📒 01 ✏ Goodbye City of Dreaming Spires ✏

Leaving the feeling of comfort of the second home, the same friend struggles like a brother and sister, crying, laughing, and disappoinment that created a balanced. This is more stifling than it used to be when we left home_________________________________

🍄🍄

Terakhir, Hafizh memasukkan Macbooknya ke dalam ransel. Masih ada perasaan enggan untuk meninggalkan kota yang telah empat tahun terakhir ini membersamainya. Meninggalkan jutaan cerita, tawa, sedih dan bahagia di kota menara menara mimpi ini.

Hafizh mengedarkan pandangannya ke flat yang pernah menjadi rumah kedua. Meninggalkan keempat sahabatnya yang telah bersama selama empat tahun. Berpamitan dan saling berjanji untuk tetap bertukar kabar meski jarak menjadi halangan untuk mereka.

"This is so hard for me, leaving a place that I have considered the second home. I will be missing you all guys." Kata Hafizh ketika hendak meninggalkan teman-teman seflatnya.

Dan akhirnya, kaki Hafizh benar-benar melangkah keluar dari flatnya diiringi dengan tatapan sendu dari keempat sahabatnya juga lambaian tangan dari mereka.

"Are you sure for leave, so earlier than your schedule before?" tanya Ibnu saat memandang Hafizh yang tampak masih ragu-ragu untuk meninggalkan Oxford.

Rencananya memang Hafizh berniat untuk tinggal sementara waktu di Oxford setelah sekolahnya selesai namun ketika pertama kali bertemu dengan daddy, bunda dan juga saudaranya ada hasrat untuk bisa berkumpul dengan mereka segera.

Melihat masih ada tiket untuk jadwal penerbangan dengan maskapai yang sama dengan keluarganya kembali ke Indonesia akhirnya Hafizh memutuskan untuk kembali bersama mereka.

Genap lima belas hari keluarganya membersamai. Enam hari di Oxford sampai Hafizh menyelesaikan wisudanya dan akhirnya mereka terbang ke Belanda. Berkeliling seharian di negeri kincir angin itu, kemudian ke Belgia, Jerman, negara yang menurut Hafizh begitu maju dengan teknologi globalnya.

Beralih ke Switzerland, Ibnu sangat berbahagia. Menurutnya hamparan hijau sepanjang perjalanan dan indahnya pegunungan disana membuat jiwa mudanya tidak pernah luntur termakan usia. Apalagi perjalananya kesana bersama dengan orang-orang yang dicintainya. Switzerland yang lebih dikenal dengan sebutan Swiss memang menyuguhkan begitu banyak pemandangan indah.

Kemudian beranjak ke Roma. Kota tua yang penuh dengan peninggalan termasyur di dunia. Ibukota Italy ini memang begitu artistik dengan berbagai macam peninggalan sejarahnya. Pertama kalinya Ibnu menginjakkan kakinya di Colosseum, arena gladiator bertanding ini memang tidak pernah terlewatkan untuk dikunjungi oleh wisatawan yang datang di Roma.

Selain itu Roma juga memiliki banyak gereja yang mendunia.

"Dad, what will we go to the church again?" tanya Hawwaiz.

"Just to know, what's wrong?" jawab Ibnu. Sebagai seorang muslim tidak ada salahnya kita melihat gereja. Hanya melihat dan tidak ingin beribadah disana.

Kini mereka telah berada di halaman St. Peter's Basilica, sebuah gereja katholik paling besar. Gereja yang memiliki kubah yang menjadi peristirahatan terakhir Santo Petrus tepatnya di bawah altar utama dan beberapa paus lain juga dikubur di dalam dan di bawah basilika.

"Dad, what's the meaning of Paus?" lagi-lagi Hawwaiz bertanya. Selama ini yang dia ketahui memang Paus itu adalah orang yang memimpin peribadatan umat katholik.

"Paus itu seperti imam untuk kita bagi kaum nasrani." Jawab Ibnu.

"Seperti khalifah?" tanya Almira kemudian.

"Ya, bisa jadi seperti itu." Jawab Ibnu.

Menikmati pemandangan indah di Roma seharian hingga akhirnya mereka melanjutkan perjalanan ke Perancis. Menikmati indahnya sore di Menara Eiffel hingga jadi saksi senja meluruh disana berganti malam.

"Alhamdulillah akhirnya sampai juga kembali ke Inggris. Lusa kita kembali berarti besok bisa kita habiskan di kota menara-menara mimpi ini ya Dad?" tanya Ayyana kepada daddynya.

