📒 05 ✏ Emisivitas Cinta ✏
Lebih baik membenci seseorang pada awalnya kemudian mencintai pada akhirnya, daripada sebaliknya________
🍄🍄
DEAL, sebuah kata yang selalu diharapkan dalam setiap kesepakatan kerja.
Hafizh sungguh berbahagia. Tak sia-sia dia datang ke Jakarta untuk menemui Pak Rizki. Kerjasama mereka deal pada harga yang sama-sama menguntungkan. Fatia pun merekam semua negosiasi yang dilakukan Hafizh hingga tercipta sebuah kesepakatan kerja.
Meskipun ada sedikit drama dengan kecelakaan kecil yang dialami oleh Fatia. Tapi tidak menjadikan suatu hambatan. Hafizh justru terlihat semakin tertarik dengan etos kerja Fatia. Gadis berjilbab itu cepat menyerap informasi yang disampaikan oleh lawan bicaranya.
"Mengapa tidak dikirim seadanya dulu bahannya Bang? Kan disana nanti bisa dilakukan pengerjaannya?" tanya Fatia saat Hafizh menolak tawaran Pak Rizki untuk mengirimkan sebagian stok yang sudah ada.
"Jadi kita musti berhitung begini Fat. Ongkos kirim dengan jeda pengerjaan, kita bisa nggak menekan biaya produksi dari sana. Karena biaya ekspedisi dari Cikarang ke Blitar dengan dua kali pengiriman itu tentunya akan menggerus contribution margin kita semakin berkurang banyak. Selain itu tidak ada fee based income dari diskonto pembelian jika harus dikirim 2 kali. Kita wajib memastikan di bagian produksi kira-kira sampai kesepakatan pengiriman mereka bahan baku yang dikirim itu bisa dikerjakan dengan baik atau justru akan menambah beban produksi dengan memberikan ongkos lembur kepada karyawan." Jelas Hafizh kepada Fatia ketika mereka sudah berada di pesawat menuju ke Malang.
"Contribution Margin? Fee based income? Makanan cap apa sih itu Bang?" dengan senyum jahil Fatia menggoda Hafizh untuk memberikan ilmunya lebih.
Memang dari Hafizhlah Fatia banyak sekali memperoleh ilmu baru, sekaligus penerapannya dalam pekerjaannya. Belajar sambil bekerja.
Meskipun Fatia tidak begitu jelas dengan istilah yang dipakai Hafizh namun dia mengetahui jika Hafizh sedang menghitung laba perusahaan dengan perbandingan yang tepat. Matematika Hafizh memang tidak perlu diragukan lagi, otaknya secemerlang mesin kasir atau telstruk yang biasanya Fatia pegang ketika berada di kasir.
Cara berhitung Hafizh seperti kecepatan cahaya.
"Contribution margin itu sama dengan laba perusahaan ya Bang?" tanya Fatia saat mereka sudah sama-sama diam.
"Contribution margin itu adalah laba bersih suatu perusahaan yang diukur melalui analisis biaya dan volume penjualan. Biasanya memang hanya dipakai untuk akuntansi manajemen saja. Tidak setiap perusahaan menghitung ini karena terlalu rumit dan sangat detail." Jawab Hafizh.
Semenjak kecelakaan Fatia, Hafizh sedikit melunak. Nada bicaranya kepada Fatia pun tidak sekasar sebelumnya.
"Berarti kalau kita mau menghitung contribution margin harus mengetahui apa saja?" bukan Fatia namanya jika tidak menyelesaikan kekepoannya.
"Asset spread dan liabilities spread. Tentunya juga feebased income dan juga biaya overhead, biaya operasional lainnya serta biaya umum dan administrasi." Jawab Hafizh dengan penuh antusias.
Kuliah 2 SKS diatas udara. Hafizh menjelaskan dengan benar. Bahkan dia sampai meminta kertas kosong kepada pramugari untuk memberikan gambaran kepada Fatia.
"Jika Einstein menemukan teori emisivitas dimana E = mc², kita yang orang ekonomi boleh dong bilang E = Rp²." kata Hafizh kemudian bertanya kepada Fatia, "Rumit?"
"Tapi asyik," jawab Fatia saat seorang pramugari mengumumkan pesawat akan mendarat dan penumpang diminta untuk mengunci meja yang ada di depannya.
Seperti bertanya balik dengan gestur tubuh yang ditunjukkan oleh Hafizh. Rumit tapi asyik, apa maksud dari kalimat Fatia.
