Bab 1: Tahun Baru
Hai... silahkan VOTE BAB YANG KAU SUKA. Dari bab 1-Epilogue.
Happy Readings..
***
Tahun baru. Siapa yang tidak mau melewatkan acara istimewa malam ini? Semua orang menanti jam dua belas tepat untuk menyambut tahun yang baru dengan sukacita.
Ya, itu apa yang dilakukan oleh Ricko dan Abi. Selama menunggu mereka menyantap ayam bakar, jagung bakar, sate, dan lain-lain.
"Abi!" panggil Ricko.
Abi menoleh kepalanya pada sumber suara, "Apa?"
"Kamu tahu tidak perbedaan bintang sama kamu?" tanya Ricko.
"Apa?"
"Kalau bintang menyinari langit kalau kamu menyinari hatiku."
Abi terdiam sejenak, "Oh.., memang di hati kamu ada senter?" tanya Abi.
"Iya, kaulah senterku."
"OM TRISTAN, RICKO MAKAN SENTER!!!" seru Abi, gadis setengah oriental dan sunda itu tidak menghiraukan ucapan Ricko tentang dirinya.
Tristan yang mendengar seruan Abi pun langsung menghampiri mereka dan meninggalkan istrinya yang sedang memasuki kandungan tujuh bulannya.
"Apa Ricko makan senter?!" kaget Tristan sambil menyamakan tingginya dengan dua bocah itu.
"Iya, katanya aku menyinari hatinya dan aku tanya 'memang di hati kamu ada senter?' terus dia bilang iya."
Tristan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh, ia tidak habis pikir dengan anak semata wayang Marvel yang berumur enam tahun ini.
Abi cukup mengingatkan dirinya pada Marvel saat mereka masih kecil.
"Abi, Ricko tidak memakan senter. Dia coba bilang ke kamu kalau kamu itu sangat cantik lebih dari bintang," jelas Tristan dengan pelan.
"Aku gak cantik, aku B aja," balas Abi.
"Iya, tapi menurut Ricko kamu itu sangat cantik."
"Aku gak cantik, Om. Aku B aja."
"Bukan Om, Abi. Ricko yang mengucapkannya."
"Iya, aku tahu. Tapi, yang ngomong kan Om, bukan Ricko. Ricko kan cuman bilang senter."
Tristan menyeringai, stok kesabarannya untuk gadis kecil ini harus di tambah berkali lipat. Tristan berdiri dan menyapu pemandangannya berharap bahwa orang yang mengingatkan dirinya pada Abi masih ada, dan saat pandangannya terjatuh pada orang yang ia cari. Barulah Tristan memanggilnya. "Marvel..!" Marvel yang merasa namanya dipanggil pun menoleh pada sumber suara.
"Apa?"
"Anak lu nih satu dijelasinnya susah!" ucap Tristan.
"Emang, baru tahu lu?" balas enteng Marvel sambil bergerak santai melewati mereka.
Entah apa yang Eli lihat pada dirimu, Temanku yang Lebay, umpat batin Tristan sambil melirik tajam Marvel.
Entah sudah berapa lama Tristan melirik pedas Marvel, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di kepala Abi.
"Om Tristan!" panggil Abi. Tristan langsung menoleh pada dua bocah yang berada dihadapannya dengan senyuman ramahnya.
"Iya, Sayang?" tanya Tristan sambil menyamakan tingginya dan mengelus puncak kepala Abi.
"Aku punya pertanyaan buat Om Tristan, Om bisa jawab gak?" tanya Abi.
Ricko yang diacuhkan hanya ikut menyimak pertanyaan yang hendak Abi ajukan itu dengan kepo.
"Tentu, apapun itu pertanyaannya, Om yakin, Om bisa jawab," jawab Tristan penuh percaya diri.
"Dari mana bayi berasal?"
Glek..
Pertanyaan itu..
Marvel yang mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut anaknya itu mencoba untuk menahan tawanya yang siap meledak dengan susah payah.
"Oh iya. Ayah, ayah kan juga belum menjawab pertanyaanku yang itu," ujar Ricko.
"Pertanyaan yang mana?" tanya Tristan memastikan.
"Yang 'Dari mana bayi berasal?'."
Itu dia.., setelah mendengar jawaban Ricko, tawa Marvel meledak.