Kali ini untuk dua malam Ibnu memilih untuk bermalam di hotel. Karena apartment yang mereka sewa kemarin telah habis masa pakainya.

"Tentu, bang Hafizh pasti sangat senang menjadi pemandu wisatanya." Jawab Hafizh. Tidak ada yang tidak berbahagia. Beruntunglah ketiga adiknya sedang liburan panjang sekolah jadi mereka sangat menikmati liburan panjang mereka dengan berkeliling Eropa, meski hanya sehari singgah sehari berpindah.

Karena sebelum mereka berenam keliling ke beberapa negara di Eropa sudah terlebih dahulu keliling Oxford bersama Hanif dan juga Azza, maka hari ini Ibnu dan juga Qiyya meminta mereka untuk memperlihatkan seperti apa indahnya kota yang telah menjadi rumah kedua untuk sang putra.

"Karena disini warga muslimnya hanya minoritas 4% sedangkan nasraninya 60% maka kebanyakan yang dikunjungi juga gereja gereja terkenal. Christ Chruch Collage salah satunya, tempat shooting Harry Potter ini benar-benar membawa kita seperti berada di sekolah sihir Hogwarts. Nanti Daddy foto deh disana sama Bunda seperti Mas Hanif dan Kak Azza kemarin." Cerita Almira mengawali sesi guidancenya untuk Ibnu sedangkan Hafizh hanya tersenyum mengamini cerita adik kembarnya.

"Oh ya, emang mas Hanif sempat foto seperti apa?" tanya Qiyya yang mulai antusias mendengarkan cerita putrinya.

"Mas Hanif naik sapu Bun, seperti mau terbang. Sayangnya kan kak Azza sedang hamil jadi nggak bisa ikut lompat juga waktu di foto. Hanya pake topinya gryffindor." Jawab Ayyana.

"Wow bagus Bun, nanti kita foto model kaya prewed aja." Kata Ibnu.

"Eh iya Dad, foto daddy dan bunda yang di Tebing Jadih Bangkalan itu beneran foto prewed? masa mepet gitu pake pelukan dan ciuman segala si. Belum halal lagi." Tanya Ayyana kemudian.

Hafizh langsung tertawa mengingat kejadian itu. Dimana dulu dia yang masih TK A diberi penjelasan tentang arti bulan madu itu apa.

"Bang Hafizh kok malah senyum senyum si. Kan sudah ada dulu waktu foto daddy dan bunda itu. Kenapa nggak marah sama daddy?" sungut Almira.

Mendengar pertanyaan adiknya tawa Hafizh justru menggema. Foto itu diambil ketika daddy mereka sedang menjalankan tugas di Surabaya. Namun akhirnya akung Abdullah meminta putrinya supaya ikut serta. Perjalanan pertama setelah menikah namun foto itu tetaplah dianggap mereka sebagai foto prewed.

"Siapa bilang belum sah, de facto itu foto sebenarnya diambil setelah daddy dan bunda menikah." Kata Hafizh masih dengan senyumnya yang merekah.

"De jure, diakui sebagai foto prewed." Tambah Qiyya.

"Bunda bener-bener deh, terniat!!" kata Ayyana.

Ibnu hanya tersenyum mendengar percakapan istri dan anak-anaknya. Ingatannya kembali ke masa dimana dia dan Qiyya melakukan foto itu. Kemanjaan Qiyya pertama kali ketika bersamanya, naluri keibuan untuk kedua anaknya dan juga indahnya dunia yang baru mereka ciptakan berdua.

Lagi-lagi, ingatan Ibnu kembali ke beberapa hari lalu. Di tanggal yang sama 18 tahun yang lalu Ibnu menghalalkan Qiyyara menjadi bagian yang halal untuk dunia dan akhiratnya.

Bekerja sama dengan kedua putranya, dengan memanfaatkan prosesi ngidam putra sulungnya. Mereka bertiga benar-benar bisa mengelabuhi Qiyyara. Dan sesuai dengan rencana satu hari penuh Ibnu dan Qiyya dikurung Hanif dan juga Hafizh di apartment mereka. Sebagai hadiah anniversary pernikahan mereka.

🍄🍄

Heathrow International Airport, bandara tersibuk pertama di Inggris ini akhirnya yang menjadi saksi bagi Hafizh. Entah dalam waktu berapa lama lagi dia akan menginjakkan kakinya kembali kesini.

Hafizh telah memutuskan untuk membantu Qiyya dan uti Kartika. Membesarkan konveksi dan juga butik mereka.

"Bang, nggak pengen gitu kerja di perusahaan bonafide. Lulusan Oxford masa kerja sama bunda." Tanya Qiyya memastikan keputusan putranya.

