6 - Pelangi [Revised]
Ayesha menatap tangan Ilham yang terulur padanya. Menimang untuk meraihnya atau tidak. Apa yang akan terjadi jika ia berani meraih tangan itu?
"Berdirilah," ucap Ilham.
Ayesha masih diam, kemudian menghapus air matanya dan berdiri tanpa meraih uluran tangannya. Ia sudah berhenti menangis. Tertunduk di hadapan Ilham.
"Kau tidak papa?" tanya Ilham. Melihat Ayesha yang nampak agak kacau.
"Kenapa kau di sini?" Ayesha malah balik bertanya. Tidak ingin Ilham ikut campur urusannya. Lagi pula apa yang dilakukannya di luar kantor saat cuaca sedang hujan seperti ini. Dia juga membawa payung, yang artinya dia tahu kalau saat ini sedang hujan.
"Kau tidak papa?" Ilham mengulang pertanyaannya.
"Aku baik-baik saja," jawab Ayesha pada akhirnya masih tanpa menatapnya.
"Lalu kenapa kau menangis?" Ilham menatap Ayesha yang masih betah menundukkan kepalanya.
Ayesha diam. Benar, kenapa ia menangis? Untuk apa? Karena apa? Karena pria itu? Benar-benar hal yang tak berguna.
"Bukan urusanmu," jawabnya dingin. Ayesha menatap Ilham dan baru menyadari kalau ia terkena hujan karena payungnya ia arahkan kepadanya. Ia berdehem, "kau kehujanan," ucapnya kemudian.
Ilham tertawa kecil. "Lalu haruskah aku maju satu langkah?"
Ayesha tertegun. Terpesona dengan caranya tersenyum, entah apa maksud dari pertanyaannya. Jantungnya berdebar-debar tiap kali melihatnya tersenyum. Dengan cepat ia tundukkan kepalanya. Ia harus gadhul bashor, terlebih lagi terus menatapnya akan membahayakan jantungnya.
Tanpa ia duga, Ilham benar-benar mendekat satu langkah di hadapannya hingga mereka bisa berbagi payung. Ayesha sangat terkejut dan secara otomatis mundur satu langkah.
Ilham kembali mengarahkan payung itu padanya. "Lihat, ini yang akan terjadi kalau aku melakukannya."
Ayesha salah tingkah. "Kalau begitu kau saja yang memakainya. Lagi pula hujannya tidak terlalu deras. Aku juga tidak memintamu melakukannya," ucapnya dalam satu tarikan napas. Kemudian ia berjalan cepat melewati Ilham menuju tempat berteduh.
Ilham menghela napas lalu mengikutinya. "Kenapa kau keras kepala sekali?"
"Itu memang sifatku. Kau puas?" Ayesha kesal. Ia terus saja mengatainya keras kepala. Sejak dulu.
Mereka berteduh di depan sebuah toko, yang tidak terlalu banyak pengunjung. Sama-sama terdiam menatap hujan yang mulai reda. Di benak keduanya terbersit ingatan dua tahun lalu. Mereka pernah melakukan hal yang sama. Berdiam diri bersebelahan menunggu hujan reda.
"Kenapa kau menangis?" Ilham kembali bertanya. Karena ia belum mendapat jawabannya.
"Aku tidak menangis, hanya saja mataku mengeluarkan air." Ayesha menyangkal. Ia tak berniat menceritakan alasan kenapa ia menangis. Kenapa pula ia harus menceritakannya pada pria di sampingnya? Ia bukan siapa-siapa.
Ilham menoleh. "Itu sama saja, Ay...."
"Lalu kenapa kau ada di luar? Kau juga membawa payung berarti kau tahu sedang hujan, bukankah tadi kau bilang harus segera kembali ke kantor?" Ayesha masih berkilah. Selain untuk menghindari pertanyaan, ia juga bertanya-tanya apa Ilham memang sengaja datang untuknya.
Ilham terdiam sebentar. "Emm.. Begitulah,"
Ayesha mengernyit tak mengerti. "Begitulah apanya, kalau bicara itu yang benar dan jelas." Ayesha agak kesal, dan tak habis pikir. Dilihat dari sudut mana pun, jawaban Ilham itu benar-benar tidak nyambung. Sifat anehnya kumat. Pikirnya.
"Hujannya sudah berhenti," ucap Ilham memandang langit yang masih nampak cerah. Ayesha harus bersabar saat seperti ini, pembahasan mereka dari tadi tak pernah nyambung, loncat-loncat, tanya apa jawab apa. Sebenarnya bukan hal aneh lagi bagi Ayesha. Toh dari dulu dia memang begitu. Ia ikut menatap langit.
