📒 04 ✏ Tom and Jerry ✏
Lebih baik bertengkar karena cinta
daripada diam kesepian menanggung benci__________________________________
🍄🍄
Belajar membaca pasar. Menentukan market share sesuai dengan market segmentnya. Jangan pernah mengatakan sebuah penjualan bisa berhasil tanpa pasar dan target jualnya.
Pagi ini Hafizh sengaja mengumpulkan seluruh pegawai yang Qiyya pekerjakan di butiknya. Demikian juga dengan pegawai yang bekerja di konveksi mereka.
Pola kerja kemudian sistem order pesanan dan bahkan sampai pemasaran semua di bawah kendali Hafizh. Bukan berarti apa yang dulu telah diterapkan oleh Qiyya tidak baik hanya saja menurut Hafizh sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pasar jaman sekarang.
"Semua lini tolong untuk bisa bekerjasama dengan baik. Baik itu dari bagian produksi, administrasi termasuk pada pemesanan, pengepakan serta ekspedisi harus sesuai dengan jadwal, begitu juga dengan pemasaran dan yang ada di outlet." Kata Hafizh mengakhiri pertemuannya pagi itu dan meminta semua pegawainya untuk kembali ke pekerjaannya masing-masing.
Qiyya hanya tersenyum bahagia melihat sang putra dengan penuh semangat mencurahkan dedikasinya untuk usaha yang telah dirintisnya. Pemasaran yang dilakukan Hafizh cukup bagus, tepat sasaran dan lebih terarah sehingga tidak terlalu banyak menyimpan stok barang dagangan karena selalu bisa diputar oleh Hafizh.
Pembangunan sebuah outlet di luar kotapun telah dirancang oleh Hafizh. Setelah dia menghitung break event point dan juga pengujian skala laba yang diperoleh setiap tahunnya, Hafizh mungkin harus segera memperhitungkan investasi dan RAB untuk outlet barunya.
"Bang, nggak ingin studi banding dulu?" tanya Qiyya memecah keheningan. Hafizh yang saat ini tengah memeriksa beberapa laporan keuangan dan juga laporan produksi.
"Eh Bunda. Abang masih periksa laporan ini yang kemarin dibuat sama Fatia. Tapi sepertinya masih juga ada yang keliru padahal kemarin sudah diwanti-wanti untuk mengerjakan dengan teliti." Kata Hafizh masih fokus di layar monitor dan juga tumpukan kertas di hadapannya.
Qiyya hanya tersenyum melihat putranya yang mengabaikannya demi lembaran yang ada didepannya.
Hafizh menaikkan kacamata yang dipakainya ke atas kepala. Kemudian menatap Bundanya sekilas kemudian tersenyum. "Maaf ya Bundaku bolobolo. Abang lagi fokus, gimana-gimana apa yang bisa abang bantu buat Bunda?"
"Banyak." Jawab Qiyya dengan nada datar.
"Banyak? Contohnya? Sebutin deh salah satu atau salah dua biar abang dapat delapan puluh." Kata Hafizh sambil terkekeh.
"Satu, menantu buat Bunda mana? kok belum nongol-nongol juga. Kedua, ini rencananya kamu kan mau buka outlet butik di luar kota. Cobalah untuk studi banding dulu ke butik-butik yang lebih dulu. Dian Pelangi, Jenahara, KIA, atau Meccanism mungkin? Kebetulan Bunda kemarin kenal dengan orang yang katanya punya akses untuk bisa ambil barang di perusahaan textile Cikarang. Coba deh kamu follow up. Selisihnya lumayan jika dibandingkan dengan yang kita ambil sekarang." Kata Qiyya kepada putranya.
"Jauh amat Bund ke Cikarang? Di Surabaya emang nggak ada?" tanya Hafizh.
"Alamat rumahnya di daerah Mampang Prapatan. Kalau kamu ke sana menemui beliau sekalian bisa ke butiknya Dian Pelangi. Sepertinya ada yang di daerah Kemang." Kata Qiyya.
"Kemarin Hafizh juga bertemu dengan seseorang Bund. Keluarganya juga memiliki pabrik textile di Rungkut Surabaya. Dia masih seumuran dengan si twin." Kata Hafizh.
"Surabaya?" Qiyya seperti mengingat sesuatu hal.
