Kau Takkan Kembali

Jadi begini...

Aku menangis karena aku punya alasan.

Aku menangis karena aku punya bola raksasa menggumpal dari ulu hati ke paru-paru dan ke tenggorokan.

Kamu... tak akan pernah kembali, benar begitu?

Jadi aku menangis... karena tahu kamu tak akan pernah kembali.

Aku duduk di tempat pertama kita bertemu sejak 3 jam yang lalu. Bukan, bukan menunggu kamu. Aku hanya perempuan melankolis yang suka meresapi kenangan meski tahu itu akan sedikit menyakitkan.

Oke, ini tidak sedikit. Ini sangat menyakitkan.

Bangku panjang ini, rel kereta api ini.

Awal pertama kita duduk berdua, innocent, masuk ke kereta, turun di stasiun yang sama, berjalan ke jalan yang sama, masuk ke apartemen yang sama...

Kemudian barulah kita sadar, apartemen kita berseberangan. Tipe urutan selang-seling membuat nomor kita beda satu angka. 115 untukmu, dan 117 untukku.

Di rel kereta api yang sama kita selalu bertemu, karena kita sama-sama jarang berkomunikasi dengan tetangga.

Satu dua kereta melewatiku. Apa yang kuharapkan? Kembalinya dirimu? Atau sosokmu yang gagah turun dari kereta, menggaruk bagian belakang kepalamu dan terkekeh "maaf, aku pergi terlalu lama"?

Tidak ada yang seperti itu.

Kamu telah pergi jauh, meninggalkanku.

Aku berdiri dan menyusuri rel kereta api. Tengah malam begini memang sangat sepi. Kegelapan malam menelanku dan jaket hitam berbuluku.

Intinya kau tak akan pernah kembali.

Jarak dan waktu tiada berarti. Berapapun ukurannya, kau memang tak akan pernah kembali.

Kau akan tetap sujud dan aku akan tetap melipat tanganku.

Kita berdua berbeda.

Dua abroad student dari Indonesia di gedung apartemen yang sama.

Satu perbedaan kita: kepercayaan.

Dan kemudian dengan nekad, kita meneruskan rasa yang ada dalam hati kita, dan menjalani perjalanan dengan ujung yang selalu sudah bisa kita ketahui.

Tapi kita tetap menjalaninya meski perih. Kita tetap saling membiarkan diri terbakar dan mati dalam kebahagiaan semu.

Lalu kemudian, kamu mendapat telepon dari orangtuamu.

"Tidak! Mama gak mau kalau kamu punya hubungan dengan yang tidak seiman!"

"Tapi, Ma... Aris udah gede! Mama harusnya--"

"Seberapapun umurmu, Aris, kamu tetap anak Mama!"

Dan kamu, yang berkata bahwa kamu begitu mencintaiku, tak bisa berkata apapun lagi selain mengikuti kata orang tuamu.

Kemudian kita yang saling cinta mendapati diri kita saling menautkan tangan di dalam apartemenku. Dalam atmosfer tegang yang menekan kepalaku hingga perih.

"Key, aku harus ngomong sama kamu..."

Dan aku tahu dalam hatiku kalau ini akan segera berakhir.

"Key, Mama gak suka aku--kita... hubungan ini. Mama ga setuju."

Aku, yang sudah tahu hari ini akan tiba, mempererat genggaman tanganku. "Ris, kita sama-sama tahu hari ini akan beneran kejadian, iya kan?"

Dengan berat kamu mengangguk. Aku merasakan genggamanmu makin erat dalam gemetarmu yang hebat. "Iya, Key. Aku, kamu, kita tahu hari ini akan datang...." Aris seperti menahan napasnya.

"Tapi aku percaya kita bisa," bisikku. "Aku pengen banget percaya kalau kita bisa, Aris."

Aris terpaku lama. Cukup lama. Akhirnya dia menggeleng frustasi. "Enggak, Key. Ini gak akan berhasil. Selamanya. Gak akan pernah berhasil."

Dadaku makin sesak karena perkataanmu. Napas demi napas mulai berat untuk terhembus dan aku mulai megap-megap mencari udara.

"Key, kita udahan ya?"

Badanku mendingin. Aku sepertu berubah menjadi sculpture es.

"Ris, aku tau... kita bisa!" Sebutir air mata meluncur bebas dari pelupuk mataku. "K-kita bisa... iya kan? K-kita b-bisa k-ketemu Mama kamu, d-dan aku bisa jelasin... bilang semua ke Mama kamu!" Kata-kataku sudah tak tertata lagi. Berserak bersama perasaanku yang berantakan.

"Key--"

"A-ayo kita beli tiket ke Indonesia untuk minggu depan. Aku bisa ngomong baik-baik sama Mama kamu. J-jadi nanti kita gak ada salah paham lagi!"

Aris memandangku penuh belas kasihan. Dia begitu pilu.

Hei, kenapa kau begitu sendu? Ini masih bisa diperbaiki, bukan?

Tapi ketika kulihat lagi mata itu, rasanya dadaku sesak penuh gas beracun.

"Key, kita sama-sama tahu sejak awal...," Aris merangkum pipiku dengan kedua tangannya. "Aku dan kamu sama-sama tahu ini gak akan bertahan lama."

Seluruh sistem tubuhku seperti dimatikan dengan satu tombol perintah. Mati.

"Key. Tolong, lepasin aku..."