"Sebentar lagi kau akan lihat sesuatu yang indah di sana," ucap Ilham lagi masih betah memandangi langit.
Ayesha menoleh menatapnya. Dalam hati ia mendesah. Bagaimana bisa ada makhluk yang terlihat begitu sempurna di matanya. Melihatnya berdiri tegap dari samping dengan setelan kemeja warna putih saja sudah setampan ini. Sepertinya dia bukan manusia. Dia seni, seperti patung. Indah.
Ilham menoleh tanpa Ayesha duga, membuatnya sedikit berjengit kaget. "Yang indah itu di sana, bukan di sini. Ck." Ilham berdecak dengan senyum miringnya. Seolah tahu kalau Ayesha memperhatikannya sejak tadi, dan mengaguminya diam-diam.
Ayesha mengalihkan pandangannya dengan kikuk, menatap langit. Dan satu detik kemudian ia berdecak kagum. Mengagumi satu keindahan lainnya, keindahan alam yang disuguhkan Sang Pencipta. Ia ingat Inayah pernah mengajarinya untuk belajar mengagumi dan memuji Allah lewat ciptaan-Nya. Mungkin ini yang di maksudnya, ia memuji betapa Kuasanya Allah menciptakan sesuatu seindah ini. Mengagumi-Nya lewat ciptaan-Nya.
Apa mengaguminya juga termasuk cara untuk mengagumi-Nya?
Ayesha menepis pikirannya. Kembali menatap warna-warni indah di atas sana.
"Pelangi selepas gerimis," ucap Ayesha pelan, tersenyum teduh.
"Pasti akan ada pelangi juga dalam hidupmu," ucap Ilham tiba-tiba, ia menatapnya dari samping.
Ayesha tersenyum samar. "Semoga saja kau benar," ucapnya tanpa mau repot-repot menoleh pada Ilham.
Keheningan sempat terjadi di antara mereka sebelum ponsel Ayesha berbunyi, menandakan panggilan masuk, matanya membulat melihat siapa orang yang menghubunginya. "Mbak Ina! Ah aku lupa," gumamnya kemudian segera menjawab panggilannya.
"Assalamu'alaikum Mbak,"
"Wa'alaikumsalam. Esa, kamu di mana? Kenapa belum kembali juga? Dari tadi aku telepon tidak diangkat." Inayah terdengar khawatir daripada memarahinya.
"Iya maaf Mbak, tadi aku ada urusan mendadak, aku lupa mengabari Mbak," Ayesha tidak berbohong. Memang tadi ia ada urusan, dengan pria itu.
"Ada urusan apa?"
Ayesha terdiam sebentar. Melirik Ilham dengan sudut matanya. "Em, tadi aku tidak sengaja bertemu teman lama," ucapnya sambil menunduk dan memainkan jilbabnya. Dan semua itu tak luput dari perhatian Ilham. Ia tahu, gadis di depannya sedang tidak berkata jujur. Tapi Ayesha tidak berbohong, ia hanya tidak menceritakan semuanya.
"Oh begitu, maaf aku meninggalkanmu, Resti bilang ada masalah di butik jadi aku langsung pergi. Aku sudah mengirim sms, tapi sepertinya kau belum membacanya."
"Benarkah? Aku memang belum membukanya hee,"
"Kau ini, sekarang kau masih dengan temanmu?"
Ayesha lagi-lagi melirik Ilham yang sedari tadi memerhatikannya. "Tidak, aku akan kembali sekarang."
"Baiklah kalau begitu, kamu bisa naik taksi sendiri kan?"
"Ya ampun Mbak, emang aku ini bocah umur tiga tahun apa?" Ayesha tertawa geli. Kadang Inayah bisa jadi sangat perhatian seperti ini. Seperti seorang Kakak pada adiknya.
Inayah pun terkekeh. "Ya sudah, hati-hati. Aku tutup ya, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Jawab Ayesha lalu sambungan terputus. Ia kembali menaruh ponselnya dalam tas.
"Apa kau sangat dekat dengannya?" tanya Ilham. Merasa penasaran hubungan antara Inayah dan Ayesha.
"Siapa?" tanya Ayesha was-was, takut-takut kalau Ilham tahu tentang Radit. Atau bisa saja ia melihatnya, atau ... Yah ia tahu kadang Ilham seperti paranormal yang tahu segalanya.