"Bhwahahahahaha!" Marvel tertawa sangat puas hingga Tristan yang sadar akan hal itu menatapnya jengah, sedangkan Ricko dan Abi tetap diam di tempat. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Anak gue tanya itu ke lu, sedangkan anak lu juga tanya itu ke lu! Hahahaha! Kehidupan lu penuh dosa, Trist!" ujar Marvel yang diselingi tawa sambil menunjuk Tristan.
Namun, Tristan yang tidak mau kalah membalas Marvel, "Pertanyaan yang tepat, lu berani jawab gak?"
Merasa diacuhkan oleh dua orang pria dewasa, Abi merasa jenuh. "Ricko, kita main ke belakang aja yuk!" ajak Abi.
"Abi, kamu yakin? Kan hari sudah gelap. Kalau kamu kenapa-napa bagaimana?" tanya Ricko khawatir.
"Aku tidak akan kenapa-napa. Toh, kan ada kamu yang selalu menjagaku." Abi kemudian beralih menggenggam tangan Ricko. "Ayo!"
Abi lalu menarik tangan Ricko agar ia mau bergerak dari tempatnya. Jujur, selama tangan mungil Abi berada di genggaman Ricko, jantung Ricko berpacu cepat. Ricko merasa sangat nyaman dan enggan untuk melepasnya.
Mengapa kau selalu membuatku kecanduan, Abi? batin Ricko.
Tanpa Ricko sadari, mereka telah sampai di taman belakang rumah Ricko.Saat mereka sudah sampai, mereka disambut oleh Adel, Caca, Putri, Thomas, dan Adam yang sedang sibuk bermain petasan dan kembang api. Mereka tentu saja didampingi oleh Shaqil, Amira, dan Rafa.
Adel adalah putri sulung dari Rafa dan Manda, sedangkan Thomas adalah adiknya Adel yang sebaya dengan Putri. Manda kini tengah menemani Tessa yang sedang memasuki kandungan tujuh bulannya di teras depan rumah. Tadinya Tessa ingin menjaga anak-anak juga saat mereka bermain petasan, namun, Tristan melarangnya.
Caca dan Adam, adalah anak kembar tidak identik Amira dan Shaqil. Mereka selisih dua menit. Caca yang tertua, sedangkan Adam yang bungsu. Ternyata doa yang dihaturkan Shaqil saat ia menikah dengan Amira terkabul.
Putri tentunya adalah adik perempuan Ricko yang sangat bandal. Ia akan melakukan apapun untuk menemukan aib kakaknya dan menyebarkannya.
"Wah! Lihat!" ujar Abi sambil menunjuk langit yang penuh dengan kembang api. "Cantiknya!" mata Abi berbinar-binar menatap sang angkasa, sedangkan Ricko terus memperhatikan Abi.
Lucu, adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan tingkah Abi saat ini.
Ricko terus memperhatikan Abi yang ceria itu, mereka bahkan tidak sadar kalau mereka masih berpegangan tangan. Ralatnya, hanya Abi yang tidak sadar. Ricko lebih memilih untuk diam, karena ia sangat menikmati tangan Abi yang masih ia gandeng.
"Cie.. ada yang pacaran!" pekik Caca, ternyata Caca mewarisi sifat Ibunya, Amira tentang tingkat keromantisan. Entah jika Adam juga terkena warisan sang ibu.
Setelah mendengar pekikkan Caca, semua yang berada di halaman itu dengan kompaknya menatap dua bocah yang bergandengan tangan sambil tersenyum.
"Ciee..! Abang Ricko!" pekik Putri.
Abi yang sadar pun menoleh pada tangannya yang ternyata masih menggandeng tangan Ricko, dengan cepat ia menghempaskan gandengannya itu hingga tangannya terlepas total dari Ricko.
"Ricko! Abi! Daripada pacaran, ayo kita main petasan!" ajak Adam.
"Oke!" jawab Abi sembari berlari ke kerumunan orang itu.
"Abi, hati-hati!" seru Ricko.
"Cie.., Abang perhatian!" pekik Putri sambil menunjuk Ricko.
Ricko yang mulai merasa terusik menatap Putri tajam memperingatkan. "Putri, kau punya dua pilihan. Pertama, tutup mulut besarmu itu jika kau ingin Barbie selamat. Kedua, jika kau tidak ingin diam, maka Barbie-mu akan Abang jual. Pilih yang mana?" tanya Ricko penuh ancaman.
