padanya.
"Apa ini Bund yang dinamakan jatuh cinta?"
Meski ingin tertawa mendengar pertanyaan dari sang putra, Qiyya dengan sekuat tenaga menahannya. Hafizh sepertinya memang sedang galau akut.
"Kamu sudah siap menikahinya?"
"Secepat itukah Bunda?" tanya Hafizh.
"Apa yang membuatmu ragu untuk segera menghalalkannya?" tanya Qiyya lagi.
"Abang masih harus memastikan perasaan, masih ingin membahagiakan Bunda dengan hal lain selain tentang pernikahan, masih ingin meraih mimpi Abang yang belum terwujud Bunda." Jawab Hafizh.
Qiyya bisa memahami apa yang kini sedang ingin di raih putranya. Mimpinya untuk bisa berjalan sendiri tanpa bayang-bayang dari orang tua memang sudah dari awal Hafizh bicarakan bersama Qiyya dan Ibnu. Baru setelahnya Hafizh akan berminat untuk membicarakan jodoh dan pernikahan.
Ibnu tidak pernah memaksa, karena sesuatu yang dilakukan secara terpaksa itu tidak akan enak. Pun demikian halnya dengan Qiyya, semua keputusan diserahkan kepada yang menjalani.
"Bunda___"
"Ya?" jawab Qiyya singkat.
"Apakah Bunda tidak keberatan memiliki menantu yang mungkin tidak sama dengan kita?" tanya Hafizh memang sedikit berbelit.
"Maksudnya kamu apa sayang?" Qiyya sebenarnya telah mengetahui maksud dari Hafizh hanya saja dia mencoba menggali sampai sejauh mana Hafizh bisa jujur dengan hatinya sendiri.
"Fatia itu besar di panti Bunda, ayah dan ibunya sudah meninggal. Abang menyesal mengapa tidak sedari dulu bisa akrab dengannya. Justru dulu malah sering membencinya karena terlalu dekat dengan Bunda."
"Sekarang kamu mencintainya?"
Hafizh hanya diam mendengar pertanyaan bundanya. Ingin rasanya menjawab namun seolah bibirnya terkunci rapat untuk tidak menjawabnya.
"Kalau tidak cinta, mengapa harus menyamarkan panggilan Sayang menjadi Boo, Bang?" Hafizh langsung terbangun. Terkejut, darimana sang Bunda mengerti kalau panggilan Boo yang dia berikan kepada Fatia berarti sayang.
"Bunda tahu darimana?" tanya Hafizh.
"Daddy itu boleh dingin kepada semua orang. Tapi dengan Bunda, tidak akan pernah. Bunda tahulah, karena dulu Daddy juga pernah memanggil Bunda dengan panggilan itu saat tidak bersama kalian." Tawa renyah Qiyya membuat bibir Hafizh maju 5 cm. Bundanya ini bisa saja saat mendengar curhatnya masih juga bisa melucu.
"Bunda nggak masalah kan jika Abang mungkin menjatuhkan pilihan kepada wanita yang sudah tidak memiliki orang tua sedari kecil?" tanya Hafizh.
"Apa perlu Bunda putar CCTV supaya kamu tahu bagaimana Bunda membuat kalian tidak lagi bermusuhan?"
"Tapi Fatia lebih memilih anak sahabat Bunda itu. Siapa namanya aduh tadi Abang ketemu di konveksi." Kata Hafizh mencoba untuk mengingat kembali siapa nama pria yang telah mengajak Fatia keluar.
"Anak sahabat Bunda? Aftab maksudmu?" tanya Qiyya mencoba menerka laki-laki yang Hafizh maksudkan.
"Ya, ya itu dia Aftab namanya."
Qiyya kembali tersenyum. Melihat bahasa tubuh sang putra sudah bisa membaca kemana arah pembicaraan mereka.
"Abang tidak suka melihat kedekatan mereka Bund." Kata Hafizh tegas.
"Siang tadi?"
"Kapanpun itu." Jawab Hafizh dengan mengalihkan pandangannya ke tempat yang lain. Tidak ingin memperlihatkan gemuruh yang ada di dadanya lebih dalam lagi kepada sang Bunda.
Qiyya menarik nafas dalam sebelum dia menceritakan semuanya. Mulai dari awal pertemuan tanpa sengaja di butik mereka. Hingga akhirnya permintaan Kania kepada Qiyya supaya dia bisa menjadi penunjuk jalan buat Aftab mengambil pesanannya di Blitar.
Karena Qiyya tidak bisa mengantarkannya jadi dia meminta bantuan Fatia untuk mengantarkan Aftab.
"Jadi bukan karena Fatia yang mau, Bunda?" girang Hafizh tidak bisa disembunyikan lagi.