"Ina," ucap Ilham dan hal itu membuat Ayesha lega.
"Oh, ya. Dia lebih dari sahabat bagiku." Ayesha tersenyum mengingat sosok Inayah. "Aku harus segera pergi, terima kasih untuk payungnya."
"Mau ku antar?" tanya Ilham menghentikan langkah Ayesha yang sudah berbalik.
"Tidak usah. Kau harus segera kembali ke kantor, mobilmu juga ada di sana kan. Aku harus buru-buru. Dan karena kau tahu aku keras kepala, kau tidak perlu menawariku dua kali. Oke?"
Ilham tersenyum tak percaya. "Yah baiklah kalau itu maumu, nona keras kepala."
Ayesha terdiam sebentar. Menatap Ilham dengan tatapan teduh. "Terima kasih," ucapnya tersenyum tulus.
Ilham tertegun sesaat, melihat caranya tersenyum. Salahkah jika ia ingin memeluknya sekarang juga?
Jangan gila! Dia tidak halal untukmu.
Dirinya yang masih waras itu menegurnya. Ilham berusaha mengendalikan dirinya. Wanita di hadapannya benar-benar bahaya.
"Untuk apa?" tanya Ilham.
"Hujan, payung, pelangi, dan dirimu," ucap Ayesha masih dengan tatapan dan senyuman yang sama. "Aku pergi, assalamu'alaikum." Ayesha pun melangkah pergi, menyetop taksi dan meninggalkan Ilham yang masih mematung di tempatnya. Menatap sampai mobil yang ia naiki hilang dari pandangannya.
"Wa'alaikumsalam," Ilham menjawab setelah beberapa detik berlalu. Ia menghela napas perlahan, lantas kembali menatap langit yang masih bergoreskan warna-warni indah yang mulai memudar.
Kemudian ia teringat saat dulu ia bersama Ayesha, melakukan hal yang sama seperti tadi. Menatap pelangi.
"Pelangi cantik ya?" ucap Ayesha yang lebih ke pernyataan daripada sebuah pertanyaan.
"Iya," jawab Ilham sambil memandang langit.
"Kau tahu kenapa pelangi hanya muncul sebentar?" tanya Ayesha lagi saat itu. Dengan senyum indah untuk sang pelangi.
Ilham tak menjawab, hanya menatap Ayesha yang berdiri di sampingnya. Menatap keindahan yang jauh lebih indah dari sebuah pelangi.
Ayesha menoleh dan Ilham menggeleng pelan.
Ayesha tersenyum. "Karena ia terlalu indah. Agar kau tahu, kalau keindahan itu hanya sesaat."
Ilham masih betah menatap Ayesha saat itu.
"Hanya sesaat ya...." Ia bergumam.
Apa kau juga seperti itu? Keindahan yang hanya sesaat? Meski begitu, aku tetap ingin menikmatinya, keindahan itu, walau hanya sesaat. Bersamamu.
***
Ilham baru kembali pukul sepuluh malam. Proyek yang sedang dikerjakannya benar-benar menyita waktunya. Beberapa hari ini ia jadi harus lembur.
"Assalamu'alaikum," Ilham berucap salam pelan.
Tidak ada sahutan, mungkin Syifa sudah tertidur. Pikirnya. Dan dugaannya benar. Ia tertidur di ruang depan, dengan posisi duduk di lantai dan kepala di atas meja dengan buku-buku berserakan.
Ilham tersenyum. Kemudian menghampiri adiknya. Melihat semua bukunya tentang psikolog, lagi-lagi Ilham tersenyum. Teringat dulu saat ia tanya kenapa adiknya memilih jurusan psikolog.
"Karena Abang itu susah ditebak. Aku mau belajar psikolog biar tahu ekspresi Abang yang sebenernya. Jadi Abang gak bisa nyembunyiin apa-apa dari aku. Karena aku akan tahu semuanya hanya dengan melihat Abang." Syifa mengucapkannya dengan penuh percaya diri dan bangga.
Ilham merapikan bukunya, menatap adiknya yang tertidur pulas. "Fa.." Ilham menepuk pipinya pelan.
Syifa bergumam namun belum terbangun.
"Tidurnya jangan di sini, dingin. Ayo bangun dulu, pindah ke kamarmu."
"Hmmm iya bentar Ma.." Syifa masih belum sadar.
Ilham terdiam. "Fa...."
"Iya Mama, Syifa bangun nih...," Syifa menegakkan kepalanya, membuka matanya dan melihat Ilham di hadapannya. Ia terdiam. Menyadari kesalahannya.