"Iya, dia akan melaksanakan PKL di sini. Hafizh juga akan dikenalkan dengan abinya. Mungkin kedepan bisa dimasukkan list sebagai rekan bisnis kita."
Percakapan Hafizh dan Qiyya harus berhenti karena Qiyya harus menemui teman SMAnya yang sedang berkunjung ke butik.
Hafizh kembali menyelesaikan pekerjaan yang di tinggalkan untuk beberapa waktu.
Sekilas matanya melihat kartu nama yang ditinggal Qiyya di meja kerjanya.
Rizki Lazuardi
The Residence 29B
Mampang Prapatan, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan.
Dari Soetta - Mampang - Cikarang. Hafizh mengambil gawai dan membuka mapnya. Tidak cukup sehari jika harus menemui rekan kerjanya. Qiyya selalu menekankan untuk melakukan silaturahim awal pada saat memulai suatu kerjasama. Baik dengan siapapun juga, dari sanalah nantinya kita akan tahu benar atau tidaknya rekan kerja itu menawarkan kerjasama dengan kita. Dan Hafizh selalu mendahulukan cross check lingkungan. Setidaknya dengan RT setempat.
"Fatia." suara tegas Hafizh memanggilnya saat sepi dari pengunjung di butik.
"Ya."
"Ini direvisi dulu, kemarin kan sudah dibilang teliti ngerjainnya. Mengapa masih banyak yang keliru? Niat apa nggak sih kerjanya!" Hafizh mengembalikan laporan produksi dan penjualan serta stok di gudang yang dibuat oleh Fatia.
Seperti seorang dosen yang suka mencoret-coret makalah atau skripsi mahasiswa ketika sedang bimbingan. Itulah yang dilakukan oleh Hafizh saat ini.
Fatia hanya menggeleng perlahan. Mengenal Hafizh memang sudah sejak Hafizh pindah ke kota dimana dia dilahirkan. Namun mengenal Hafizh lebih dekat juga baru ketika Hafizh mengambil alih usaha bunda Qiyya dan berusaha untuk membesarkannya.
"Fatia, kalian sebenarnya ada apa? Kok bang Hafizh sampai segitunya ya sama kamu?" tanya Widi.
"Sebenarnya apa? Aku nggak ada apa-apa itu sama dia. Memangnya kenapa?" jawab Fatia.
"Sikapnya loh, kek benci banget sama kamu. Hati-hati loh, cinta sama benci itu jaraknya hanya setipis kulit bawang. Sekarang boleh benci tapi siapa tahu besok jadi cinta." Kata Widi lagi.
"Ngomong apaan si Wid, orang juga tahu kali aku ini siapa Hafizh itu siapa. Nggak mungkin seorang Hafizh Asy Syafiq itu melirik gadis sepertiku. Bukan kelasnya." Jawab Fatia sambil mencocokkan dan melihat kembali laporannya.
Dalam hati Fatia memang memuji ketelitian Hafizh. Beda satu angka saja Hafizh mengetahuinya. Pantas jika Bunda Qiyya begitu membanggakannya. Beberapa terobosan bisnis yang dilakulan oleh Hafizh pun sangat sederhana namun mengapa hal sederhana itu tidak terpikirkan oleh pelaku-pelaku bisnis yang lain.
"Fatia, ikut Bunda ke atas." Panggil Qiyya kepada Fatia saat dia sedang menyelesaikan tugasnya dari Hafizh.
Widi memandang Fatia dengan penuh tanda tanya. Namun sekali lagi Fatia menaikkan kedua bahunya tanda dia tidak mengerti mengapa Bunda Qiyya memanggilnya dan terburu buru ke atas.
Dengan langkah pasti Fatia berjalan di belakang Qiyya. Memasuki ruang kerja yang kini tengah diduduki oleh Hafizh. Hafizh memang sedang asyik berbicara dengan telpon di genggamannya. Sepertinya memang di sedang membicarakan bisnis dengan lawan bicaranya. Melihat Qiyya dan Fatia yang berjalan mendekatinya dengan segera Hafizh menyudahi pembicaraannya dan menyambut kedatangan sang Bunda dengan penuh hormat.
"Baba Fadhil dari Madinah baru saja menelpon Bunda. Bulan depan kita diminta untuk mengirimkan abaya arab 500 kodi, dan juga Thoub putih 500 kodi." Kata Qiyya.