"Bunda, menciptakan lapangan pekerjaan lebih baik. Bisa menolong sekitar dengan mengambil resource dari mereka. Lagian di perusahaan bunda kan Hafizh langsung bisa jadi bos, kalau di perusahaan orang mana bisa? Yang jelas harus jadi pegawai dari bawah dulu kan?" jawab Hafizh dengan sekenanya.

Buatnya akan sangat mudah menjual ijazah yang telah dia peroleh ke perusahaan perusahaan di Indonesia. Dengan predikat cum laude dan juga lulusan dari universitas ternama di dunia. Siapa yang akan menolaknya?

Tapi apa nilai lebihnya untuk Hafizh jika sama dengan yang lain. Bagi Hafizh belajar management dan bisnis itu ada pintu untuknya menciptakan lapangan kerja dengan mengaplikasikan ilmu yang dia peroleh dari bangku kuliahnya.

"Berani mengambil setiap risiko. Dunia bisnis itu tidak semudah yang ada di dalam bayangan kita. Perjuangan, jatuh bangun dan satu yang pasti kita harus tangguh dan ulet." Kata Ibnu memberikan nasihat kepada putranya.

"Belajar banyak juga di lapangan. Jangan hanya mengandalkan ilmu tapi juga paket konkritnya." Kata Qiyya menambahkan.

Hafizh sangat mengerti akan hal itu, hanya saja jika berbicara dengan pengalaman dia harus belajar banyak dengan sang bunda dan juga utinya. Meski bukan butik yang besar Qiyya sangat peka dengan perkembangan jaman. Maunya pasar akan kemana serta peluang peluang bisnis yang tentu saja masih sangat fleksibel untuknya memainkan peran menjadi seorang ibu.

"Hafizh tahu itu Dad, Bun. Masih banyak yang harus Hafizh pelajari dari kalian." Jawab Hafizh di akhir nasihat keduanya.

"Jangan pernah memiliki rasa pongah dan sombong karena kamu merasa menjadi alumni dari universitas yang begitu tersohor. Semua ini hanya dunia ada hal yang lebih penting dari ini semua. Daddy akan lebih merasa bangga jika kamu tetap membungkukkan badan kepada orang yang lebih tua meski mereka tidak mengenyam pendidikan sebaik dirimu." Kata Ibnu kepada putranya.

"Jadi___apa masih berat meninggalkan negara yang telah memberimu gelar bachelor of art ini?" tanya Qiyya yang dijawab anggukan dan juga gelengan dari Hafizh.

"Semua butuh waktu. Kamu masih bisa berhubungan dengan mereka bahkan jika perlu merambah bisnis sampai disini." Kata Ibnu.

"Tapi Hafizh bukan designer, Dad."

"Ambil bisnisnya, tidak harus menjadi designer untuk bisa survive di bidang textile dan juga garment. Kamu bisa jadi suplier untuk mereka, bisa menawarkan kerjasama yang lain bahkan bisa membuka perusahaan di sini." Jawab Ibnu.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama 18 jam di udara dengan satu kali transit di Changi, Singapura. Hafizh menginjakkan kakinya kembali di Indonesia.

Pesawat yang ditumpanginya mendarat sempurna di Bandara International Juanda Surabaya.

"Allahuakbar, Indonesiaku." Kata Hafizh lirih ketika kini dia sedang berjalan di sebuah garbarata.

Sorot matahari sore menyapanya di antara kaca bening garbarata. Bumi yang sempat ditinggalkan selama 4 tahun akhirnya dia pijak kembali.

Saatnya berjuang untuk menjadi salah satu dalang bisnis di negrinya sendiri. Memanfaatkan semua potensi yang ada di Indonesia untuk disulap dan dipasarkan kepada dunia.

Saatnya untuk meminta sebuah legitimasi bahwa dia mampu berjuang bahkan bertanding di arena pasar nasional dan internasional. Lini bisnis yang telah dia kembangkan di Oxford kemarin akan coba dia pakai di Indonesia.

"Kamu kapan siap memulai membantu Bunda?" tanya Qiyya saat mereka telah berada di mobil untuk melanjutkan perjalanan darat ke Blitar.

"Hafizh akan mempelajari pangsa pasar dulu Bun. Differential market dan juga permintaan pasar seperti apa. Yang jelas juga Hafizh juga ingin mengevaluasi terlebih dulu financial report milik bunda sekaligus strategi yang selama ini bunda terapkan untuk menggaet pasar." Jawab Hafizh dengan penuh semangat. Secara terinci memang itulah yang harus kita perhatikan sebelum kita terjun di dunia bisnis. Market share dan juga market demandnya seperti apa.