"Maaf Bang, Syifa cuma...."
"Di sini dingin, pindahlah ke kamarmu," ucap Ilham kemudian beranjak pergi menuju kamarnya.
Syifa tertunduk merasa bersalah. Dia hanya terbiasa melakukan segala sesuatu dengan Ibunya. Dan biasanya Ibunya yang akan membangunkannya seperti itu, jika ia tertidur di meja belajar. Air matanya sudah mendesak ingin keluar. Betapa kerasnya pun ia menahannya. Ia tidak bisa. Ia terisak pelan. Dia sangat merindukan Ibunya.
Ilham mengguyur tubuhnya di shower. Megingat bagaimana adiknya memanggilnya Mama, dan terkejut saat melihat dirinya membuatnya sedih.
***
Pagi seusai sholat subuh, Syifa pergi ke dapur, melihat bahan-bahan di kulkas menimang apa yang bisa ia masak untuk hari ini. Biasanya Ilham yang memasak, tapi kali ini ia ingin melakukannya untuk Abangnya. Ia tahu, semalam pasti membuat Abangnya sedih.
Tidak lama kemudian Ilham keluar kamar dan berniat memasak. Mendengar suara-suara dari arah dapur ia mengerutkan keningnya. Ia pun berjalan ke arah dapur dan melihat adiknya sedang sibuk memasak sendiri.
"Kamu lagi ngapain, Dek?" tanya Ilham menatapnya heran. Ini kali pertama dia melihatnya memasak.
"Lagi nge dance!" seru Syifa tanpa menoleh.
Ilham berdecak sambil tersenyum kecil.
"Abang gak lihat Syifa lagi masak?" Syifa bersungut sebal. "Dan lagi," kali ini Syifa berbalik menatap Abangnya. "Aku sudah bilang jangan panggil 'Dek', aku bukan anak kecil!"
Ilham tertawa. "Kayak iklan sabun aja," ucapnya kemudian menghampiri Syifa dan berniat membantunya.
"Abang mau ngapain?!"
Belum sempat Ilham mengambil pisau, Syifa sudah menginterogasinya.
"Mau nge dance." Ilham membalas perkataan adiknya.
Syifa memutar bola mata. "Gak usah ikut-ikutan, entar masakan Syifa nggak enak. Udah sana Abang duduk manis aja di meja makan. Hari ini Syifa yang masak. Oke?"
Ilham angkat tangan. "Oke oke, terserah nona saja," ucapnya lalu berjalan menuju meja makan, memerhatikan adiknya yang sibuk masak. Lalu tersenyum sendiri. Membayangkan kalau nanti yang sedang memasak itu adalah istrinya.
"Astagfirullah Ham dia itu belum halal buat lo, sekalipun dalam benak lo!" Lagi. Dirinya yang masih waras menegurnya. Segera ia hapus bayangannya dari benaknya itu.
Sementara Ilham sibuk melamun, Syifa sudah selesai memasak dan menghidangkannya.
"Yakin enak nih? Emang kamu bisa masak?" tanya Ilham usil.
Syifa lagi-lagi memutar bola matanya sebal. "Emang selama ini yang masakin buat Mama pas lagi sakit siapa? Aku!" ucapnya sambil menunjuk diri sendiri. "Mama bilang masakan Syifa juga enak, yah itung-itung buat belajar jadi istri yang baik, biar suami betah di rumah. Nah, karena Syifa nggak mau nanti suami Syifa keracunan masakan Syifa, jadi Abang Syifa jadiin kelinci percobaan."
Ilham memasang wajah kaget tak percaya. "Kamu mau bunuh Abang? Tega sekali kamu Dek," ucap Ilham dramatis.
Syifa tergelak. "Dih Abang kayak di sinetron-sinetron. Lebay tau gak!"
Ilham tersenyum menatap adiknya yang sedang tertawa.
"Kuliah kamu gimana? Ada masalah nggak? Biayanya udah semua kan?"
Syifa berhenti tertawa. "Lancar kok, gak ada masalah. Semuanya udah beres. Abang jangan mikirin Syifa terus, Syifa udah gede, bisa ngurus diri. Mendingan Abang nyari yang bisa ngurus Abang. Mau sampe kapan ngejomblo? Udah punya calon belum? Mau Syifa kenalin? Atau ta'arufan? Abang udah kepala tiga loh. Gak sadar umur?"