"Bulan depan? 1000 kodi dalam waktu satu bulan Bunda? Bahan bakunya? Tenaganya?" tanya Hafizh dengan kaget.
Tidak biasanya rekan bisnis yang dikenalkan kakak iparnya ini memesan dalam jangka waktu yang begitu singkat. Meski selalu memesan dalam jumlah yang banyak.
"Besok Hafizh dan Fatia segera terbang ke Jakarta. Bunda sudah pesankan tiket pesawat untuk kalian berdua, berangkat dari Malang first flight GA." Putus Qiyya tanpa meminta persetujuan Hafizh. Tidak ada waktu lagi semua harus berjalan dengan cepat.
"Besok?" Hafizh dan Fatia berkata dengan serempak.
"Cie, yang kompak itu biasanya jodoh loh." Kata Qiyya masih sempat menggoda putranya. "Sudah, no bargaining. Ini perintah, besok subuh kalian berangkat ke Malang diantarkan Pak Parto. Temui Pak Rizki dan pastikan bahwa dia memang bisa dijadikan partner bisnis yang baik." Belum sampai keduanya bersuara Qiyya sudah kembali membungkamnya.
"Iya, Hafizh berangkat. Tapi mengapa harus sama Fatia Bunda? I can do it alone." Jawab Hafizh yang memang merasa tidak nyaman hanya bepergian berdua saja dengan Fatia.
"Iya Bunda, apa nggak sebaiknya Bang Hafizh saja sendiri? Soalnya kita hanya berdua saja." Tambah Fatia.
"Makanya ada Pak Parto yang akan mengantar kalian. Bunda menugaskan Fatia juga karena nanti kalian akan mengunjungi beberapa butik yang Bunda tunjuk sebagai rekomendasi untuk rancangan new outlet milikmu nanti. Selain itu supaya Fatia juga belajar banyak dari kamu, kalau nanti kamu sibuk ke luar kota terus siapa yang akan bantuin Bunda di outlet lama selain Fatia?" kata Qiyya.
"Tapi Bunda___" Hafizh masih kurang setuju dengan pendapat Bundanya. Sebenarnya tidak masalah dia akan ke Jakarta bahkan jika hari ini sekalipun Hafizh siap berangkat. Masalahnya dia hanya tidak nyaman berada di luar kota berdua dengan wanita yang tidak mahram dengannya.
Namun Qiyya tetaplah Qiyya dengan semua keputusannya. Ba'da subuh pak Parto telah bersiap untuk mengantarkan Hafizh dan juga Fatia ke Bandara Abdul Rahman Shaleh Malang.
Penerbangan pertama GA tepat pukul 08.35. Hafizh dan Fatia bahkan belum sempat mengisi perutnya untuk sarapan pagi. "Nanti saja sarapannya, kita harus segera berangkat supaya tidak terlambat sampai bandara." Ini adalah pertama kalinya untuk Fatia bepergian jauh dengan menggunakan pesawat terbang. Biarlah dikatakan udik, hingga dia tidak memiliki selera untuk menelan makanan apapun karena begitu excited.
"Cepetan dong jalannya ini sudah mau tutup check innya." Teriak Hafizh saat mereka sudah berada di bandara.
"Check in? Ini bandara kan ngapain harus check in? Emangnya kita mau nginep di hotel pake check in segala." Kata Fatia sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Hafizh hanya menggeleng perlahan. Benar-benar wanita kepercayaan Bundanya ini membuatnya ingin meremas ditempat. "KTP kamu mana?" pinta Hafizh dengan ketus.
"Buat apa KTPku ntar jangan-jangan kamu pake buat jaminan. Rugi di aku dong." Kata Fatia kemudian meninggalkan Hafizh di belakang.
Hafizh lagi-lagi menggelengkan kepala sambil menunduk, namun belum sampai dia melangkah tiba-tiba Fatia telah berdiri di depannya. Hafizh sampai menepuk dadanya karena terkejut.
"Tiket pesawatnya, aku nggak bisa masuk." akhirnya tawa Hafizh terdengar renyah di telinga Fatia. "Makanya kalau belum pernah naik pesawat jangan sok-sokan. Dimintain KTP malah dipikir mau dipake untuk jaminan." Akhirnya Fatia berjalan di belakang Hafizh.