Tatapan yang Ricko berikan sangat menakutkan, semua orang yang melihatnya pasti akan menurut pada kemauan Ricko saat ini juga. Namun, mengingat Putri adalah adik kandung Ricko dan Putri juga mewarisi sifat Ibunya. Ia tidak takut sama sekali pada Ricko, karena ia sudah menyiapkan alat-alatnya dari awal.
"Ck, Abang! Abang juga punya dua pilihan. Pertama, Abang harus mengaku pada semua orang disini kalau Abang cinta sama Ci Abi, jika Abang ingin bola basket kesayangan Abang meledak. Kedua, jika Abang tidak mengakuinya, Abang dapat mengucapkan selamat tinggal pada bola basket Abang ini," ucap Putri sambil menunjukkan bola basket kesayangan Ricko ditangannya. "Pilih yang mana?"
Putri memberikan Ricko senyuman penuh kemenangan saat melihat Ricko terbisu. Ricko sangat menyayangi bola basket itu. Bola basket itu penuh dengan memorinya bersama dengan Kakek Darren saat beliau masih hidup.
Darren yang mengajari Ricko bermain basket dengan bola itu, Darren bahkan yang membelikannya bola itu pada ulang tahunnya yang ketiga.
Ricko menghembuskan nafas panjang. Si Tuan Putri selalu menang. "Kau bisa mendapatkan semua es krim yang berada di lemari es, jika kau memberikan bola itu padaku dengan utuh."
Putri menarik alisnya ke atas, mengimbang-imbangi persepakatan yang diajukan Ricko. Putri memang ingin menguasai semua es krim lezat yang berada di lemari dingin itu.
"Semuanya?" tanya Putri memastikan.
"Semuanya."
Senyuman kemenangan tertampang di wajah Putri seketika."Deal!" pekik Putri sembari melempar bola itu pada Ricko.
Ricko segera menangkap bola kesayangannya itu dengan penuh cinta kasih. Ia tidak akan membiarkan kenangan kakek terakhirnya menghilang begitu saja.
Saat bola itu sudah berada di pelukan Ricko, Ricko memeluknya erat bagaikan benda rapuh. Abi yang melihat Ricko seperti itu turut merasa iba.
Ya, Abi tahu sejarah bola itu, karena ia selalu bersama Ricko saat ia memainkan bola itu ataupun mendapatkannya. Abi sangat tahu bahwa Ricko sangat menyayangi Kakek Darren.
Kasihan.
Mengabaikan yang lain, Abi menghampiri Ricko yang masih memeluk erat bola itu.
"Ricko?" panggil Abi sambil menepuk pundak Ricko dan menyamakan tingginya dengan Ricko. "Kau baik-baik saja?"
Ricko mendongakkan wajahnya dan menatap bola mata cokelat Abi, Abi ternyata mewarisi mata Ibunya, Elizabeth yang kini tengah menyiapkan makanan bersama dengan Marvel dan Tristan.
"Aku tidak apa-apa," ucap Ricko cepat sambil berdiri dan menggelengkan kepalanya dua kali.
Abi juga berdiri dari jongkokkannya itu dan tersenyum kecut pada Ricko. Abi lalu mengelus-elus lengan Ricko, karena ia hafal ekspresi yang Ricko sedang sembunyikan.
"Kau tidak perlu menyembunyikan apa-apa, Ricko. Aku sudah mengenalmu lama, kau tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Abi.
Ricko menghela nafas panjang.
Abi benar. Ia telah mengenal dirinya semejak mereka belum bisa berbicara ataupun berjalan. Yang Ricko hanya dapat lakukan sekarang, adalah mengakuinya dan pasrah.
"Kau benar. Aku tidak dapat menyembunyikan apapun dirimu. Kau terlalu mengenalku.
Abi menerbitkan senyumannya yang sedikit lebih lebar sebelum memeluk tubuh Ricko erat. Elizabeth yang sedang mencuci piring tersenyum saat melihat pemandangan yang imut itu. Putrinya memeluk Ricko. Sangat imut. Bahkan pakaian mereka serasi, serba putih. Entah mengapa, Eli merasa bahwa Abi akan segera pergi dari rumahnya menuju rumah tangganya sendiri bersama dengan Ricko.
Klik..
Suara kamera kemudian membangunkan Eli dari lamunannya. Saat ia menatap ke sumber suara, ternyata itu adalah suaminya, Marvel yang telah menangkap momen putrinya.
Marvel menatap puas dengan foto yang telah ia dapatkan. "Lucu kan?" tanya Marvel sambil memperlihatkan hasil karyanya.