"Bang, laki-laki itu harus berani. Contoh itu Mas Hanif, Bunda tahu bagaimana dulu Mas Hanif sakit hati karena melihat Kak Azza memilih orang lain. Tapi dengan doa, Allah membalikkan semuanya. Meski harus terseok terlebih dulu tapi sekarang mereka bahagia bersama si kembar." Semangat Qiyya untuk Hafizh tidak bermaksud untuk membandingkan hanya ingin Hafizh juga melakukan hal yang sama dengan melibatkan Allah untuk segala urusannya.
"Nah kan Bunda, Abang jadi inget si kembar. Apa kabar ya mereka? Kita vidcall yuk."
"Terus cerita Fatia bagaimana ini?"
Hafizh tersenyum kemudian memeluk Qiyya. Tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain membuat orang tua tersenyum bahagia. "Sesuai saran Bunda, Hafizh akan melibatkan Allah untuk semuanya. Semoga Allah juga menjagakan hati Fatia untuk Hafizh juga."
"Nah itu baru anak Bunda."
Setelahnya Qiyya dan Hafizh sibuk dengan panggilan vidcall bersama Hanif. Mengetahui bahwa si kembar sudah bisa di bawa pulang dan juga orang tua Azza berada di sana membuat hati Qiyya tenang.
Keesokan harinya Hafizh memilih untuk ke konveksi terlebih dulu. Pekerjaannya banyak terbengkelai di konveksi selama dia tinggal ikut pelatihan. Itu yang membuat Hafizh harus menyelesaikannya dengan baik di sana.
Sementara Fatia sudah siap di butik sedari pagi. Sesungguhnya ada hal yang ingin dia tanyakan kepada Hafizh mengenai peristiwa kemarin sore. Dia masih bingung atas sikap Hafizh yang meledak-ledak.
Namun hingga siang Hafizh belum menampakkan dirinya juga ke butik.
Melihat Fatia mondar-mandir tidak tenang, Indah mencoba mendekatinya.
"Kamu kenapa Fatia, dari tadi mondar-mandir terus? Kemarin Bang Hafizh sekarang kamu." Kata Indah.
"Memangnya bang Hafizh kemarin datang kemari Mbak Indah?"
"Iya, dan sepertinya itu bang Hafizh suka sama kamu deh. Kemarin sepertinya cemburu banget lihat kamu jalan sama siapa itu___?"
"Mas Aftab?"
"Nah itu dia." Jawab Indah kemudian segera beralih dari Fatia karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Fatia berpikir mencoba menghubungkan cerita Indah dengan apa yang kemarin terjadi di konveksi. Tapi kembali Fatia teringat ucapan Bunda Qiyya bahwa Hafizh mengganggapnya seperti Almira dan Ayyana. Itu artinya bukan cinta dua orang dewasa tapi cinta untuk keluarga. Karena Fatia juga tahu bahwa dia sedari kecil tinggal di panti asuhan. Qiyya sudah menganggapnya seperti keluarga.
"Lagian nggak mungkin, bunda pasti lebih memilih seorang wanita yang memiliki keluarga lengkap untuk disandingkan dengan putranya. Tidak mungkin wanita sepertiku. Sudah Fatia semangat bekerja, jangan baper terus. Bang Hafizh itu selamanya akan menjadi kakak dan saudara untukmu. Jangan nodai kebaikan bunda Qiyya dengan kamu berharap bisa menjadi menantunya."
Lirih bibir Fatia bergumam. Membayar semua kebaikan yang diberikan oleh keluarga Hafizh dengan menodai kepercayaan Bunda Qiyya rasanya tidak akan pernah dilakukan oleh Fatia. Dia memilih untuk lebih membatasi hati supaya tidak bermekaran dengan sikap yang mungkin tidak seperti yang dia bayangkan.
Fatia tersenyum kemudian melenggang untuk melakukan pekerjaannya kembali dengan sebaiknya. Urusannya dengan Hafizh tidak perlu diperpanjang. Baginya sudah cukup perhatian Hafizh yang menganggap dia sebagai seorang saudara. Tidak ingin berharap terlalu banyak yang akhirnya membuat Fatia harus menelan air mata karena hati terluka, Fatia lebih memilih untuk berpikir secara realistis.
Sempurna hidup di tengah-tengah keluarga yang utuh, paras ok, tubuh atletis, lulusan universitas kelas wahid dunia. Tidak mungkin seorang yatim piatu yang hanya lulusan SMK sepertinya masuk dalam hitungan untuk bisa menjadi bagian di sana.
Tidak akan pernah sampai dan berakhir yang namanya pungguk ketika dia merindukan bulan untuk bisa menjadi miliknya. Tidak!!!
🍄🍄
-- to be continued --
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Blitar, 09 Agustus 2019
revisi dan republish 10 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top