Di dalam pesawat Fatia benar-benar menikmati perjalanan panjangnya. Dia bahkan tidak mau menutup matanya karena mungkin selain pengalaman yang menyenangkan Fatia juga merasakan kekhawatiran secara bersamaan.
Dia lebih senang memandang keluar jendela. Memperhatikan sayap pesawat yang ada di samping kanannya.
Hafizh menarik nafasnya perlahan. Semakin Hafizh memperhatikan Fatia lebih dalam, sebenarnya dia sangat mengetahui bahwa Fatia tidak pernah bersalah. Namun entahlah, setiap hari rasanya belum sempurna jika Hafizh belum bisa membuat Fatia menjadi jengkel kepadanya.
Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional SOEKARNO-HATTA di Tangerang Banten, waktu setempat sekarang menunjukkan pukul 09.55, tidak ada perbedaan waktu antara Malang dan Jakarta. Suhu di darat dilaporkan 30°C.
Kami persilakan kepada anda untuk kembali ke tempat duduk anda, mengencangkan sabuk pengaman, menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja, serta melipat sandaran kaki ke tempat semula. Pastikan penutup jendela di samping anda tetap dalam keadaan terbuka. Laptop dan alat elektronik lainnya kami mohon untuk di matikan sekarang.
Perlu kami sampaikan bahwa bagi siapa saja yang membawa dan menyimpan segala bentuk narkoba atau sejenisnya akan mendapat hukuman berat dan bagi anda yang mengetahui agar segera melapor kepada petugas yang berwajib.
Terima kasih.
Ucapan seorang pramugari mengakhiri perjalanan udara Hafizh dan Fatia hari ini. Di terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta mereka berdua keluar melalui pintu kedatangan.
"Jangan banyak protes, ikuti aku sekarang." Hafizh tidak banyak bicara. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi. Dia ingin makan sesuatu yang selama ini tidak pernah ditemuinya di Blitar.
Sebuah counter makanan nuansa Jepang menjadi pilihan Hafizh di pagi menjelang siang ini. Aroma yakiniku dan juga shabu-shabu semakin membuat cacing-cacing diperut Hafizh semakin menjadi. Fatia hanya memandang bingung. Belum pernah sama sekali dia memasuki restoran mewah seperti ini.
"Bang ini makannya seperti apa?" tanya Fatia malu-malu saat Hafizh membawakan berbagai macam daging mentah ke mejanya.
"Pake tanganlah, mana ada makan pake kaki." Jawab Hafizh sekenanya.
"Subhanallah, ini sebenarnya anak orang bukan sih? Ditanyain baik-baik jawabannya bikin sakit hati saja." kata Fatia yang dibuat semakin keki. Perut lapar membuat pikiran menjadi cepat terbawa emosi.
"Ini dibakar dulu, terus makannya pake sumpit. Kenapa? Nggak bisa juga?" tanya Hafizh lagi.
"Ishhhh, iya emang aku nggak pernah makan di restoran mewah seperti ini." Fatia benar-benar ingin menitikkan air matanya. Kata-kata Hafizh barusan benar-benar membuat sakit di hatinya. Dia memang miskin, yatim piatu tapi pantang di hina jika hanya karena makanan penyebabnya. "Aku tunggu di luar saja."
Fatia berdiri untuk meninggalkan Hafizh namun belum sempat Fatia bergerak Hafizh segera mencegahnya. "Fatia___maaf. Duduk, aku akan mengajarimu." Ada rasa menyesal yang begitu kentara di wajah Hafizh.
Hafizh segera menyiapkan beberapa daging untuk dia panggang di tempat yang tersedia. Dengan begitu lihai Hafizh memainkan sumpit dan mencelup-celupkan daging panggangnya di bumbu minyak wijennya.
"Ini aku nggak bisa Bang." beberapa kali Fatia menirukan gerakan Hafizh namun selalu gagal. Terakhir malah daging yang harusnya mendarat di mulut justru lebih memilih untuk mendarat di lantai alias sumpit yang dipegang Fatia terjatuh di lantai sekaligus daging yang telah di panggang Hafizh untuknya.
"Sudah biarin saja, kita minta yang baru lagi." Kata Hafizh.
"Tapi tetep aku nggak bisa makan pake sumpit Bang." Jawab Fatia.