Giliran Ilham yang memutar bola mata sebal. "Abang tuh nanya kuliah kamu, kenapa jadi ngurusin calon istri? Dari tadi kamu bahas suami istri terus, jangan-jangan udah ngebet ya?"
"Ih apaan sih Bang! Syifa tuh cuma khawatir sama Abang," Syifa mencebik. "Itu juga keinginan terakhir Mama kan...."
Ilham terdiam kemudian menghela napas. "Iya Abang tahu...."
"Jadi? Udah ada calon?" Syifa memotong perkataan Ilham. Sebelum suasana berubah kembali.
Ilham tak menjawab, hanya berdehem kemudian makan. Syifa memperhatikan gerak-geriknya lalu tersenyum jenaka.
"Jadi udah punya toh.. Kenalin dong Bang.. Syifa pengen tahu.. Ya ya?" Syifa memasang wajah imutnya.
"Kepo deh." Ilham tak acuh dan lanjut makan. "Gak enak," ucapnya lagi sambil terus makan.
Syifa mencebik sebal. "Ya udah jangan dimakan!" tukasnya kesal, menarik piring Ilham.
Ilham kembali mengambilnya. "Lumayan kok, daripada kelaperan."
"Sssshh jahatnyaa."
Ilham tersenyum kecil. Kemudian mereka terkekeh. Dalam benak mereka terbayang alangkah lebih menyenangkan jika sosok ibu ada bersama mereka. Namun semua itu hanya angan-angan mereka saja.
"Bang, besok gak kerja kan? Ke rumah Kak Alfi yuk, Syifa kangen."
Ilham berdecak. "Kamu sama Mama tuh sama aja ya,"
Syifa cengengesan. "Pengen lihat Dedek Nayya juga.. Kata Kak Fanin sekarang udah bisa jalan ya? Cepet banget ya.."
"Iya, ya udah besok ke sana." Ilham menurut, dia juga sudah lama tak bertemu sahabatnya itu.
"Beneran? Yess!" Syifa berdecak senang kemudian lanjut makan. "Wah, ternyata masakanku seenak ini."
Ilham geleng-geleng kepala. "Mungkin cuma kamu di dunia ini yang muji masakan sendiri."
"Gak usah lebay deh Bang,"
Ilham terkekeh. Mungkin hanya bersama adiknya ia bisa bertingkah begini. "Hari ini gak kuliah?"
Syifa menggeleng. "Kenapa?"
Ilham seperti berpikir. "Gak ada acara? Kegiatan apa gitu?"
"Emangnya kenapa sih Bang? Syifa gak bakal kemana-mana hari ini. Mau nonton drama korea seharian."
Ilham bergidik mendengar kata seharian. "Takut kamu bosan aja, tapi kalau itu rencanamu Abang yakin kamu gak bakal mati bosan. Yah daripada maen-maen gak jelas." Ilham terdiam sebentar. "Kamu belum punya temen ya?"
Syifa menghela napas. "Emangnya aku ini kuper?"
Ilham tiba-tiba menghentikan kegiatan makannya. Memejamkan mata sejenak, keningnya berkerut menciptakan lipatan-lipatan.
"Al.." Ilham bergumam pelan. Kemudian membuka mata dengan raut cemas. Dan semua itu tak luput dari perhatian adiknya. Syifa memperhatikannya tanpa banyak bertanya.
"Hp Abang mana?" tanyanya tergesa-gesa. Melihat ke sana ke mari.
Syifa yang melihatnya pun ikut merasa khawatir. "Kayaknya di kamar Abang?" tebaknya.
Ilham langsung melesat menuju kamarnya. Melihat hp nya tergeletak di atas nakas, ia segera menyambarnya. Mendial panggilan nomer dua yang langsung tertuju pada Alfi.
Syifa melihat Abangnya yang terlihat sangat panik. Sebenarnya ia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa dengan Abangnya yang mendadak panik seperti itu.
"Gak diangkat, sial." Ilham frustasi. Ia mencoba lagi dan tetap sama. Ia memutuskan mengirimnya sms.
"Hari ini lo jangan ke mana-mana, batalin acara lo sama Afanin dan Nayya. Gue gak tahu tepatnya jam berapa. Telpon gue kalau lo udah baca pesan gue." -send
Semoga mereka gak papa. Al, semoga lo baca pesan gue. Tuhan, tolong lindungi mereka.
***
Tbc.
Maaf karena lama update 😅 *udah biasa* khem udah aku kasih panjang hee. Saya usahakan update secepatnya kok 😆
---
13 Januari 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top