"Aris, kita masih bisa!"

"Key, tolong. Aku sayang kamu, tapi--"

"Aris, ada jalan di setiap masalah! K-kamu percaya kan?"

"Key, Keara denger aku!"

"Gak, Aris! Aku gak mau denger!"

"Keara Agatha!"

"GAK! AKU PERCAYA KITA BISA!"

Dan kini aku sadar, kalau aku sudah terlalu dalam menyelam ke dalam perasaan itu sendiri. Aku sudah sulit melepaskan hati itu, yang bahkan bukan milikku.

"Keara, aku begitu sayang sama kamu. Tapi ini bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Memang hubungan beda kepercayaan gak akan--"

Aku menutup wajahku rapat-rapat dalam tangisan. Kurasakan seluruh badanku bergetar, meski sesungguhnya tubuhku sudah tak lagi bertenaga. Aku mendengar gema tangisku di seluruh ruangan.

Aku menangisi sesuatu yang aku tahu akan datang suatu hari nanti. Aku melupakannya dan menikmati kesemuan ini, hingga aku mati rasa saat kenyataan melindasku hingga rata.

Aku merasakan lengan Aris mengunci tubuhku dalam sebuah pelukan. Kupeluk dia dengan tanganku yang basah akan air mata.

"Aku sayang... banget... cinta sama kamu."

Anggukan Aris terasa di pelukan itu. "Ya, aku tahu."

"Kamu sayang sama aku?"

Aris diam. Tak ada jawaban. Namun lengan itu semakin erat mengunci tubuhku. Seperti sedang mengirim jawaban yang tak terkatakan. Ya aku juga.

Kemudian pelukan itu terlepas. Aris berbalik pergi.

"Aris," panggilku.

Kamu menoleh untuk terakhir kalinya. Matamu basah karena air mata. "Kenapa... Key?" susah payah kamu menjawab.

"Selamat jalan. Aku cinta kamu."

Kamu, Aris, mengangguk untuk terakhir kalinya. Kamu tahu kalau aku tahu orang tuamu sudah mengatur semua surat kepindahan dan kamu akan kembali ke Indonesia.

Supaya apa?

Supaya tak perlu lagi bertemu denganku.

Kemudian yang terakhir kudengar adalah pintu yang tertutup. Kemudian aku terjatuh ke lantai, memeluk lutut, merasakan sisa-sisa pedih kepergianmu.

Dan tahukah kalian, bahwa setelah itu aku tak pernah menyerah begitu saja.

Aku sering menghubungi Aris. Aku sering menanyakan kabarnya, mengingatkannya akan rutinitas yang sering ia lupakan, mengingatkannya akan jadwal-jadwal obatnya.

Suatu hari, dia tak pernah lagi membalas pesan itu.

Aris menghilang dari semua sosial media.

Dan aku, yang tahu dia tak akan pernah kembali, berusaha untuk terus mencari. Aku percaya ini bisa bertahan, dan aku mau percaya meski aku percaya sendirian.

Aku berakhir di depan rel kereta api ini, subuh ini, wahai Aris.

Sendirian menyusuri rel hingga tiba di apartemen. Kelap-kelip lampu menaungiku yang begitu merindukanmu.

Di dalam apartemen, aku menatap pintu itu. Ruang kosong yang belum terisi.

Terkadang aku suka berkhayal kalau kamu akan keluar dari dalam sana dan menyapaku. Pagi, cantik!

Tapi aku berakhir memeluk bantal dengan tangisan pathetic yang begitu memilukan. Kamu tak akan pernah kembali. Kamu tak akan pernah kembali. Kamu tak akan pernah kembali.

K a m u t a k a k a n p e r n a h k e m b a l i.

Aku menutup mataku dalam dinginnya pagi di kota asing ini. Dahulu aku mengarunginya bersamamu, tetanggaku yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta setiap detiknya.

Aku melipat tanganku dan berdoa, " Tuhan, aku tahu dia tak akan pernah kembali."

Hanya itu doaku.

Aku yakin Tuhan paham kata per kata dari sebaris doa itu.

Tuhan, aku merelakan. Aku ikuti jalanMu dan aku berhenti berharap.

Dia, tak akan pernah kembali.

Terimakasih karena pernah membiarkanku mencintainya

Dan kemudian aku sadar, kalau dalam hidup ini, aku akan menemukan saat di mana aku harus berhenti dan berserah. Pasrah pada takdir Tuhan.

Kemudian aku sadar bahwa ketika dia pergi, tak akan ada lagi pengulangan. Gelak tawa itu, quality time itu, kata-kata penuh cinta itu... tak akan pernah ada yang kembali.

Kamu tak akan mungkin kembali. Aku harus berhenti percaya kalau kamu akan kembali.

Seandainya
Jarak tiada berarti...

Ah, memang tak pernah berarti.

Seandainya
Sang waktu dapat mengerti...

Ah, ini bukan masalah waktu.

Takkan ada rindu yang trus menganggu
Kau akan kembali bersamaku...

Dan kita semua tahu kau takkan pernah kembali.

Sekarang siapa yang aku bodohi? Kenyataannya adalah kamu MEMANG tak akan pernah kembali.

Dan aku, tak bisa mengulang semua yang sudah kau bawa pergi bersama denganmu.

Kau takkan pernah kembali.

Cannes, 16 July 2015.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top