"Ya sudah kamu makan shabu-shabunya saja, ada kuahnya dan juga jadi pake sendok sama mangkuk itu." Kata Hafizh sambil menunjukkan peralatan makan di depan Fatia.
Sesaat Fatia memandang Shabu-shabu yang telah mengepul di bowl almini yang langsung dibakar diatas tungku. Namun hasratnya tidak berselera, matanya tetap tertuju pada daging daging panggang di atas panggangan yang di bolak balik oleh Hafizh.
"Kamu pengen makan yang ini?" tanya Hafizh setelah dia melihat Fatia yang tak berkedip memandang tangannya yang sedang membolak balik daging supaya matangnya merata.
"Iya."
Hafizh berpikir sejenak tetapi akhirnya tangannya memutuskan. "Ak, buka mulutmu."
"Mau apa kamu?" tanya Fatia sesaat setelah mendengar perintah Hafizh.
"Sudah, turuti perintahku. Aku tidak akan mencideraimu." Dengan perlahan Fatia membuka mulutnya kemudian tangan kanan Hafizh menyuapkan daging yakiniku ke mulut Fatia.
Rasanya bukan karena Fatia belum pernah merasakan seperti apa rasanya daging yakiniku itu hingga dia berucap kata enak setelah selesai mengunyah dan menelannya. Namun mungkin karena dia menikmati makanan dari suapan tangannya Hafizh.
Dua insan berlawanan jenis, meski mereka tidak bersentuhan. Namun Fatia sungguh merasakan beda dengan perhatian Hafizh kini. Dengan sangat telaten Hafizh mengambilkan daging yakiniku kemudian meletakkan di piring Fatia setelah Fatia menolak disuapi oleh Hafizh karena sungkan, dia memberanikan diri meminta sebuah garpu kepada seorang pelayan untuk menghindari suapan dari tangan Hafizh.
"Ini memang makannya tanpa nasi?" tanya Fatia.
"Kamu mau pake nasi? Ini aja kita makan sudah kenyang loh tanpa nasi." Jawab Hafizh.
"Iya juga sih." Fatia membenarkan ucapan Hafizh. Akhirnya Fatia memakan yakiniku yang disiapkan oleh Hafizh di atas piringnya.
Setelah hampir satu jam mereka menghabiskan sarapannya. Akhirnya Hafizh memilih untuk memakai jasa taksi untuk mengantarkannya ke Mampang Prapatan. Setelah memastikan bahwa Rizki Lazuardi ada di rumah. Hafizh mengajak Fatia untuk segera meluncur ke alamat yang diberikan oleh sang Bunda.
Namun baru seperempat jam berada di dalam taxi Fatia merasakan sesuatu yang tidak beres dengan perutnya. Keluar dari tol Sudyatmo, Fatia sudah tidak bisa menahan sakit di perutnya.
"Bang Hafizh maaf ya, ini masih lama nggak nyampeknya?" tanya Fatia kepada Hafizh ketika mobil baru saja melaju 30 menit dari bandara.
"Ya iyalah, kita mau ke rumah Pak Rizki dulu di Mampang. Setelah itu baru kita lihat-lihat di butiknya Dian Pelangi di daerah Ampera. Kenapa memangnya?" tanya Hafizh.
"Anu, maaf perut aku sepertinya mules. Aduh padahal nggak makan aneh-aneh tadi dari rumah. Cuma sarapan bareng Bang Hafizh aja di bandara tadi." Fatia memegang perutnya yang berbunyi dan tiba-tiba tanpa bisa ditahan suara kentutnya berbunyi nyaring.
"Maaf, perutku sakit sekali."
"Ya Rabb, Fatia. Tahan dulu sebentar. Pak kita berhenti di mini market terdekat biar dia pinjam toilet, saya juga ingin membeli sesuatu." perintah Hafizh kepada driver yang ada di sampingnya.
"Siap Mas."
Hafizh tak kalah paniknya ketika Fatia benar-benar bermasalah dengan perutnya. Beberapa kali perjalanan mereka berhenti karena Fatia tidak bisa menahannya. Ketika taksi sudah memasuki daerah Mampang tiba-tiba Fatia menjerit. Perutnya terasa sangat nyeri. "Pak, rumah sakit terdekat di mana?" tanya Hafizh.
"KMC."
"KMC?" tanya Hafizh.