Tiga jam berlalu, sampailah mobil yang ditumpanginya kini masuk ke sebuah komplek perumahan yang tidak asing lagi untuk Hafizh. Sebuah rumah berwarna cream sudah ramai oleh beberapa orang. Bahkan saat kakinya baru saja menapak ke tanah suara khas sepupu cantiknya sudah menggelegar.

"Mama, Uti, Budhe sama Bang Hafizh sudah sampai." Nafiza berlari masuk ke rumah memanggil semuanya.

Dan akhirnya semua sepupu Hafizh keluar, jagoan uncle Erland Elramdan menyambut terlebih dulu. Kemudian Jabbar, Fiza dan tentu juga si imut Balqis.

"Giliran Bang Hafizh pulang. Mas Hanifnya sama kak Azza nggak ada." Ucap Fiza dengan nada kesalnya.

"Telpon aja mas Hanifnya, Kak Fiza." Ide Elram meminta sepupunya untuk melakukan panggilan vidcall.

"Pinjam HPnya mama dong, sebentar."

"Sudah pakai HPnya abang saja nih, telpon mas Hanif semoga pas lagi nggak tidur atau di kampus." Kata Hafizh.

"Emangnya selisihnya Indonesia - Massachusetts berapa jam sih Bang?" tanya Elram.

"Sebelas jam duluan kita, jadi itung saja mundur. Kalau sekarang jam 7 malam disana jam berapa?" jawab Hafizh menyerahkan gawainya kepada Elram.

"Yah jam 6 dong, berarti mas Hanif lagi siap-siap dong ya berangkat ke kampus."

"Telpon saja."

Akhirnya Hafizh kini sedang menemui dan melepas kangen dengan om, tante, dan juga akung utinya. Sedangkan sepupunya malah asyik di depan gawai untuk melakukan panggilan video call kepada Hanif.

"Assalamu'alaikum. Loh kok kalian?" kata Hanif ketika memulai obrolan mereka di video call.

"Waalaikumsalam. Mas Hanif, Bang Hafizh baru saja sampai. Kemarin fotonya Mas Hanif kok ngga ada yang jalan jalan ke Switzerland dan Roma. Di Paris juga nggak ada." Kata Fiza yang langsung mengambil alih gawai dari Elram.

"Busyet ini anak kalau sudah ketemu mas Hanif." seru Elram.

Hanif hanya tersenyum melihat kelakuan adik-adiknya. "Iya, kemarin habis bang Hafizh selesai wisuda mas Hanif langsung terbang ke Boston. Kasihan dong kak Azzanya kalau jalan-jalan jauh. Nanti deh kalau kalian yang sekolah disana inshaallah mas Hanif kunjungi."

"Yaaa, kita juga pengen jalan-jalan kali ke Eropa atau ke Amerika. Mana pakde Ibnu ekspresif banget fotonya sama budhe Qiyya. Masa naik sapu lidinya Harry Potter, Mas." Teriak Jabbar.

"Makanya kalian belajar yang rajin, biar sekolahnya pinter seperti bang Hafizh jadi bisa sekolah di luar negeri." Jawab Hanif memberikan semangat kepada adik-adiknya.

"Iya, ini Mas Hanif sedang apa? Kak Azza mana?" tanya Fiza dan Balqis bergantian.

"Mau sarapan ini kak Azzanya lagi nyiapin sarapan, kalian sudah makan belum? Ini tadi semua pada ngumpul di rumah ya?" tanya Hanif yang kemudian memberikan gawainya kepada Azza supaya adik-adiknya melihat juga.

Percakapan hangat mereka berakhir kala Abdullah mendekati mereka dan berganti memegang gawai milik Hafizh untuk berkomunikasi dengan cucu sulungnya.

Benar memang kata pepatah. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. Ya, kita harus mensyukuri apa yang kita miliki. Dekat dengan keluarga salah satunya. Mencintai mereka tidak akan pernah memperoleh kerugian sampai kapanpun juga. Dekat dengan mereka lebih membahagiakan melebihi dari apapun juga.

Sampai pada akhirnya Hafizh tidak akan pernah menyesal untuk berada kembali di pelukan keluarganya. Dan dia kini bisa mengatakan dengan sepenuh hatinya, Goodbye City of Dreaming Spires.

🍄🍄

-- to be continued --

🍃 ___🍃

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

🍃 ___ 🍃

mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini

Blitar , 28 Juni 2019

revisi dan republish 09 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top