"Iya, rumit tapi asyik. Kapan lagi bisa kuliah di udara dengan dosen keluaran universitas ternama di Inggris sana. Gratis pula," jawab Fatia kemudian mendahului langkah Hafizh menuju mesin klaim bagasi.
Bibir Hafizh tertarik ke atas. Melihat Fatia dari belakang. Ah dia jadi ingat kisah Nabi Musa kemudian memanggil Fatia dan berkata.
"Fatia, berjalanlah di belakangku atau sejajar denganku. Jangan berjalan di depanku."
Fatia yang tidak mengerti maksud Hafizh mengendikkan bahunya. Namun yang dia lihat Hafizh hanya tersenyum manis kepadanya. Pertama kalinya, hati Fatia seperti terkena sengatan lebah madu yang sedang mencari ratunya. Melihat senyum Hafizh untuknya seperti mendapat hadiah pada waktu kenaikan kelas.
"Tidak baik seorang akhwat berjalan di depan ikhwan yang belum menjadi mahramnya. Itu nanti akan menimbulkan syahwat jika ikhwan tidak bisa menjaga pandangannya dan menekan hasratnya." Jawab Hafizh lirih seolah tidak ingin di dengar oleh orang lain.
"Astaghfirullah." Mengapa Fatia tidak pernah berpikir seperti itu. Dia justru berpikir bahwa perempuan sebaiknya berjalan di depan karena laki-laki akan bisa melindunginya jika terjadi sesuatu. Ternyata asumsinya keliru, dan Hafizh yang telah menjelaskan kepadanya.
Pak Parto yang ditugasi untuk menjemput Hafizh dan juga Fatia telah sampai di parkir bandara sejak setengah jam yang lalu.
Hafizh mulai sibuk dengan ipad yang ada di pangkuannya. Beberapa pekerjaan memang selalu dia handle melalui benda pipih kotak 10 inch itu. Termasuk dengan mengecek email dan juga beberapa laporan yang sengaja dia minta dari karyawannya.
Mobil yang mereka tumpangi kini membelah kota Malang, kota yang dulu terkenal dengan hawa dingin dan sejuk kini telah berganti karena kesibukan kota yang luar biasa serta banyaknya kendaraan yang melintas hingga akhirnya hanya menyisakan polusi udara yang menyesakkan dada. Kemacetan pun mulai terlihat di beberapa ruas jalan.
"Capek Pak Parto?"
"Ya nggaklah Den, kan memang tugas Bapak untuk mengantarkan Aden dan keluarga kemana-mana." Jawab Parto ketika Hafizh mencoba berinteraksi dengannya.
"Kalau capek bilang saja, sekalian kita cari makan siang." Kata Hafizh.
"Tapi bukan yang rare grilled seperti kemarin ya Bang. Kapok aku ya." Bukannya menjawab ucapan Fatia tetapi Hafizh justru tertawa renyah bahkan suara tawanya membahana di dalam mobil berkapasitas 7 orang penumpang itu.
"Itu enak banget kali, Fat. Kamunya saja yang belum pernah makanya langsung error seperti itu." Kata Hafizh.
Dengan nada santainya Fatiapun menjawab. "Setidaknya perutku masih normal, tahu mana makanan mahal dan yang enggak. Jadi aku harus lebih berhati-hati makannya. Lagian ya Bang, akutuh perasaan nggak gemuk-gemuk amat mengapa harus dipanggil Fat sih? panggilnya ya Fatia aja nggak usah disingkat menjadi Fat."
"Fatia Aruna." Hafizh mengeja nama panjang Fatia setelah tawanya terhenti. "Kamu lebih suka bee atau boo?" tanya Hafizh beberapa saat kemudian.
"Bee?? Bibi dong kalu diulang. Buat apa sih?" tanya Fatia.
"Ok, mulai sekarang aku panggil kamu Boo saja. Jadi kalau aku panggil Boo kamu harus segera datang." Kata Hafizh kemudian memeriksa kembali gawainya.
Fatia tidak pernah mengerti apa arti kata boo yang diberikan Hafizh untuk nama panggilannya. Dalam hati sebenarnya dongkol juga, nama indahnya harus diganti secara sepihak oleh Hafizh itu pun hanya dengan tiga huruf Boo. Mengingat hubungannya yang telah mencair bersama Hafizh Fatia memilih untuk diam dan menerima daripada harus mendebat Hafizh akan jadi lebih panjang urusannya nanti.
Hafizh sampai di rumahnya setelah adzan ashar berkumandang. Itu pun harus diberondong dulu oleh Qiyya dengan beberapa pertanyaan baru dia bisa ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.