"Kemang Medical Center."
"Bawa kami segera kesana." Hafizh tidak tega melihat Fatia yang meringis menahan sakit di perutnya.
Di IGD Hafizh mulai panik. Rasa bersalahnya memaksa Fatia mengikuti keinginannya untuk menyantap makanan favoritnya. Hafizh melupakan sesuatu, Fatia itu mungkin belum pernah makan makanan yang langsung diolah, apalagi rare grilled seperti di restoran Jepang yang baru saja mereka datangi.
"Dok tolong teman saya, sepertinya dia keracunan makanan." Kata Hafizh kepada salah seorang dokter laki-laki yang berjalan mendekatinya.
"Hmmm, bisa diceritakan bagaimana kronologis kejadiannya?" tanya dokter yang ternyata memiliki nama panggilan dr. Bryan.
Hafizh menceritakan kejadiannya. Tidak ingin membuat rasa bersalahnya semakin dalam kepada Fatia dia benar-benar meminta Bryan untuk menolong temannya. Karena untuk sampai ke rumah sakit ini saja mereka telah 10 kali berhenti di jalan karena Fatia sudah tidak bisa menahan hasrat ingin ke belakang.
Bryan bertindak sangat profesional sebagai seorang dokter sesuai dengan sumpahnya. Namun matanya melihat Fatia yang merasa tidak nyaman ketika dia hendak memeriksa. Jilbab lebar dan pakaian pasien yang begitu tertutup mengingatkan Bryan kembali bahwa seharusnya diantara mereka harus ada hijab. Itu karenanya pada saat yang bersamaan seorang rekan kerjanya berjalan hendak memeriksa pasien di sampingnya Bryan segera meminta bantuan.
"dr. Syahira, tolong saya, bisa kita tukar?"
"Tukar?"
"Pasien Fatia ini sepertinya keracunan makanan rare grilled. Karena beliau seorang wanita sepertinya kamu lebih pas menanganinya. Pasien ini biarlah aku yang tangani." Bryan menyerahkan map rekam medik milik Fatia yang telah dia tulis beberapa kepada Syahira.
"Oughhhh, baiklah dr. Bryan." Jawab Syahira dengan senyum lebarnya.
Interaksi tanya jawab dari percakapan yang dilakukan Syahira dan juga Fatia membuat dia yakin dan mengetahui apa yang seharusnya Syahira lakukan untuk mengobati Fatia.
"Kita lakukan observasi dulu selama 2 jam ya Kak, setelah saya berikan suntikan untuk meredakan diarenya. Jika selama dua jam masih ke belakang terus sebaiknya memang harus di rawat inap untuk recoverynya."
"Apa? Harus rawat inap Dok?" tanya Fatia dengan polosnya.
"Semoga bisa berhenti dengan suntikan ini. Sementara belum kami pasang infus dulu ya. Dan semoga tidak perlu dipasang infusnya." Syahira kemudian meninggalkan Fatia bersama Hafizh di IGD
Hafizh masih berusaha untuk menghubungi Pak Rizki, memberitahukan bahwa dia akan terlambat datang ke rumahnya karena musibah yang di alami temannya. Namun Pak Rizki justru menawarkan diri untuk membesuknya di rumah sakit.
"Paling telat nanti malam saya akan ke rumah Bapak." Putus Hafizh di ujung telponnya.
Fatia akan dipindahkan ke kamar inap. Terpaksa malam ini Fatia harus menginap di KMC karena diarenya tidak juga berhenti setelah mendapat suntikan dari Syahira.
"Bang Hafizh nemui pak Rizki tanpa aku aja. Nggak apa-apa daripada di tunda-tunda malah ntar dia berpikiran buruk ke Bunda dikiranya kita nggak bisa menepati janji." Kata Fatia saat Syahira akan memasangkan infus di tangannya.
"Kamu nggak papa aku tinggal?" tanya Hafizh khawatir.
"Aku nggak akan lari. Ini juga mau diinfus." Jawab Fatia.
"Ya sudah kalau begitu aku tinggal sebentar." Kata Hafizh kemudian meninggalkan Fatia dengan Syahira.
"Suaminya ganteng juga ya Kak Fatia. Seperti melihat Zayn Malik di Indonesia." Kata Syahira yang baru saja selesai memasang infus di tangan kiri Fatia.