Eli yang menatap foto itu tiba-tiba ingin menangis, ia belum siap apabila anaknya akan membangun rumah tangga dan meninggalkan dirinya. Ia tidak siap. Marvel yang sadar akan ekspresi yang Eli sedang berusaha sembunyikan itu langsung mengantongi handphone-nya dan memeluk istrinya dari belakang.
"Hei, kamu kenapa?" tanya Marvel.
"Entahlah, aku hanya belum siap melepaskan Abi jika ia sudah menikah nanti."
Marvel menyeringai. "Iya, aku juga belum siap. Mengantarnya menuju altar dan menyerahkannya pada suaminya nanti. Itu belum terpikirkan olehku. Tapi, untuk apa membayangkan hal-hal seperti itu? Umurnya kan masih enam tahun, kita masih punya waktu banyak bersamanya." Eli kemudian tersenyum atas perlakuan manis yang diberikan suaminya itu. "Gitu dong, senyum. Aku makin sayang deh.., kalau kamu senyum."
Eli membalikkan tubuhnya dan mengalungi leher Marvel, "Kau sangat manis."
"Dan itu mengapa kau mencintai aku," ujar Marvel penuh percaya diri sambil menaik turunkan alisnya. Saat mereka hendak mendekatkan wajah mereka, tanpa mereka sadari, gadis kecil yang mereka perbincangkan tadi sudah berada di tengah-tengah mereka.
"Ayah! Ibu!"
Eli dan Marvel sontak melepaskan pegangan mereka dan menatap duplikat kecil mereka.
"Abi, sejak kapan kamu di sana, Sayang?" tanya Eli sembari memeluk tubuh mungil Abi.
"Barusan, Ibu. Aku hanya ingin ambil minum, aku haus. Tadi Ibu sama Ayah mau apa?" tanya Abi.
Lidah Eli tiba-tiba berubah menjadi kelu seakan ia tidak dapat menghasilkan suara lagi. Pikirannya pergi kemana-mana, mencoba untuk mencari jawaban yang tepat untuk gadis kecilnya ini. Eli tahu bahwa Abi mewarisi keingintahuan dan kepintarannya, namun, ia tidak menyangka Abi akan melebihi dirinya.
Sadar bahwa istrinya tak kunjung menjawab pertanyaan putrinya, Marvel segera turun tangan. "Nanti saat kamu sudah besar, kamu boleh tahu dan mempraktekannya," ujar Marvel sambil menyamakan tingginya dengan Abi.
"Aku sudah besar. Apakah aku boleh?" tanya Abi.
"Sama orang yang kau cintai? Nanti," jawab Marvel.
Eli yang mendengar hal tersebut pun melotot penuh peringatan pada Marvel. Ya ampun, mengapa Marvel berubah menjadi mesum seperti ini?
Marvel yang merasakan lototan Eli, tersenyum kikuk. Marvel kemudian menatap gadis kecilnya lagi. "Tentu saat kau sudah cukup umur, kau bisa melakukannya."
"Jadi, sekarang aku boleh melakukannya?" tanya Abi polos.
"Tidak!" seru Eli dan Marvel bersama.
Eli menatap Marvel dengan kilatan membunuhnya nan menakutkan, Marvel sama sekali tidak becuh mengajar Abi. Eli kemudian menggendong tubuh mungil Abi, dan membawanya pergi dari dapur menuju halaman belakang. Ralatnya, pergi dari Marvel.
Saat mereka sudah sampai di halaman belakang, Eli menurunkan Abi dan menatapnya penuh cinta kasih.
"Abi, Sayang. Nanti saat kau sudah dewasa, kamu boleh melakukan itu dengan suamimu kelak. Itu apa yang Ayah maksud dengan 'cukup umur', kamu mengerti kan?" tanya Eli.
Abi menganggukan kepalanya mantap. "Mengerti kok, Ibu."
"Bagus."
Elizabeth mengelus kepala putrinya. Oh.., ia akan merindukan wajah polos Abi saat masih kecil.
"SELAMAT TAHUN BARU!!!!" seru semua orang.
Hal yang Abi sukai saat tahun baru adalah dapat melihat banyak kembang api yang besar dan indah di angkasa.
"Abi, lihat! Banyak sekali kembang apinya!" seru Ricko.
Indahnya.., batin Abi.
-----
JANGAN LUPA VOTE BAB YANG KAU SUKA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top