"Kok bisa sih Bang, Fatia sampai harus menginap semalam di rumah sakit?" tanya Qiyya sesaat setelah Hafizh mendaratkan pantatnya di kursi makan rumahnya.
"Hafizh ajak sarapan rare grilled masakan Jepang Bund. Ternyata Fatia belum pernah sampai akhirnya perutnya sakit." Jawab Hafizh dengan santainya.
"Terus Abang nginep sekamar sama Fatia di rumah sakit?"
"Ya keleus Bund, abang tidur di bangku tamanlah masa iya di dalam sih. Mau ditinggal ke hotel juga kasihan Fatianya. Ntar kalau butuh apa-apa," jawab Hafizh
"Ya iyalah, abang yang buat ya abang yang harus bertanggung jawab. Tapi karena itu kalian sudah baikan toh?" tanya Qiyya dengan senyum yang mengembang.
"Ini kok kesannya jadi gimana gitu ya Bund, 'Abang yang berbuat abang yang harus tanggung jawab'. Kenapa musti baikan, kita berdua juga nggak bertengkar." Kata Hafizh yang akhirnya beranjak untuk meninggalkan Qiyya.
"Ya iyalah, anak gadis orang dibuat seperti itu. Tapi kok semacam ada gambar lope-lope ya itu di mata. Hati-hati jarak antara benci dan cinta itu hanya sekulit bawang." Kata Qiyyara mengingatkan kembali putranya.
"Lebih baik membenci seseorang pada awalnya kemudian mencintainya pada episode terakhir, daripada sebaliknya." Jawab Hafizh sambil berteriak karena dia telah berada di kamar mandi.
Keesokan paginya, awan cerah menaungi seluruh kota Blitar. Hati berbinar pun dirasakan oleh dua insan yang entah disebut dengan apa hubungan mereka.
Semalam, Hafizh sengaja mengirimkan pesan singkat yang membuat Fatia selalu menarik bibir keatas ketika mengingatnya. Bukan pesan untuk pernyataan perasaan, Hafizh hanya memastikan kondisi Fatia dan mengucapkan selamat beristirahat.
"Heh, senyum-seyum sendiri dari tadi. Kenapa sih?" Widi mulai kekepoan paginya. Melihat sahabatnya kembali setelah 3 hari tidak bertemu.
"Siapa yang senyum sih, ini juga sedang prepare mau kerja pagi ini. Kerjaan kamu memang sudah kelar?" tanya Fatia kepada Widi.
"Sudah tadi stock opname di toko saja. Ini mau aku serahin ke kamu. Kemarin si abang Hafizh minta hari ini jam 10 sudah harus di mejanya." Jawab Widi.
"Apa?! Nggak salah tuh? Kan belum aku kerjain." Fatia yang terkejut mulai bingung. Hafizh pasti akan marah jika tugasnya belum selesai.
Fatia segera mengambil buku stok yang ada di tangan Widi kemudian bersiap menuju ke komputer yang biasa dia pakai di ruangan belakang showroom pakaian. Namun belum sampai melangkah Hafizh sudah terlebih dulu memanggilnya.
"Boo, Widi sudah berikan laporan stok toko belum? Kamu kerjain di ruanganku saja sekalian mau aku kasih tunjuk yang kemarin aku sampaikan." Setelah memberikan instruksi kepada Fatia, Hafizh berlalu menuju ruangannya kembali.
"Fatia? Boo?" Widi yang tercengang mendengar barisan kalimat perintah yang diucapkan oleh Hafizh. "Ougghhh, aku tahu aku tahu. Jadi senyum tadi pagi itu untuk panggilan baru ya, Boo?"
"Apaan sih? Jangan panggil aku begitu." Tolak Fatia.
"Echieeee, nolak tapi blushing. Iya tahu, yang boleh manggil cuma Abang Hafizh seorang, uhuukk. Ah jadi keselek swit-swit gimana gitu." Tawa Widi meledak melihat Fatia yang salah tingkah dengan gurauannya.
Fatia segera berlalu menuju ke ruangan Hafizh. Di ruangan atas selain ada ruangan Hafizh juga ada beberapa orang untuk produksi pakaian vintage yang hanya di jual di butik. Selain itu juga sekaligus menyediakan jasa vermak ketika pakaian yang dipilih oleh pelanggan terlalu besar atau terlalu panjang.
Fatia melihat beberapa kertas berserakan di atas meja kerja Hafizh. Nasi pecel yang terbuka tapi sepertinya baru dimakan seperempatnya.