"Ah dokter bisa saja, dia bukan suami saya, Dok. Tapi bos saya di kantor." Jawab Fatia sambil senyum tersipu malu.
"Oohh maaf Kak. Saya pikir suaminya. Habis tadi sepertinya panik sekali sampai beberapa kali ke ruangan saya dan dr. Bryan untuk menanyakan keadaan Kak Fatia." Terang Syahira yang membuat mata Fatia membulat seketika. Bagaimana mungkin Hafizh yang selama ini sangat judes dan selalu bete ketika bertemu atau bersamanya menjadi seperhatian itu.
"Cocok kok sama Kakak, siapa tahu Allah menjodohkan loh." Kata Syahira kemudian pamit kepada Fatia untuk melanjutkan pekerjaannya kembali.
Sore harinya saat Fatia sedang menunggu kedatangan Hafizh serta menanyakan bagaimana pertemuannya dengan Pak Rizki, tiba-tiba dua orang paramedis mendatangi kamarnya untuk melakukan visite.
"Kok dr. Bryan yang ke sini? dr. Syahiranya?" tanya Fatia yang kaget melihat Bryan masuk ke kamar inapnya. Untunglah di belakangnya ada seorang perawat menyertainya.
"dr. Syahira hari ini ada urusan keluarga mendadak dan dokter lain sedang meeting dengan direksi rumah sakit. Kebetulan saya yang available bisa menggantikannya." Jawab Bryan dengan ramah.
"Ohh begitu. Oke, nggak masalah dok." kemudian Bryan memeriksa Fatia bersama dengan perawat yang menyertainya.
Untunglah malam harinya Fatia sudah tidak lagi ke belakang. Perutnya juga sudah tidak meradang lagi. Sedikit rasa nyeri masih ada tetapi tidak seperih tadi siang. Urusan Hafizh dengan pak Rizki juga sudah selesai. Ternyata pak Rizki yang dimaksud bundanya ini adalah kakak ipar dari abinya Aira. Mengapa dunia menjadi sesempit ini ya?
Fatia juga mengetahui jika Hafizh menungguinya di luar ruangan. Meski tidak begitu jelas tapi sekilas Fatia tahu saat tiba-tiba terjaga dari tidurnya, Hafizh memeriksa keadaannya sebentar kemudian dia keluar kamar kembali.
Keesokan harinya Fatia sudah merasa sangat baik. Namun secara administrasi dia harus tetap menunggu dokter visite ke kamarnya baru setelahnya akan meminta pulang karena diarenya sudah benar-benar berhenti dan perutnya sudah tidak merasakan sakit.
"Obatnya disimpan siap-siap kalau keluar kota ingin makan sesuatu yang belum pernah supaya tidak keracunan lagi." Pesan Syahira saat Fatia diperbolehkan pulang karena diarenya sudah sembuh.
"Terima kasih dokter cantik. Senang berkenalan dengan Anda. Semoga di lain waktu Allah memberikan kesempatan kepada kita bisa bertemu kembali," kata Fatia.
Syahira tersenyum membalas pelukan Fatia. Saat kaki Fatia dan Hafizh melangkah meninggalkan kamarnya, Syahira berucap "Kak Hafizh, jangan lupa undangan pernikahan kalian dikirim kemari ya nanti." Fatia ssngat terkejut mendengar ucapan teman barunya itu. Kali ini Syahira benar-benar mendapat pelototan dari Fatia namun Syahira hanya terkekeh geli.
"Ehhmm boleh, tapi undangan pernikahan Anda dengan dr. Bryan jangan lupa disampaikan kepada kami juga." Tanpa aba-aba Hafizh membuat senyum Syahira menghilang seketika. Semudah itukah perasaannya bisa terbaca oleh orang lain?
Fatia memandang Hafizh sekilas, ingin meminta keterangan lebih. Namun Hafizh hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Mungkinkan kini haluan hatinya sudah benar-benar berubah arah?
🍄🍄
-- to be continued --
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
📣📣📣📣📣📣📣📣📣
Sedikit berbeda dengan biasanya, chapter ini author berniat untuk melakukan writing collab. So buat temen temen yang kepo yukkk mari silakan berkunjung ke akun Stroopsbaby di lapak Semesta 9 👏👏
mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Surabaya, 12 Juli 2019
revisi dan republish 21 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top