"Seperti ini yang kemarin aku sampaikan." Hafizh langsung mencontohkan. Beberapa worksheet excellnya telah penuh dengan data data setiap bulannya. Hingga di akhir worksheet laporannya sudah terkoneksi formula yang menunjukkan hasil akhirnya.
"Ini angka dapat dari mana Bang? setahuku ada di komputer bawah dan baru selesai aku kerjain sebelum kita berangkat ke Jakarta kemarin. Jangan-jangan Bang Hafizh ngawur tuh ngerjainnya." Kata Fatia yang melihat salinan pekerjaannya telah rapi di komputer milik Hafizh.
"Ye jangan ngawur ya, kemarin aku suruh orang untuk pasang server dimana kita bisa lan data dengan semua komputer yang terhubung dari server itu di butik ini maupun di toko dan konveksi Uti." Jawab Hafizh.
"Iya gitu? Kok bisa? Weitsss canggih bener." Fatia mencoba mengerjakan beberapa instruksi yang disampaikan oleh Hafizh. Memang lebih mudah dengan fasilitas yang diberikan oleh Hafizh. Dia tidak lagi repot naik turun untuk mengambil data. Dan juga dengan laporan yang ada di konveksi. Bisa menghemat waktu dan meringankan pekerjaannya.
Karena asyiknya mengerjakan laporan bersama Hafizh jadi melupakan sarapan paginya. Hingga saat Hafizh meminta kembali komputernya untuk mengecek pekerjaan Fatia. Fatia baru menyadari jika sang bos belum menyelesaikan sarapan paginya.
"Bang, dosa tau buang buang makanan. Mubadzir itu deket sama syaiton. Makan dulu gih sarapannya." Suara Fatia menginterupsi pekerjaan Hafizh. Sejatinya Hafizh juga sudah lupa bahwa dia belum menyelesaikan sarapannya karena memilih untuk mengajari Fatia tentang sistem baru yang dia terapkan untuk pengerjaan laporan.
"Ntar lagi kurang dikit ini." Jawab Hafizh.
"Masa iya Bang musti aku yang suapin seperti bang Hafizh kemarin waktu aku nggak bisa makan pake sumpit." Tangan Fatia kini memberikan piring sarapan yang ada daun pisangnya.
"Jika perlu." Jawab Hafizh singkat.
"Maksudnya mau gitu disuapin?" Fatia yang tidak bermaksud lancang kepada Hafizh.
"Emang kamu mau?" jawaban Hafizh terakhir ini langsung membuat kelu bibir Fatia. Pandangan Hafizh kini beralih dari layar komputer kepada akhwat yang ada di hadapannya. Terkunci hingga sebuah deheman dari luar membawa mereka kembali kepada kehidupan nyata.
"Ehhhmmmm, jadi tadi pagi keburu-buru nggak mau sarapan di rumah karena ada yang mau nyuapi di butik toh. Bunda baru tahu." Suara Qiyya yang sengaja dia buat-buat seperti orang marah tapi dengan senyum yang mengembang di bibirnya Hafizh tahu jika Bundanya sedang bercanda.
"Eh Bunda___" kata Hafizh.
"Bunda___" bersamaan dengan suara Hafizh, Fatia melontarkan panggilan yang sama.
"Bunda sejak kapan berdiri di situ mengapa tidak masuk saja sih? Toh pintunya juga terbuka." Sambut Hafizh.
"Sejak Abang mengambil alih komputer." Qiyya masuk ke ruangan Hafizh dimana ada Fatia juga disana. Kemudian mengambil sarapan Hafizh dan berkata lagi. "Jadi, anak bunda mau disuapi siapa? Bunda bolo-bolo atau Boo sang penakluk hati?"
Hafizh hanya tersenyum mendengar gurauan Bundanya. Matanya sedetik beralih kepada Fatia. Dengan senyum yang ditahan Hafizh berpikir darimana juga si Bunda tahu dia memanggil Fatia dengan sebutan itu.
"Bukan bunda namanya kalau sampai melewatkan hal itu. Boo, boleh juga." Kata Qiyya sambil tersenyum kemudian menepuk pundak putranya.
Tidak ada jawaban baik itu dari mulut Hafizh maupun Fatia. Keduanya hanya bungkam dengan sedikit senyum yang mengembang malu malu.
Misi Qiyya sepertinya loading mendekati successfully. Jika E = mc² maka cinta sepertinya menjadi (Hafizh x Fatia)²
🍄🍄
-- to be continued --
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Blitar, 20 Juli 2019
revisi dan republish 23 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top